AGAMA DALAM PUSARAN SEKULARISASI DAN MODERNISASI
Ahmad Syafi’i Rahman. MSI
I. PENDAHULUAN.
Masalah sekularisasi dan modernisasi
memang selalu menarik untuk dibicarakan. Dua kata tersebut sedikit banyak
keberadaanya berpengaruh terhadap agama. Di Indonesia diskursus ini mencuat dan
menjadi perbincangan hangat saat isu pembaharuan Islam digulirkan beberapa
dekade yang lalu. Lalu bagaimana sikap agama untuk mengahadapi gerusan sekuralisasi
dan modernisasi tersebut, sebab sekuralisasi dan modernisasai merupakan
keniscayaan yang akan terus berlangsung bagi negara yang mengalami modernisasi?
II. SEKULARISASI DAN MODERNISASI.
a. Sekularisasi
Sekularisasi
berasal dari kata latin “Saeculum”, berarti abad atau zaman sekarang ini ( age,
century atau ciecle).[1]Ada
juga yang mengartikan sebagai masa (era) atau juga “dunia”.
Pembahasan tentang sekuralisasi tidak sedikit
para ilmuan, agamawan, sosiolog baik dari Barat maupun dari Timur memberikan
komentar sebagai berikut;
Sedangkan
Harvey Cox menggariskan tiga aspek sekularisasi yaitu pembebasan alam dari
ilusi (disenchantment of nature),
desakralisasi politik (desacralization of
politics) untuk menghapus legitimasi kekuasan dan wewenang politik dari
agama, dan pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of values), yang berarti semua nilai berhak untuk
berubah.[2]
Jose
casanova mencirikan sekuralisasi terdiri tiga hal yaitu ; dikembangkan
Casanova, yang merupakan unsur-unsur penting dalam membangun modernitas, yakni:
(1) diferensiasi struktural ruang-ruang sosial yang makin bertambah, yang
mengakibatkan pemisahan agama dari politik; (2) privatisasi agama di dalam
kawasannya sendiri; (3) kemunduran signifikansi sosial dari kepercayaan,
komitmen dan pranata-pranata keagamaan.[3]
Pemikir muslim Indonesia pun berbeda dalam
mendefinisikan sekularisme dan sekularisasi.
Bagi
Nurcholish Madjid, sekularisasi tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme
(ideologi), tetapi bentuk perkembangan yang membebaskan (liberating
development). Proses pembebasan ini diperlukan umat Islam karena sesuai
konsekuensi proses historis yang telah dilakoninya, dimana umat Islam tidak
sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islami itu, yakni mana
yang transendental dan mana yang temporal. Oleh karena itu, sekularisasi
menjadi suatu keharusan bagi umat Islam.
Sejarah teori sekularisasi adalah
sejarah Barat. Lahir di Eropa kemudian berkelana ke Amerika Serikat dan
akhirnya menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Sekularisasi disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu bangkitnya ilmu pengetahuan modern yang memunculkan rasionalitas
dalam memandang (fenomena) dunia; diferensasi yang dilakukan oleh lembaga
modern; pemutusan hubungan antara negara dan (lembaga) agama( gereja).[4]
b.
Modernisasi
Kata modernisasi berasal dari kata modern. Kata “modern “ berasal
dari bahasa latin yang berarti “sekarang ini”.
Kemorderenan selalu identik dengan kehidupan keserbadaan. sedangkan
modernisasi merupakan salah satu ciri dari peradaban maju. Modernisasi adalah
istilah yang baru untuk proses yang panjang dari perubahan sosial, yaitu perubahan masyarakat yang kurang berkembang
yang memiliki ciri-ciri yang biasa menuju masyarakat yang berkembang.
Aspek-aspek modernisasi yang terjadi dan membawa perubahan bagi
masyarakat adalah urbanisasi, industrialisasi, sekularisasi, demokratisasi,
pendidikan dan partasipasi media.[5]
Berdasarkan sejarahnya, modernitas atau modernisasi bermula pada
abad ke-18 di Eropa Barat. Ciri-cirinya
antara lain, merosotnya agama sebagai orientasi nilai atau lembaga dalam
kehidupan sosial. Salah satu orientasi nilai yang pernah diwariskan oleh modernisasi adalah sekularisasi, seperti yang tampak pada buku
karangan Harvey Cox, The Secular City.[6]
Deliar
Noor seorang pemikir Indonesia menyebutkan cirri-ciri masyarakat modern adalah
sebagai berikut: pertama berpikir
rasioanal yakni, lebih mengutamakan pendapat akal pikiran daripada emosi.. Kedua
berpikir untuk masa depan yang lebih jauh , tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh. Ketiga ,menghargai waktu ,yaitu melihat
bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu di manfaatkan
sebaik-baiknya. Kempat bersikap
terbuka, yakni mau menerima saran dan masukan baik yang berupa kritik ,gagasan
dan perbaikan dari manapun datangya. Kelima
berpikir obyektif yaitu melihat
segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat .[7]
Berdasarkan uraian diatas menunjukan bahwa antara sekuralisasi dan modernisasi ada
beberapa benang merah/titik taut, yaitu sama-sama adanya perubahan sosial
yang dialami oleh masyarakat setempat, sekularisasi
adalah menyelesaikan problem kemanusiaan yang dulunya masih mempertimbangkan
konsep keagamaan berubah menjadi tanpa
melibatkan konsep keagamaan, karena
agama dianggap tidak mampu lagi
menyelesaikan problem-problem yang sedang dihadapi.
Bahwa antara sekuralisasi dan modernisasi sama-sama merupakan
bentuk perubahan yang lahirnya dari Negeri Barat sekitar abad 18
kemudian berkelana ke seluruh dunia.
Dengan adanya sekuralisasi
dan modernisasai ini langsung atau
tidak membawa perubahan seseorang dalam
berpikir, bersikap dan bertindak terutama hal yang berhubungan dengan agama.
III. DILEMA
AGAMA DALAM PUSARAN SEKURALISASI DAN
MODERNISASI
Institusi yang paling besar mendapatkan dampaknya dari proses modernisasi dan sekularisasi ini adalah agama sebab disatu sisi agama harus tetap memegangi doktrin yang selama ini menjadi ruh kehidupannya untuk menjaga sakralitasnya namun di sisi lain tuntutan kehidupan manusia yang begitu keras dan kompetitif yang meliputi ekonomi, pendidikan, kebudayaan menuntut adanya perubahan.
Agama
bagi sebagian orang adalah suatu
penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan .
Modernisme menawarkan
pertimbangan-pertimbangan baru dalam menentukan keputusan masyarakat. Isme-isme
besar seperti humanisme dan saintisme,hidonesme,individualisme muncul menggeser
otonomi agama.
Kompleksitas sekularisasi dan modernisasi ini selalu
berkaitan dengan masalah moral dan agama. Disatu pihak modernisasi dibanggakan
karena mampu menciptakan nilai dan makna, namun ia juga ditakuti sebagai
ancaman terhadap pola nilai dan makna yang telah ada.
Agama pada abad ke-21 akan terus berpacu
dengan modernisasi sebagai tantangan yang sangat besar. Agama dihadapkan pada
realitas masyarakat yang makin rasional yang bisa saja mengancam kelangsungan
agama yang terlalu banyak dimuati oleh doktrin-doktrin, yang oleh orang modern
dianggap tidak rasional. Secara internal rigiditas doktrin agama akan
menjauhkan pemeluknya dalam mengadakan penyesuaian terhadap dinamika hidupnya.
Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri
bagi agama , Bagaimana sikap agama dalam
mengahapi tantangan tersebut.?
Cara agama dalam menghadapi gempuran sekularisasi dan modernisasi ada
beberapa alternatife yang bias dipertimbangkan antara lain adalah dengan cara 1) beradaptasi ,
Casanova memberikan penjelasan yang menarik , agar agama bias bertahan salah satunya adalah dengan melakukan adaptasi
dengan lingkungan social politik yang dihadainya, kaum beragama berusaha
beradaptasi dan memahami setiap konsep-konsep baru yang berkembang di dunia
modern seperti demokrasi, hak asasi
manusia, persamaan, keadilan, kebebasan.
Jika mereka menemukan kontradiksi mereka akan menafsirkan ulang doktrin-doktrin
lama yang mereka anut agar sesuai dengan semangat zaman yang mereka hadapi .[8]
Agama
harus peka terhadap bentuk kehidupan disekitarnya.2) Kemampuan dialog dengan konteks sosial menjadi
faktor yang sangat penting. Kita hidup dalam beragamnya agama dan kebudayaan
adalah kenyataan. Sehingga diaolg yang kreatif ini akan semakin
mendekatkan satu dengan yang lainnya dan membangun peradaban bersama yang lebih
maju dan berkualitas.[9]
Sebagai alternatif lain bagi agama
dalam mengahadapi tantangan modernisasi Pertama,
kemungkinan melakukan penafsiran kembali ajaran agama sesuai
perkembangan kebudayaan yang ada. Reinterpretasi ini tentu saja dilandasi oleh
pemahaman terhadap budaya yang ada agar agama tidak kelihangan dimensi
kulturalnya yang kuat. Kedua, agama dalam proses interaksi terhadap
budaya yang baru harus ditempatkan pada posisi sentripetal (centripete)
dimana budaya yang telah ada dan budaya baru yang mengelilingi agama akan
terserap oleh nilai-nilai dan moralitas agama .[10] ketiga umat Islam sudah saatnya untuk mengadakan pembongkaran (metode dekonstruksi
) terhadap berbagai lapisan tafsir dengan demikian dapat diketahui
peristiwa-peristiwa pada saat
teks-teks pertama muncul, umat Islam haruslah memahami
teks-teks penafsiran masa kini.[11]
IV.
PENUTUP
Sebagai kata penutup bahwa alternative-alternatif solusi yang penulis paparkan diatas membuka mata kita sebagai orang Islam khususnya agar “act locally and think globally” (bertindak dan berbuatlah di lingkungan masyarakat sendiri menurut aturan-aturan dan norma-norma tradisi lokal serta berpikir, berhubungan dan berkomunikasilah dengan kelompok lain menurut cita rasa dan standar aturan etika global).
Hal itu mustakhil dapat kita
laksanakan apabila tidak ditunjang factor utama yaitu ilmu, dengan ilmu kita
mampu menghadapi dan mensikapi berbagai macam perubahan untuk memperoleh ilmu
tentu banyak cara yang ditempuh antara lain dengan membaca “iqro”
DAFTAR
PUSTAKA
Asad Talal,2003, Formation of
The Secular: Christianity,Islam,Modernity (Stanford,California:Stanford
University Press).
Al-Naquib Al Attas,Syed Muhammad, 1981 Islam dan Sekuralisme,(Bandung : Salman ITB)
Arkoun,Muhammed,1992,Membongkar wacana Hegemonisme dalam Islam dan
Post Modenisme (terjemahan ),Bandung,Al Fikr.
Bellah, Robert, ed., 1965, Religion
and Progress in Modern Asia, New York, The Free Press,
Daniel Lerner , 1958 The Possing of Traditional Society,Glencoe;
Free Press
.Harvey Cox, ‘Why Christianity Must Be Secularized” in The Great
Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc, 1967),
selanjutnya diringkas Christianity.
-------------------,1965 the
Secular City, (London: Billing and Sons Ltd.,),
Jonathan Fox, 2008, "A World Survey of Religion and
State," Cambridge,
Lerner, Daniel, 1968, InternationalEncyclopedia
of Social Sciences, vol 9-10, New York,
Nash, Maning , 1977, Modernization:
Cultural Meaning: the Widening Gap between the Intellectual and the
Process, dalam Economic Development and Cultural Change, Vol. 25
Peter L Berger , 1967.The Sacred Canopy :Elements of a
Sociological theory of religion (New York :double day & Compani)
William H.Jr swatos,Kevin J.Cristiano,”Secularization Theory:The
Course of a
-Concept”,Htt://articles,Findarticles/mi-m0SOR/is-3-60/ai-57533379.html diunduh
tanggal 27 jaunuari 2011 jam 13.00 wib.
file:///C:/tajdid-bukan-modernisasi-agama.html
di nduh tanggal 19 Januari 2011 Jam
14.00 wib.
Htt;//meetaibiet.wordpress.com/2010/12/20
nurcholis-madjid-modernesasi-sekuarisasi- dan desacralisasi diunduh tanggal 27 Desember 2010 Jm 13.00
wib.
http.F:/agama-dan-modernitas.html diunduh tanggal 19 Januari
2011 jam 15.00 wib
.http://agama.kompasiana.com/2011/01/14/sekularisasi-agama-tetap-menjadi-sakral
– atau –menjadi-sekuler/ diunduh tanggal
24 Januari 2011 jam 14.30.wib.
http://indonesiafile.com/content/view/531/79/
19 1 2011 jam 11.55 wib.
http://jakartabooks.wordpress.com/2009/10/04/sekularisasi-ditinjau-kembali-catatan-pengantar/.sekuarisasi
diunduh tanggal 24 Januari 2011 jam 12.30 wib.
http://jalius12.wordpress.com/2009/10/18/pengertian-modern/
diunduh tanggal 28 Januari 2011 jam 11.00 wib.
www.members.tripod.com/..../Al-Ihsan.htm,
diunduh tanggal 13 Januari 2011 14.00
wib.
[1]
Htt;//meetaibiet.wordpress.com/2010/12/20
nurcholis-madjid-modernesasi-sekuarisasi- dan desacralisasi diunduh tanggal 27 Desember 2010 Jm 13.00
wib.
[2] Harvey Cox,
the Secular City, (London: Billing and Sons Ltd., 1965), hlm. 21.
[3] http://jakartabooks.wordpress.com/2009/10/04/sekularisasi-ditinjau-kembali-catatan-pengantar/.sekuarisasi
diunduh tanggal 24 Januari 2011 jam 12.30 wib.
[4]
http://agama.kompasiana.com/2011/01/14/sekularisasi-agama-tetap-menjadi-sakral-atau-menjadi-sekuler/ diunduh tanggal 24 Januari 2011 jam
14.30.wib.
[6] Harvey Cox,The
Secular City : Secularization and Unbanization in Theological Perspective (New
York:The Macmillan Company,1967),hal 16,selanjutnya diringkas The Secular City
[7] Deliar
Noer 1986 Masyarakat Modern Dan Agama Masa Depan dalam Bulletin Diaspora edisi I: 2002.
[8] Jose Casanova
,Public Relegions in The Modern,World
(Chicago :University Chicago Press,1994.) hal 211-212
[9] M.
Amin Abdullah, “Kebebasan Beragama atau
Dialog Antar-agama”,dalam J.B.Banawiratma, dkk., Hak Asasi Manusia Tantangan bagi Agama,(Jogyakarta: Kanisuis,1999),
hlm 58-59.
[10] http://www.averroes.or.id/research/agama-perubahan-sosial-dan-sublimasi-identitas.html diunduh tanggal 25
Januari 2011
[11]Muhammed
Arkoun, 1992,Membongkar wacana Hegemonisme dalam Islam dan Post Modenisme
(terjemahan ),Bandung,Al Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar