Selasa, 27 Maret 2012


POLA PENETAPAN HUKUM ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(ANTARA FAKTA DAN CITA)

I
            Kembalinya Nahdlatul Ulama kepada khitthah perjuangan tahun 1926 sebagai salah satu keputusan penting Mukhtamar ke 27 di Situbondo merupakan tonggak penting dalam pengembangan pemikiran keagamaan NU kepada kedudukannya semula sebagai jam’iyyah diniyyah ijtimaiyyah, usaha-usaha peningkatan pemahaman dan pengabdian dalam bidang-bidang sosial keagamaan dapat lebih dikonsentrasikan. Bersamaan dengan itu, munculnya beberapa figur tertentu dalam kepemimpinan NU baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah telah membersitkan secercah harapan bagi terjadinya pengembangan pemikiran keagamaan dimaksud. Hal ini berlaku, baik dalam bidang teologi (baca: Ilmu Kalam) maupun dalam bidang hukum Islam (fiqh).[1]
            Petunjuk-petunjuk ke arah tersebut telah semakin nyata dengan dilangsungkannya berbagai seminar dan sarasehan (halqah) di lingkungan jam’iyyah dan pesantren sebagai basis pemikiran keagamaan kaum Nahdliyyin. Khususnya dalam forum-forum halqah yang semakin semarak penyelenggaraannya di berbagai pesantren, nampak dengan jelas betapa pemikiran keagamaan yang berlaku selama ini di lingkungan Nahdliyyin telah dihadapkan kepada gugatan-gugatan dari dalam. Suatu fenomena yang tidak mungkin didiamkan begitu saja, apalagi dipasung untuk kemudian dianggap sebagai riak-riak kecil yang pernah mengganggu perkembangan pemikiran NU dalam sejarahnya yang panjang.[2]
            Makalah singkat dan sederhana ini sengaja dikhususkan untuk membahas aspek pemikiran hukum Islam dalam NU, dengan pertimbangan bahwa aspek inilah yang terasa paling dominan dalam kehidupan warga Nahdliyyin. Forum-forum pembahasan  masalah-masalah keagamaan yang dikenal dengan nama bahtsul masail, baik yang berlangsung di berbagai tingkatan kepungurusan Jam’iyyah maupun yang berlangsung di pesantren-pesantren, sebagian besar tersita untuk memecahkan masalah-masalah hukum Islam ini.[3]
            Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang pola penetapan hukum di lingkungan NU, makalah ini akan mendeskripsikan garis-garis besar jalannya bahtsul- masail selama ini, untuk kemudian dihadapkan kepada berbagai gugatan yang datang dari dalam lingkungan Nahdliyyin sendiri sebagaimana dimunculkan dalam berbagai seminar dan halaqah. Hal ini pun akan diungkapkan dalam bentuk garis-garis besar pula.[4]

II
            Sejalan dengan mayoritas (jumhur) ulama, NU mendasarkan paham keagamaannya pada empat sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas.[5]
            Dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumber-sumbernya di atas, NU tidak melakukannya secara langsung melalui ijtihad para ulamanya, melainkan dengan menggunakan pendekatan madzhab. Khusus dalamn bidang fiqh, NU mengikuti salah satu di antara keempat madzhab fiqh yang terkenal (al-mazahibul arba’ah). Hal ini telah digariskan dalam pasal 2 dari Anggaran Dasar NU yang pertama yang lebih dikenal dengan sebutan Statuten 1926. Ketentuan pasal 2 ini diperkuat kembali dalam berbagai keputusan muktamar sampai dengan muktamar yang terakhir (ke 28) di Yogyakarta beberapa bulan yang lalu.[6]
            Memperhatian rumusan yang terdapat dalam Anggran Dasar dimaksud, dapat dipahami bahwa secara teoritis formal NU memiliki pemikiran hukum Islam yang berbeda dengan organisasi-organisasi Islam Indonesia yang lain, yang juga sama-sama mengikatkan diri pada pendekatan madzhab. Sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasarnya, Perti, Al-Jam’iyatul Washliyah dan Nahdlatul Wathan menegaskan keterikatannya hanya pada madzhab Imam Asy-Syafi’i.[7]
            Namun demikian dalam praktek penetapan hukum Islam di lingkungan NU, perbedaan formal dan teoritis di atas tidak nampak di permukaan. Baik ketiga organisasi di atas, maupun NU, ternyata sama-sama berpegang teguh pada madzhab Asy-Syafi’i. Hal ini dapat dibuktikan dengan menelusuri semua keputusan yang diambil NU dari muktamar-muktamar, yang selalu mengacu kepada kitab-kitab yang disusun dalam madzhab Asy-Syafi’i.[8]
            Setidak-tidaknya ada dua alasan pokok mengapa NU hanya menjadikan madzhab Asy-Syafi’i sebagai panutan:[9]
Pertama, karena madzhab fiqh yang dominan sejak masa-masa awal Islam di Nusantara adalah madzhab Asy-Syafi’i, maka dengan alasan praktis sudah sewajarnya apabila rumusan Anggaran Dasar tentang “salah satu dari empat madzhab” diartikan sebagai madzhab Asy-Syafi’i.[10]
Kedua, pengalaman sejarah berabad-abad dari umat Islam di Indonesia menunjukkan bahwa fiqh Islam versi madzhab Asy-Syafi’i nampak relatif lebih cocok untuk diterapkan di sini. Khusus untuk alasan terakhir ini, diskusi lebih lanjut sangat mungkin untuk dikembangkan.[11]
            Dengan kedua alasan pokok di atas, di samping alasan-alasan lain, dan ditambah pula dengan adanya kode etik dalam bermadzhab yang tidak memperkenankan talfiq (pemaduan antara dua pendapat dari dua madzhab dalam dua masalah yang masih dalam satu paket amalan), semakin mantaplah keterikatan NU pada madzhab Asy-Syafi’i.[12]
            Seperti telah disinggung di atas, dalam mengikuti madzhab Asy-Syafi’i NU dengan bahtsul masail selalu merujuk kepada kitab-kitab yang disusun oleh ulama-ulama bermadzhab Asy-Syafi’ (Syafi’iyyah), terutama sekali yang berwujud kitab-kitab fiqh. Dan ini pun terbatas pada kitab-kitab yang pada umumnya ditulis oleh para fuqaha mutaakhkhirin. Kemungkinan besar pertimbangan-pertimbangan praktis banyak menentukandalam pemilihan kitab-kitab dimaksud. Yakni bahwa kitab-kitab itu sangat mudah diperoleh, dan selama ini kitab itu pulalah yang menjadi pedonaman bagi warga Nahdliyyin dalam praktek-praktek hukum Islam. Di samping itu, terdapat pula alasan filosofis dengan berangkat dari asumsi bahwa para penulis kitab fiqh tersebut merupakan juru bicara resmi bagi pemikiran hukum Islam madzhab Asy-Syafi’i. Hal ini dimungkinkan oleh adanya sistem isnad dalam mempelajari masalah agama yang secara tradisional dipegangi dengan setia oleh para ulama di masa lalu, sehingga otentitas penisbatan suatu pendapat (qawl) kepada madzhab pemiliknya dapat dijamin. Oleh karena itu, kendati kitab-kitab dimaksud bukan merupakan karya-karya langsung al Imam Asy-Syafi’i, namun bonafiditasnya sebagai rujukan madzhab Asy-Syafi’i tidak pernah dipertanyakan. Kitab-kitab semacam ini di lingkungan NU dikenal dengan sebutan al-kutubul-mu’tabarah atau al-kutubul mawtsuqu biha, meminjam ungkapan pengarang kitab Bughyatul Mustarsyidin yang sangat populer di kalangan NU.[13]
            Dengan memperhatikan kitab-kitab yang selama ini menjadi rujukan bahtsul masail, dapat dikatakan bahwa sebagian besar kitab-kitab dimaksud merupakan kitab-kitab yang sepi dari pemaparan cara instinbath (penyimpulan hukum) dari dalil-dalil syar’i. Oleh karena itu dapat dipahami apabila pengertian bermadzhab dalam NU selama ini selalu diartikan sebagai bermadzhab secara qawli, yakni dengan mengambil langsung pendapat-pendapat dari kitab-kitab fiqh karya Syafi’iyyah sebagai rumusan final hukum Islam. Dalam hubungan ini, tidak menjadi perhatian penting umntuk diketahui bagaimanakah latar belakang munculnya rumusan itu dan bagaimana pula proses metodologi yang dilalui, yang sudah barang tentu menyangkut masalah-masalah dasar dalam perangkat kaedah hukum Islam, baik berupa qawaid fiqhiyyah maupun berupa qawa’id ushuliyyah (Ushul Fiqh). Hal ini terlihat dengan jelas pada berbagai himpunan keputusan Muktamar yang didonminasi oleh ungkapan halal atau haramnya sesuatu karena adanya nash (teks) kitab tertentu yang menyatakan demikian.[14] Di sini nampak bahwa selesai tidaknya pemecahan suatu permasalahan bergantung kepada ada tidaknya jawaban eksplisit tantang masalah itu dalam kutub mu’tabarah.[15]
            Apabila masalah yang dibicarakan tidak ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab dimaksud, sikap tawaqquf (menunda pemecahan alias mem”peti es”kan permasalahan) harus diambil, dan permasalahan itu dinyatakan sebagai mawquf. Sikap ini ditempuh dengan pertimbangan bahwa selagi para ulama NU masih tergolong dalam tingkat muqallidin (para pentaqlid),[16] yang pengakuan ini merata pada semua ulama NU, belum diperbolehkan bagi mereka untuk memberikan fatwa dengan beristinbath langsung dari dalil-dalil syar’i. Hal ini sejalan dengan ungkapan penulis Bughyatul Mustarsyidin yang hanya membolehkan bagi orang semacam ini untuk menukil hukum dari mufti lain atau dari kitab terpercaya.[17]

وليس له الإفتاء فيما لم يجده مسطورا وإن وجد له نظيرا
Artinya: tidak boleh bagi orang tersebut memberikan fatwa dalam hal-hal yang tidak menjumpai masalah itu tertulis secara eksplisit dalam kitab-kitab mu’tabarah, kendati orang tersebut menjumpai hal yang menyerupai.
            Menyadari bahwa di antara para ulama Syafi’iyyah sendiri mustahil selalu terjadi kesepakatan dalam semua masalah, maka Mu’tamar NU yang pertama di Surabaya telah menetapkan peringkat kualitas pendapat yang harus dipedomani dalam memilih di antara berbagai pendapat. Ada enam peringkat dalam hal ini:[18]

1.      Pendapat yang disepakati oleh Asy-Syaikhan (An-Nawawi dan Ar-Rafi’i).
2.      Pendapat yang dipegangi oleh An-Nawawi saja.
3.      Pendapat yang dipegangi oleh Ar-Rifa’i saja.
4.      Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama.
5.      Pendapat ulama yang terpandai.
6.      Pendapat ulama yang paling “wara’”.[19]
            Akan tetapi dalam praktek bahtsul masail, ketentuan peringkat ini nampaknya tidak menjadi perhatian lagi dalam proses pentarjihan di antara berbagai pendapat yang berbeda.[20]
            Dari apa yang telah digambarkan di atas, dapat dimaklumi apabila pembahasan masalah dalam Bahtsul Masail cenderung bersifat legal formal dalam pendalaman tentang aspek-aspek yang menyangkut hakekat permasalahan, latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan yang semacamnya. Demikan pula alternatif-alternatif yang mungkin dapat diambil sebagai jalan keluar. Hal ini berkaitan dengan kurangnya informasi mengenai disiplin ilmu yang menjadi pokok permasalahan, seperti ilmu ekonomi, kedokteran dan lain-lain. Di samping itu belum membudayakan tradisi penulisan makalah di lingkungan ulama NU merupakan kendala teknis tersendiri bagi pengungkapan pemikiran secara relatif lebih utuh dalam bahtsul masail.[21]

III
            Sebagai konsekuensi dari sebuah organmisasi yang mengaku diri sebagai organisasi yang dinamis, munculnya rasa ketidakpuasan di kalangan warga NU terhadap praktek bahtsul masail yang sudah dan sedang berjalan merupakan suatu kewajaran. Dalam kaitan inilah, berbagai kritik yang muncul dalam berbagai forum dari kalangan dalam NU sendiri baik melalui artikel ilmiah maupun melalui forum seminar dan halqah seharusnya dilihat sebagai denyut nadi pemikiran NU yang menjadi pertanda masih berlangsungnya dinamika kehidupan di sana.[22]
            Di antara berbagai otokritik yang muncul, yang sangat menarik untuk diketengahkan di sini adalah yang muncul dari peserta halqah yang notabene adalah para pemangku pondok-pondok pesantren  terkemuka di Jawa khususnya. Terlepas apakah masing-masing mereka menempati posisi Top Leader di pesantrennya ataukah sebagian mereka hanya menempati peringkat kedua atau di bawah itu, yang hal ini memang penting dalam menilai refresentatif atau tidaknya mereka dalam membawakan suara pondok pesantren, keberanian mereka untuk melakukan otokritik jelas merupakan terobosan baru. Gugatan-gugatan yang mereka lontarkan bukan hanya merupkan pendapat aneh yang segera harus dibungkam, melainkan justru lebih sering diangkat sebagai kesimpulan halaqah itu sendiri.[23]
            Halqah Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (Asosiasi Pondok Pesantren NU yang biasa disingkat RMI) yang terakhir di pondok pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar Jombang pada tanggal 26-28 Januari 1990 membicarakan topik yang sangat peka, yakni tentang bermadzhab dalam konteks kehidupan Umat Islam Masa Kini. Hampir satu tahun sebelum itu, tepatnya pada tanggal 6-7 Maret 1989, telah dilangsungkan pula halqah tentang pengembangan Majlis Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Al- Munawwir Krapyak Yogyakarta.[24]
            Kedua halqah di atas merupakan halqah yang paling relevan bagi pembahasan makalah ini, mengingat topik pembicaraannya yang langsung berkaitan dengan pokok bahasan makalah ini.[25]
            Untuk menghindari mawqufnya penetapan masalah-masalah baru yang belum sempat dibahas dan bahkan belum senpat dibayangkan oleh para penulis kitab-kitab madzhab Asy-Syafi’i, halqah denanyar menyepakati ditempuhnya sisitem bermadzhab secara manhaji, yakni dengan mengikuti manhaj (mnetode) istinbath yang tealh ditempuh oleh imam madzhab. Pengertian imam madzhab di sini tidak hanya mencakupm Imam Asy-Syafi’i saja, melainkan juga mencakup ketiga Imam madzhab yang lain. Demikian pula dalam bermadzhab secara qawli, pendapat yang diambil tidak terbatas hanya dari lingkungan madzhab Asy-Syafi’i melainkan juga dari ketiga madzhab lain.[26]
            Mengenai ketetapan untuk mengambil manhaj dan qawl di luar madzhab Asy-Syafi’i ini, menurut hemat penulis, Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama memang memungkinkannya. Atau setidak-tidaknya tidak terdapat penyataan yang secara eksplisit dalam AD NU yang melarangnya. Bahkan justru dalam penyusunan rumusan AD NU yang tidak secara langsung menyebut NU sebagai organisasi yang terikat hanya pada madzhab Asy-Syafi’i, seperti yang telah disinggung  sebelumnya, nampak kearifan para ulama tokoh pendiri NU yang memungkinkan warganya mengambil pendapat dari ketiga madzhab yang lain, apabila hal itu memang dibutuhkan.[27]
            Satu-satunya kendala untuk mengambil aqwal dari madzhab lain hanyalah kode etik yang tidak membolehkan talfiq dalam satu paket amalan. Masalah talfiq dan masalah Tatabbu’ur Rukhash (mencari pendapat-pendapat yang ringan untuk diambil) memang merupakan masalah yang perlu memperoleh kejelasan yang segera dalam kaitannya dengan realisasi kesepakatan di atas.[28]
            Dalam hubungannya dengan bermadzhab secara manhaji yang dalam batas-batas tertentu sebenarnya telah dipraktekkan oleh sebagian ulama pengikut madzhab di masa-masa dahulu sebagaimana dibuktikan oleh adanya perbedaan anatara aqwal ‘ulamail madzhab dengan qawlul imam, NU dihadapkan pada hambatan lain, yakni hambatan psikologis para ulamanya. Sebab betapaun adanya, bermadzhab secara manhaji berarti melakukank ijtihad, suatu tema yang dianggap berlawanan dengan sikap tawadlu’ yang menjadi ciri yang menonjol pada para ulama NU. Kendati sebenarnya tema ijtihad dalam Ushul Fiqh mengenal beberapa tingkatan, dari yang tertinggi sampai yang terendah namun hambatan psikologis ini nampak sulit untuk disingkirkan. Untuk itulah halqah Denanyar menyepakati rumusan istinbath jama’i (penggalian hukum Islam secara kolektif). Dengan tema istinbath yang pada hakekatnya merupakan kewenagan mujtahid, hambatan psikologis dari penggunaan tema ijtihad dapat diatasi. Demikian pula dengan istinbath secara Jama’i (kolektif), diharapkan agar sikap tawadui’ yang mungkin dianggap berlebihan itu diharapkan dapat mencair.[29]
            Adapun dalam masalah pemilihan pendapat di antara pendapat-pendapat yang berbeda yang dalam istilah kelompok lain dikenal dengan istilah tarjih – halqah menyepakati dilakukannya pengambilan keputusan secara kolektif (taqrir jama’i).[30]
            Adanya syarat kolektif (jama’i) dalam istinbath dan taqrir seperti tersebut di atas sangat penting pula artinya dalam mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, yang sekaligus pula berguna dalam menjaga kebersamaan dalam berorganisasi.[31]
            Untuk merealisir kesepakatan-kesepakatan di atas, pendalaman terhadap Ushulul-Fiqh, Qawa’id Fiqhiyyah, Muqaranatul Madzahib (perbandingan madzhab) dan yang semacamnya, merupakan suatu keniscayaan. Bahkan dalam rangka lebih memantapkan pelaksanaan kesepakatan di atas, adanya ulama-ulama NU yang memiliki spesialisasi dalam masing-masing madzhab yang empat, seperti diusulkan oleh sementara peserta halqah, sangat layak untuk dipertimbangkan.[32]
            Dalam hubungannya dengan masalah kutub mu’tabarah, halqah krapyak mempertanyak relevansinya. Hal ini berkaitan dengan kurang jelasnya kriteria yang harus digunakan untuk mengukur sajauh mana suatu kitab digolongkan ke dalam kelompok kutub mu’tabarah.[33]
            Bahkan lebih dari itu, terhadap kitab-kitab yang selama ini diterima sebagai kutubul mu’tabarah sekali pun halqah sebelumnya di Watucongol Muntilan Magelang telah memutlakkan perlunya kontekstualisasi pemahaman. Sebab pemikiran-pemikiran yang ada dalam kitab-kitab itu sendiri lahir antara lain menurut dhurufnya sendiri. Oleh karena itu upaya pemahamnnya pun tidak terbatas pada makna-makna harfiyah, melainkan harus mampu menyentuh natijah-natijah pemikiran yang menjadi jiwanya. Terlebih lagi apabila disadari bahwa kitab-kitab yang selama ini mendominasi forum bahtsul masail lebih banyak berasal dari karya ulama mutaakhkhirin yang kadangkala mnengandung rumusan-rumusan pemikiran yang berbeda dengan karya ulama yang lebih awal. Dalam kaitan ini sangat layak untuk direnungkan pendapat Almarhum K.H. Ali Ma’sum yang membagi kitab-kitab madzhab Asy-Syafi’i dalam lima tingkatan, sesuai dengan tingkatan kemampuan orang yang mempelajarinya. Untuk itu beliau menempatkan kitab-kitab karya Imam As-Syafi’i sendiri seperti, Al-Umm. Ar-Risalah, Ahkamul Qur’an dan Al-Musnad pada tingkatan tertinggi.[34]
            Adapun dalam rangka mengatasi kesan kurang mendalamnya pembahasan forum Bahtsul Masail, perjuangan forum tersebut berdasarkan berat ringannya masalah yang dibahas, yang dibarengi dengan seleksi permasalahan menurut relevansinya, perlu mendapatkan perhatian. Dengan demikian, jumlah masalah yang ditargetkan untuk diselesaikan tidak nampak terlalu dipaksakan. Di samping itu, guna menunjang pemahaman yang lebih utuh tentang hakekat permasalahan yang dibahas sehingga mampu menelorkan keputusan yang bijaksana sesuai dengan kemaslahatan universal ajaran Islam, kehadiran serta peran serta yang aktif dari para pakar ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi begitu penting. Terlebih lagi dalam hubungannya dengan para pakar yang berasal dari lingkungan Nahdliyyin sendiri, yang selama ini nampak kurang merasa peran sertanya oleh NU dan pesantrennya.[35]
            Adalah wajar apabila setiap gagasan penyegaran, apalagi pembaruan, akan mengundang reaksi yang tidak selalu positif. Demikian pulalah halnya dengan gagasan pengembangan Majlis Bahtsul Masail.[36]
            Satu hal yanh harus disadarai, terutama oleh para penentang gagasan itu ialah bahwa keterbukaan informasi yang menjadi ciri yang kuat dari abad kita sekarang ini menuntut sikap yang sangat arif dalam memberikan penilaian. Ditambah dengan kenyataan semakin banyakanya putra-putri Nahdliyyin yang mengenyam pendidikan di lembaga-lembaga yang terbuka untuk masuknya pendapat-pendapat yang berbeda, maka siap memasung dan membungkam gagasan itu dapat dianggap sebagai bentuk kesewenang-wenangan.[37]
            Yang penting dalam hal ini adalah pembinaan dan peningkatan forum-forum komunikasi untuk menjembatani kemauan dari kedua belah pihak. Cara semacam ini, di samping dapat mengurangi konservativisme di kalangan para penentang, juga mencegah sedini mungkin terjadinya langkah-langkah pengembangan pemikiran yang tak terkendali dari sementara pemilik gagasan dimaksud.[38]
            Pada akhirnya NU sebagai organisasi yang dinamis sesuai dengan semboyannya yang populer:
المحافطة على القديم المصالح والأخذ با الجديد الأصلح
dituntut untuk mampu membuktikan penyantunannya, bahkan jika mungkin, penyerapan terhadap gagasan-gagasan baru, sepanjang hal itu tidak mengancam dasar keyakinannya yang prinsipiil.[39]









CATATAN KAKI
1)      Alasan-alasan tentang wajibnya mengikat diri pada salah satu di antara madzhab empat dapat dilihat dalam uraian Hadlratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari yang mrupakan kutipan langsung dari tulisan langsung pelopor pembaruan Islam di anak Benua India, Syah Wali Allah ad-Dihlawi. Periksa Hasyim Asy‘ari, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (Kudus: Menara, 1971), hlm. 52-71. Bandingkan dengan Ad-Dihlawi, Iqdul Jid fi Ahkamil Ijtihad wa Taqlid (Cairo: Dar Uts-Tasqafah, 1965), hlm. 28-35.
2)      Hal ini tercermin antara lain dalam tuntutan sementara kalangan NU sendiri agar dalam masalah ibadah dipegangi madzhab Asy-Syafi’i, sedangkan dalam masalah mu’amalah dipegangi madzhab Abu Hanifah.
3)      Keputusan komisi Masail Diniyyah dari Mu’tamar ke Mu’tamar, sebagian besarnya telah dihimpun dalam buku Ahkamul Fuqaha’ yang diterbitkan oleh penerbit Menara Kudus.
4)      Pengertian Muqallid dalam NU tidaklah identik dengan orang yang tidak tahu sama sekali tentang dalil bagi pendapat yang dianutnya, sebagaimana sering dipahami secara salah oleh orang-orang di luar NU: melainkan mempunyai cakupan yang jauh lebih luas. Istilah muqallid dalam NU mencakup semua orang yang belum mencapai tingkatan mujtahid muthlaq mustaqill. Dengan demikian istilah muqallid di lingkungan NU mencakup pula kualitas muttabi’ (orang yang mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya) yang dikenal di kalangan luar NU. Lihat Machfud Shiddiq, Di Sekitar Soal Ijtihad dan Taqlid (Surabaya: Pengurus Besar Nahdlatoel Oelama, 1950), hlm. 77.
5)      As Sayid Abdur Rahman Ba’ Alwi, Bughyatul Mustar Syidin (Beirut: Darul Fikr, t.t), hlm. 7.
6)      PB NU, , juz I (Semarang : Thoha Putra, t.t), hlm. 7.
7)      Khusus tentang artikel yang menyoroti Bahtsul Masail NU dari segi metode dan kritik sumber, dapat dibaca antara lain beberapa artikel dalam: berkala kajian dan pengembangan  ‘Pesantren”, No. 1/Vol/1989 yang diterbitkan oleh P3M. Jakarta.
8)      Zamakhsyari Dhofir mengutip keterangan K.H. Adlan Ali yang setiap kali melakukan ibadah Haji di Tanah Suci selalu mengikuti madzhab Imam Malik dengan alasan terlalu berat untuk mempraktekkan madzhab Asy-Syafi’ di sana. Lihat: Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 158.
9)      Ali Ma’sum, Imam Syafi’i dalam Bangkit No. 16 Tahun II Juli 1981, hlm. 20-21.



                [1] A. Malik Madany, “Pola Penetapan Hukum Islam “(Antara Fakta dan Cita), dalam M. Masyhur Amin dan Islamil S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam & Realitas Empirik (Yogyakarta: LKPSM NU DIY bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1993), hlm.162.
                [2] Ibid., hlm. 162-163.
                [3] Ibid., hlm. 163.
                [4] Ibid.
                [5] Ibid.
            [6] Alasan-alasan tentang wajibnya mengikat diri pada salah satu di antara madzhab empat dapat dilihat dalam uraian Hadlratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari yang mrupakan kutipan langsung dari tulisan langsung pelopor pembaruan Islam di anak Benua India, Syah Wali Allah ad-Dihlawi. Periksa Hasyim Asy‘ari, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (Kudus: Menara, 1971), hlm. 52-71. Bandingkan dengan Ad-Dihlawi, Iqdul Jid fi Ahkamil Ijtihad wa Taqlid (Cairo: Dar Uts-Tasqafah, 1965), hlm. 28-35.
                [7] A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 163-164.
                [8] Ibid., hlm. 164.
                [9] Ibid.
                [10] Ibid.
            [11] Hal ini tercermin antara lain dalam tuntutan sementara kalangan NU sendiri agar dalam masalah ibadah dipegangi madzhab Asy-Syafi’i, sedangkan dalam masalah mu’amalah dipegangi madzhab Abu Hanifah.
                [12] A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 164.
                [13] Ibid., hlm. 164-165.
            [14] Keputusan komisi Masail Diniyyah dari Mu’tamar ke Mu’tamar, sebagian besarnya telah dihimpun dalam buku Ahkamul Fuqaha’ yang diterbitkan oleh penerbit Menara Kudus.
                [15] A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 165.
            [16] Pengertian Muqallid dalam NU tidaklah identik dengan orang yang tidak tahu sama sekali tentang dalil bagi pendapat yang dianutnya, sebagaimana sering dipahami secara salah oleh orang-orang di luar NU, melainkan mempunyai cakupan yang jauh lebih luas. Istilah muqallid dalam NU mencakup semua orang yang belum mencapai tingkatan mujtahid muthlaq mustaqill. Dengan demikian istilah muqallid di lingkungan NU mencakup pula kualitas muttabi’ (orang yang mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya) yang dikenal di kalangan luar NU. Lihat Machfud Shiddiq, Di Sekitar Soal Ijtihad dan Taqlid (Surabaya: Pengurus Besar Nahdlatoel Oelama, 1950), hlm. 77.
                [17] A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 165-166.
                [18] Ibid., hlm. 166.
            [19] PB NU, , juz I (Semarang: Thoha Putra, t.t), hlm. 7.
                [20] A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 166.
                [21] Ibid., 166-167.
            [22] Khusus tentang artikel yang menyoroti Bahtsul Masail NU dari segi metode dan kritik sumber, dapat dibaca antara lain beberapa artikel dalam: berkala kajian dan pengembangan  ‘Pesantren”, No. 1/Vol/1989 yang diterbitkan oleh P3M. Jakarta.
                [23] A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 167.
                [24] Ibid.
                [25] Ibid., hlm. 168.
                [26] Ibid.
            [27] Zamakhsyari Dhofir mengutip keterangan K.H. Adlan Ali yang setiap kali melakukan ibadah Haji di Tanah Suci selalu mengikuti madzhab Imam Malik dengan alasan terlalu berat untuk mempraktekkan madzhab Asy-Syafi’ di sana. Lihat: Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 158.
                [28] A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 168.
                [29] Ibid., hlm. 168-169.
                [30] Ibid., hlm. 169.
                [31] Ibid.
                [32] Ibid.
                [33] Ibid.
                [34] Ali Ma’sum, Imam Syafi’i, dalam Bangkit No. 16 Tahun II Juli 1981, hlm. 20-21.
                [35] A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 170.
                [36] Ibid.
                [37] Ibid.
                [38] Ibid., hlm. 170-171.
                [39] Ibid., hlm. 171.

Tidak ada komentar: