Sabtu, 31 Maret 2012


AGAMA DALAM PUSARAN  SEKULARISASI DAN MODERNISASI
Ahmad Syafi’i Rahman. MSI
I.    PENDAHULUAN.
            Masalah sekularisasi dan modernisasi memang selalu menarik untuk dibicarakan. Dua kata tersebut sedikit banyak keberadaanya berpengaruh terhadap agama. Di Indonesia diskursus ini mencuat dan menjadi perbincangan hangat saat isu pembaharuan Islam digulirkan beberapa dekade yang lalu. Lalu bagaimana sikap agama untuk mengahadapi gerusan sekuralisasi dan modernisasi tersebut, sebab sekuralisasi dan modernisasai merupakan keniscayaan yang akan terus berlangsung bagi negara yang mengalami modernisasi?
II. SEKULARISASI DAN MODERNISASI.
a.      Sekularisasi
       Sekularisasi berasal dari kata latin “Saeculum”, berarti abad atau zaman sekarang ini ( age, century atau ciecle).[1]Ada juga yang mengartikan sebagai masa (era) atau juga “dunia”.
Pembahasan tentang sekuralisasi tidak sedikit para ilmuan, agamawan, sosiolog baik dari Barat maupun dari Timur memberikan komentar  sebagai berikut;
Sedangkan Harvey Cox menggariskan tiga aspek sekularisasi yaitu pembebasan alam dari ilusi (disenchantment of nature), desakralisasi politik (desacralization of politics) untuk menghapus legitimasi kekuasan dan wewenang politik dari agama, dan pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of values), yang berarti semua nilai berhak untuk berubah.[2]
Jose casanova mencirikan sekuralisasi terdiri tiga hal yaitu ; dikembangkan Casanova, yang merupakan unsur-unsur penting dalam membangun modernitas, yakni: (1) diferensiasi struktural ruang-ruang sosial yang makin bertambah, yang mengakibatkan pemisahan agama dari politik; (2) privatisasi agama di dalam kawasannya sendiri; (3) kemunduran signifikansi sosial dari kepercayaan, komitmen dan pranata-pranata keagamaan.[3]  
        Pemikir muslim Indonesia pun berbeda dalam mendefinisikan sekularisme dan sekularisasi.
Bagi Nurcholish Madjid, sekularisasi tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme (ideologi), tetapi bentuk perkembangan yang membebaskan (liberating development). Proses pembebasan ini diperlukan umat Islam karena sesuai konsekuensi proses historis yang telah dilakoninya, dimana umat Islam tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islami itu, yakni mana yang transendental dan mana yang temporal. Oleh karena itu, sekularisasi menjadi suatu keharusan bagi umat Islam.
          Sejarah teori sekularisasi adalah sejarah Barat. Lahir di Eropa kemudian berkelana ke Amerika Serikat dan akhirnya menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.
          Sekularisasi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu bangkitnya ilmu pengetahuan modern yang memunculkan rasionalitas dalam memandang (fenomena) dunia; diferensasi yang dilakukan oleh lembaga modern; pemutusan hubungan antara negara dan (lembaga) agama( gereja).[4]             
b.      Modernisasi
Kata modernisasi berasal dari kata modern. Kata “modern “ berasal dari bahasa latin yang berarti “sekarang ini”.
Kemorderenan selalu identik dengan kehidupan keserbadaan. sedangkan modernisasi merupakan salah satu ciri dari peradaban maju. Modernisasi adalah istilah yang baru untuk proses yang panjang dari perubahan sosial, yaitu perubahan masyarakat yang kurang berkembang yang memiliki ciri-ciri yang biasa menuju masyarakat yang berkembang.
Aspek-aspek modernisasi yang terjadi dan membawa perubahan bagi masyarakat adalah urbanisasi, industrialisasi, sekularisasi, demokratisasi, pendidikan dan partasipasi media.[5]        
Berdasarkan sejarahnya, modernitas atau modernisasi bermula pada abad ke-18 di Eropa Barat.  Ciri-cirinya antara lain, merosotnya agama sebagai orientasi nilai atau lembaga dalam kehidupan sosial. Salah satu orientasi nilai yang pernah diwariskan oleh modernisasi  adalah sekularisasi, seperti yang tampak pada buku karangan Harvey Cox, The Secular City.[6]
Deliar Noor seorang pemikir Indonesia menyebutkan cirri-ciri masyarakat modern adalah sebagai berikut: pertama berpikir rasioanal yakni, lebih mengutamakan pendapat akal pikiran daripada emosi..  Kedua berpikir untuk masa depan yang lebih jauh , tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh. Ketiga ,menghargai waktu ,yaitu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu di manfaatkan sebaik-baiknya. Kempat bersikap terbuka, yakni mau menerima saran dan masukan baik yang berupa kritik ,gagasan dan perbaikan dari manapun datangya. Kelima  berpikir obyektif yaitu melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat .[7]
Berdasarkan uraian diatas menunjukan  bahwa antara sekuralisasi dan modernisasi ada beberapa benang merah/titik taut, yaitu sama-sama adanya perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat setempat, sekularisasi adalah menyelesaikan problem kemanusiaan yang dulunya masih mempertimbangkan konsep keagamaan berubah menjadi  tanpa melibatkan konsep keagamaan,  karena agama dianggap tidak mampu lagi  menyelesaikan problem-problem yang sedang dihadapi.
Bahwa antara sekuralisasi dan modernisasi sama-sama merupakan bentuk perubahan yang lahirnya dari Negeri Barat sekitar abad 18  kemudian berkelana ke seluruh dunia.
 Dengan adanya sekuralisasi dan modernisasai ini  langsung atau tidak  membawa perubahan seseorang dalam berpikir, bersikap dan bertindak terutama hal yang berhubungan dengan agama.

III.       DILEMA AGAMA DALAM  PUSARAN SEKURALISASI   DAN   MODERNISASI

          Institusi yang paling besar mendapatkan dampaknya dari proses modernisasi dan sekularisasi ini adalah agama sebab disatu sisi agama harus tetap memegangi doktrin yang selama ini menjadi ruh kehidupannya untuk menjaga sakralitasnya namun di sisi lain tuntutan kehidupan manusia yang begitu  keras dan kompetitif  yang meliputi ekonomi,  pendidikan,  kebudayaan menuntut adanya perubahan.
              Agama bagi sebagian orang adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan .
            Modernisme menawarkan pertimbangan-pertimbangan baru dalam menentukan keputusan masyarakat. Isme-isme besar seperti humanisme dan saintisme,hidonesme,individualisme muncul menggeser otonomi agama.
          Kompleksitas  sekularisasi dan modernisasi ini selalu berkaitan dengan masalah moral dan agama. Disatu pihak modernisasi dibanggakan karena mampu menciptakan nilai dan makna, namun ia juga ditakuti sebagai ancaman terhadap pola nilai dan makna yang telah ada.
            Agama pada abad ke-21 akan terus berpacu dengan modernisasi sebagai tantangan yang sangat besar. Agama dihadapkan pada realitas masyarakat yang makin rasional yang bisa saja mengancam kelangsungan agama yang terlalu banyak dimuati oleh doktrin-doktrin, yang oleh orang modern dianggap tidak rasional. Secara internal rigiditas doktrin agama akan menjauhkan pemeluknya dalam mengadakan penyesuaian terhadap dinamika hidupnya.
         Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi agama , Bagaimana sikap  agama dalam mengahapi tantangan tersebut.?
         Cara agama dalam menghadapi  gempuran sekularisasi dan modernisasi ada beberapa alternatife yang bias dipertimbangkan antara lain adalah dengan cara 1) beradaptasi , Casanova memberikan penjelasan yang menarik , agar agama bias bertahan salah  satunya adalah dengan melakukan adaptasi dengan lingkungan social politik yang dihadainya, kaum beragama berusaha beradaptasi dan memahami setiap konsep-konsep baru yang berkembang di dunia modern seperti demokrasi,  hak asasi manusia,  persamaan, keadilan, kebebasan. Jika mereka menemukan kontradiksi mereka akan menafsirkan ulang doktrin-doktrin lama yang mereka anut agar sesuai dengan semangat zaman yang mereka hadapi .[8]          
          Agama harus peka terhadap bentuk kehidupan disekitarnya.2) Kemampuan dialog dengan konteks sosial menjadi faktor yang sangat penting. Kita hidup dalam beragamnya agama dan kebudayaan adalah kenyataan. Sehingga  diaolg yang kreatif ini akan semakin mendekatkan satu dengan yang lainnya dan membangun peradaban bersama yang lebih maju dan berkualitas.[9]
 Sebagai alternatif lain bagi agama dalam mengahadapi tantangan modernisasi  Pertama, kemungkinan melakukan penafsiran kembali ajaran agama sesuai perkembangan kebudayaan yang ada. Reinterpretasi ini tentu saja dilandasi oleh pemahaman terhadap budaya yang ada agar agama tidak kelihangan dimensi kulturalnya yang kuat. Kedua, agama dalam proses interaksi terhadap budaya yang baru harus ditempatkan pada posisi sentripetal (centripete) dimana budaya yang telah ada dan budaya baru yang mengelilingi agama akan terserap oleh nilai-nilai dan moralitas agama .[10] ketiga umat Islam sudah saatnya untuk mengadakan pembongkaran (metode dekonstruksi ) terhadap berbagai lapisan tafsir dengan demikian dapat diketahui peristiwa-peristiwa  pada saat teks-teks  pertama  muncul, umat Islam haruslah memahami teks-teks penafsiran masa kini.[11]
IV.       PENUTUP

           Sebagai kata penutup bahwa alternative-alternatif solusi yang penulis paparkan diatas membuka mata kita sebagai orang Islam khususnya agar “act locally and think globally” (bertindak dan berbuatlah di lingkungan masyarakat sendiri menurut aturan-aturan dan norma-norma tradisi lokal serta berpikir, berhubungan dan berkomunikasilah dengan kelompok lain menurut cita rasa dan standar aturan etika  global).
         Hal itu mustakhil dapat kita laksanakan apabila tidak ditunjang factor utama yaitu ilmu, dengan ilmu kita mampu menghadapi dan mensikapi berbagai macam perubahan untuk memperoleh ilmu tentu banyak cara yang ditempuh antara lain dengan membaca “iqro”


DAFTAR PUSTAKA

Asad Talal,2003, Formation of The Secular: Christianity,Islam,Modernity (Stanford,California:Stanford University Press).
Al-Naquib Al Attas,Syed Muhammad, 1981 Islam dan Sekuralisme,(Bandung : Salman ITB)
Arkoun,Muhammed,1992,Membongkar wacana Hegemonisme dalam Islam dan Post Modenisme (terjemahan ),Bandung,Al Fikr.
Bellah, Robert, ed., 1965, Religion and Progress in Modern Asia, New York, The Free Press,
Daniel Lerner , 1958 The Possing of Traditional Society,Glencoe; Free Press

.Harvey Cox, ‘Why Christianity Must Be Secularized” in The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc, 1967), selanjutnya diringkas Christianity. 

-------------------,1965 the Secular City, (London: Billing and Sons Ltd.,),

Jonathan Fox, 2008, "A World Survey of Religion and State," Cambridge,

Lerner, Daniel, 1968, InternationalEncyclopedia of Social Sciences, vol 9-10, New York,
Nash, Maning , 1977, Modernization: Cultural Meaning: the Widening Gap between the Intellectual and the Process, dalam Economic Development and Cultural Change, Vol. 25
Peter L  Berger , 1967.The Sacred Canopy :Elements of a Sociological theory of religion (New York :double day & Compani)

William H.Jr swatos,Kevin J.Cristiano,”Secularization Theory:The Course of a -Concept”,Htt://articles,Findarticles/mi-m0SOR/is-3-60/ai-57533379.html diunduh tanggal 27 jaunuari 2011 jam 13.00 wib.

file:///C:/tajdid-bukan-modernisasi-agama.html di nduh tanggal 19 Januari  2011 Jam 14.00 wib.

Htt;//meetaibiet.wordpress.com/2010/12/20 nurcholis-madjid-modernesasi-sekuarisasi- dan desacralisasi  diunduh tanggal 27 Desember 2010 Jm 13.00 wib.

http.F:/agama-dan-modernitas.html diunduh tanggal 19 Januari 2011  jam 15.00 wib

.http://agama.kompasiana.com/2011/01/14/sekularisasi-agama-tetap-menjadi-sakral – atau –menjadi-sekuler/  diunduh tanggal 24 Januari 2011 jam 14.30.wib.


http://jalius12.wordpress.com/2009/10/18/pengertian-modern/ diunduh tanggal 28 Januari 2011 jam 11.00 wib.

www.members.tripod.com/..../Al-Ihsan.htm, diunduh tanggal  13 Januari 2011 14.00 wib.


[1] Htt;//meetaibiet.wordpress.com/2010/12/20 nurcholis-madjid-modernesasi-sekuarisasi- dan desacralisasi  diunduh tanggal 27 Desember 2010 Jm 13.00 wib.
[2] Harvey Cox, the Secular City, (London: Billing and Sons Ltd., 1965), hlm. 21.
[4] http://agama.kompasiana.com/2011/01/14/sekularisasi-agama-tetap-menjadi-sakral-atau-menjadi-sekuler/  diunduh tanggal 24 Januari 2011 jam 14.30.wib.
20http://agama.kompasiana.com/2011/01/14/sekularisasi-agama-tetap-menjadi-sakral-atau menjadi- sekuler /  diunduh tanggal 24 Januari 2011 jam 14.30.wib.
[6] Harvey Cox,The Secular City : Secularization and Unbanization in Theological Perspective (New York:The Macmillan Company,1967),hal 16,selanjutnya diringkas The Secular City
[7] Deliar Noer  1986  Masyarakat Modern Dan  Agama Masa Depan  dalam Bulletin Diaspora  edisi I: 2002.
[8] Jose Casanova ,Public Relegions in The Modern,World (Chicago :University Chicago Press,1994.) hal 211-212
[9] M. Amin Abdullah, “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar-agama”,dalam J.B.Banawiratma, dkk., Hak Asasi Manusia Tantangan bagi Agama,(Jogyakarta: Kanisuis,1999), hlm 58-59.
[11]Muhammed Arkoun, 1992,Membongkar wacana Hegemonisme dalam Islam dan Post Modenisme (terjemahan ),Bandung,Al Fikr.

Tidak ada komentar: