POLA PENETAPAN HUKUM ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(ANTARA FAKTA DAN CITA)
I
Kembalinya
Nahdlatul Ulama kepada khitthah perjuangan tahun 1926 sebagai salah satu
keputusan penting Mukhtamar ke 27 di Situbondo merupakan tonggak penting dalam
pengembangan pemikiran keagamaan NU kepada kedudukannya semula sebagai jam’iyyah
diniyyah ijtimaiyyah, usaha-usaha peningkatan pemahaman dan pengabdian
dalam bidang-bidang sosial keagamaan dapat lebih dikonsentrasikan. Bersamaan
dengan itu, munculnya beberapa figur tertentu dalam kepemimpinan NU baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah telah membersitkan secercah harapan bagi
terjadinya pengembangan pemikiran keagamaan dimaksud. Hal ini berlaku, baik
dalam bidang teologi (baca: Ilmu Kalam) maupun dalam bidang hukum Islam (fiqh).[1]
Petunjuk-petunjuk ke arah tersebut telah
semakin nyata dengan dilangsungkannya berbagai seminar dan sarasehan
(halqah) di lingkungan jam’iyyah dan pesantren sebagai basis
pemikiran keagamaan kaum Nahdliyyin. Khususnya dalam forum-forum halqah
yang semakin semarak penyelenggaraannya di berbagai pesantren, nampak dengan
jelas betapa pemikiran keagamaan yang berlaku selama ini di lingkungan
Nahdliyyin telah dihadapkan kepada gugatan-gugatan dari dalam. Suatu fenomena
yang tidak mungkin didiamkan begitu saja, apalagi dipasung untuk kemudian
dianggap sebagai riak-riak kecil yang pernah mengganggu perkembangan pemikiran
NU dalam sejarahnya yang panjang.[2]
Makalah
singkat dan sederhana ini sengaja dikhususkan untuk membahas aspek pemikiran
hukum Islam dalam NU, dengan pertimbangan bahwa aspek inilah yang terasa
paling dominan dalam kehidupan warga Nahdliyyin. Forum-forum pembahasan masalah-masalah keagamaan yang dikenal dengan
nama bahtsul masail, baik yang berlangsung di berbagai tingkatan
kepungurusan Jam’iyyah maupun yang berlangsung di pesantren-pesantren, sebagian
besar tersita untuk memecahkan masalah-masalah hukum Islam ini.[3]
Untuk
memberikan gambaran yang jelas tentang pola penetapan hukum di lingkungan NU,
makalah ini akan mendeskripsikan garis-garis besar jalannya bahtsul-
masail selama ini, untuk kemudian dihadapkan kepada berbagai gugatan yang
datang dari dalam lingkungan Nahdliyyin sendiri sebagaimana dimunculkan dalam
berbagai seminar dan halaqah. Hal ini pun akan diungkapkan dalam bentuk
garis-garis besar pula.[4]
II
Sejalan
dengan mayoritas (jumhur) ulama, NU mendasarkan paham keagamaannya pada
empat sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas.[5]
Dalam
memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumber-sumbernya di atas, NU tidak
melakukannya secara langsung melalui ijtihad para ulamanya, melainkan dengan
menggunakan pendekatan madzhab. Khusus dalamn bidang fiqh, NU mengikuti salah
satu di antara keempat madzhab fiqh yang terkenal (al-mazahibul arba’ah).
Hal ini telah digariskan dalam pasal 2 dari Anggaran Dasar NU yang pertama yang
lebih dikenal dengan sebutan Statuten 1926. Ketentuan pasal 2 ini
diperkuat kembali dalam berbagai keputusan muktamar sampai dengan muktamar yang
terakhir (ke 28) di Yogyakarta beberapa bulan yang lalu.[6]
Memperhatian
rumusan yang terdapat dalam Anggran Dasar dimaksud, dapat dipahami bahwa secara
teoritis formal NU memiliki pemikiran hukum Islam yang berbeda dengan
organisasi-organisasi Islam Indonesia yang lain, yang juga sama-sama
mengikatkan diri pada pendekatan madzhab. Sebagaimana termaktub dalam Anggaran
Dasarnya, Perti, Al-Jam’iyatul Washliyah dan Nahdlatul Wathan menegaskan
keterikatannya hanya pada madzhab Imam Asy-Syafi’i.[7]
Namun
demikian dalam praktek penetapan hukum Islam di lingkungan NU, perbedaan formal
dan teoritis di atas tidak nampak di permukaan. Baik ketiga organisasi di atas,
maupun NU, ternyata sama-sama berpegang teguh pada madzhab Asy-Syafi’i. Hal ini
dapat dibuktikan dengan menelusuri semua keputusan yang diambil NU dari
muktamar-muktamar, yang selalu mengacu kepada kitab-kitab yang disusun dalam
madzhab Asy-Syafi’i.[8]
Setidak-tidaknya
ada dua alasan pokok mengapa NU hanya menjadikan madzhab Asy-Syafi’i sebagai
panutan:[9]
Pertama, karena madzhab fiqh yang dominan sejak masa-masa awal Islam di
Nusantara adalah madzhab Asy-Syafi’i, maka dengan alasan praktis sudah sewajarnya
apabila rumusan Anggaran Dasar tentang “salah satu dari empat madzhab”
diartikan sebagai madzhab Asy-Syafi’i.[10]
Kedua, pengalaman sejarah berabad-abad dari umat Islam di Indonesia
menunjukkan bahwa fiqh Islam versi madzhab Asy-Syafi’i nampak relatif lebih
cocok untuk diterapkan di sini. Khusus untuk alasan terakhir ini, diskusi lebih
lanjut sangat mungkin untuk dikembangkan.[11]
Dengan
kedua alasan pokok di atas, di samping alasan-alasan lain, dan ditambah pula
dengan adanya kode etik dalam bermadzhab yang tidak memperkenankan talfiq
(pemaduan antara dua pendapat dari dua madzhab dalam dua masalah yang masih
dalam satu paket amalan), semakin mantaplah keterikatan NU pada madzhab Asy-Syafi’i.[12]
Seperti
telah disinggung di atas, dalam mengikuti madzhab Asy-Syafi’i NU dengan bahtsul
masail selalu merujuk kepada kitab-kitab yang disusun oleh ulama-ulama
bermadzhab Asy-Syafi’ (Syafi’iyyah), terutama sekali yang berwujud kitab-kitab
fiqh. Dan ini pun terbatas pada kitab-kitab yang pada umumnya ditulis oleh para
fuqaha mutaakhkhirin. Kemungkinan besar pertimbangan-pertimbangan
praktis banyak menentukandalam pemilihan kitab-kitab dimaksud. Yakni bahwa
kitab-kitab itu sangat mudah diperoleh, dan selama ini kitab itu pulalah yang menjadi
pedonaman bagi warga Nahdliyyin dalam praktek-praktek hukum Islam. Di samping
itu, terdapat pula alasan filosofis dengan berangkat dari asumsi bahwa para
penulis kitab fiqh tersebut merupakan juru bicara resmi bagi pemikiran hukum
Islam madzhab Asy-Syafi’i. Hal ini dimungkinkan oleh adanya sistem isnad
dalam mempelajari masalah agama yang secara tradisional dipegangi dengan setia
oleh para ulama di masa lalu, sehingga otentitas penisbatan suatu pendapat (qawl)
kepada madzhab pemiliknya dapat dijamin. Oleh karena itu, kendati kitab-kitab
dimaksud bukan merupakan karya-karya langsung al Imam Asy-Syafi’i, namun bonafiditasnya
sebagai rujukan madzhab Asy-Syafi’i tidak pernah dipertanyakan. Kitab-kitab
semacam ini di lingkungan NU dikenal dengan sebutan al-kutubul-mu’tabarah
atau al-kutubul mawtsuqu biha, meminjam ungkapan pengarang kitab Bughyatul
Mustarsyidin yang sangat populer di kalangan NU.[13]
Dengan
memperhatikan kitab-kitab yang selama ini menjadi rujukan bahtsul masail, dapat
dikatakan bahwa sebagian besar kitab-kitab dimaksud merupakan kitab-kitab yang
sepi dari pemaparan cara instinbath (penyimpulan hukum) dari dalil-dalil
syar’i. Oleh karena itu dapat dipahami apabila pengertian bermadzhab dalam NU
selama ini selalu diartikan sebagai bermadzhab secara qawli, yakni dengan
mengambil langsung pendapat-pendapat dari kitab-kitab fiqh karya Syafi’iyyah
sebagai rumusan final hukum Islam. Dalam hubungan ini, tidak menjadi
perhatian penting umntuk diketahui bagaimanakah latar belakang munculnya
rumusan itu dan bagaimana pula proses metodologi yang dilalui, yang sudah
barang tentu menyangkut masalah-masalah dasar dalam perangkat kaedah hukum
Islam, baik berupa qawaid fiqhiyyah maupun berupa qawa’id ushuliyyah
(Ushul Fiqh). Hal ini terlihat dengan jelas pada berbagai himpunan keputusan
Muktamar yang didonminasi oleh ungkapan halal atau haramnya sesuatu karena
adanya nash (teks) kitab tertentu yang menyatakan demikian.[14] Di sini
nampak bahwa selesai tidaknya pemecahan suatu permasalahan bergantung kepada
ada tidaknya jawaban eksplisit tantang masalah itu dalam kutub mu’tabarah.[15]
Apabila
masalah yang dibicarakan tidak ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab dimaksud,
sikap tawaqquf (menunda pemecahan alias mem”peti es”kan permasalahan)
harus diambil, dan permasalahan itu dinyatakan sebagai mawquf. Sikap ini
ditempuh dengan pertimbangan bahwa selagi para ulama NU masih tergolong dalam
tingkat muqallidin (para pentaqlid),[16] yang
pengakuan ini merata pada semua ulama NU, belum diperbolehkan bagi mereka untuk
memberikan fatwa dengan beristinbath langsung dari dalil-dalil syar’i.
Hal ini sejalan dengan ungkapan penulis Bughyatul Mustarsyidin yang
hanya membolehkan bagi orang semacam ini untuk menukil hukum dari mufti lain
atau dari kitab terpercaya.[17]
وليس له الإفتاء فيما لم يجده مسطورا
وإن وجد له نظيرا
Artinya: tidak boleh bagi orang tersebut
memberikan fatwa dalam hal-hal yang tidak menjumpai masalah itu tertulis secara
eksplisit dalam kitab-kitab mu’tabarah, kendati orang tersebut menjumpai
hal yang menyerupai.
Menyadari
bahwa di antara para ulama Syafi’iyyah sendiri mustahil selalu terjadi
kesepakatan dalam semua masalah, maka Mu’tamar NU yang pertama di Surabaya
telah menetapkan peringkat kualitas pendapat yang harus dipedomani dalam memilih
di antara berbagai pendapat. Ada enam peringkat dalam hal ini:[18]
1. Pendapat yang disepakati
oleh Asy-Syaikhan (An-Nawawi dan Ar-Rafi’i).
2. Pendapat yang dipegangi
oleh An-Nawawi saja.
3. Pendapat yang dipegangi
oleh Ar-Rifa’i saja.
4. Pendapat yang didukung
oleh mayoritas ulama.
5. Pendapat ulama yang
terpandai.
6. Pendapat ulama yang paling
“wara’”.[19]
Akan
tetapi dalam praktek bahtsul masail, ketentuan peringkat ini nampaknya tidak
menjadi perhatian lagi dalam proses pentarjihan di antara berbagai
pendapat yang berbeda.[20]
Dari
apa yang telah digambarkan di atas, dapat dimaklumi apabila pembahasan masalah
dalam Bahtsul Masail cenderung bersifat legal formal dalam pendalaman tentang
aspek-aspek yang menyangkut hakekat permasalahan, latar belakang sosial, ekonomi,
budaya dan yang semacamnya. Demikan pula alternatif-alternatif yang mungkin
dapat diambil sebagai jalan keluar. Hal ini berkaitan dengan kurangnya
informasi mengenai disiplin ilmu yang menjadi pokok permasalahan, seperti ilmu
ekonomi, kedokteran dan lain-lain. Di samping itu belum membudayakan tradisi
penulisan makalah di lingkungan ulama NU merupakan kendala teknis tersendiri
bagi pengungkapan pemikiran secara relatif lebih utuh dalam bahtsul masail.[21]
III
Sebagai konsekuensi dari sebuah
organmisasi yang mengaku diri sebagai organisasi yang dinamis, munculnya rasa
ketidakpuasan di kalangan warga NU terhadap praktek bahtsul masail yang sudah
dan sedang berjalan merupakan suatu kewajaran. Dalam kaitan inilah, berbagai
kritik yang muncul dalam berbagai forum dari kalangan dalam NU sendiri baik
melalui artikel ilmiah maupun melalui forum seminar dan halqah
seharusnya dilihat sebagai denyut nadi pemikiran NU yang menjadi pertanda masih
berlangsungnya dinamika kehidupan di sana.[22]
Di
antara berbagai otokritik yang muncul, yang sangat menarik untuk diketengahkan
di sini adalah yang muncul dari peserta halqah yang notabene
adalah para pemangku pondok-pondok pesantren
terkemuka di Jawa khususnya. Terlepas apakah masing-masing mereka
menempati posisi Top Leader di pesantrennya ataukah sebagian mereka
hanya menempati peringkat kedua atau di bawah itu, yang hal ini memang penting
dalam menilai refresentatif atau tidaknya mereka dalam membawakan suara pondok
pesantren, keberanian mereka untuk melakukan otokritik jelas merupakan
terobosan baru. Gugatan-gugatan yang mereka lontarkan bukan hanya merupkan
pendapat aneh yang segera harus dibungkam, melainkan justru lebih sering
diangkat sebagai kesimpulan halaqah itu sendiri.[23]
Halqah
Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (Asosiasi Pondok Pesantren NU yang biasa
disingkat RMI) yang terakhir di pondok pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar
Jombang pada tanggal 26-28 Januari 1990 membicarakan topik yang sangat peka,
yakni tentang bermadzhab dalam konteks kehidupan Umat Islam Masa Kini. Hampir
satu tahun sebelum itu, tepatnya pada tanggal 6-7 Maret 1989, telah
dilangsungkan pula halqah tentang pengembangan Majlis Bahtsul Masail di
Pondok Pesantren Al- Munawwir Krapyak Yogyakarta.[24]
Kedua
halqah di atas merupakan halqah yang paling relevan bagi pembahasan
makalah ini, mengingat topik pembicaraannya yang langsung berkaitan dengan
pokok bahasan makalah ini.[25]
Untuk
menghindari mawqufnya penetapan masalah-masalah baru yang belum sempat
dibahas dan bahkan belum senpat dibayangkan oleh para penulis kitab-kitab madzhab
Asy-Syafi’i, halqah denanyar menyepakati ditempuhnya sisitem bermadzhab
secara manhaji, yakni dengan mengikuti manhaj (mnetode) istinbath yang
tealh ditempuh oleh imam madzhab. Pengertian imam madzhab di sini tidak hanya
mencakupm Imam Asy-Syafi’i saja, melainkan juga mencakup ketiga Imam madzhab
yang lain. Demikian pula dalam bermadzhab secara qawli, pendapat yang
diambil tidak terbatas hanya dari lingkungan madzhab Asy-Syafi’i melainkan juga
dari ketiga madzhab lain.[26]
Mengenai
ketetapan untuk mengambil manhaj dan qawl di luar madzhab Asy-Syafi’i
ini, menurut hemat penulis, Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama memang
memungkinkannya. Atau setidak-tidaknya tidak terdapat penyataan yang secara
eksplisit dalam AD NU yang melarangnya. Bahkan justru dalam penyusunan rumusan
AD NU yang tidak secara langsung menyebut NU sebagai organisasi yang terikat
hanya pada madzhab Asy-Syafi’i, seperti yang telah disinggung sebelumnya, nampak kearifan para ulama tokoh
pendiri NU yang memungkinkan warganya mengambil pendapat dari ketiga madzhab
yang lain, apabila hal itu memang dibutuhkan.[27]
Satu-satunya
kendala untuk mengambil aqwal dari madzhab lain hanyalah kode etik yang
tidak membolehkan talfiq dalam satu paket amalan. Masalah talfiq
dan masalah Tatabbu’ur Rukhash (mencari pendapat-pendapat yang ringan untuk
diambil) memang merupakan masalah yang perlu memperoleh kejelasan yang segera
dalam kaitannya dengan realisasi kesepakatan di atas.[28]
Dalam
hubungannya dengan bermadzhab secara manhaji yang dalam batas-batas tertentu
sebenarnya telah dipraktekkan oleh sebagian ulama pengikut madzhab di masa-masa
dahulu sebagaimana dibuktikan oleh adanya perbedaan anatara aqwal ‘ulamail madzhab
dengan qawlul imam, NU dihadapkan pada hambatan lain, yakni hambatan
psikologis para ulamanya. Sebab betapaun adanya, bermadzhab secara manhaji
berarti melakukank ijtihad, suatu tema yang dianggap berlawanan dengan sikap tawadlu’
yang menjadi ciri yang menonjol pada para ulama NU. Kendati sebenarnya tema
ijtihad dalam Ushul Fiqh mengenal beberapa tingkatan, dari yang tertinggi
sampai yang terendah namun hambatan psikologis ini nampak sulit untuk
disingkirkan. Untuk itulah halqah Denanyar menyepakati rumusan istinbath
jama’i (penggalian hukum Islam secara kolektif). Dengan tema istinbath
yang pada hakekatnya merupakan kewenagan mujtahid, hambatan psikologis dari
penggunaan tema ijtihad dapat diatasi. Demikian pula dengan istinbath
secara Jama’i (kolektif), diharapkan agar sikap tawadui’ yang
mungkin dianggap berlebihan itu diharapkan dapat mencair.[29]
Adapun
dalam masalah pemilihan pendapat di antara pendapat-pendapat yang berbeda yang
dalam istilah kelompok lain dikenal dengan istilah tarjih – halqah
menyepakati dilakukannya pengambilan keputusan secara kolektif (taqrir
jama’i).[30]
Adanya
syarat kolektif (jama’i) dalam istinbath dan taqrir seperti
tersebut di atas sangat penting pula artinya dalam mencegah kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, yang sekaligus
pula berguna dalam menjaga kebersamaan dalam berorganisasi.[31]
Untuk
merealisir kesepakatan-kesepakatan di atas, pendalaman terhadap Ushulul-Fiqh,
Qawa’id Fiqhiyyah, Muqaranatul Madzahib (perbandingan madzhab) dan yang
semacamnya, merupakan suatu keniscayaan. Bahkan dalam rangka lebih memantapkan
pelaksanaan kesepakatan di atas, adanya ulama-ulama NU yang memiliki
spesialisasi dalam masing-masing madzhab yang empat, seperti diusulkan oleh
sementara peserta halqah, sangat layak untuk dipertimbangkan.[32]
Dalam
hubungannya dengan masalah kutub mu’tabarah, halqah krapyak mempertanyak
relevansinya. Hal ini berkaitan dengan kurang jelasnya kriteria yang harus
digunakan untuk mengukur sajauh mana suatu kitab digolongkan ke dalam kelompok kutub
mu’tabarah.[33]
Bahkan
lebih dari itu, terhadap kitab-kitab yang selama ini diterima sebagai kutubul
mu’tabarah sekali pun halqah sebelumnya di Watucongol Muntilan
Magelang telah memutlakkan perlunya kontekstualisasi pemahaman. Sebab
pemikiran-pemikiran yang ada dalam kitab-kitab itu sendiri lahir antara lain
menurut dhurufnya sendiri. Oleh karena itu upaya pemahamnnya pun tidak terbatas
pada makna-makna harfiyah, melainkan harus mampu menyentuh natijah-natijah pemikiran
yang menjadi jiwanya. Terlebih lagi apabila disadari bahwa kitab-kitab yang
selama ini mendominasi forum bahtsul masail lebih banyak berasal dari karya
ulama mutaakhkhirin yang kadangkala mnengandung rumusan-rumusan
pemikiran yang berbeda dengan karya ulama yang lebih awal. Dalam kaitan ini
sangat layak untuk direnungkan pendapat Almarhum K.H. Ali Ma’sum yang membagi
kitab-kitab madzhab Asy-Syafi’i dalam lima tingkatan, sesuai dengan tingkatan
kemampuan orang yang mempelajarinya. Untuk itu beliau menempatkan kitab-kitab
karya Imam As-Syafi’i sendiri seperti, Al-Umm. Ar-Risalah, Ahkamul Qur’an
dan Al-Musnad pada tingkatan tertinggi.[34]
Adapun
dalam rangka mengatasi kesan kurang mendalamnya pembahasan forum Bahtsul
Masail, perjuangan forum tersebut berdasarkan berat ringannya masalah yang
dibahas, yang dibarengi dengan seleksi permasalahan menurut relevansinya, perlu
mendapatkan perhatian. Dengan demikian, jumlah masalah yang ditargetkan untuk
diselesaikan tidak nampak terlalu dipaksakan. Di samping itu, guna menunjang
pemahaman yang lebih utuh tentang hakekat permasalahan yang dibahas sehingga
mampu menelorkan keputusan yang bijaksana sesuai dengan kemaslahatan universal
ajaran Islam, kehadiran serta peran serta yang aktif dari para pakar ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi begitu penting. Terlebih lagi dalam
hubungannya dengan para pakar yang berasal dari lingkungan Nahdliyyin sendiri,
yang selama ini nampak kurang merasa peran sertanya oleh NU dan pesantrennya.[35]
Adalah
wajar apabila setiap gagasan penyegaran, apalagi pembaruan, akan mengundang
reaksi yang tidak selalu positif. Demikian pulalah halnya dengan gagasan
pengembangan Majlis Bahtsul Masail.[36]
Satu
hal yanh harus disadarai, terutama oleh para penentang gagasan itu ialah bahwa
keterbukaan informasi yang menjadi ciri yang kuat dari abad kita sekarang ini
menuntut sikap yang sangat arif dalam memberikan penilaian. Ditambah dengan
kenyataan semakin banyakanya putra-putri Nahdliyyin yang mengenyam pendidikan
di lembaga-lembaga yang terbuka untuk masuknya pendapat-pendapat yang berbeda,
maka siap memasung dan membungkam gagasan itu dapat dianggap sebagai bentuk
kesewenang-wenangan.[37]
Yang
penting dalam hal ini adalah pembinaan dan peningkatan forum-forum komunikasi
untuk menjembatani kemauan dari kedua belah pihak. Cara semacam ini, di samping
dapat mengurangi konservativisme di kalangan para penentang, juga mencegah
sedini mungkin terjadinya langkah-langkah pengembangan pemikiran yang tak
terkendali dari sementara pemilik gagasan dimaksud.[38]
Pada
akhirnya NU sebagai organisasi yang dinamis sesuai dengan semboyannya yang
populer:
المحافطة على القديم المصالح والأخذ با
الجديد الأصلح
dituntut untuk mampu membuktikan
penyantunannya, bahkan jika mungkin, penyerapan terhadap gagasan-gagasan baru,
sepanjang hal itu tidak mengancam dasar keyakinannya yang prinsipiil.[39]
CATATAN KAKI
1) Alasan-alasan tentang
wajibnya mengikat diri pada salah satu di antara madzhab empat dapat dilihat
dalam uraian Hadlratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari yang mrupakan kutipan
langsung dari tulisan langsung pelopor pembaruan Islam di anak Benua India, Syah
Wali Allah ad-Dihlawi. Periksa Hasyim Asy‘ari, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama
(Kudus: Menara, 1971), hlm. 52-71. Bandingkan dengan Ad-Dihlawi, Iqdul Jid
fi Ahkamil Ijtihad wa Taqlid (Cairo: Dar Uts-Tasqafah, 1965), hlm. 28-35.
2) Hal ini tercermin antara
lain dalam tuntutan sementara kalangan NU sendiri agar dalam masalah ibadah
dipegangi madzhab Asy-Syafi’i, sedangkan dalam masalah mu’amalah dipegangi madzhab
Abu Hanifah.
3) Keputusan komisi Masail Diniyyah
dari Mu’tamar ke Mu’tamar, sebagian besarnya telah dihimpun dalam buku Ahkamul
Fuqaha’ yang diterbitkan oleh penerbit Menara Kudus.
4) Pengertian Muqallid
dalam NU tidaklah identik dengan orang yang tidak tahu sama sekali tentang
dalil bagi pendapat yang dianutnya, sebagaimana sering dipahami secara salah
oleh orang-orang di luar NU: melainkan mempunyai cakupan yang jauh lebih luas.
Istilah muqallid dalam NU mencakup semua orang yang belum mencapai
tingkatan mujtahid muthlaq mustaqill. Dengan demikian istilah muqallid
di lingkungan NU mencakup pula kualitas muttabi’ (orang yang mengikuti
pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya) yang dikenal di kalangan luar
NU. Lihat Machfud Shiddiq, Di Sekitar Soal Ijtihad dan Taqlid (Surabaya:
Pengurus Besar Nahdlatoel Oelama, 1950), hlm. 77.
5) As Sayid Abdur Rahman Ba’ Alwi,
Bughyatul Mustar Syidin (Beirut: Darul Fikr, t.t), hlm. 7.
6) PB NU, , juz I (Semarang :
Thoha Putra, t.t), hlm. 7.
7) Khusus tentang artikel
yang menyoroti Bahtsul Masail NU dari segi metode dan kritik sumber, dapat
dibaca antara lain beberapa artikel dalam: berkala kajian dan pengembangan ‘Pesantren”, No. 1/Vol/1989 yang diterbitkan
oleh P3M. Jakarta.
8) Zamakhsyari Dhofir
mengutip keterangan K.H. Adlan Ali yang setiap kali melakukan ibadah Haji di
Tanah Suci selalu mengikuti madzhab Imam Malik dengan alasan terlalu berat untuk
mempraktekkan madzhab Asy-Syafi’ di sana. Lihat: Zamakhsyari Dhofir, Tradisi
Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 158.
9) Ali Ma’sum, Imam Syafi’i
dalam Bangkit No. 16 Tahun II Juli 1981, hlm. 20-21.
[6] Alasan-alasan
tentang wajibnya mengikat diri pada salah satu di antara madzhab empat dapat
dilihat dalam uraian Hadlratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari yang mrupakan kutipan
langsung dari tulisan langsung pelopor pembaruan Islam di anak Benua India,
Syah Wali Allah ad-Dihlawi. Periksa Hasyim Asy‘ari, Qanun Asasi Nahdlatul
Ulama (Kudus: Menara, 1971), hlm. 52-71. Bandingkan dengan Ad-Dihlawi, Iqdul
Jid fi Ahkamil Ijtihad wa Taqlid (Cairo: Dar Uts-Tasqafah, 1965), hlm.
28-35.
[16] Pengertian Muqallid
dalam NU tidaklah identik dengan orang yang tidak tahu sama sekali tentang
dalil bagi pendapat yang dianutnya, sebagaimana sering dipahami secara salah
oleh orang-orang di luar NU, melainkan mempunyai cakupan yang jauh lebih luas.
Istilah muqallid dalam NU mencakup semua orang yang belum mencapai
tingkatan mujtahid muthlaq mustaqill. Dengan demikian istilah muqallid
di lingkungan NU mencakup pula kualitas muttabi’ (orang yang
mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya) yang dikenal di
kalangan luar NU. Lihat Machfud Shiddiq, Di Sekitar Soal Ijtihad dan Taqlid
(Surabaya: Pengurus Besar Nahdlatoel Oelama, 1950), hlm. 77.
[27] Zamakhsyari Dhofir mengutip keterangan K.H. Adlan Ali
yang setiap kali melakukan ibadah Haji di Tanah Suci selalu mengikuti madzhab
Imam Malik dengan alasan terlalu berat untuk mempraktekkan madzhab Asy-Syafi’
di sana. Lihat: Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES,
1982), hlm. 158.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar