Selasa, 27 Maret 2012


CORAK MODERNISME PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
(Sebuah Kajian Metodologis)

Ahmad Syafii Rahman[1]
Pendahuluan
            Gagasan dan atau gerakan untuk memformulasikan fiqh atau hukum Islam khas Indonesia–telah dirintis bersamaan dengan pembaharuan pemikiran Islam secara keseluruhan. Namun, sejauh ini perhatian yang relatif menyeluruh dan berdiri sendiri terhadap kecenderungan pemikiran pembaharuan hukum kebanyakan masih didekati secara parsial. Sementara kajian terhadap pembaharuan pemikiran Islam yang telah dilakukan banyak sarjana, baik Indonesia maupun luar Indonesia, relatif berkembang subur.[2]
            Para pemikir dan pengamat yang menaruh perhatian terhadap masalah ini di antaranya adalah Munawir Sjadzali dan Ibrahim Hosen dari kelompok modernis, serta Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, dan Sahal Mahfudh dari kelompok tradisional. Identifikasi memang tidak selalu tepat. Namun, dari latar belakang sarjana dan pesantren barang kali relatif mendekati. Sebab, Abdurrahman Wahid misalnya, adalah pemikir pembaharuan yang pernah kuliah di Baghdad dan al-Azhar.[3]
            Pemikiran tentang perlunya pembaharuan Hukum Islam sebelum periode mereka, yang disebut di atas, dengan konsisten dan concern yang tinggi dilakukan Prof. Hasby Ash-Shiddieqy dan Hazairin.[4] Kedua tokoh ini melakukan pendekatan yang berbeda. Jika Hasby lebih mengacu kepada kemampuan metodologi Hukum Islam yang dirintis para ulama terdahulu.[5]
            Sementara itu, Hazairin cenderung menginginkan konstionalisasi Hukum Islam. Ia mengacu kepada “semangat” Piagam Jakarta dengan melakukan interpretasi baru terhadap teks-teks ayat al-Qur’an atau al-Sunnah. Ini dapat dilihat misalnya, dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith yang memberikan gambaran dari pendekatan yang dilakukannya.[6]
            Gagasan-gagasan yang dikembangkan mereka, yang pada awalnya tidak mendapat respon, setelah melalui perjuangan panjang dan dimatangkan oleh para sarjana dan ulama sesudahnya, akhirnya membuahkan hasil. Bagaimanapun juga Hukum Islam tidak sama sebangun dengan syari’ah. Ungkapan al-Syarai’ mutahaddidah wa al-waqai’ mutajaddidah (syari’at itu terbatas dan peristiwa-peristiwa akan selalu baru), menunjukkan bahwa jika Hukum Islam diharapkan dapat merespon modernisasi dengan segala dampaknya, maka reinterpretasi dan reformulasi tidak bisa dihindarkan.[7]
            Tentu saja tidak bisa dilupakan kontribusi pemikiran para pemerhati Hukum Islam sesudahnya seperti Munawir Sjadzali, Ibrahim Hosen, Ali Yafie, Sahal Mahfudh, dan lain-lain. Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan misalnya, merupakan model pembaharuan dalam Hukum Perkawinan. Demikian juga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Hanya saja, ketika masalah ini dibicarakan –yang terbatas pada aspek-aspek Hukum keluarga atau al-ahwal al-syakhsiyah– terasa bahwa Hukum Islam yang berkembang menjadi sangat sempit. Padahal sesungguhnya ruang lingkup dan cakupan Hukum Islam sangat luas, meliputi berbagai aspek kehidupan manusia.[8]
            Di antara penyebabnya adalah persepsi sebagian umat Islam terhadap produk Hukum Islam, yang masih sering mengidentikkan fiqh dan syari’ah. Sebagaimana diketahui, ragam produk pemikiran hukum Islam ada empat macam.[9] Pertama, fiqh, yaitu bangunan pengetahuan keislaman yang meliputi ibadah dan muamalah secara menyeluruh. Fiqh, karena sifatnya yang menyeluruh dan umumnya telah ditulis pada akhir abad II dan awal abad III H, dalam beberapa segi telah kehilangan atau kekurangan relevansi dalam mengantisipasi persoalan kekinian dan kemodernan.[10] 
            Kedua, fatwa, yaitu produk pemikiran hukum  perorangan kelembagaan, atas dasar permintaan anggota masyarakat terhadap persoalan-persoalan tertentu. Sebagai fatwa, ia tidak memiliki daya ikat termsuk kepada peminta fatwa. Meskipun demikian, sifatnya kasuistik. Fatwa memiliki dinamika relatif tinggi dibanding dengan fiqh.[11]
            Ketiga, keputusan pengadilan. Produk hukum ini bersifat mengikat pihak-pihak yang berperkara. Sebagai hasil ijtihad hakim, ia memiliki nilai yurisprudensi, yakni sebagai acuan hakim atau praktisi hukum, dalam menyelesaikan persoalan yang sama.[12]
            Keempat, peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya kompilasi. Sebagai pengejawantahan dari konsep taqnin ia memiliki keterbatasan, cakupan materi yang dimuat terbatas, seperti Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Ia hanya mencakup bidang-bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan serta hal-hal khusus yang berkait erat seperti wasiat, hibah, dan sadaqah.[13]
            Pembahartan pemikiran dan formulasi yang ditawarkan misalnya dari kelompok modernis Munawair Sjadzali, Nurcholish Madjid, Rachmat Djatnika, Quraish Shihab, Masdar F. Mas’udi, dan dari kalangan Ulama; Ibrahim Husein, Azhar Basyir, Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, Sahal Mahfudh, dan lain-lain masih perlu dicermati.[14]
            Munculnya gagasan reaktulisasi ajaran Islam yang mula-mula disampaikan Munawir Sjadzali, mendapat tanggapan luas, yang kemudian dibukukan dengan judul Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (1988). Pada tahun yang sama diterbitkan buku Ijtihad dalam Sorotan, yang merupakan bunga rampai, oleh penerbit Mizan Bandung.[15]
            Apabila diperhatikan, tema besar dari wacana pembaharuan pemikiran Hukum Islam berangkat dari term ijtihad, suatu istilah yang inheren dengan watak Hukum Islam itu sendiri,. Sayangnya, sejarah telah terlanjur mencatat bahwa gerakan ijtihad –atau tajdid– ini mengalami pemasungan yang relatif lama sehingga memunculkan kemandegan dan stagnasi intelektualisme Islam dalam bidang hukum, meskipun menurut Wael B. Hallaq, isu tentang terbuka atau tertutupnya pintu ijtihad masih kontroversial.[16] Tumbuh suburnya karya-karya syarah (komentar), hasyiyah (komentar atas komentar), mukhtasar (ringkasan), mukhtasar jiddan (ringkasan dan ringkasan), dan lain-lain, menunjukkan indikasi terjadinya pengahrgaan intekletual kepada karya seseorang secara massal. Implikasinya, kreativitas pribadi kurang mendapatkan porsi yang proporsional.[17]
            Dalam konteks pemikiran pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, gerakan tajdid menunjukkan adanya metode dan kecenbderungan yang berbeda-beda. Ibrahim Hosen misalnya memiliki empat langkah sebagai berikut: (1) Menggalakkan lembaga ijtihad, (2) Mendudukkan fiqh pada proporsi yang sebenarnya, (3) Mengembangkan pendapat bahwa orang awam tidak wajib terikat dengan mazhab manapun sepanjang sejalan dengan kaidah al-‘ammah la - mazhab lahu, (4) Mengembangkan rasa dan sifat tasamuh (toleran) dalam bermazhab.[18] Kutipan di atas menujukkan bahwa kecenderungan Ibrahimn Hosen adalah mengedepankan metode seleksi (takhayyur) atau dalam bahasa yang sering digunakan oleh kalangan ulama NU, adalah talfiq. Sementara pemikiran pembaharuan Hukum Islam lainnya, lebih melihat konsepsi metodologi yang dikembangkan oleh ulama terdahulu, baik kaidah-kaidah kebahasaan (al-qawaid al-lughawiyah) mapun kaidah-kaidah legislasi hukum Islam (al-qawa’id al-ushuliyah al-tasyri’iyah).[19]
            Berbeda denngan Sahal Mahfudh, dalam bukunya Nuansa Fiqh Sosial. Sahal yang menjadi Rais ‘Am PBNU mencoba melakukan otokritik terhadap NU agar lebih menggalakkan ijtihad sebagai kebutuhan. Terhadap lembaga Bahsul Masail NU ia mengkritik bahwa selama ini di kalangan NU terminologi istinbath hukum –apalagi ijtihad (pen.)– tidak populer. Karena konotasi term tersebut menunjukkan nuansa ijtihad mutlak, suatu aktivitas yang oleh ulama Syuriyah masih berat untuk dilakukan. Sebagai gantinya dipakailah kalimat bahsul masail melalui referensi (maraji’) pada kutub al-fuqaha’.[20] Lebih dari itu, ia juga mengkritik NU bahwa selama ini terjadi sikap inkonsistensi atas pilihan organisasi mengikuti salah satu mazhab ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Karena dalam prakteknya, “hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk hukum, dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi’i.[21]
            Dengan tidak bermaksud menafikan gagasan yang dikemukakan oleh pembaharu pemikiran Islam lainnya, yang ingin ditelaah dalam tulisan ini adalah pertama, peta pemikiran pembaharuan Hukum Islam, baik dari kalangan modernis atau tradisionalis, dan kedua, kecenderungan para pemikir pembaharuan Hukum Islam di dalam memformulasikan Hukum Islam dalam mengantisipasi dan memberikan solusi terhadap kasus-kasus kontemporer yang menuntut penyelesaian.[22]
            Adapun ruang lingkup kajiannya dioreintasikan pada materi atau subyek hukum yang memiliki nilai praktis dalam kehidupan masyarakat. Jadi tidak terbatas dalam hukum keluarga (al-ahwal al-syakhsiyah), tetapi juga dalam masalah ekonomi, budaya, dan lain-lain. Pembatasan ini dimaksudkan agar awal mulai munculnya “gerakan” pemikiran formulasi fiqh Indonesia, tidak pelu dipersoalkan, dan lebih beroreintasi kepada penelusuran, kecenderungan metodologi yang diaplikasikannya.[23]
            Tujuan telaah ini, sejalan dengan pokok masalah yang dikaji, adalah ingin mengetahui peta pemikiran pembaharuan Hukum Islam yang terlibat aktif dan memiliki concern cukup kuat dalam formulasi pembaharuan Hukum Islam di Indonesia dan kecenderungan metodologis yang dikembangkan oleh pelaku-pelaku atau pemikir pembaharuan Hukum Islam di Indonesia.[24]
            Kajian ini diharapkan dapat berguna bagi upaya memahami kecenderungan metodologis dalam peta pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Karena harus diakui bahwa baik dengan atau tanpa kodifikasi dan unifikasi Hukum Islam, kesadaran masyarakat akan manfaat dan kesiapan hukum Islam menjawab berbagai persoalan kontemporer perlu disertai dengan pemahaman metodologis yang memadai. Ini dimaksudkan agar masyarakat tidak terjebak ke dalam kubangan taqlid buta, namun setidaknya mereka memiliki pijakan yang cukup memadai dalam kesadaran kehidupan mereka, baik sebagai pribadi, sebagai anggota msyarakat, maupun sebagai warga negara.[25]
            Sarjana Barat yang mengkaji perkembangan Hukum Islam di antaranya adalah Noul J. Coulson dalam bukunya A History of Islamic law dan Conflict Tension in Islamic Jurisprudence. Itu pun tidak secara khusus berbicara tentang kasus Indonesia. JND. Anderson dalam bukunya Islamic Law in the Modern World juga menyinggung sedikit tentang tipologi pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, ketika ia melakukan penelitian di beberapa negara Muslim.[26]
            Sarjana Indonesia yang memberi perhatian khusus antara lain Prof. Hasby as-Shiddieqy dan Prof Hazairin. Kedua orang ini merupakan figur yang gigih melakukan pembaharuan. Periode berikutnya, dapat dikemukakan Ibrahim Hosen dan Munawir Sjadzali (Menteri Agama periode 1983-1993) dalam tulisannya yang tersebar dalam buku-buku yang berbicara tentang hukum Islam, dan terakhir dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam yang disusun oleh panitia dalam rangka 70 tahunnya, oleh Sulastomo. Ia mulai melemparkan gagasannya tahun 1985. Mula-mula tidak ada tanggapan serius, namun setelah disampaikan pada forum paramadina, timbul rekasi pro-kontra yang cukup keras.[27] Yang melatarbelakangi pemikirannya, pertama, adanya sikap mendua di dalam masyarakat Islam. Di satu sisi, secara normatif dalam menerima ketentuan nash. Akan tetapi di sisi lain, dalam praksisnya, telah mendahului ketentuan nash. Kedua, tindakan-tindakan legislasi Umar bin al-Khattab memberikan interpretasi baru secara rasional dalam pelaksanaan suatu ketentuan hukum, perlu dijadikan pola reformulasi Hukum Islam.[28]
            Amir Syarifuddin dalam bukunya Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam mengatakan bahwa pembaharuan merupakan suatu keharusan. Ia menawarkan perlunya reformulasi fiqh dengan cara mengkaji situasi dan kondisi masa kini untuk dibandingkan dengan masa-masa lalu, di mana fiqh diformulasikan. Kemudian dilakukan reinterpretasi terhadap teks hukum, yang ia sebut dengan new-ijtihad.[29]
            Buku-buku lain lebih memfokuskan pembicaraannya pada perlunya lembaga ijtihad digalakkan dan bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan hukum kontemporer, yang merupakan bunga rampai seperti Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek. Ada satu buku ditulis oleh Masyfuk Zuhdi, yaitu Masail Fiqhiyah yang membicarakan persoalan-persoalan kontemporer, yang ditulis sebagai buku teks mahasiswa. Di dalamnya lebih beroreintasi fiqh dan solusi dengan penggunaan kaidah-kaidah ushul dan fiqhiyah. Kehadiran buku Nuansa Fiqh Sosial oleh Sahal Mahfudh dan Menggagas Fiqh Sosial oleh Ali Yafie menunjukkan bahwa titik jenuh kemandegan hukum (fiqh) Islam di Indonesia, telah mulai mencair.[30]
            Telaah ini dilakukan dalam bentuk telaah kepustakaan dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Pendekatan analisis dilakukan dengan content analysis. Sasarannya adalah buku-buku yang bersifat konsepsional, termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan lembaga legislatif (atau pemerintah, sebagai pengejawantahan uli al-amr).[31]
            Tulisan ini disusun sebagai berikut: pertama, pendahuluan, kedua, pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, yang meliputi pembaharuan pemikiran Islam dan pengaruhnya dalam intelektualisme di Indonesia, dan polarisasi pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Ketiga, pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, meliputi akar pembaharuan pemikiran Hukum Islam dan pembaharuan pemikiran Hukum Islam, dan tipologi pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Keempat, tentang trend pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia dan kelima, kesimpulan dan penutup.[32]

Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
            Pembaharuan pemikiran Islam pada gilirannya membawa implikasi pada pembaharuan pemikiran Hukum Islam. Dalam hal ini terdapat polarisasi yang beragam, tergantung para sarjana yang membuat polarisasi. Bukan saja dikhotomi modernisme-tradisonalisme, tetapi ada juga yang bercorak konstitusionalisme dan substansialisme. Pada hakekatnya, pembaharuan pemikiran hukum Islam merupakan proses dialektis yang telah muncul dari gerakan pembaharuan “neo-sufisme”, meminjam istilah Azyumardi Azra. Gerakan yang dikemas dengan kecenderungan merekonsiliasikan antara fiqh atau syari’at dan tasawuf pada abad 17-18, melalui pemikiran Nur al-Din al-Raniry (w. 1068/1658), ‘Abd al-Rauf al-Sinkily (1024-1105/1615-1730), dan Muhammad Yusuf al-Maqassary (1037-111/1627-1799).[33] Azra menentang pendapat yang mendiskreditkan pemikir modernis, bahwa tasawuf turut memberikan andil bagi mundurnya intelektualisme Islam Indonesia. Menurutnya, justru rekonsiliasi tasawuf, dan syari’ah, menjadi pemicu awal munculnya kesadaran baru bahwa tajdid atau pembaharuan adalah sebuah keniscayaan. Abad 18 sejarah mencatat ‘Abd al-Samad al-Palinbany (1116-1203/1704-1789), seperti juga ulama sebelumnya, dan Muhammad Arsyad al-Banjary (1122-1227/1710-1812), yang lebih menaruh perhatian pada lembaga pendidikan dan admimnistrasi peradilan.[34]
            Dinamika pembaharuan pemikiran Islam menunjukkan pada pendekatan pendidikan dan sosial di satu sisi, serta politik dan ekonomi di sisi lain. Syekh Ahmad Khatib (1860-1916) mengintrodusir konsep nasionalisme, Muhammad Djamil Djambek (1860-), Haji Abdul Karim Amrullah (1879-) dengan Sumatra Thawalibnya yang lebih cenderung menggunakan wadah politik. Amrullah menerbitkan majalah al-Munir (1911-1916) dan al-Akhbar (1913), serta menjadi redaktur majalah al-Islam yang diterbitkan oleh Sarekat Islam. Tahun 1990 didirikan lembaga pendidikan Sekolah Adabiyah di Padang (1909). Di lembaga pendidikan ini diperkenalkan pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Tahun 1929 Thawalib merubah nama menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI), yang kemudian berubah menjadi partai politik tahun 1932. Tahun 1909 dibentuk Jamiat Khair oleh masyarakat Arab, di antaranya dengan mendatangkan guru dari negeri Arab, yaitu Ahmad Soorkati dari Sudan, Muhammad Thaib dari Maroko, dan Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah. Ahmad Soorkati belakangan mendirikan sekolah al-Irsyad. Di Jawa Barat, Haji Abdul Halim (1887) membentuk organisasi Hayatul Qulub yang bergerak di bidang pendidikan dan ekonomi. Di Yogyakarta, pada tahun 1912 didirikan Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan. Di Jawa Barat, pada tahun 1920 didirikan Persatuan Islam, tokohnya Haji Zanizam (1894-1952), Haji Muhammad Junus, Ahmad Hassan (1887), dan Muhammad Natsir (1908).[35]
            Gerakan politik diawali dengan lahirnya Sarekat Islam (1911-1942), kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam. Tokoh-tokohnya, adalah Samanhoedi M. Asmodimedjo, M. Kertotaruno, M. Sumowerdojo, dan M. Haji Abdultajak. Berikutnya, Raden Mas Tirtoadisurjo, HOS Tjokroaminoto, dan pada tahun 1915 Agus Salim bergabung.[36]
            Sebagai reaksi munculnya gerakan modernis Muhammadiyah, tahun 1926 dibentuk Nahdlatul Ulama, yang oleh Deliar Noer disebut dengan gerakan tradisi. Ini karena, bagi mereka, Islam seakan sama dengan fiqh. Mereka mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Selain itu, mereka juga memberi perhatian pada tasawuf.[37]
            Dalam pada itu, pemerinmtah kolonial melancarkan dan menampilkan sikap mendua. Islam sebagai doktrin politik dianggap membahayakan kepentingan politik mereka sehingga harus dibabat habis. Sementara itu, Islam sebagai doktrin ibadah –termasuk di dalamnya Hukum Islam– dibiarkan, dan bersikap netral. Politik Islam yang diletakkan adalah (1) Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah bersikap netral; (2) Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam menuntut penghormatan; (3) Tiada satu pun bentuk Pan-Islam boleh diterima oleh kekuasaan Eropa.[38]
            Dalam masa pendudukan Jepang, kekuatan Islam disatukan dalam wadah Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia), sebagai ganti Majlis al-Islami al-A’la al-Indonesia (MIAI), dengan kekuatan utamanya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kantor Urusan Agama atau Shumubu dibentuk dan dipimpin Kol. Hori (1942), Hosein Djajaningrat, dan K.H. Hasyim Asy’ari (1944).[39]
            Upaya-upaya MIAI meletakkan Islam diawali dari keinginan agar Syari’ah secara konstitusional, diperjuangkan oleh pemimpin-peminpin Islam, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, sekalipun akhirnya kandas dalam perjalanan. Hal ini terlihat dari disepakatinya sila pertama Pncasila seperti dalam naskah Piagam Jakarta 22 Juni 1945 “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Piagam ini hanya berumur 57 hari, yaitu sampai tanggal 18 Agustus 1945, kemudian diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[40]
            Upaya meletakkan Islam sebagai dasar negara terus diperjuangkan, di antaranya melalui Kongres Umat Islam, 7 November 1945. MIAI yang merupakan satu-satunya institusi politik umat Islam diadakan dalam upaya perjuangan ideologis tadi. Ketuanya Hasyim Asy’ari, dan wakil-wakilnya Wahid Hasyim (dari kalangan tradisionalis), Agus Salim (PSII) dan Djamil Djambek (dari kalangan reformis). Selanjutnya, pengurus besar, diketuai Sukiman, Abikusno, Tjokrosujoso, M. Natsir, Muhammad Roem, dan Kartosuwirjo.[41] Tahun 1947 Masumi pecah, PSSI menarik diri, demikian juga NU pada tahun 1952. NU berubah haluan menjadi partai politik, dan dalam pemilu 1955 menjadi pemenang ketiga.[42]
            Soekarno kemudian meng-counter perjuangan umat Islam di atas, dengan melakukan ofisialisasi Islam dengan pola islamisasi-birokrasi, seperti menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam di istana Negara dan membangun Masjid Istiqlal.[43] Walhasil, perjuangan umat Islam melalui wadah MIAI untuk meletakkan Islam sebagai dasar dan ideologi negara, tak satu pun yang menjadi kenyataan.[44]
            Pada masa pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto, perjuangan Islam politik mengalami nasib lebih tragis lagi. Kelompok nasionalis sekuler makin dominan, umat Islam semakin tersisih dan kurang – atau tidak – mampu berbuat banyak, bahkan mereka menuduh umat Islam tidak siap terlibat dalam proses modernisasi.[45] Langkah-langkah strategis yang ditempuh adalah melakukan restrukturisasi partai politik umat Islam melalui fusi partai-partai 1973. Tahun 1975 dibentuklah wadah ulama, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai “legitimator” kebijakan politik pemerintah.[46]
            Upaya pengebirian peran politik umat Islam makin dikristalkan ketika Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara melalui UU No. 3/1985 tentang Partai Politik dan Golkar dan UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.[47]
            Untuk keluar dari posisi marginal dan dilematis demikian, Nurcholis Madjid mengedepankan gagasan yang lebih kultural, yaitu “Islam, Yes, Partai Islam, No. Tentu saja ide semacam ini menjadi kontrovesial. Bersamaan dengan itu, Harun Nsution juga mengawali gerakan pembaharuannya melalui IAIN, dan di luar itu Mukti Ali dengan kelompok diskusi “limited”nya. Selain itu, Abdurrahman Wahid mengedepankan pembaharuan pemikiran Islam dengan mengarahkan pada upaya membangun politik kultural, ketimbang “memaksakan” Islam sebagai “kendaraan politik”. Karena itu, NU sebagai kekuatan Islam untuk demokrasi dan toleransi beragama hanya bisa dikembangkan di luar sturuktural formal politik Orde Baru.[48]
            Ilustrasi di atas menujukkan bahwa tarik-menarik yang sangat intens terjadi antara kelompok tradionalis dan modernis, di satu sisi, dan antara kelompok umat Islam dan rezim penguasa, di sisi lain. Cukup menarik, polarisasi kecenderungan yang diformulasikan para sarjana di bawah ini. Fachry Ali dan Bachtiar Effendy menyebutkan (1) Neomodernisme Islam (Penggabungan modernisme dan tradisionalisme), seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid; (2) Sosialisme-demokrasi, seperti Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo; (3) Internasionalisme atau Universalisme Islam, seperti Jalaluddin Rahmat dan Amien Rais; (4) Modernisme Islam, seperi A. Syafi’i Ma’arif dan Djohan Effendy.[49] William Liddle yang digarisbawahi Taufiq Abdullah mengelompokkan tiga pola; pertama, skripturalis seperti Nurcholish Madjid, kedua, substansialis atau neo-modernis, seperti Sjahrir, dan ketiga, sosio-kultural, seperti Gunawan Mohammad.[50]
            Oleh karena itu, pada akhirnya untuk menentukan satu pola kecenderungan seorang pemikir, manjadi suatu kesimpulan yang obyektif. Namun setidaknya ada rambu-rambu yang lebih mudah, adalah pada corak skripturalisme atau substansialisme.[51]

Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia
            Akan halnya tentang pembaharuan pemikiran Hukum Islam, yang muncul 1970-an, juga merupakan kelanjutan dari proses dialektis perjalanan sejarah Hukum Islam. Sejak dicetuskan teori receptie in complexu oleh Van den Berg, kemudian C. van Volleuhoven (1874-1933) dan Snouck Hurgronje (1857-1936) berusaha mengeliminasi keberadaan Hukum Islam dengan teori receptie. Teori ini, oleh Hazairin disebut sebagai teori Iblis. intinya, Hukum Islam yang berlaku bagi orang Islam adalah Hukum Adat mereka masing-masing. Jadi, Hukum Adatlah yang menentukan ada tidaknya Hukum Islam.[52] Tujuannya jelas, untuk menjatuhkan umat Islam Indonesia dari hukum agamanya. Konkretisasi langkah ini terlihat dalam Stbl. 1937 No. 116 dan 638-639, yang di antara isinya mengurangi kompetensi absolut peradilan Agama di Jawa dan Madura, dan kerapatan Qadli dan kerapatan Qadli Besar di Kalimantan Selatan, yang hanya perkara perkawinan saja. Sementara perkara kewariasan, dilimpahkan ke Peradilan Umum. Sikap distorsif seperti ini masih berlanjut hingga 1980-an, ketika UU Peradilan Agama dibicarakan. Banyak indikasi menunjukkan, pertama, meskipun UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman telah disahkan, dan pasal 10 meletakkan bahwa ada empat lingkungan peradilan yang sejajar, termasuk di dalamnya Peradilan Agama. Anehnya, dalam pasal 63 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa setiap putusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Kedua, di Peradilan Agama, selaan tenaga hakimnya kurang (tidak sebanding dengan jumlah perkara yang ditangani), juga tidak dilengkapi dengan juru sita sebagai komponen ekesekusi setiap putusannya. Selain itu, ketika UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama dibicarakan, banyak pihak yang tidak setuju, meski pada akhirnya setelah negosiasi dan perdebatan sengit, UUPA ini disahkan.[53]
            Secara perorangan pembaharuan pemikiran Hukum Islam dipelopori oleh Hasby ash-Shiddieqy (1904-1975)[54] dan Hazairin (-1975). Hasby menekankan prinsip kemaslahatan umat, dan ide ini telah menggugah masyarakat akan arti pentingnya fiqh dalam pembinaan hukum nasional sebagai salah satu unsur pembangunan bangsa. Sementara itu, Hazairin menggagas hukum kewarisan bilateral, terutama kaitannya dengan konsep mawali dalam memahami Q.S. al-Nisa’ ayat 33, sebagai upaya mengatasi bagian warisan cucu garis perempuan yang dalam sistem kewarisan fiqh sunny, menjadi zawi al-arham (tidak berhak mewarisi).[55] Selain itu, juga Munawir Sjadzali melalui konsep Reaktualisasi Ajaran Islamnya,[56] dan Bustanul Arifin[57] melalui kelembagaan Hukum Islam meski lebih menampilkan peranan birokrasi sebagai lokomotif pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia. Pemikir pembahasan Hukum Islam yang lain adalah Sahal Mahfudh yang menulis Nuansa Fiqh Sosial, dan Ali Yafie dengan bukunya Menggagas Fiqh Sosial. Selain itu, juga khazanah pembaharuan pemikiran Hukum Islam Indonesia juga mencatat Masdar F. mas’udi yang menulis buku Islam Agama Keadilan yang membicarakan zakat dan pajak. Tentu saja masih banyak pemikir lain yang memiliki sumbangan besar, yang tidak bisa disebut semuanya di sini.[58]
            Secara kelembagaan, MUI melalui Komisi Fatwanya yang diketuai Ibrahim Hosen (1920-) banyak dituduh sebagai ulama pesanan pemerintah karena fatwa-fatwanya lebih banyak diwarnai dukungannya terhadap kebijakan pemerintah. Ia memulai gerakan pembaharuannya dengan menggalakkan studi fiqh perbandingan, usul fiqh perbandingan dan siyasah syar’iyah di IAIN. Nahdlatul Ulama (NU) juga melakukan pembaharuan di dalam formulasi Hukum Islam. Ini bisa dilihat dalam keputusan Munas Lampung, dari istinbath qauly yang merujuk pada aqwal al-‘ulama menjadi istinbat manhajy. Demikian juga Muhammadiyah di dalam Majelis tarjihnya. Untuk mengetahui secara mendalam pada pembaharuan dalam NU dan Muhammadiyah tentu perlu penelitian tersendiri.[59]
            Para pemikir tersebut mengedepankan perlunya lembaga tajdid dan ijtihad dilakukan untuk memformulasikan Hukum Islam yang siap untuk menjawab persoalan hukum di dalam masyarakat. Metodologi yang ditawarkan adalah metode-metode rumusan para ulama mazhab, seperti qiyas, istihsan, maslahat mursalah, dan sadd al-zari’ah.[60]
            JND. Anderson mengemukakan adanya tipe pola pembaharuan Hukum Islam di negara-negara Muslim, yang dikedepankan oleh: (1) Negara yang masih menganggap syari’ah sebagai hukum dasar dan masih diterapkan seluruhnya, seperti Arab dan Nigeria Utara. Negara ini belum menerima sistem hukum lain mana pun, dan sedikit sekali melaksanakan hukum yang bersumber pada inspirasi Barat, (2) Negara yang membatalkan hukum syari’ah dan menggantinya dengan hukum yang seluruhnya sekuler, seperti Turki, meski diakui bahwa berlakangan upaya peninjauan kembali mulai dilakukan, (3) Negara yang menempuh usaha kompromi antara syari’ah dan hukum sekuler dengan menyusun kembali formulasi Hukum Islam. Yang menunjukkan pola terakhir ini di antaranya mesir, Syiria, Irak dan termasuk Indonesia.[61] Indonesia sendiri memulai pembaharuannya relatif terlambat dibanding dengan negara-negara Muslim lain. Karena praktis baru diawali pada era 1970-an.[62]

Trend Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia.
            Trend pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia, meminjam terminologi Fazlur Rahman, menunjukkan trend neo-modernisme. Ini dapat direpresenstasikan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi produk legislasi di Indonesia. Ciri-cirinya adalah (1) Mempertimbangkan seluruh tradisi Islam, baik yang bersifat tradisional maupun modern, (2) Pembedaan antara Islam, normatif dan historis, atau Islam konseptual dan Islam aktual, (3) Digunakan metodologi ilmiah dalam upaya reformulasi Hukum Islam, berdasarkan khazanah intelektualisme Islam klasik dan akar-akar spritualisme Islam, (4) Penafsiran al-Qur’an dan al-Sunnah secara historis sosiologis dan kronologis, (5) Ada pembedaan antara yang ideal-moral dengan legal-spesifik, dengan mengedepankan ideal moral, (6) Upaya mensistematisasi metode penafsiran modernisme klasik, (7) Memasukkan masalah kekinian ke dalam pertimbangan reinterpretasi al-Qur’an.[63]
            Apabila diperhatikan langkah-langkah penyusunan Kompilasi Hukum Islam, maka pola neo-modernisme akan tampak sekali, yaitu (1) Pengkajian kitab-kitab fiqh, (2) Wawancara ulama, (3) Pengkajian yurisprudensi Pengadilan Agama, (4) Studi banding ke negara-negara Muslim, dan (5) Lokakarya dan seminar yang diikuti oleh ahli hukum dan ulama.[64]
            Dalam konteks pembaharuan pemikiran Hukum Islam yang bersifat perorangan juga menunjukkan fenomena yang sama. Artinya, penggalakan kembali lembaga ijtihad merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan. Selain itu, kajian interdisipliner dan pendekatan takhayur atau yang sering disebut talfiq, merupakan pilihan yang cukup efektif. Dari segi format, yang efektif adalah formulasi dalam peraturan perundang-undangan. Meski dampak yang kurang menguntungkan dari model legislasi ini diakui adanya, sekurang-kurangnya semakin ditinggalkan kitab-kitab fiqih bagi kalangan hakim Pengadilan Agama, karena telah merasa cukup dengan peraturan perundangan yang ada.[65]

Kesimpulan dan Penutup
            Trend pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia menunjukkan kecenderungan corak neo-modernisme. Hal ini karena, baik dalam konteks perorangan, kelembagaan, mapupun borokrasi (pemerintah), melalui peraturan perundang-undangan (jika pemilahan ini dibenarkan), menunjukkan bahwa kompromi antara syari’ah atau fiqh, Hukum Barat, dan Hukum Adat yang hidup dalam kesadaran masyarakat menjadi pilihan yang efektif. Lembaga ijtihad atau tajdid dikedepankan, pola lintas mazhab dikembangkan, dan teknik kompilasi, baik yang berbentuk administratif maupun substansi hukumnya, merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar. Sementara it, talfiq yang dalam perspektif masyarakat tertentu ditabukan menjadi alternatif yang cukup efektif bagi upaya pembaharuan Hukum Islam.[66]


[1] Mahasiswa pada Program Doktor Hukum UII 2009/2010
                [2] Geg Barton mislanya, dalam bukunya The Emergence of Neo-Modernism: a Progressive, Liberal, Movement of Islamic Thought in Indonesia, telah melakukan kajian pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Meskipun di dalamnya secara sambil lalu menyinggung juga pemikiran pembaharuan di bidang Hukum Islam. Kamal Hassan, seorang sarjana Malaysia, juga telah melakukan penelitian yang hampir sama, yang lebih memfokuskan kepada pendekatan teologis, yang kemudian dibukukan dalam Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, yang sudah diterjemahkan Ahmadie Thoha. B.J. Boland dengan bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia, yang diindonesiakan dengan judul Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, juga telah melakukan kajian terhadap pembaharuan pemikiran Islam. Demikian juga Riaz Hassan dalam bukunya Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme. Sarjana Indonesia yang menaruh perhatian dalam bidang ini, untuk menyebut beberapa contoh adalah Deliar Noer dalam bukunya The Modernist Movement in Indonesia 1900-1942, Fachri Ali dan Bahtiar Effendy dalam Merambah Jalan Baru Islam, dan Aqib Suminto, dkk dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution.
                [3] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 156.
                [4] Lihat BJ. Holand, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970 (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 172.
                [5] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 156.
                [6] Ibid.
                [7] Ibid., hlm. 156-157.
                [8] Ibid., hlm. 157.
                [9] Lihat M. Atho’ Mudzhar, “Fiqh dan Reaktulisasi Ajaran Islam”, Makalah, Seie KKA 50 Tahun V/1991, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1991, hlm. 1-2. Lihat juga buku penulis, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1995), hlm. 31-33.
                [10] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 157.
                [11] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 158.
                [12] Ibid.
                [13] Ibid.
                [14] Ibid.
                [15] Ibid.
                [16] Ia mengemukakan bahwa informasi awal yang secara kangsung berkaitan dengan kontroversi kelangsungan ijtihad muncul sekitar tahun 500 H. Bentuknya silang pendapat antara seorang ahli hukum dan mazhab , Ibn ‘Aqil (w. 413 H/ 1119 M) dan seorang sarjana dari mazhab Hanafi yang tidak diketahui namanya. Ia berkesimpulan bahwa isu tertutupnya pintu ijhtihad, lebih banyak dalam bidang teologi, ketimbang hukum. Karena itu, menurutnya, pintu ijtihad tidak bisa ditutup. Ia mengutip riwayat Abu Dawud; “Sesunggunya Allah mengutus pada umat ini bahwa pada setiap penghujung tiap-tiap seratus tahun ada seseorang yang memperbaharui (pemahamn) agamanya”. Lihat Sunan Abu Dawud, juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H, 1994M), hlm. 318. Wael B. Hallaq, “was the Gate of Ijtihad Closed? “dalam International Journal of Middle Eastern Studies, 16, 1, 1984. Juga “Kontroversi Seputar Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad”, dalam al-Hikmah, Jurnal Studi-studi Islam, no. 7, 1413 H/ 1992, hlm. 43.
                [17] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 159.
                [18] Panitia Penyusun Biografi, Prof. K.H. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Putra Harapan, 1990), hlm. 103-104.
                [19] Lihat Prof. K.H Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 112-122.
                [20] K.H. M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 27.
                [21] Ibid., hlm. 25.
                [22] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 160-161.
                [23] Ibid., hlm. 161.
                [24] Ibid.
                [25] Ibid.
                [26] Ibid., hlm. 162.
                [27] Sulastomo, dkk (eds), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), hlm. 87.
                [28] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 162.
                [29] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1993), hlm. 115.
                [30] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 163.
                [31] Ibid
                [32] Ibid., hlm. 163-164.
                [33] Elaborasi tentang pemikiran ketiga tokoh tersebut, lihat Azumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepul;auan Nusantara, Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 1995), terutama bab IV “Para Perinmtis Gerakan Pembaharuan Islam Nusantara Ulama Melayu-Indonesia dalam Jaringan Abad ke-17”, hlm. 166-308.
                [34] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 164-165.
                [35] Ibid., hlm. 165.
                [36] Ibid.
                [37] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 320.
                [38] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 13.
                [39] BJ. Bolland, Pergumulan Islam di Indonesia, terj. Safroedin Bahar (Jakarta: Grafiti Pers, 1895), hlm. 12-13.
                [40] Ahmad Syafi’i Ma’arif menilai dalam perubahan Piagam Jakarta ini, sebenarnya pihak Islam tidaklah terlalu dikalahkan, sebab atribut Yang Maha Esa dalam UUD 1945 juga menjiwai seluruh pembukaan dan batang tubuh konstitusi kita. Hanyalah golongan yang tidak jujur terhadap sejarah saja yang mungkin mengingkari konsensus politik yang penting ini. A. Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 163.
                [41] Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 87. Dalam kaitan ini Syafi’i Ma’arif menyebutkan bahwa Masyumi pantas menerima penghargaan, karena berhasil menyiapkan sumber daya manusia dengan kualitas moral – intelektual secara prima untuk berpolitik, tapi perangkat lunak berupa teori Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia memang belum sempat dilahirkan, lihat A. Syafi’i Ma’arif, Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 7. 
                [42] NU muncul sebagai partai terbesar nomor tiga sesudah PNI dan Masyumi, dengan meraih 18,4% (45 kursi) di Parlemen. Lihat Alfian, Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Dewan Perwakilan Rakyat (Jakarta: Leknas, 1971), hlm. 9.
                [43] Nurcholish Madjid, “Islam in Indonesia: Challenges and Opportunities”, dalam Mizan, No. 3 (Jakarta: PPI, 1984), hlm. 80.
                [44] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm.
                [45] Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jya, 1984), hlm. 45.
                [46] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 168.
                [47] Sudirman Tebba, Islam Orde Baru Perubahan Politik dan Keagamaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hlm. 4-5. A. Syafi’i Ma’arif berpendapat bahwa potret institusi politik Islam hanya dapat berperan sebagai lembaga yang memberikan keuntungan-keuntungan tertentu kepada kelompok umat tertentu pula. Karena itu, sangat sulit mengharapkan partai-partai politik Islam untuk dapat menyalurkan aspirasi umat Islam secara menyeluruh. Lihat A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985). Juga “Peta Bumi Intelektualisme”, Op.cit hlm. 176-177.
                [48] Greg Fealy dan Greg Barton (eds.), Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama Negara; terj. Tim Penerjemah KLiS (Yogyakarta: LKiS, 1997), hlm. 278.
                [49] Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Op. Cit., hlm. 278.
                [50] R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), hlm. xiii-xvii.
                [51] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 170.
                [52] R. William Liddle, Islam, Ploitik dan Modernisasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), hlm. xiii-xvii.
                [53] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 170-171.
                [54] Munawir Sjadzali, “Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menetukan Peradilan Agama di Indonesia” dalam Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek (Bandung: Rosda Karya, 1991), hlm. 45. Ia adalah orang Indonesia pertama yang sejak 1940 dan dipertegas pada 1960 menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Lihat Nouruzzaman, Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. vii, xx, 57.
                [55] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 29.
                [56] Lihat Muhammad Wahyuni Nafis (ed), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 87-98.
                [57] Lihat Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
                [58] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 171-172.
                [59] Ibid., hlm. 172.
                [60] Ibid.
                [61] JND. Anderson, Hukum Islam di dunia Modern, alih bahasa Machnun Husein (Surabaya: Amarpress, 1991), hlm. 91-95. Lihat juga James P. Piscatori, “Politik Ideologis di Arab Saudi”, dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (eds), Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 200.
                [62] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 173.
                [63] Lihat Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neo-Modernisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), hlm. 65-66. Juga Fazlur Rahman, Islam, (ter.j Ahsin Mohammad), (Bandung: Pustaka, 1984).
                [64] Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 44. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hlm. 22.
                [65] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum., hlm. 174.
[66] Ibid.

Tidak ada komentar: