CORAK MODERNISME PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
(Sebuah Kajian Metodologis)
Ahmad Syafii Rahman[1]
Pendahuluan
Gagasan
dan atau gerakan untuk memformulasikan fiqh atau hukum Islam khas
Indonesia–telah dirintis bersamaan dengan pembaharuan pemikiran Islam secara
keseluruhan. Namun, sejauh ini perhatian yang relatif menyeluruh dan berdiri
sendiri terhadap kecenderungan pemikiran pembaharuan hukum kebanyakan masih
didekati secara parsial. Sementara kajian terhadap pembaharuan pemikiran Islam
yang telah dilakukan banyak sarjana, baik Indonesia maupun luar Indonesia,
relatif berkembang subur.[2]
Para
pemikir dan pengamat yang menaruh perhatian terhadap masalah ini di antaranya
adalah Munawir Sjadzali dan Ibrahim Hosen dari kelompok modernis, serta
Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, dan Sahal Mahfudh dari kelompok tradisional. Identifikasi memang tidak selalu tepat.
Namun, dari latar belakang sarjana dan pesantren barang kali relatif mendekati.
Sebab, Abdurrahman Wahid misalnya, adalah pemikir pembaharuan yang pernah
kuliah di Baghdad dan al-Azhar.[3]
Pemikiran
tentang perlunya pembaharuan Hukum Islam sebelum periode mereka, yang disebut
di atas, dengan konsisten dan concern yang tinggi dilakukan Prof. Hasby
Ash-Shiddieqy dan Hazairin.[4] Kedua tokoh ini melakukan pendekatan yang
berbeda. Jika Hasby lebih mengacu kepada kemampuan metodologi Hukum Islam yang
dirintis para ulama terdahulu.[5]
Sementara
itu, Hazairin cenderung menginginkan konstionalisasi Hukum Islam. Ia mengacu
kepada “semangat” Piagam Jakarta dengan melakukan interpretasi baru terhadap
teks-teks ayat al-Qur’an atau al-Sunnah. Ini dapat dilihat misalnya, dalam
bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith yang
memberikan gambaran dari pendekatan yang dilakukannya.[6]
Gagasan-gagasan
yang dikembangkan mereka, yang pada awalnya tidak mendapat respon, setelah
melalui perjuangan panjang dan dimatangkan oleh para sarjana dan ulama
sesudahnya, akhirnya membuahkan hasil. Bagaimanapun juga Hukum Islam tidak sama
sebangun dengan syari’ah. Ungkapan al-Syarai’ mutahaddidah wa al-waqai’
mutajaddidah (syari’at itu terbatas dan peristiwa-peristiwa akan selalu
baru), menunjukkan bahwa jika Hukum Islam diharapkan dapat merespon modernisasi
dengan segala dampaknya, maka reinterpretasi dan reformulasi tidak bisa
dihindarkan.[7]
Tentu
saja tidak bisa dilupakan kontribusi pemikiran para pemerhati Hukum Islam
sesudahnya seperti Munawir Sjadzali, Ibrahim Hosen, Ali Yafie, Sahal Mahfudh,
dan lain-lain. Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan misalnya,
merupakan model pembaharuan dalam Hukum Perkawinan. Demikian juga Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Hanya saja, ketika masalah ini dibicarakan –yang terbatas pada
aspek-aspek Hukum keluarga atau al-ahwal al-syakhsiyah– terasa bahwa
Hukum Islam yang berkembang menjadi sangat sempit. Padahal sesungguhnya ruang
lingkup dan cakupan Hukum Islam sangat luas, meliputi berbagai aspek kehidupan
manusia.[8]
Di
antara penyebabnya adalah persepsi sebagian umat Islam terhadap produk Hukum
Islam, yang masih sering mengidentikkan fiqh dan syari’ah. Sebagaimana diketahui,
ragam produk pemikiran hukum Islam ada empat macam.[9] Pertama, fiqh, yaitu bangunan pengetahuan keislaman yang meliputi ibadah dan muamalah
secara menyeluruh. Fiqh, karena sifatnya yang menyeluruh dan umumnya telah
ditulis pada akhir abad II dan awal abad III H, dalam beberapa segi telah
kehilangan atau kekurangan relevansi dalam mengantisipasi persoalan kekinian
dan kemodernan.[10]
Kedua,
fatwa, yaitu produk pemikiran hukum
perorangan kelembagaan, atas dasar permintaan anggota masyarakat
terhadap persoalan-persoalan tertentu. Sebagai fatwa, ia tidak memiliki daya
ikat termsuk kepada peminta fatwa. Meskipun demikian, sifatnya kasuistik. Fatwa
memiliki dinamika relatif tinggi dibanding dengan fiqh.[11]
Ketiga,
keputusan pengadilan. Produk hukum ini bersifat mengikat pihak-pihak yang
berperkara. Sebagai hasil ijtihad hakim, ia memiliki nilai yurisprudensi, yakni
sebagai acuan hakim atau praktisi hukum, dalam menyelesaikan persoalan yang
sama.[12]
Keempat, peraturan perundang-undangan termasuk di
dalamnya kompilasi. Sebagai pengejawantahan dari konsep taqnin ia
memiliki keterbatasan, cakupan materi yang dimuat terbatas, seperti Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia. Ia hanya mencakup bidang-bidang Hukum Perkawinan,
Kewarisan, dan Perwakafan serta hal-hal khusus yang berkait erat seperti wasiat,
hibah, dan sadaqah.[13]
Pembahartan
pemikiran dan formulasi yang ditawarkan misalnya dari kelompok modernis
Munawair Sjadzali, Nurcholish Madjid, Rachmat Djatnika, Quraish Shihab, Masdar
F. Mas’udi, dan dari kalangan Ulama; Ibrahim Husein, Azhar Basyir, Abdurrahman
Wahid, Ali Yafie, Sahal Mahfudh, dan lain-lain masih perlu dicermati.[14]
Munculnya gagasan reaktulisasi ajaran Islam
yang mula-mula disampaikan Munawir Sjadzali, mendapat tanggapan luas, yang
kemudian dibukukan dengan judul Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam
(1988). Pada tahun yang sama diterbitkan buku Ijtihad dalam Sorotan,
yang merupakan bunga rampai, oleh penerbit Mizan Bandung.[15]
Apabila
diperhatikan, tema besar dari wacana pembaharuan pemikiran Hukum Islam
berangkat dari term ijtihad, suatu istilah yang inheren dengan watak Hukum
Islam itu sendiri,. Sayangnya, sejarah telah terlanjur mencatat bahwa gerakan
ijtihad –atau tajdid– ini mengalami pemasungan yang relatif lama sehingga
memunculkan kemandegan dan stagnasi intelektualisme Islam dalam bidang hukum,
meskipun menurut Wael B. Hallaq, isu tentang terbuka atau tertutupnya pintu
ijtihad masih kontroversial.[16]
Tumbuh suburnya karya-karya syarah (komentar), hasyiyah (komentar
atas komentar), mukhtasar (ringkasan), mukhtasar jiddan
(ringkasan dan ringkasan), dan lain-lain, menunjukkan indikasi terjadinya
pengahrgaan intekletual kepada karya seseorang secara massal. Implikasinya,
kreativitas pribadi kurang mendapatkan porsi yang proporsional.[17]
Dalam
konteks pemikiran pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, gerakan tajdid menunjukkan
adanya metode dan kecenbderungan yang berbeda-beda. Ibrahim Hosen misalnya
memiliki empat langkah sebagai berikut: (1) Menggalakkan lembaga ijtihad, (2)
Mendudukkan fiqh pada proporsi yang sebenarnya, (3) Mengembangkan pendapat
bahwa orang awam tidak wajib terikat dengan mazhab manapun sepanjang sejalan
dengan kaidah al-‘ammah la - mazhab lahu, (4) Mengembangkan rasa dan
sifat tasamuh (toleran) dalam bermazhab.[18]
Kutipan di atas menujukkan bahwa kecenderungan Ibrahimn Hosen adalah
mengedepankan metode seleksi (takhayyur) atau dalam bahasa yang sering
digunakan oleh kalangan ulama NU, adalah talfiq. Sementara pemikiran pembaharuan
Hukum Islam lainnya, lebih melihat konsepsi metodologi yang dikembangkan oleh
ulama terdahulu, baik kaidah-kaidah kebahasaan (al-qawaid al-lughawiyah)
mapun kaidah-kaidah legislasi hukum Islam (al-qawa’id al-ushuliyah
al-tasyri’iyah).[19]
Berbeda
denngan Sahal Mahfudh, dalam bukunya Nuansa Fiqh Sosial. Sahal yang
menjadi Rais ‘Am PBNU mencoba melakukan otokritik terhadap NU agar lebih
menggalakkan ijtihad sebagai kebutuhan. Terhadap lembaga Bahsul Masail NU ia
mengkritik bahwa selama ini di kalangan NU terminologi istinbath hukum –apalagi
ijtihad (pen.)– tidak populer. Karena konotasi term tersebut menunjukkan nuansa
ijtihad mutlak, suatu aktivitas yang oleh ulama Syuriyah masih berat untuk
dilakukan. Sebagai gantinya dipakailah kalimat bahsul masail melalui referensi (maraji’)
pada kutub al-fuqaha’.[20]
Lebih dari itu, ia juga mengkritik NU bahwa selama ini terjadi sikap inkonsistensi
atas pilihan organisasi mengikuti salah satu mazhab ahl al-sunnah wa
al-jama’ah. Karena dalam prakteknya, “hampir dapat dipastikan bahwa fatwa,
petunjuk hukum, dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan
pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi’i.[21]
Dengan
tidak bermaksud menafikan gagasan yang dikemukakan oleh pembaharu pemikiran
Islam lainnya, yang ingin ditelaah dalam tulisan ini adalah pertama,
peta pemikiran pembaharuan Hukum Islam, baik dari kalangan modernis atau
tradisionalis, dan kedua, kecenderungan para pemikir pembaharuan Hukum
Islam di dalam memformulasikan Hukum Islam dalam mengantisipasi dan memberikan
solusi terhadap kasus-kasus kontemporer yang menuntut penyelesaian.[22]
Adapun
ruang lingkup kajiannya dioreintasikan pada materi atau subyek hukum yang
memiliki nilai praktis dalam kehidupan masyarakat. Jadi tidak terbatas dalam
hukum keluarga (al-ahwal al-syakhsiyah), tetapi juga dalam masalah
ekonomi, budaya, dan lain-lain. Pembatasan ini dimaksudkan agar awal mulai
munculnya “gerakan” pemikiran formulasi fiqh Indonesia, tidak pelu
dipersoalkan, dan lebih beroreintasi kepada penelusuran, kecenderungan
metodologi yang diaplikasikannya.[23]
Tujuan
telaah ini, sejalan dengan pokok masalah yang dikaji, adalah ingin mengetahui
peta pemikiran pembaharuan Hukum Islam yang terlibat aktif dan memiliki concern
cukup kuat dalam formulasi pembaharuan Hukum Islam di Indonesia dan
kecenderungan metodologis yang dikembangkan oleh pelaku-pelaku atau pemikir
pembaharuan Hukum Islam di Indonesia.[24]
Kajian
ini diharapkan dapat berguna bagi upaya memahami kecenderungan metodologis
dalam peta pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Karena harus diakui bahwa baik
dengan atau tanpa kodifikasi dan unifikasi Hukum Islam, kesadaran masyarakat
akan manfaat dan kesiapan hukum Islam menjawab berbagai persoalan kontemporer
perlu disertai dengan pemahaman metodologis yang memadai. Ini dimaksudkan agar
masyarakat tidak terjebak ke dalam kubangan taqlid buta, namun
setidaknya mereka memiliki pijakan yang cukup memadai dalam kesadaran kehidupan
mereka, baik sebagai pribadi, sebagai anggota msyarakat, maupun sebagai warga
negara.[25]
Sarjana
Barat yang mengkaji perkembangan Hukum Islam di antaranya adalah Noul J.
Coulson dalam bukunya A History of Islamic law dan Conflict Tension
in Islamic Jurisprudence. Itu pun tidak secara khusus berbicara tentang
kasus Indonesia. JND. Anderson dalam bukunya Islamic Law in the Modern World
juga menyinggung sedikit tentang tipologi pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,
ketika ia melakukan penelitian di beberapa negara Muslim.[26]
Sarjana
Indonesia yang memberi perhatian khusus antara lain Prof. Hasby as-Shiddieqy
dan Prof Hazairin. Kedua orang ini merupakan figur yang gigih melakukan
pembaharuan. Periode berikutnya, dapat dikemukakan Ibrahim Hosen dan Munawir
Sjadzali (Menteri Agama periode 1983-1993) dalam tulisannya yang tersebar dalam
buku-buku yang berbicara tentang hukum Islam, dan terakhir dalam
Kontekstualisasi Ajaran Islam yang disusun oleh panitia dalam rangka 70
tahunnya, oleh Sulastomo. Ia mulai melemparkan gagasannya tahun 1985. Mula-mula
tidak ada tanggapan serius, namun setelah disampaikan pada forum paramadina,
timbul rekasi pro-kontra yang cukup keras.[27] Yang melatarbelakangi pemikirannya, pertama,
adanya sikap mendua di dalam masyarakat Islam. Di satu sisi, secara normatif
dalam menerima ketentuan nash. Akan tetapi di sisi lain, dalam praksisnya,
telah mendahului ketentuan nash. Kedua, tindakan-tindakan legislasi
Umar bin al-Khattab memberikan interpretasi baru secara rasional dalam
pelaksanaan suatu ketentuan hukum, perlu dijadikan pola reformulasi Hukum
Islam.[28]
Amir
Syarifuddin dalam bukunya Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam mengatakan
bahwa pembaharuan merupakan suatu keharusan. Ia menawarkan perlunya reformulasi
fiqh dengan cara mengkaji situasi dan kondisi masa kini untuk dibandingkan
dengan masa-masa lalu, di mana fiqh diformulasikan. Kemudian dilakukan reinterpretasi
terhadap teks hukum, yang ia sebut dengan new-ijtihad.[29]
Buku-buku
lain lebih memfokuskan pembicaraannya pada perlunya lembaga ijtihad digalakkan
dan bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan hukum kontemporer, yang
merupakan bunga rampai seperti Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan
Praktek. Ada satu buku ditulis oleh Masyfuk Zuhdi, yaitu Masail Fiqhiyah
yang membicarakan persoalan-persoalan kontemporer, yang ditulis sebagai
buku teks mahasiswa. Di dalamnya lebih beroreintasi fiqh dan solusi dengan
penggunaan kaidah-kaidah ushul dan fiqhiyah. Kehadiran buku Nuansa
Fiqh Sosial oleh Sahal Mahfudh dan Menggagas Fiqh Sosial oleh Ali
Yafie menunjukkan bahwa titik jenuh kemandegan hukum (fiqh) Islam di Indonesia,
telah mulai mencair.[30]
Telaah
ini dilakukan dalam bentuk telaah kepustakaan dengan menggunakan metode
deskriptif analitis. Pendekatan analisis dilakukan dengan content analysis.
Sasarannya adalah buku-buku yang bersifat konsepsional, termasuk di dalamnya
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan lembaga legislatif (atau
pemerintah, sebagai pengejawantahan uli al-amr).[31]
Tulisan
ini disusun sebagai berikut: pertama, pendahuluan, kedua,
pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, yang meliputi pembaharuan pemikiran
Islam dan pengaruhnya dalam intelektualisme di Indonesia, dan polarisasi
pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Ketiga, pembaharuan pemikiran
Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, meliputi akar pembaharuan
pemikiran Hukum Islam dan pembaharuan pemikiran Hukum Islam, dan tipologi
pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Keempat, tentang trend pembaharuan pemikiran
Hukum Islam di Indonesia dan kelima, kesimpulan dan penutup.[32]
Pembaharuan Pemikiran Islam di
Indonesia
Pembaharuan
pemikiran Islam pada gilirannya membawa implikasi pada pembaharuan pemikiran
Hukum Islam. Dalam hal ini
terdapat polarisasi yang beragam, tergantung para sarjana yang membuat
polarisasi. Bukan saja dikhotomi modernisme-tradisonalisme, tetapi ada juga
yang bercorak konstitusionalisme dan substansialisme. Pada hakekatnya,
pembaharuan pemikiran hukum Islam merupakan proses dialektis yang telah muncul
dari gerakan pembaharuan “neo-sufisme”, meminjam istilah Azyumardi Azra.
Gerakan yang dikemas dengan kecenderungan merekonsiliasikan antara fiqh atau
syari’at dan tasawuf pada abad 17-18, melalui pemikiran Nur al-Din al-Raniry
(w. 1068/1658), ‘Abd al-Rauf al-Sinkily (1024-1105/1615-1730), dan Muhammad
Yusuf al-Maqassary (1037-111/1627-1799).[33] Azra menentang pendapat yang
mendiskreditkan pemikir modernis, bahwa tasawuf turut memberikan andil bagi
mundurnya intelektualisme Islam Indonesia. Menurutnya, justru rekonsiliasi
tasawuf, dan syari’ah, menjadi pemicu awal munculnya kesadaran baru bahwa tajdid
atau pembaharuan adalah sebuah keniscayaan. Abad 18 sejarah mencatat ‘Abd
al-Samad al-Palinbany (1116-1203/1704-1789), seperti juga ulama sebelumnya, dan
Muhammad Arsyad al-Banjary (1122-1227/1710-1812), yang lebih menaruh perhatian
pada lembaga pendidikan dan admimnistrasi peradilan.[34]
Dinamika
pembaharuan pemikiran Islam menunjukkan pada pendekatan pendidikan dan sosial
di satu sisi, serta politik dan ekonomi di sisi lain. Syekh Ahmad Khatib
(1860-1916) mengintrodusir konsep nasionalisme, Muhammad Djamil Djambek
(1860-), Haji Abdul Karim Amrullah (1879-) dengan Sumatra Thawalibnya yang
lebih cenderung menggunakan wadah politik. Amrullah menerbitkan majalah al-Munir
(1911-1916) dan al-Akhbar (1913), serta menjadi redaktur majalah al-Islam
yang diterbitkan oleh Sarekat Islam. Tahun 1990 didirikan lembaga pendidikan
Sekolah Adabiyah di Padang (1909). Di lembaga pendidikan ini diperkenalkan
pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Tahun 1929 Thawalib merubah nama
menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI), yang kemudian berubah menjadi
partai politik tahun 1932. Tahun 1909 dibentuk Jamiat Khair oleh
masyarakat Arab, di antaranya dengan mendatangkan guru dari negeri Arab, yaitu
Ahmad Soorkati dari Sudan, Muhammad Thaib dari Maroko, dan Muhammad Abdul Hamid
dari Mekkah. Ahmad Soorkati belakangan mendirikan sekolah al-Irsyad. Di Jawa
Barat, Haji Abdul Halim (1887) membentuk organisasi Hayatul Qulub yang bergerak
di bidang pendidikan dan ekonomi. Di Yogyakarta, pada tahun 1912 didirikan
Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan. Di Jawa Barat, pada tahun 1920 didirikan Persatuan
Islam, tokohnya Haji Zanizam (1894-1952), Haji Muhammad Junus, Ahmad Hassan
(1887), dan Muhammad Natsir (1908).[35]
Gerakan
politik diawali dengan lahirnya Sarekat Islam (1911-1942), kelanjutan dari Sarekat
Dagang Islam. Tokoh-tokohnya, adalah Samanhoedi M. Asmodimedjo, M. Kertotaruno,
M. Sumowerdojo, dan M. Haji Abdultajak. Berikutnya, Raden Mas Tirtoadisurjo, HOS
Tjokroaminoto, dan pada tahun 1915 Agus Salim bergabung.[36]
Sebagai
reaksi munculnya gerakan modernis Muhammadiyah, tahun 1926 dibentuk Nahdlatul
Ulama, yang oleh Deliar Noer disebut dengan gerakan tradisi. Ini karena, bagi mereka, Islam seakan sama
dengan fiqh. Mereka mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Selain itu,
mereka juga memberi perhatian pada tasawuf.[37]
Dalam
pada itu, pemerinmtah kolonial melancarkan dan menampilkan sikap mendua. Islam
sebagai doktrin politik dianggap membahayakan kepentingan politik mereka
sehingga harus dibabat habis. Sementara itu, Islam sebagai doktrin ibadah
–termasuk di dalamnya Hukum Islam– dibiarkan, dan bersikap netral. Politik
Islam yang diletakkan adalah (1) Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni
agama, hendaknya pemerintah bersikap netral; (2) Masalah perkawinan dan
pembagian warisan dalam Islam menuntut penghormatan; (3) Tiada satu pun bentuk
Pan-Islam boleh diterima oleh kekuasaan Eropa.[38]
Dalam
masa pendudukan Jepang, kekuatan Islam disatukan dalam wadah Masyumi (Majlis
Syura Muslimin Indonesia), sebagai ganti Majlis al-Islami al-A’la al-Indonesia
(MIAI), dengan kekuatan utamanya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kantor
Urusan Agama atau Shumubu dibentuk dan dipimpin Kol. Hori (1942), Hosein
Djajaningrat, dan K.H. Hasyim Asy’ari (1944).[39]
Upaya-upaya
MIAI meletakkan Islam diawali dari keinginan agar Syari’ah secara
konstitusional, diperjuangkan oleh pemimpin-peminpin Islam, baik sebelum maupun
sesudah kemerdekaan, sekalipun akhirnya kandas dalam perjalanan. Hal ini
terlihat dari disepakatinya sila pertama Pncasila seperti dalam naskah Piagam
Jakarta 22 Juni 1945 “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”. Piagam ini hanya berumur 57 hari, yaitu sampai
tanggal 18 Agustus 1945, kemudian diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[40]
Upaya
meletakkan Islam sebagai dasar negara terus diperjuangkan, di antaranya melalui
Kongres Umat Islam, 7 November 1945. MIAI yang merupakan satu-satunya institusi
politik umat Islam diadakan dalam upaya perjuangan ideologis tadi. Ketuanya
Hasyim Asy’ari, dan wakil-wakilnya Wahid Hasyim (dari kalangan tradisionalis),
Agus Salim (PSII) dan Djamil Djambek (dari kalangan reformis). Selanjutnya,
pengurus besar, diketuai Sukiman, Abikusno, Tjokrosujoso, M. Natsir, Muhammad
Roem, dan Kartosuwirjo.[41] Tahun 1947 Masumi pecah, PSSI menarik
diri, demikian juga NU pada tahun 1952. NU berubah haluan menjadi partai
politik, dan dalam pemilu 1955 menjadi pemenang ketiga.[42]
Soekarno
kemudian meng-counter perjuangan umat Islam di atas, dengan melakukan
ofisialisasi Islam dengan pola islamisasi-birokrasi, seperti menyelenggarakan
peringatan hari-hari besar Islam di istana Negara dan membangun Masjid
Istiqlal.[43] Walhasil, perjuangan umat Islam
melalui wadah MIAI untuk meletakkan Islam sebagai dasar dan ideologi negara,
tak satu pun yang menjadi kenyataan.[44]
Pada
masa pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto, perjuangan Islam politik
mengalami nasib lebih tragis lagi. Kelompok nasionalis sekuler makin dominan,
umat Islam semakin tersisih dan kurang – atau tidak – mampu berbuat banyak,
bahkan mereka menuduh umat Islam tidak siap terlibat dalam proses modernisasi.[45] Langkah-langkah strategis yang
ditempuh adalah melakukan restrukturisasi partai politik umat Islam melalui
fusi partai-partai 1973. Tahun 1975 dibentuklah wadah ulama, yaitu Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sebagai “legitimator” kebijakan politik pemerintah.[46]
Upaya
pengebirian peran politik umat Islam makin dikristalkan ketika Pancasila
ditetapkan sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara melalui UU No. 3/1985 tentang Partai Politik dan Golkar dan UU No.
8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.[47]
Untuk
keluar dari posisi marginal dan dilematis demikian, Nurcholis Madjid
mengedepankan gagasan yang lebih kultural, yaitu “Islam, Yes, Partai Islam, No.
Tentu saja ide semacam ini menjadi kontrovesial. Bersamaan dengan itu, Harun
Nsution juga mengawali gerakan pembaharuannya melalui IAIN, dan di luar itu
Mukti Ali dengan kelompok diskusi “limited”nya. Selain itu, Abdurrahman Wahid
mengedepankan pembaharuan pemikiran Islam dengan mengarahkan pada upaya
membangun politik kultural, ketimbang “memaksakan” Islam sebagai “kendaraan
politik”. Karena itu, NU sebagai kekuatan Islam untuk demokrasi dan toleransi
beragama hanya bisa dikembangkan di luar sturuktural formal politik Orde Baru.[48]
Ilustrasi
di atas menujukkan bahwa tarik-menarik yang sangat intens terjadi antara
kelompok tradionalis dan modernis, di satu sisi, dan antara kelompok umat Islam
dan rezim penguasa, di sisi lain. Cukup menarik, polarisasi kecenderungan yang
diformulasikan para sarjana di bawah ini. Fachry Ali dan Bachtiar Effendy
menyebutkan (1) Neomodernisme Islam (Penggabungan modernisme dan
tradisionalisme), seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid; (2)
Sosialisme-demokrasi, seperti Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo; (3)
Internasionalisme atau Universalisme Islam, seperti Jalaluddin Rahmat dan Amien
Rais; (4) Modernisme Islam, seperi A. Syafi’i Ma’arif dan Djohan Effendy.[49] William Liddle yang digarisbawahi
Taufiq Abdullah mengelompokkan tiga pola; pertama, skripturalis seperti
Nurcholish Madjid, kedua, substansialis atau neo-modernis, seperti
Sjahrir, dan ketiga, sosio-kultural, seperti Gunawan Mohammad.[50]
Oleh
karena itu, pada akhirnya untuk menentukan satu pola kecenderungan seorang pemikir,
manjadi suatu kesimpulan yang obyektif. Namun setidaknya ada rambu-rambu yang
lebih mudah, adalah pada corak skripturalisme atau substansialisme.[51]
Pembaharuan Pemikiran Hukum
Islam di Indonesia
Akan
halnya tentang pembaharuan pemikiran Hukum Islam, yang muncul 1970-an, juga
merupakan kelanjutan dari proses dialektis perjalanan sejarah Hukum Islam.
Sejak dicetuskan teori receptie in complexu oleh Van den Berg, kemudian
C. van Volleuhoven (1874-1933) dan Snouck Hurgronje (1857-1936) berusaha
mengeliminasi keberadaan Hukum Islam dengan teori receptie. Teori ini,
oleh Hazairin disebut sebagai teori Iblis. intinya, Hukum Islam yang
berlaku bagi orang Islam adalah Hukum Adat mereka masing-masing. Jadi, Hukum
Adatlah yang menentukan ada tidaknya Hukum Islam.[52] Tujuannya jelas, untuk
menjatuhkan umat Islam Indonesia dari hukum agamanya. Konkretisasi langkah ini
terlihat dalam Stbl. 1937 No. 116 dan 638-639, yang di antara isinya mengurangi
kompetensi absolut peradilan Agama di Jawa dan Madura, dan kerapatan Qadli dan
kerapatan Qadli Besar di Kalimantan Selatan, yang hanya perkara perkawinan
saja. Sementara perkara kewariasan, dilimpahkan ke Peradilan Umum. Sikap
distorsif seperti ini masih berlanjut hingga 1980-an, ketika UU Peradilan Agama
dibicarakan. Banyak indikasi menunjukkan, pertama, meskipun UU No.
14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman telah disahkan,
dan pasal 10 meletakkan bahwa ada empat lingkungan peradilan yang sejajar,
termasuk di dalamnya Peradilan Agama. Anehnya, dalam pasal 63 UU No. 1/1974
tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa setiap putusan Pengadilan Agama harus
dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Kedua, di Peradilan Agama, selaan
tenaga hakimnya kurang (tidak sebanding dengan jumlah perkara yang ditangani),
juga tidak dilengkapi dengan juru sita sebagai komponen ekesekusi setiap
putusannya. Selain itu, ketika UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
dibicarakan, banyak pihak yang tidak setuju, meski pada akhirnya setelah
negosiasi dan perdebatan sengit, UUPA ini disahkan.[53]
Secara
perorangan pembaharuan pemikiran Hukum Islam dipelopori oleh Hasby
ash-Shiddieqy (1904-1975)[54] dan Hazairin (-1975). Hasby
menekankan prinsip kemaslahatan umat, dan ide ini telah menggugah masyarakat
akan arti pentingnya fiqh dalam pembinaan hukum nasional sebagai salah satu
unsur pembangunan bangsa. Sementara itu, Hazairin menggagas hukum kewarisan
bilateral, terutama kaitannya dengan konsep mawali dalam memahami Q.S.
al-Nisa’ ayat 33, sebagai upaya mengatasi bagian warisan cucu garis perempuan
yang dalam sistem kewarisan fiqh sunny, menjadi zawi al-arham
(tidak berhak mewarisi).[55] Selain itu, juga Munawir Sjadzali
melalui konsep Reaktualisasi Ajaran Islamnya,[56] dan Bustanul Arifin[57] melalui kelembagaan Hukum Islam
meski lebih menampilkan peranan birokrasi sebagai lokomotif pembaharuan
pemikiran Hukum Islam di Indonesia. Pemikir pembahasan Hukum Islam yang lain
adalah Sahal Mahfudh yang menulis Nuansa Fiqh Sosial, dan Ali Yafie
dengan bukunya Menggagas Fiqh Sosial. Selain itu, juga khazanah
pembaharuan pemikiran Hukum Islam Indonesia juga mencatat Masdar F. mas’udi
yang menulis buku Islam Agama Keadilan yang membicarakan zakat dan
pajak. Tentu saja masih banyak pemikir lain yang memiliki sumbangan besar, yang
tidak bisa disebut semuanya di sini.[58]
Secara
kelembagaan, MUI melalui Komisi Fatwanya yang diketuai Ibrahim Hosen (1920-)
banyak dituduh sebagai ulama pesanan pemerintah karena fatwa-fatwanya lebih
banyak diwarnai dukungannya terhadap kebijakan pemerintah. Ia memulai gerakan
pembaharuannya dengan menggalakkan studi fiqh perbandingan, usul fiqh
perbandingan dan siyasah syar’iyah di IAIN. Nahdlatul Ulama (NU) juga
melakukan pembaharuan di dalam formulasi Hukum Islam. Ini bisa dilihat dalam
keputusan Munas Lampung, dari istinbath qauly yang merujuk pada aqwal
al-‘ulama menjadi istinbat manhajy. Demikian juga Muhammadiyah di
dalam Majelis tarjihnya. Untuk mengetahui secara mendalam pada pembaharuan
dalam NU dan Muhammadiyah tentu perlu penelitian tersendiri.[59]
Para
pemikir tersebut mengedepankan perlunya lembaga tajdid dan ijtihad
dilakukan untuk memformulasikan Hukum Islam yang siap untuk menjawab persoalan
hukum di dalam masyarakat. Metodologi yang ditawarkan adalah metode-metode
rumusan para ulama mazhab, seperti qiyas, istihsan, maslahat mursalah,
dan sadd al-zari’ah.[60]
JND.
Anderson mengemukakan adanya tipe pola pembaharuan Hukum Islam di negara-negara
Muslim, yang dikedepankan oleh: (1) Negara yang masih menganggap syari’ah
sebagai hukum dasar dan masih diterapkan seluruhnya, seperti Arab dan Nigeria
Utara. Negara ini belum menerima sistem hukum lain mana pun, dan sedikit sekali
melaksanakan hukum yang bersumber pada inspirasi Barat, (2) Negara yang
membatalkan hukum syari’ah dan menggantinya dengan hukum yang seluruhnya
sekuler, seperti Turki, meski diakui bahwa berlakangan upaya peninjauan kembali
mulai dilakukan, (3) Negara yang menempuh usaha kompromi antara syari’ah dan
hukum sekuler dengan menyusun kembali formulasi Hukum Islam. Yang menunjukkan
pola terakhir ini di antaranya mesir, Syiria, Irak dan termasuk Indonesia.[61] Indonesia sendiri memulai
pembaharuannya relatif terlambat dibanding dengan negara-negara Muslim lain. Karena
praktis baru diawali pada era 1970-an.[62]
Trend Pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia.
Trend
pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia, meminjam terminologi Fazlur
Rahman, menunjukkan trend neo-modernisme. Ini dapat direpresenstasikan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi produk legislasi di Indonesia. Ciri-cirinya
adalah (1) Mempertimbangkan seluruh tradisi Islam, baik yang bersifat
tradisional maupun modern, (2) Pembedaan antara Islam, normatif dan historis,
atau Islam konseptual dan Islam aktual, (3) Digunakan metodologi ilmiah dalam upaya
reformulasi Hukum Islam, berdasarkan khazanah intelektualisme Islam klasik dan
akar-akar spritualisme Islam, (4) Penafsiran al-Qur’an dan al-Sunnah secara
historis sosiologis dan kronologis, (5) Ada pembedaan antara yang ideal-moral
dengan legal-spesifik, dengan mengedepankan ideal moral, (6) Upaya
mensistematisasi metode penafsiran modernisme klasik, (7) Memasukkan masalah
kekinian ke dalam pertimbangan reinterpretasi al-Qur’an.[63]
Apabila
diperhatikan langkah-langkah penyusunan Kompilasi Hukum Islam, maka pola neo-modernisme
akan tampak sekali, yaitu (1) Pengkajian kitab-kitab fiqh, (2) Wawancara ulama,
(3) Pengkajian yurisprudensi Pengadilan Agama, (4) Studi banding ke
negara-negara Muslim, dan (5) Lokakarya dan seminar yang diikuti oleh ahli
hukum dan ulama.[64]
Dalam
konteks pembaharuan pemikiran Hukum Islam yang bersifat perorangan juga
menunjukkan fenomena yang sama. Artinya, penggalakan kembali lembaga ijtihad
merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan. Selain itu, kajian
interdisipliner dan pendekatan takhayur atau yang sering disebut talfiq,
merupakan pilihan yang cukup efektif. Dari segi format, yang efektif adalah
formulasi dalam peraturan perundang-undangan. Meski dampak yang kurang
menguntungkan dari model legislasi ini diakui adanya, sekurang-kurangnya
semakin ditinggalkan kitab-kitab fiqih bagi kalangan hakim Pengadilan Agama,
karena telah merasa cukup dengan peraturan perundangan yang ada.[65]
Kesimpulan dan Penutup
Trend
pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia menunjukkan kecenderungan corak
neo-modernisme. Hal ini karena, baik dalam konteks perorangan, kelembagaan,
mapupun borokrasi (pemerintah), melalui peraturan perundang-undangan (jika
pemilahan ini dibenarkan), menunjukkan bahwa kompromi antara syari’ah atau
fiqh, Hukum Barat, dan Hukum Adat yang hidup dalam kesadaran masyarakat menjadi
pilihan yang efektif. Lembaga ijtihad atau tajdid dikedepankan, pola
lintas mazhab dikembangkan, dan teknik kompilasi, baik yang berbentuk administratif
maupun substansi hukumnya, merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar.
Sementara it, talfiq yang dalam perspektif masyarakat tertentu ditabukan
menjadi alternatif yang cukup efektif bagi upaya pembaharuan Hukum Islam.[66]
[1] Mahasiswa pada Program Doktor Hukum UII 2009/2010
[2] Geg Barton mislanya, dalam bukunya The
Emergence of Neo-Modernism: a Progressive, Liberal, Movement of Islamic Thought
in Indonesia, telah melakukan kajian pembaharuan pemikiran Islam di
Indonesia. Meskipun di dalamnya secara sambil lalu menyinggung juga pemikiran
pembaharuan di bidang Hukum Islam. Kamal Hassan, seorang sarjana Malaysia, juga
telah melakukan penelitian yang hampir sama, yang lebih memfokuskan kepada
pendekatan teologis, yang kemudian dibukukan dalam Modernisasi Indonesia:
Respon Cendekiawan Muslim, yang sudah diterjemahkan Ahmadie Thoha. B.J.
Boland dengan bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia, yang
diindonesiakan dengan judul Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970,
juga telah melakukan kajian terhadap pembaharuan pemikiran Islam. Demikian juga Riaz Hassan dalam bukunya Islam
dari Konservatisme sampai Fundamentalisme. Sarjana Indonesia yang menaruh
perhatian dalam bidang ini, untuk menyebut beberapa contoh adalah Deliar Noer
dalam bukunya The Modernist Movement in Indonesia 1900-1942, Fachri Ali
dan Bahtiar Effendy dalam Merambah Jalan Baru Islam, dan Aqib Suminto,
dkk dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution.
[16] Ia mengemukakan bahwa informasi awal yang
secara kangsung berkaitan dengan kontroversi kelangsungan ijtihad muncul
sekitar tahun 500 H. Bentuknya silang pendapat antara seorang ahli hukum dan
mazhab , Ibn ‘Aqil (w. 413 H/ 1119 M) dan seorang sarjana dari mazhab Hanafi
yang tidak diketahui namanya. Ia berkesimpulan bahwa isu tertutupnya pintu
ijhtihad, lebih banyak dalam bidang teologi, ketimbang hukum. Karena itu,
menurutnya, pintu ijtihad tidak bisa ditutup. Ia mengutip riwayat Abu Dawud;
“Sesunggunya Allah mengutus pada umat ini bahwa pada setiap penghujung
tiap-tiap seratus tahun ada seseorang yang memperbaharui (pemahamn) agamanya”.
Lihat Sunan Abu Dawud, juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H, 1994M), hlm. 318.
Wael B. Hallaq, “was the Gate of Ijtihad Closed? “dalam International
Journal of Middle Eastern Studies, 16, 1, 1984. Juga “Kontroversi Seputar
Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad”, dalam al-Hikmah, Jurnal Studi-studi
Islam, no. 7, 1413 H/ 1992, hlm. 43.
[33] Elaborasi tentang pemikiran ketiga tokoh
tersebut, lihat Azumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepul;auan
Nusantara, Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam Nusantara (Bandung:
Mizan, 1995), terutama bab IV “Para Perinmtis Gerakan Pembaharuan Islam
Nusantara Ulama Melayu-Indonesia dalam Jaringan Abad ke-17”, hlm. 166-308.
[40] Ahmad Syafi’i Ma’arif menilai dalam
perubahan Piagam Jakarta ini, sebenarnya pihak Islam tidaklah terlalu
dikalahkan, sebab atribut Yang Maha Esa dalam UUD 1945 juga menjiwai seluruh
pembukaan dan batang tubuh konstitusi kita. Hanyalah golongan yang tidak jujur
terhadap sejarah saja yang mungkin mengingkari konsensus politik yang penting
ini. A. Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung:
Mizan, 1993), hlm. 163.
[41] Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah
Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru
(Bandung: Mizan, 1986), hlm. 87. Dalam kaitan ini Syafi’i Ma’arif menyebutkan
bahwa Masyumi pantas menerima penghargaan, karena berhasil menyiapkan sumber
daya manusia dengan kualitas moral – intelektual secara prima untuk berpolitik,
tapi perangkat lunak berupa teori Islam dalam berbagai dimensi kehidupan
manusia memang belum sempat dilahirkan, lihat A. Syafi’i Ma’arif, Islam
Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),
hlm. 7.
[47] Sudirman Tebba, Islam Orde Baru Perubahan
Politik dan Keagamaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hlm. 4-5. A.
Syafi’i Ma’arif berpendapat bahwa potret institusi politik Islam hanya dapat
berperan sebagai lembaga yang memberikan keuntungan-keuntungan tertentu kepada
kelompok umat tertentu pula. Karena itu, sangat sulit mengharapkan
partai-partai politik Islam untuk dapat menyalurkan aspirasi umat Islam secara
menyeluruh. Lihat A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:
LP3ES, 1985). Juga “Peta Bumi Intelektualisme”, Op.cit hlm. 176-177.
[54] Munawir Sjadzali, “Landasan Pemikiran
Politik Hukum Islam dalam Rangka Menetukan Peradilan Agama di Indonesia” dalam
Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek
(Bandung: Rosda Karya, 1991), hlm. 45. Ia adalah orang Indonesia pertama yang
sejak 1940 dan dipertegas pada 1960 menghimbau perlunya dibina fiqh yang
berkepribadian Indonesia. Lihat Nouruzzaman, Shiddiqi, Fiqh Indonesia
Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. vii, xx,
57.
[61] JND. Anderson, Hukum Islam di dunia
Modern, alih bahasa Machnun Husein (Surabaya: Amarpress, 1991), hlm. 91-95.
Lihat juga James P. Piscatori, “Politik Ideologis di Arab Saudi”, dalam Harun
Nasution dan Azyumardi Azra (eds), Perkembangan Modern dalam Islam
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 200.