NUNTUT NGELMU DAN BEGURU DALAM BUDAYA DJAWA
(Menelaah Nilai-Nilai Pengetahuan/ngelmu dalam Serat
Wedhathama dan Relevansinya dengan Nilai ke- Islaman)
Ahmad Syafi’i Rahman. MSi
Ngelmu iku, kelakone
kanthi lakuLekase lawan kas, tegase kasnyantosani Satya budya pangekese dur angkar[1]
A.
Pendahuluan
Dalam masyarakat
Islam tradisionalis menuntut ilmu adalah sebuah pengabdian kepada Tuhan, segala
yang terkait dengan proses mencari ilmu selalu diarahkan kepada tujuan
tersebut. Seorang guru yang kemudian lebih dikenal dalam komunitas tradisi jawa
dipanggil sebagai kiai, sangat dimuliakan, seorang kiai adalah pengemban amanat
untuk menyebar luaskan ilmu-ilmu Allah kepada masyarakat banyak.
Seorang pencari
ilmu juga memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat Islam tradisionalis,
seorang pemuda yang berani untuk melanjutkan belajar ke pesantren-pesantren
yang besar dan masyhur dan biasanya berada jauh dari tempat tinggalnya
dipandang sebagai seorang yang istimewa oleh masyarakat sekitarnya.
Kemampuannya untuk berlaku prihatin, jauh dari rumah menahan kerinduan,
melakukan tirakat dan mempelajari ilmu agama mendapat apresiasi tinggi dari
masyarakatnya, mereka berharap pemuda itu akan menjadi seorang alim yang dapat
mengajarkan berbagai kitab dan memimpin masyarakat dalam kegiatan keagamaan.[2]
Salah satu wujud dan sifat khas masyarakat Jawa adalah
bersikap prihatin dengan mengutamakan lelaku. Mengutamakan lelaku disini
bertujuan untuk menuju kepada jalan makrifat mencapai ‘Jumbuhing Kawula lan Gusti’.
Ajaran kejawen tentang thalabul ilmi atau
tentang menuntut ‘ngelmu dan lelaku’ dapat kita jumpai dalam ‘Serat
Wedhatama’ karangan Sri Mangkunegara IV, Pupuh II – tembang Pucung.[3]
Jika ajaran diatas diterapkan dalam kehidupan nyata maka
mengandung makna bahwa untuk mencapai kesuksesan dan kesejahteraan hidup, entah
itu dalam hal material maupun spiritual diperlukan sebuah dasar pondasi yang
kuat dan kokoh, kemudian harus memahami dasar ilmu tersebut baik secara
teoritis maupun aplikatif melalui praktik (lelaku) dalam kehidupan riil.
Maka, penulis merasa perlu untuk membahas konsep Ngelmu
dan berguru dalam perspektif budaya Jawa dan relevansinya dengan nilai-nilai
konsep Islam.
B.
Kenapa Harus Merujuk Kepada Serat Wedhatama
Serat Wedhatama merupakan warisan budaya yang hingga kini masih cukup dikenal di kalangan
sebagian masyarakat Jawa. Proses pewarisan nilai-nilai budaya tersebut tidak
melalui jalur struktural, termasuk sistem Nuntut ngelmu melalui pendidikan formal,
melainkan melalui jalur kultural. Kenyataan ini mengindikasikan prediksi bahwa
ke depan Serat Wedhatama sebagai
bagian dari budaya Jawa akan tetap bertahan, meskipun menghadapi gempuran
budaya kontemporer. Dengan demikian benturan budaya tersebut akan tetap
berlangsung dalam waktu yang panjang. Benturan budaya tersebut pada tingkatan
yang ekstrim dapat menimbulkan benturan antar pendukung kebudayaan, yang
kadang-kadang menimbulkan ketegangan dalam masyarakat.
Serat Wedhatama yang telah berusia sekitar 150 tahun menunjukkan bahwa karya sastra
tersebut mempunyai kemampuan bertahan yang cukup kuat. Dalam masa tersebut
Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, telah mengalami beberapa kali
perubahan zaman. Dari perspektif sejarah telah dilalui zaman penjajahan Belanda, zaman kebangkitan nasional, zaman
pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan dengan beberapa kali pergantian rezimnya.
Dari perspektif sosiologi telah dilalui kehidupan masyarakat
agraris-tradisional yang panjang hingga kehidupan masyarakat yang menuju ke
arah industri-modern. Semua bentuk perubahan tersebut tentu membawa dampak
budaya yang cukup besar, namun ternyata Serat
Wedhatama masih bertahan hidup.
C.
Mengenal Serat
Wedhatama
Secara harfiah, Serat Wedhatama berasal dari kata-kata: serat
yang berarti tulisan; wedha yang
berarti ajaran atau ilmu pengetahuan; dan tama
berasal dari kata utama yang
berarti kebaikan. Jadi Serat Wedhatama berarti
tulisan yang berisi tentang ajaran kebaikan atau tuntunan moral. Serat Wedhatama adalah karya sastra
dalam bentuk tembang, sebagaimana dinyatakan pada bagian awal buku tersebut
yang berbunyi: sinawung resmining kidung,
yang artinya: dihias dengan indahnya lagu (tembang).
Serat Wedhatama pada
umumnya dikenal sebagai buku tembang yang berisi ajaran moral karangan KGPAA
Mangkunegara IV, dengan nama kecil Sudira, yang lahir pada 1811.
Tembang-tembang
dalam Serat Wedhatama dikategorikan dalam jenis
tembang macapat.
Macapat itu berasal dari kata maca cepet (cara membacanya dengan cepat). Akronimnya adalah macapet, namun dalam perkembangannya
agar enak didengar menjadi macapat.
Ketiga, tembang macapat termasuk
jenis sekar (tembang) klasisifikasi
empat. Klasifikasi satu adalah sekar
ageng sapadaswara. Klasifikasi dua adalah sekar ageng sapadadirga. Klasifikasi tiga adalah sekar tengahan.
Menurut Suwarno,[4]
sebagian besar pendapat mengatakan bahwa tembang macapat terdiri dari 11 macam tembang. Sebagian ada yang mengatakan hanya 9 macam tembang, namun malah ada
juga yang mengatakan 15 macam tembang. Macam-macam tembang tersebut adalah : (1) Mijil; (2) Kinanthi; (3) Sinom; (4)
Asmaradana; (5) Dhandanggula; (6) Maskumambang; (7) Durma; (8) Pangkur; (9)
Pocung; (10) Gambuh; (11) Megatruh; (12) Balabak; (13) Wirangrong; (14)
Jurudemung; (15) Girisa.
Penamaan tembang-tembang tersebut menggambarkan tahap-tahap perkembangan
hidup manusia. Kehidupan manusia dimulai
dari lahir (mijil) dan
dilanjutkan masa kanak-kanak yang masih dibimbing atau digandeng (kinanthi)
orang tua. Selanjutnya tahapan masa muda (sinom)
dan mengenal asmara (asmaradana).
Pada tahapan selanjutnya orang merancang kehidupan yang baik, manis, indah,
sejahtera (dandanggula). Pada
perkembangan selanjutnya orang sudah memikirkan kebaikan atau keutamaan, namun
belum mengendap (maskumambang).
Perkembangan selanjutnya, orang memasuki masa tua, yang seharusnya sudah mundur
dari ‘ma lima’ (durma). Tahapan selanjutnya ditandai dengan sikap yang menghindari
(nyimpang) dan mengesampingkan atau
membelakangi (mungkur) berbagai
urusan duniawi (pangkur). Kehidupan
manusia akan berakhir dengan kematian dan kemudian dikafani (pocung).
D.
Makna Nilai-Nilai Model Nuntut Ngelmu dalam Serat Wedhatama
Inferensi
atau pemaknaan nilai-nilai model nuntut ngelmu dalam Serat Wedhatama
dikelompokkan ke dalam unit-unit tematik, yang dikonstruk menjadi tema-tema :
etika pribadi, etika sosial, dan etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam inferensi atau pemaknaan ini juga
dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu, baik yang bersifat historis,
sosiologis, maupun kultural.
1.
Etika Pribadi
Kandungan
nilai-nilai model nuntut ngelmu yang terkait dengan etika pribadi adalah
beberapa ajaran atau petuah sebagai berikut:
a.
Jangan menjadi orang yang lemah budinya dan tumpul perasaannya (tan mikani rasa), sebab orang yang
lemah budinya dan tumpul perasaannya, meskipun sudah tua, ia bagaikan sepah
tebu dan ketika dalam pertemuan sering bertindak memalukan (gonyak-ganyuk nglelingsemi) (Pangkur
bait ke 2).
b.
Sebaiknya mempelajari ilmu sejati, yang membuat nyaman di hati. Ilmu ini
mengajarkan agar menerima dengan senang hati jika dianggap bodoh (bungah ingaran cubluk) dan tetap
gembira jika dihina (sukeng tyas yen den
ina) (Pangkur bait ke 5).
c.
Hidup yang hanya sekali ini jangan sampai berantakan (uripe sepisan rusak). Orang yang demikian, pikirannya tidak
berkembang dan kacau (nora mulur nalare
pating seluwir), ibarat dalam gua yang gelap (kadi ta guwa kang sirung), picik pengetahuannya, namun sombong.
Anak yang demikian, jika menghadapi kesulitan, ia mengandalkan orang tuanya
yang bangsawan (pelayune ngendelken yayah
wibi, bangkit tur bangsaning luhur) (Pangkur
bait ke 6-8).
d.
Petuah agar berguru tentang kebaikan (puruita
kang patut), Juga agar berguru pada orang bijak yang berjiwa pertapa (sarjana kang martapi), untuk memahami
ilmu yang hakiki (Pangkur bait ke
10-11).
e.
Petuah agar meniru perilaku yang baik (laku
utama), yang dicontohkan oleh Panembahan Senopati, raja Mataram (wong agung ing Ngeksiganda). Ia
sungguh-sungguh dalam menekan hawa nafsu (kapati
amarsudi sudaning hawa lan nefsu), yang dijalani dengan bertapa (pinesu tapa brata). Ia berusaha membuat
senang hati orang lain dan dalam setiap pertemuan ia membuat suasana tenteram.
Di kala tiada kesibukan ia berkelana mencari ilham (kala kalaningasepi lelana teki-teki), untuk mencapai cita-cita (nggayuh geyonganing kayun), yang
terpesona pada ketenteraman hati (kayungyun
eninging tyas), senantiasa menjalani prihatin,
kuat dalam mengurangi makan dan tidur (puguh
panggah cegah dhahar lawan nendra). Setiap pergi meninggalkan istana, ia
berkelana ke tempat yang sunyi (lelana
laladan sepi) untuk menyerap kesempurnaan ilmu agar jelas apa yang dituju.
Tujuannya untuk mencapai kehalusan budi (budya
tulus) dan kemampuan yang optimal (mesu
reh kasudarman). Di tepi samodra (neng
tepining jalanidhi), ia memahami kekuasaan samodra, yang seakan
digenggamnya dalam satu genggaman. (Sinom bait ke 15-18).
f.
Petuah tentang tiga nilai yang mengangkat kedudukan manusia, yaitu pangkat,
harta, dan kepintaran (wirya harta tri
winasis). Jika seseorang tidak memiliki satu pun di antara ketiganya, maka
tidak ada artinya sebagai manusia,
bahkan lebih berharga daun jati kering, sehingga ia menjadi peminta-minta atau
gelandangan (kalamun kongsi sepi saka
wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa
papariman, ngulandara). (Sinom bait
ke 29)
g.
Ajaran bahwa ilmu itu dapat tercapai dengan diamalkan (ngelmu iku kelakone kanthi laku), yang dimulai dengan
kemauan kuat. Adapun budi yang baik akan mampu menghancurkan nafsu angkara yang berada di dalam diri
manusia itu sendiri (Pucung bait ke
33-34).
h.
Ajaran bahwa orang yang terpesona pada kehidupan ruhani (wus sengsem reh ngasamun), bersifat pemaaf dan sabar. Dalam sunyi, hati yang jahat dapat
ditenggelamkan oleh cinta kasih (karana
karoban ing sih) (Sinom bait ke
35-37).
i.
Pandangan bahwa ilmu itu harus sejalan dengan nalar (logika) (ngelmu iku mupakate lan panemu) dan
untuk mencapainya dengan bertapa (pasahe
lan tapa). (Sinom bait ke 42).
j.
Ajaran tentang tiga hal yang perlu dijadikan pegangan, yaitu: rela jika
kehilangan sesuatu, menerima dengan
sabar jika mendapat perlakuan yang menyakitkan hati, ikhas menyerahkan diri
pada Tuhan (lila lamun kelangan nora
gegetun, trima lamun ketaman saserik sameng dumadi, legawa nalangsa srah ing
bathara) (Sinom bait ke 43).
k.
Petuah tentang sifat-sifat
angkara, yang kesukaannya mencaci maki tanpa isi, asalkan marah-marah (kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung
janjine muring-muring), kesalahannya sendiri ditutupi, kemarahannya dilampiaskan untuk memukul orang lain, belum
seberapa ilmunya namun ingin dianggap pandai, itupun sering terhalang oleh
pamrih (Sinom bait ke 15-18).
l.
Untuk melaksanakan petuah-petuah dalam tembang ini, orang harus sentausa
dan teguh budinya. Demikian pula harus
sabar, tawakal, ikhlas di hati, rela dan menerima segala keadaan, berjiwa
pandhita, dan paham terhadap akhir dari hidup ini (Gambuh bait ke 73).
m.
Petuah agar segala tindak-tanduk dikerjakan sekedarnya (tidak berlebihan),
memberi maaf kesalahan orang kain (den
ngaksama kasisipaning sesami), menghindari tindakan tercela dan sifat
angkara (sumimpanga ing laku dur) (Gambuh bait ke 74).
n.
Petuah agar orang mampu membedakan antara baik dan buruk, agar terpancar
pelita yang menerangi hati (pandaming
kalbu) (Gambuh bait ke 75).
o.
Petuah agar dalam hidupnya, orang berbekal ingat dan waspada (eling lan waspada; awas lan eling).
Ingat yang dimaksud adalah ingat pada petunjuk atau contoh pelajaran yang
diberikan oleh alam (eling lukitaning
alam) (Kinanthi bait ke 83).
p.
Petuah agar mempertajam perasaan (angulah
lantiping ati) dan menyingkirkan hawa nafsu agar menjadi manusia yang
berbudi luhur (bengkas kahardaning driya,
supaya dadya utami) (Kinanthi bait
ke 84).
q.
Ajaran tentang cara mempertajam hati, yaitu dengan samadi di tempat yang
sunyi (pangasahe sepi samun). Ketajamannya
dapat mengikis gunung penghalang, yang menjadi penghalangnya budi (bengkas kahardaning driya, kekes
srabedaning budi) (Kinanthi bait
ke 85).
r.
Petuah agar waspada, artinya mengetahui penghalang dalam hidup (wruh warananing urip). Juga agar tidak
lengah dalam hati (aywa sembrana ing
kalbu) dan memperhatikan pada kata-kata yang diucapkan sendiri, menghilangkan keraguan dalam hati, dan waspada dalam
memandang sesuatu (waspada ing pangeksi) (Kinanthi bait ke 86-88).
s.
Petuah agar tidak membiasakan diri berbuat nista (awya mematuh nalutuh), hati-hati terhadap berbagai rintangan dalam
hidup. Umpama orang berjalan, jalan yang berbahaya dilalui, apabila kurang
waspad, dapat tertusuk duri (sayekti
kasandung ri) atau terantuk batu (Kinanthi
bait ke 88-90).
t.
Petuah agar tidak seperti diibaratkan ‘berobat sesudah terluka’ (atetamba yen wus bucik). Yang demikian
itu, meskipun orang mempunyai pengetahuan, tetapi tidak ada gunanya, sehingga
pengetahuannya hanya untuk
mencari nafkah dan pamrih (kawruhe
kinarya ngupaya kasil lan melik) (Kinanthi
bait ke 91-93).
u.
Ajaran bahwa syarat menjalani ilmu sejati (lakune ngelmu sejati) adalah tidak iri dan dengki (tan dahwen pati openan), tidak berhati panas (tan panasten), tidak mengganggu orang
lain (nora jail), tidak melampiaskan
hawa nafsu (tan njurung ing kahardan), namun
hanyalah diam agar tenang (amung eneng
amrih ening) (Kinanthi bait ke
94).
v.
Petuah agar mengikuti kebaikan-kebaikan yang telah diajarkan itu sebagai langkah
mencapai kemuliaan. Meskipun tidak
mampu untuk persis, tetapi harus ikhtiar semampunya. Jika tidak demikian
berarti sungguh rugi hidup ini (yekti
tuna tinitah) (Kinanthi bait ke
99-100).
Berdasar uraian tersebut tampak bahwa Serat Wedhatama menekankan pentingnya
pendidikan bagi setiap orang. Sebagaimana ajaran-ajaran dalam kultur Jawa,
termasuk dalam Serat Wulang Reh,
pendidikan yang dimaksud lebih menekankan pada pengembangan hati, rasa, emosionalitas,
atau bahkan spiritualitas. Hal itu terungkap pada pesan agar: mempertajam
perasaan (angulah lantiping ati), menyingkirkan hawa nafsu agar menjadi manusia
yang berbudi luhur (bengkas kahardaning
driya, supaya dadya utami), dan jangan menjadi orang yang lemah budinya dan
tumpul perasaannya (tan mikani rasa).
Serat Wedhatama memberi pujian pada orang yang terpesona pada kehidupan
ruhani (wus sengsem reh ngasamun), yang
sifatnya pemaaf dan sabar. Sebagaimana ajaran Serat Wulang Reh, pengembangan hati,
rasa, emosionalitas, atau bahkan spiritualitas itu akan menghasilan ‘ilmu
sejati’, yang membuat nyaman di hati. Orang yang telah memiliki ilmu ini akan
menerima dengan senang hati jika dianggap bodoh (bungah ingaran cubluk) dan tetap gembira jika dihina (sukeng tyas yen den ina).
Namun demikian, Serat
Wedhatama juga menekankan pentingnya pengembangan akal, pikiran,
rasionalitas, atau intelektualitas. Hal itu terungkap pada pesan agar: jangan
sampai hidup yang hanya sekali ini berantakan (uripe sepisan rusak), yaitu orang yang pikirannya tidak berkembang
dan kacau (nora mulur nalare pating
seluwir), ibarat dalam gua yang gelap (kadi
ta guwa kang sirung), sehingga picik pengetahuannya. Pandangan bahwa ilmu
itu harus sejalan dengan pendapat akal sehat (nalar, logika) (ngelmu iku mupakate lan panemu).
Tentang etos belajar (menuntut ilmu), terutama “ilmu
sejati’ yaitu dengan samadi di tempat yang sunyi (pangasahe sepi samun) atau dengan bertapa (pasahe lan tapa). Dalam sunyi, hati yang jahat dapat
ditenggelamkan oleh cinta kasih (karana
karoban ing sih) Oleh karena itu, pencapaian ilmu itu harus dijalani dengan
suatu proses (ngelmu iku kelakone kanthi
laku) dan dimulai dengan kemauan kuat (lekase
klawan kas). Syarat untuk menjalani ilmu sejati (lakune ngelmu sejati) adalah tidak iri dan dengki (tan dahwen pati openan), tidak berhati
panas (tan panasten), tidak
mengganggu orang lain (nora jail),
tidak melampiaskan hawa nafsu (tan
njurung ing kahardan), tetapi lebih menyukai diam agar tenang (amung eneng amrih ening). Untuk itu
dianjurkan agar berguru pada orang bijak yang berjiwa pertapa (sarjana kang martapi). Orang hendaknya
tidak menggunakan pengetahuannya semata-mata hanya untuk mencari nafkah dan
pamrih (kawruhe kinarya ngupaya kasil lan
melik).
Serat Wedhatama mengajarkan tiga hal yang perlu dijadikan pegangan,
yaitu: rela jika kehilangan sesuatu (lila
lamun kelangan nora gegetun), menerima dengan sabar jika mendapat perlakuan
yang menyakitkan hati (trima lamun
ketaman saserik sameng dumadi), ikhas menyerahkan diri pada Tuhan (legawa nalangsa srah ing bathara).
Serat
Wedhatama mengajarkan tiga nilai yang mengangkat kedudukan manusia,
yaitu pangkat, harta, dan kepintaran (wirya
harta tri winasis). Jika seseorang tidak memiliki satu pun di antara
ketiganya, maka tidak ada artinya sebagai manusia, bahkan lebih berharga daun
jati kering, sehingga ia menjadi peminta-minta atau gelandangan (kalamun kongsi sepi saka wilangan tetelu,
telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman,
ngulandara).
Serat Wedhatama mengajarkan agar
dalam hidupnya, orang berbekal ingat dan waspada (eling lan waspada; awas lan eling). Ingat yang dimaksud adalah
ingat pada petunjuk atau pelajaran yang diberikan oleh alam (eling lukitaning alam). Adapaun maksud
waspada adalah mengetahui penghalang dalam hidup (wruh warananing urip), tidak lengah dalam hati (aywa sembrana ing kalbu) dan
memperhatikan pada kata-kata yang diucapkan sendiri, menghilangkan keraguan
dalam hati, dan waspada dalam memandang sesuatu (waspada ing pangeksi). Orang jangan sampai diibaratkan ‘berobat
sesudah terluka’ (atetamba yen wus
bucik). Yang demikian itu, meskipun orang mempunyai pengetahuan, tetapi
tidak ada gunanya.
Serat
Wedhatama mengajarkan agar segala tindak-tanduknya tidak
berlebihan, memberi maaf kesalahan orang kain (den ngaksama kasisipaning sesami), menghindari tindakan tercela
dan sifat angkara (sumimpanga ing laku dur). Orang juga
harus mampu membedakan antara baik dan buruk, agar terpancar pelita yang
menerangi hati (pandaming kalbu).
Juga dipesankan agar orang mengikuti
kebaikan-kebaikan yang telah diajarkan dalam buku itu sebagai langkah mencapai
kemuliaan. Meskipun tidak mampu untuk persis, tetapi harus berikhtiar
semampunya. Jika tidak demikian berarti sungguh rugi hidup ini (yekti tuna tinitah).
Serat Wedhatama mengajarkan agar orang menghindari sifat-sifat angkara
dan perbuatan nista (awya mematuh
nalutuh). Sifat angkara itu suka mencaci maki tanpa isi, asalkan marah-marah
(kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung
janjine muring-muring) dan
kemarahannya dilampiaskan untuk
memukul orang lain.
Serat
Wedhatama memberikan contoh sosok Panembahan Senopati, raja
Mataram pertama (wong agung ing
Ngeksiganda), sebagai modeliing dalam
model nuntut ngelmu dan tingkah laku yang terpuji (laku utama). Bait ini cukup
populer di kalangan masyarakat Jawa. Panembahan Senopati digambarkan sebagai
pribadi yang sungguh-sungguh dalam menekan hawa nafsu (kapati amarsudi sudaning hawa lan nefsu), yang dijalani dengan
bertapa (pinesu tapa brata). Ia
berusaha membuat senang hati orang lain dan dalam setiap pertemuan ia membuat
suasana tenteram. Di kala tiada kesibukan ia berkelana mencari ilham (kala kalaningasepi lelana teki-teki),
untuk mencapai cita-cita (nggayuh
geyonganing kayun), yang terpesona pada ketenteraman hati (kayungyun eninging tyas), senantiasa
menjalani prihatin, kuat dalam
mengurangi makan dan tidur (puguh panggah
cegah dhahar lawan nendra). Setiap pergi meninggalkan istana, ia berkelana
ke tempat yang sunyi (lelana laladan
sepi) untuk menyerap kesempurnaan ilmu agar jelas apa yang dituju.
Tujuannya untuk mencapai kehalusan budi (budya
tulus) dan kemampuan yang optimal (mesu
reh kasudarman). Di tepi samodra (neng
tepining jalanidhi), ia memahami kekuatan samodra, yang baginya seakan
digenggamnya dalam satu genggaman.
2.
Etika Sosial
Kandungan nilai-nilai model nuntut ngelmu yang terkait
dengan etika sosial adalah beberapa ajaran atau petuah sebagai berikut:
a.
Jangan sampai bertindak kurang sopan santun dalam pertemuan, sehingga
memalukan (gonyak-ganyuk nglelingsemi) (Pangkur
bait ke 2).
b.
Jangan bertindak semaunya sendiri (nggugu
karepe priyangga). Sifatnya, jika berbicara tanpa dipikirkan lebih dahulu,
tidak mau dianggap bodoh, dan mabuk pujian (Pangkur
bait ke 3-4).
c.
Jangan berperilaku seperti perilakunya orang yang dungu, yang bualannya
tidak karuan dan tidak masuk akal (ngandhar-andhar
angendhukur, kandhane nora kaprah). Orang yang dungu itu selalu sombong (anggung gumrunggung) dan ingin dipuji setiap hari (ugungan sedina-dina) Sebaliknya, jadilah orang yang bijaksana, yang dalam menanggapi
orang yang dungu dengan cara yang halus (sinamun
ing samudana) dan baik (sesadon ing adu manis) (Pangkur bait ke 3-5).
d.
Namun berantakan (uripe
sepisan rusak). Orang yang demikian, pikirannya tidak berkembang dan kacau (nora mulur nalare pating seluwir),
ibarat dalam gua yang gelap (kadi ta guwa
kang sirung), picik pengetahuannya, namun sombong. Anak yang demikian,
wataknya tampak ketika bertutur kata, tak mau kalah (lumuh asor kudu unggul), sombong dan meremehkan orang lain (sumengah sesongaran).(Pangkur bait ke 6-8)
e.
Petuah agar berguru tentang kebaikan (puruita
kang patut), serta dapat menempatkan diri (traping angganira) dan mematuhi tatanan negara (angger ugering keprabon) (Pangkur bait ke 10-11).
f.
Ajaran bahwa budi yang baik itu biasanya pandai bergaul dengan berbagai
kalangan (bangkit ajur ajer).
Meskipun pengetahuannya yang benar berbeda dengan pendapat orang lain, ia
bersikap baik, sekedar untuk menyenangkan hati orang lain (mung ngenaki tyasing lyan). Oleh karena itu hendaknya dapat
berpura-pura bodoh (den bisa mbusuki
ujaring janmi). (Kinanthi bait ke
95-98).
Serat
Wedhatama mengajarkan agar orang jangan sampai bertindak kurang
sopan santun dalam pertemuan, sehingga memalukan (gonyak-ganyuk
nglelingsemi). Demikian juga, jangan bertindak semaunya sendiri (nggugu karepe priyangga). Sifatnya,
jika berbicara tanpa dipikirkan lebih dahulu, tidak mau dianggap bodoh, dan
mabuk pujian. Orang harus dapat menempatkan diri (traping angganira) dan mematuhi tatanan negara (angger ugering keprabon).
Dalam pandangan Serat
Wedhatama, orang yang baik budinya itu biasanya pandai bergaul dengan
berbagai kalangan (bangkit ajur ajer). Meskipun
pengetahuannya benar dan berbeda dengan pendapat orang lain, ia bersikap baik,
sekedar untuk menyenangkan hati orang lain (mung
ngenaki tyasing lyan). Oleh karena itu kadang kala ia berpura-pura bodoh (den bisa mbusuki ujaring janmi). Orang yang bijaksana akan
menanggapi orang yang dungu dengan cara yang halus (sinamun ing samudana) dan
baik (sesadon ing adu manis).
Serat
Wedhatama mengajarkan agar jangan berperilaku seperti perilakunya orang yang
dungu, yang bualannya tidak karuan
dan tidak masuk akal (ngandhar-andhar
angendhukur, kandhane nora kaprah). Orang yang dungu itu suka sombong (anggung gumrunggung) dan ingin dipuji
setiap hari (ugungan sedina-dina). Orang
yang picik pengetahuannya, namun sombong, wataknya tampak ketika bertutur kata,
tak mau kalah (lumuh asor kudu unggul),
dan meremehkan orang lain (sumengah
sesongaran).
3.
Etika terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Kandungan nilai-nilai model nuntut ngelmu yang terkait dengan etika
terhadap Tuhan adalah beberapa ajaran atau petuah sebagai berikut:
a.
Serat Wedhatama mengajarkan bahwa agama merupakan pegangan hidup yang berharga (agama ageming aji) (Pangkur
bait ke 1).
b.
Ajaran tentang sebutan “orang tua” (wong tuwa, wong sepuh).Dia adalah orang
yang memahami wahyu Allah, menguasai ilmu kesempurnaan, serta memahami makna
dwitunggal (roroning atunggil, yaitu makhluk dan Khalik, titah dan yang menitahkan). Orang disebut “orang tua” bila
ia tidak dikuasai hawa nafsu (lire sepuh
sepi hawa) (Pangkur bait ke 12).
c.
Ajaran tentang pemahaman terhadap sukma (roh, namun ada yang memaknai
Tuhan) (tan samar pamoring sukma).
Caranya dengan diresapi dan direnungkan di kala sepi (sinuksmaya winahya ing asepi), di simpan di lubuk hati (sinimpen telenging kalbu), dalam
keadaan antara sadar dan tidak sadar, bagaikan mimpi. Dalam kondisi demikian
itu lah hadirnya rasa yang sejati. Jika mampu mencapainya, ia telah mendapatkan
anugerah Tuhan. Ia mampu mencapai alam kosong (bali alaming ngasuwung), kembali ke asal mula (mulih mula mulanira), tidak mabuk dunia yang sifatnya
kuasa-menguasai (Pangkur bait ke 13-14).
d.
Ajaran tentang corak keislaman yang tidak begitu islami. Hal itu tampak
pada sindiran terhadap anak muda yang dianggap suka meniru Nabi (manulad nelad Nabi), hanya untuk pamer,
sebelum bekerja singgah dahulu di masjid (saben
seba mampir mesjid). Bagi pengarang, anak muda seperti itu hanya berkutat
pada syariat dan tidak sampai pada hakikat (anggung
anggubel sarengat, saringane tan den wruhi). Bahkan terungkap sinisme, jika
berkhotbah berirama Dandanggula gaya palaran (kalamun maca kotbah, lelagone
Dandanggendis, swara arum ngumandang cengkok palaran). Ia menghendaki
keislaman yang tidak mendalam (sathitihik
bae wus cukup), jangan bersemangat meniru ahli fikih (nelad kas ngepleki pekih) (Sinom
bait ke 22-24).
e.
Ajaran yang cenderung pada pragmatisme,
yaitu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi pengarang, dari pada
mendalami agama, lebih baik mencari nafkah (ngupa
boga). Berhubung ditakdirkan sebagai orang lemah, lebih baik mengabdi raja,
bertani, atau berdagang (suwiteng nata,
tani tanapi agrami). Dengan nada sarkastis terhadap diri sendiri, ia
memberi alasan “ini karena saya orang bodoh, belum tahu cara hidup orang Arab” (padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara
Arab). Ia pernah menghadapi dilema, antara mengutamakan perintah agama atau
pekerjaan (bot Allah apa Gusti,
tambuh-tambuh solah ingsun). Pada masa mudanya ia rajin beribadah dan dalam
hatinya ada perasaan takut menghadapi hari akhir (sawadine tyas mami, banget wedine ing mbesuk, pranatan ngakir jaman).
Akan tetapi hal itu terhenti, karena alasan pekerjaan. Tidak sempat sembahyang,
karena ketika dipanggil yang memberi makan, jika tidak segera menghadap akan
dimarahi (nora kober sembahyang, gya
tinimbalan, marang ingkang asung pangan, yen kesuwen den dukani) (Sinom bait ke 25-28).
f.
Ajaran tentang samadi atau meditasi, sehingga seseorang mampu melihat
hakikat pribadinya sendiri secara jelas (wosing jiwangga melok tanpa aling-aling), serta
menerawang keadaan yang seakan tanpa batas (angelangut
tanpa tepi). Demikian itu manusia yang luhur, gemar menyepi (tuman tumanem ing sepi), mempertajam dan membersihkan jiwa (masah amemasuh budi), namun secara
lahiriah tetap menjalankan tugas kewajibannya, bersikap rendah hati, dan
senantiasa membuat senang hati orang lain (Sinom
bait ke 30-32).
g.
Ajaran bahwa orang yang terpesona pada kehidupan ruhani (wus sengsem reh ngasamun), bersifat
pemaaf dan sabar. Dalam sunyi, hati yang
jahat dapat ditenggelamkan oleh cinta kasih (karana
karoban ing sih) (Pucung bait ke
35-37).
h.
Pandangan yang bernada sarkastis terhadap praktik keislaman kalangan muda,
dengan ucapan: belum mampu tetapi berani memaknai lafadz seperti sayid dari
Mesir (durung pecus keselak besus,
amaknani rapal kaya sayid seka Mesir), aneh, tidak suka ke-Jawa-annya,
memaksa diri mencari pengetahuan di Mekah (elok
Jawane den mohi, paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekah). Sedangkan
inti pengetahuan yang dicari itu ada pada diri sendiri. Asal mau berikhtiar, di
sana dan di sini (Jawa) tidak berbeda (Pucung
bait ke 38-41).
i.
Pandangan sepintas tentang teologi yang bersifat mistis, kurang relevan
dengan nilai-nilai model nuntut ngelmu (Pucung
bait ke 44).
j.
Ajaran tentang empat macam sembah (sembah
catur), yaitu sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Ajaran sembah raga yang dianggap sebagai tahapan akan memulai
perjalanan (semacam thariqat) (amagang laku). Pembersihannya dengan
air sebagaimana bersuci sebelum shalat lima kali sehari (sesucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu). Pada
tahapan ini, orang tergesa-gesa ingin melihat cahaya Tuhan (kesusu arsa weruh, pan cahyaning Hyang), tetapi belum mampu.
Tahapan ini disebut syariat, ritualnya dilakukan dengan tetap dan tekun. Ajaran sembah kalbu (cipta) yang jika dilakukan secara
terus-menerus akan menjadi ritual (laku).
Pembersihannya tanpa air, melainkan dengan mengendalikan hawa nafsu (sesucine tanpa banyu, hamung nyuda mring hardaning kalbu). Jika
dilakukan dengan baik, orang akan berada pada suasana batin yang remang-remang
atau sayup-sayup (tumalawung) dan
terbukanya alam yang di atas. Pada tahapan ini syaratnya adalah sabar dalam
segala tindakan dan terlaksananya dengan tenang, jernih, dan sadar (eneng, ening, eling). Ajaran sembah sukma, yaitu sembah yang
dilakukan setiap saat dan merupakan perjalanan (ritual) terakhir (pepuntoning laku). Pembersihannya
dengan waspada dan ingat (sadar) (awas,
emut). Pemeliharaannya dengan membiasakan diri untuk menguasai dan
merangkul tiga alam (yang dimaksud adalah: alam fisik, alam rasa, dan alam
angan-angan). Selain itu, makrokosmos (jagad
agung) digulung ke dalam mikrokosmos (jagad
alit). Ajaran sembah rasa, yang
dengan sembah ini akan mampu memahami hakikat (makna terdalam) dari kehidupan (sembah rasa karasa wosing dumadi).
Tercapainya tanpa petunjuk, hanya dengan kesentausaan batin. Di sini tidak ada
lagi was-was dan keragu-raguan, hanya percaya sepenuhnya pada takdir (wus ilang sumelanging kalbu, amung kandel
kumandel ing takdir). Dipesankan agar jika belum mampu sampai pada tahapan
ini jangan mengaku telah mampu, sebab akan mendapat laknat (Gambuh bait ke 48-72).
E. Serat Wedhathama
dan Relevansinya dengan Nilai-Nilai Ajaran Islam
Dalam bait
yang cukup populer, Serat Wedhatama mengajarkan
bahwa agama merupakan pegangan hidup yang berharga (agama ageming aji). Namun pandangan keagamaannya bersifat mistis,
pandangan keagamaan khas Jawa yang kerap kali menggunakan term-term Islam. Hal
itu tampak pada ajaran tentang empat macam sembah (sembah catur), yaitu sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Dengan
sembah rasa, orang akan mampu memahami hakikat (makna terdalam) dari kehidupan (sembah rasa karasa wosing dumadi).
Tercapainya tanpa petunjuk, hanya dengan kesentausaan batin. Di sini tidak ada
lagi was-was dan keragu-raguan, hanya percaya sepenuhnya pada takdir (wus ilang sumelanging kalbu, amung kandel
kumandel ing takdir). Ajaran yang bersifat mistis itu juga tampak pada
ungkapan tentang ilmu kesempurnaan yang mengajarkan makna dwitunggal (roroning atunggil, yaitu makhluk dan Khalik, titah dan yang menitahkan).
Serat Wedhatama mengajarkan tentang
pemahaman terhadap sukma (roh, namun ada yang memaknai Tuhan) (tan samar pamoring sukma). Caranya
dengan diresapi dan direnungkan di kala sepi (sinuksmaya winahya ing asepi), di simpan di lubuk hati (sinimpen telenging kalbu), dalam
keadaan antara sadar dan tidak sadar, bagaikan mimpi. Dalam kondisi demikian
itu lah hadirnya rasa yang sejati. Jika mampu mencapainya, ia telah mendapatkan
anugerah Tuhan. Ia mampu mencapai alam kosong (bali alaming ngasuwung), kembali ke asal mula (mulih mula mulanira), tidak mabuk dunia yang sifatnya
kuasa-menguasai.
Serat
Wedhatama mengajarkan tentang samadi atau meditasi, sehingga
seseorang mampu melihat hakikat pribadinya sendiri secara jelas (wosing
jiwangga melok tanpa aling-aling), serta menerawang keadaan yang seakan
tanpa batas (angelangut tanpa tepi).
Manusia yang luhur gemar menyepi (tuman
tumanem ing sepi), mempertajam dan membersihkan jiwa (masah amemasuh budi), namun secara lahiriah tetap menjalankan
tugas kewajibannya, bersikap rendah hati, dan senantiasa membuat senang hati orang lain.
Namun dalam beberapa hal, Serat Wedhatama ada juga tampak kurang sepaham dengan corak keislaman yang islami. Hal itu tampak
pada sindiran terhadap anak muda yang dianggap suka meniru Nabi (manulad nelad Nabi), hanya untuk pamer,
sebelum bekerja singgah dahulu di masjid (saben
seba mampir mesjid). Anak muda seperti itu katanya hanya berkutat pada
syariat dan tidak sampai pada hakikat (anggung
anggubel sarengat, saringane tan den wruhi). Bahkan terungkap sinisme, jika
berkhotbah berirama Dandanggula gaya palaran (kalamun maca kotbah, lelagone
Dandanggendis, swara arum ngumandang cengkok palaran). Ia menghendaki
keislaman yang tidak mendalam (sathitihik
bae wus cukup), jangan bersemangat meniru ahli fikih (nelad kas ngepleki pekih).
Pandangan yang bernada sarkastis terhadap praktik
keislaman kalangan muda, dengan ungkapan: belum mampu tetapi berani memaknai lafadz seperti sayid dari
Mesir (durung pecus keselak besus,
amaknani rapal kaya sayid seka Mesir), aneh, tidak suka ke-Jawa-annya,
memaksa diri mencari pengetahuan di Mekah (elok
Jawane den mohi, paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekah). Sedangkan,
katanya, inti pengetahuan yang dicari itu ada pada diri sendiri. Asal mau
berikhtiar, di sana dan di sini (Jawa) tidak berbeda.
Serat
Wedhatama bahkan mengemukakan ajaran yang cenderung pada pragmatisme. Hal
itu tampak pada pesan yang menyatakan bahwa dari pada mendalami agama, lebih
baik mencari nafkah (ngupa boga). Berhubung
ditakdirkan sebagai orang lemah, lebih baik mengabdi raja, bertani, atau
berdagang (suwiteng nata, tani tanapi
agrami). Dengan nada sarkastis terhadap diri sendiri, pengarang memberi
alasan “ini karena saya orang bodoh, belum tahu cara hidup orang Arab” (padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara
Arab). Ia pernah menghadapi dilema, antara mengutamakan perintah agama atau
pekerjaan (bot Allah apa Gusti,
tambuh-tambuh solah ingsun). Pada masa mudanya ia rajin beribadah dan dalam
hatinya ada perasaan takut menghadapi hari akhir (sawadine tyas mami, banget wedine ing mbesuk, pranatan ngakir jaman).
Akan tetapi hal itu terhenti, karena alasan pekerjaan. Tidak sempat sembahyang,
karena ketika dipanggil yang memberi makan, jika tidak segera menghadap akan
dimarahi (nora kober sembahyang, gya
tinimbalan, marang ingkang asung pangan, yen kesuwen den dukani).
Dalam serat wedhatama, menyebutkan, Setiap manusia wajib untuk menuntut
ilmu. Menuntut ilmu itu bukan hanya bagi anak-anak dan pemuda saja. Bahkan
orang tua pun wajib untuk menuntut ilmu.
Di serat Wedhatama bagian awal karya KGPAA Mangkunegoro IV, kita diingatkan
untuk senantiasa tidak jemu-jemu ngelmu sejati. Ngelmu sejati seperti apa itu?
Ngelmu sejati adalah untuk senantiasa mendekatkan diri pada Gusti Allah. Karena
pada hakekatnya kita semua nantinya akan kembali kepada-NYA. Disamping itu, KGPAA Mangkunegoro IV juga
menjelaskan perbedaan sifat-sifat dan tanda dari orang yang berilmu dalam
kehidupan sehari-hari dengan orang yang tidak berilmu.
Untuk lebih jelasnya, silakan menyimak ajaran dari KGPAA Mangkunegoro IV
lewat arti dari serat Wedhatama Pupuh I Pangkur.
PUPUH IP A N G K U R
01
Mingkar-mingkuring ukara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung,kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.
(Meredam nafsu angkara dalam diri, Hendak berkenan mendidik putra-putri, Tersirat dalam indahnya tembang, dihias penuh variasi, agar menjiwai hakekat ilmu luhur, yang ada di tanah Jawa (nusantara), agama hanyalah “pakaian” kehidupan.)
02
Jinejer ing Weddhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi,mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun,samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi.
(Disajikan dalam serat Wedhatama,agar jangan miskin pengetahuan walaupun sudah tua pikun jika tidak memahami rasa sejati (batin) niscaya kosong tiada berguna bagai ampas, percuma sia-sia,di dalam setiap pergaulan sering bertindak ceroboh memalukan.)
03
Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah lamun angling,lumuh ingaran balilu, uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun samudana, sesadoning adu manis .
(Mengikuti kemauan sendiri, Bila berkata tanpa dipertimbangkan (asal bunyi), Namun tak mau dianggap bodoh,Selalu berharap dipuji-puji. (sebaliknya) Ciri orang yang sudah memahami (ilmu sejati) tak bisa ditebak berwatak rendah hati,selalu berprasangka baik.)
04
Si pengung nora nglegewa, sangsayarda denira cacariwis, ngandhar-andhar angendukur, kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkangipun, si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang sipingging.
(Si dungu tidak menyadari,Bualannya semakin menjadi-jadi,ngelantur bicara yang tidak-tidak,Bicaranya tidak masuk akal,makin aneh tak ada jedanya. Lain halnya, Si Pandai cermat dan mengalah, Menutupi aib si bodoh.)
05
Mangkono ilmu kang nyata, sanyatane mung we reseping ati,bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina dina, aja mangkono wong urip.
(Demikianlah ilmu yang nyata, kenyataannya memberikan ketentraman hati, Tidak sedih dibilang bodoh, Tetap gembira jika dihina. Tidak seperti si dungu yang selalu sombong, Ingin dipuji setiap hari. Janganlah begitu caranya orang hidup.)
06
Uripa sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung, sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.
(Hidup sekali saja berantakan, Tidak berkembang, pola pikirnya carut marut. Umpama goa gelap menyeramkan, Dihembus angin, Suaranya gemuruh menggeram, berdengung Seperti halnya watak anak muda yang masih pula berlagak congkak)
07
Kikisane mung sapala, palayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama, nggon-anggon agama suci.
(Tujuan hidupnya begitu rendah, Maunya mengandalkan orang tuanya,Yang terpandang serta bangsawan. Itu kan ayahmu! Sedangkan kamu saja belum kenal, akan hakikatnya tata krama dalam ajaran yang suci)
08
Socaning jiwangganira, jer katara lamun pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumengah sesongaran,yen mangkono kena ingaran katungkul, karem ing reh kaprawiran, nora enak iku kaki.
(Cerminan dari dalam jiwa raga mu, Nampak jelas walau tutur kata halus, Sifat pantang kalah maunya menang sendiri Sombong besar mulut Bila demikian itu, disebut orang yang terlena Puas diri berlagak tinggi. Tidak baik itu nak!)
09
Kekerane ngelmu karang, kakarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengkok pancabaya,ubayane mbalenjani.
(Di dalam ilmu yang dikarang-karang (sihir/rekayasa). Rekayasa dari hal-hal gaib Itu umpama bedak. Tidak meresap ke dalam jasad, Hanya ada di kulitnya saja nak Bila terbentur marabahaya, bisanya menghindari.)
10
Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha tyas basuki, puruitaa kang patut, lan traping angganira, Ana uga angger ugering kaprabun, abon aboning panembah, kang kambah ing siang ratri.
(Karena itu sebisanya,Upayakan selalu berhati baik. Bergurulah secara tepat Yang sesuai dengan dirimu, Ada juga peraturan dan pedoman bernegara, Menjadi syarat bagi yang berbakti,yang berlaku siang malam.)
11
Iku kaki takokena, marang para sarjana kang martapi, mring tapaking tepa tulus, kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh sanjataning ngelmu, tan mesthi neng janma wreda, tuwin muda sudra kaki.
(Itulah nak, tanyakan Kepada para sarjana yang menimba ilmu jejak hidup para suri tauladan yang benar, dapat menahan hawa Nafsu Pengetahuanmu adalah senjatanya ilmu, Yang tidak harus dikuasai orang tua, Bisa juga bagi yang muda atau miskin, nak!)
12
Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga, Yen mangkono kena sinebut wong sepuh, liring sepuh sepi hawa, awas roroning ngatunggil.
(Siapapun yang menerima wahyu Tuhan, Dengan cermat mencerna ilmu tinggi, Mampu menguasai ilmu kasampurnan, Kesempurnaan jiwa raga, Bila demikian pantas disebut “orang tua”. Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu. Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan)
13
Tan samar pamoring Sukma, sinukma ya winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, Pambukaning waana, tarlen saking liyep layaping ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping rasa jati.
(Tidaklah samar menyatunya sukma, meresap terpatri dalam keheningan semadi, Diendapkan dalam lubuk hati menjadi pembuka tabir, berawal dari keadaan antara sadar dan tiada, Seperti terlepasnya mimpi Merasuknya rasa yang sejati.)
14
Sajatine kang mangkono, wus kakenan nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung, tan karem karamean, ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wong anom sami.
(Sebenarnya ke-ada-an itu merupakan anugrah Tuhan, Kembali ke alam yang kosong, tidak mengumbar nafsu duniawi, yang bersifat kuasa menguasai. Kembali keasal muasalmu, wahai anak muda)
F.
Kesimpulan
1.
Serat Wedhatama merupakan
karya sastra yang ditulis dalam bentuk tembang, yang dikategorikan dalam jenis
tembang macapat. Adapun macamnya
terdiri dari lima macam tembang (pupuh) serta
jumlah pada/baitnya adalah : (1)
Pangkur, terdiri 14 pada/bait; (2) Sinom, terdiri 18 pada/bait; (3) Pucung, terdiri 16 pada/bait. Serat Wedhatama adalah
karya KPAA Mangkunegara IV (1811-1881, bertahta 1853).
2.
Serat Wedhatama berisi
nilai-nilai Konsep
Tujuan Mencari Ngelmu yang tidak lain
adalah tuntunan moral atau budi pekerti. yang dapat diklasifikasikan sebagai
etika pribadi, etika sosial, dan etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
3.
Serat Wedhatama sebagian besar
sesuai dengan semangat Islam, karena ruhnya memiliki nilai sebagai mana nilai
yang Islam ajarkan walaupun dengan beberapa pengecualian
--------o0o---------
[1] Terjemahannya: Ilmu
itu, harus diperoleh melalui laku (belajar) Dalam belajar niatnya harus kuat dan mantap
Sabar tawakal untuk menghancurkan sifat
angkara murka Anonim. Wedhatama
Winardi. (Surabaya:
Penerbit Citra Jaya Murti, 1993).hal. 21
[2]
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren
Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 52.