PENGALIHAN HUKUM PIDANA FISIK KE HUKUM PIDANA DENDA
Oleh: Ahmad Syafii Rahman[1]
A.
Prolog
Hukum sebagai salah satu aspek kehidupan manusia tumbuh dan berkembang
seiring dengan perkambangan masyarakat yang ditunjang oleh ilmu dan teknologi
modern akan menuntut diadakannya usaha-usaha pembaharuan hukum, agar
ketentuan-ketentuan hokum yang berlaku senantiasa dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Indonesia termasuk Negara yang sangat lamban melakukan perubahan hokum
nasionalnya. Di bidang hukum pidana, KUHP merupakan warisan produk colonial
yang paling yang dibicarakan dan menjadi sorotan; karena sangat kuno dan
ketinggalan zaman. Oleh karena itu, mengupayakan terbentuknya KUHP nasional
dalam rangka pembaharuan Hukum Pidana yang berakar pada pada nilai-nilai social
budaya masyarakat manjadi sangat urgen. Secara ilmiyah terdapat beberapa ahli
yang telah membahas dan menguraikan tentang pembaharuan hukum pidana.
Menarik terkait dengan hal
diatas, Muladi mengatakan “ menerapkan hukum pidana yang diciptakan lebih dari
seratus tahun yang lalu secara yuridis dogmatis dalam konteks social sekarang
jelas akan memberikan “citra buruk” bagi system peradilan pidana, [2] pernyataan tersebut ada
relevansinya dengan praktek dewasa ini, pidana denda merupakan jenis pidana
yang jarang dijatuhkan, karena hakim cenderung mengoperasionalkan pidana
perempasan kemerdekaan (penjara) sebagai jenis pidana “primadona” dalam
putusannya.[3]
Terlepas dari berbagai pendapat mengenai urgensi
pembaharuan hukum pidana (KUHP), secara mencolok dengan mudah dapat ditunjukkan
pada ancama sanksi pidana denda dalam KUHP yang di nilai sudah sangat tidak
sesuai dengan kebutuhan saat sekarang, baik dilihat dari segi perkembangan
nilai mata uang maupun dari segi tujuan pemindanaan; dan terlebih dahulu lagi
pidana (stelsel pidana) dalam suatu KUHP adalah cerminan dari peradaban
suatu bangsa.
Kalo melihat selintas, bahwa hukum pidana fisik yang
telah ada secara “Yuridis dogmatis” dalam kontek social sekarang jalas akan
memberikan “citra buruk” bagi system peradilan pidana”[4] pernyataan tersebut ada relevansinya dengan praktek di
pengadilan dewasa ini, pidana denda merupakan jenis pidana yang sangat jarang
dijatuhkan, karena hakim cenderung mengoperasionalkan pidana perampasan
kemerdekaan (penjara) sebagai jenis pidana “primadona” dalam putusannya.[5] Perampasan kemerdekaan seseorang, sudah barang tentu
sangat bertentangan dengan kecendrungan
yang sedang melanda dunia Internasional dewasa ini, yaitu sejauh mungkin
menghindari penjatuhan pidana fisik dan kemerdekaan seseorang dengan menerapkan
kebijakan selektif dan limitatif,[6] akibat semakin menguatnya kritik dan sorotan tajam
terhadap penggunaan penjara pidana.
Pararel dengan
itu, berkembangnya Aliran Modern dalam hukum Pidana yang menitik
beratkan (berorientasi) pada si pembuat (pelaku tindak pidana) menghendaki
individualisasi pidana, artinya pemindanaan memperhatikan sifat-sifat keadaan
si pembuat[7] sebagai konsekuensinya maka menuntut pengembangan lebih
banyak jenis-jenis sanski pidana non-custodial dalam stelsel pidana yang
ada di dalam KUHP.
Dengan demikian wajar apabila pidana denda menjadi pusat
perhatian, baik itu di gunakan sebagai pengganti pidana fisik (misalnya penjara
pendek) dan juga sebagai pidana yang berdiri sendiri i(independen sanction),
karena selain merupakan salah satu jenis sanski pidana yang bersifat non-custodial)
juga dianggap tidak menimbulkan stigmatisasi idan prisonisasi serta
secara ekonomis Negara mendapat masukan berupa uang atau setidak-tidaknya
menghemat biaya social dibandingkan dengan jenis pidana fisik atau penjara.[8]
Namun demikian
bukan berarti tidak ada pandangan yang kontra terhadap eksistensi pidana denda
sebagai sarana politik criminal. Adanya pribahasa latin yang mengatakan “Quaelibet
poena corporalis, quanvis minima, majors quaelibet poena pecuniaria” (bagaimanapun
ringannya suatu pidana badan, akan lebih berat dari pada pidana denda)[9] setidaknya member gambaran kepada masyarakat pada
umumnya mengenai kedudukan pidana denda jika disbanding dengan pidana penjara.
Selain itu, kelemahan segi negative yang dilakukan yang sering diajukan adalah
bahwa pidana denda lebih menguntungkan yang kaya, semakin menempatkan pidana
denda pada posisi yang lemah dibandingkan dengan pidana penjara (perampasan
kemerdekaan).
Dari sudut sejarah, penggunaan pidana denda sebagai
sarana pemberantasan/ penanggulangan kejahatan sebenarnya telah dikenal secara luas di penjuru dunia,
karena pidana denda merupakan jenis pidana tertua di samping pidana mati.
Bahkan di Indonesia digunakan sejak Zaman Kerajaan majapahit, begitu pula pada
pelbagai masyarakat primitive dan tradisional.[10]
Oleh
karena itu wajar, apabila dalam rangka politik criminal sanski pidana denda
semakin menempati posisi yang strategis sebagai salah satu tulang punggung
(sarana) untuk memberantas tindak pidana
hal yang demikian itu dapat dilihat secara signifikan maraknya pengunaan
pidana denda sebagai salah satu jenis pidana yang dilibatkan dalam mengatasi
masalah-masalah delik delik baru sebagai akibat pesatnya perkembangan ekonomi
maupun teknologi canggih yang diatur dalam beberapa “Undang-Undang Pidana
Khusus”[11] atau perundang-undangan pidana diluar KUHP.
Dalam
pandangan penulis, bahwa pidana denda masih menjadi agenda yang masih
diperdebatkan, walaupun pada eksistensinya sudah berlaku dalam ruang dan
lingkup terbatas, biasanya denda dalam bentuk ganti rugi. Namun tema diatas
bukan itu yang dimaksudkan, namun apapun yang berbentuk pidana fisik yang
diubah, dialihkan pada pidana denda (dalam arti keseluruhan).
Adanya
usaha usaha dalam mencari alternative dan mengkomparasikan antara hukum pidana
denda dalam KUHP dan pidana denda diyat dalam Pidana Islam seperti Bustanul
Arifin, Abdul Gani Abdullah, Muksin, Ahmad Sukarja, memiliki usaha yang perlu
direspon positif, walaupun pada tinggal aplikasi masih jauh dari harapan.
Dalam
Sistem hukum pidana Islam, apapun perkembangan hukum dalam arti luas, islam
senantiasa fleksibel dengan perkembangan Zaman (taghayyurul ahkam bi
thaghayyurul amkinati dan azminati.
B.
Sepercik Persoalan
1.
Apa dan bagaimana kedudukan pidana denda dalam system hukum pidana?
2.
Bagaimana konsepsi hukum Islam mengenai pidana denda?
3.
Apa perbedaan dan persamaan hukum Pidana denda dalam KUHP dan Hukum Pidan
denda/ diyat dalam Pidana Islam?
C.
Pembahasan
1.
Pidana Denda Dalam KUHP
a.
Perkembangan Pidana Denda di Indonesia dan Pandangan beberapa Ahli Hukum
Pidana mati adalah suatu pidana yang ditujukan kepada
jiwa orang, pidana penjara dan kurungan kepada kebebasan orang, sedangkan
pidana denda tertuju kepada harta benda orang berupa kewajiban membayar
sejumlah uang tertentu.
Diantara jenis-jenis pidana yang terdapat didalam KUHP
(WvS) jenis pidana denda merupakan pidana tertua,[12] lebih tua dari pidana penjara[13] mungkin setua pidana mati.[14]
Sebelum menjadi sanksi yang mendukung system pemindanaan
(KUHP), pidana denda telah dikenal secara luas hamper setiap masyarakat;
termasuk masyarakat primitive, walapun dengan bentuknya yang primitive pula
misanya jaman Majapahitmaupun pada pelbagai masyarakat primitive dan
tradisional Indonesia.
Pada zaman kerajaan Majapahit, sanksi pidana denda
biasanya dilkenakan pada kasus-kasus penghinaan atau pencurian dan pembunuhan
binatang piaraan yang menjadi kesenangan raja. Dalam menetapkan besar atau
kecilnya denda tergantung pada besar atau kecilnya kesalahan yang diperbuat,,
yaitu dapat diperinci sebagai berikut: 1) berdasarkan kasta orang yang
bersalah, dan kepada siapa kesalahan itu diperbuat; 2) berdasarkan akibat yang
diderita oleh orang atau binatang yang terkena; 3) berdasarkan perincian
anggota yang terkena; 4) berdasarkan berlakunya perbuatan; 5) berdasarkan niat
orang yang berbuat salah; 6) berdasarkan jenis barang/ binatang yang menjadi
objek perbuatan. Apabila denda tidak dibayar, maka orang yang bersalah harus
menjadi hamba atau budak dengan menjalankan apa yang diperintahkan tuannya.
Bila hutang benda dapat dilunasi maka setiap saat ia dapat berhenti menjadi
hamba. Dan tidak berhak menetapkan berapa lama seseorang yang bersalah itu
menghamba untuk melunasi hutang dendanya adalah raja yang berkuasa.[15]
Pidana denda juga dikanal di beberapa masyarakat
tradisional di Indonesia, misalnya didaerah Teluk Yos Sudarso (Irian Jaya)
seorang yang melanggar ketentuan hukum adat dapat dikenakan hukuman sanksi
antara lain membayar denda berupa- manik atau bekerja untuk masyarakat.[16] Di Tapanuli, jika pembunuh tidak dapat membayar uang
salah, keluarga yang terbunuh menyarahkan untuk dijatuhi hukuman mati, maka
pidana mati dilaksanakan.[17] Sedangkan di Minangkabau. Dikenal hukum balas membalas,
yaitu siapa yang mengucurkan darahnya. Hal ini menurut pendapat konservatif
dari Datuk Ketemanggungan, eksekusi dilaksanakan di muka umum dengan cara
ditikam.[18]
Dibali, dahulu denda dibedakan atas “danda” dan “ Dosa”.
“Denda” adalah sejumlah uang yang dikenakan kepada seseorang yang melanggar
suatu ketentuan (awig-awig) di banjar / desa; sedang “dosa” ialah sejumlah uang
tertentu yang dikenakan kepada karma banjar / desa apabila tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana mestinya. Kedua jenis pidana denda itu masih berlaku
hingga saat ini dan merupakan bagian dari
jenis sanksi adat yang tercantum dalam awig-awig desa, tetapi hanya
dikenakan kepada seseorang yang melakukan pelanggaran. Dan bila terhadap
pelanggarannya itu tidak diselesaikan di pengadilan.[19]
Pada zaman modern ini, pidana denda telah banyak
mengalami perubahan. Sejak terbentuknya UU No.1 tahun 1946 mendorong penciptaan
tindak pidana baru di luar KUHP[20] dengan menggunakan sanksi pidana denda sebagai salah
satu sarana pidana untuk memperkokoh berlakunya aturan aturan baru sebagai
antisipasi terhadap semakin berkembangnya kriminalitas (kejahatan baru).
Meningkatnya penggunaan pidana denda dapat juga dilihat
dengan munculnya kecendrungan yang mencolok untuk memperbantukan atau mengkaryakan
hukum pidana denga dalam bidang hukum
yang lain. Sehubungan dengan hal itu, Wirjono Projodikoro[21] mengatakan bahwa hukum pidana mempunyai tempat yang
istimewa dalam bidang hukum yang lain.[22]
Meningkatnya penggunaan sanksi pidana denda seperti
disebutkan diatas, banyak pakar berpandangan sebagai suatu hal yang wajar,
karena masyarakat itu terus berkembang, dan hukum pun berkembang mengikuti kebutuhan masyarakat. Dalam perkembangannya,
pidana denda mengalami perkembangan, seperti dikatakan oleh Andi hamzah, “pada
Zaman modern ini pidana dendan dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa
pelanggaran atau kejahatan ringan.[23]
b.
Kebijakan Sistem Pidana Denda di Dalam KUHP
Kebijakan menetapkan sanksi pidana denda di dalam KUHP
pada hakekatnya untuk mengoperasionalkan guna menanggulangi tindak pidana.
Maka penyusun merasa perlu untuk membahasnya secaya cukup
singkat dan padat mengenai factor pidana denda dalam kebijaka operasional
pidana denda khusunya berkaitan dengan penetapan ancaman pidana denda,
penetapan jumlah pidana denda dan penetapan pelaksanaannya.
1)
Penetapan
Pidana Denda dalam KUHP
Penetapan pidana denda, KUHP tidak menganut system
kumulasi. Dengan demikian tertutup kemungkinan pemindanaan secara kumulatif
baik pidana mati dan denda maupun pidana perampasan kemerdekaan dan denda.
Sebaliknya dengan mencermati perkembangan kualitas maupun kuantitas kejahatan,
utamanya dengan motif ekonomi, maka dalam pandangan ini bahwa pidana denda bisa
dimungkinkan secara kumulatif dengan jenis pidana perampasan kemerdekaan.
Kebijakan tersebut tidak saja dibutuhkan sebagai upaya antisipasi dalam
menindak pidana dalammotif ekonomi namun juga merupakan langkah untuk
meningkatkan fungsi pidana denda itu sendiri. Dengan perumusan kumulasi, pidana
denda dapat difungsikan sebagai pemberata pidana sekaligus merampas kembali
keuntungan hasil tindak pidana.
Menelusuri persoalan, mengapa kumulatif pidana pokok
tidak dimungkinkan dalam system KUHP, dari segi historis, bahwa KUHP yang
berlaku sekarang ini adalah warisan colonial belanda. Terkait dengan ini
menurut Barda Nawawi Arief,[24] apabila merujuk keluarga hukum (Legal families) yang
dilakukan oleh Rena David, maka KUHP warisan ini termasuk keluarga/ system hukum
continental (Civil law System )dimana salah satu doktrinnya
tercermin dalam system pemindanaannya
yang menganut system alternaitf dan alternative kumulatif dengan batas minimum
dan batas maksimum ancaman pidana yang diperkenalkan menurut Undang-Undang.[25]
Namun sangat disayangkan, diantara kedua system
alternative dan system alternative kumulaitif hanya system alternative yang
diadopsi (bahkan mendominasi) system pengancaman pidana dalam KUHP sehingga
tertutup peluan untuk merepakan pemindanaan secara kumulatif dua pidana poko,
sebagaimana hal itu diterapkan oleh pada umumnya keluarga hukum yang menganut sitem common law.
Untuk memperjelas jenis penetapan ancaman denda dalam
KUHP Pidana Buku II dan III Menurut Barda Nawawi sebagai berikut:
Jenis Ancaman
|
0
|
%
|
Mati
|
13
|
1,30
|
Penjara
|
606
|
60,36
|
Kurungan
|
116
|
11,55
|
Denda
|
269
|
26,79
|
Jumlah
|
1004
|
100%
|
Dilihat dari tebel komposisi jenis ancama pidana maka
pidana denda menempati urutan ke 2 seteleh pidana penjara, yaitu sebanyak 297
perumusan (26,79). Namun demikian, komposisi yang besar itu lebih banyak di
ancamkan terhadap delik pidana pelanggaran dan tindak pidana ringan/ kejahatan yang
ringan saja. Sedangkan terhadap delik kejaharan,kebijakan KUHP lebih
memposisikan (memprioritaskan) jenis pidana Penjara sebagai tulang punggung
sarana pemindanaan (sebanyak 606 perumusan atau 60,36%).
Dengan demikian, mencermanti pengancaman pidana denda
diatas, KUHP tidak menganut system kumulasi sehingga tertutup kemungkinan
pemindanaan secara kumulatif baik pidana mati dan denda maupun pidana
perampasan kemerdekaan.
2)
Penetapan jumlah besarnya Ancaman Pidana denda dalam KUHP
Kebijakan pengancaman jumlah (besarnya pidana denda dalam
KUHP menerapkan rumusan “minimum umum”(algemene” dan “maksimum Khusus” special
maxima) minimum umum pidana denda berdasarkan pasal 30 ayat (1) ditetapkan
sebesar 150.000 (dalam jumlah yang telah berubah menyesuaikan perkembangan mata
uang dalam masyarakat)[26]. Sedangkan maksimum khususnya ditetapkan sendiri-sendiri
dalam rumusan delik terdapat dalam buku II dengan jumlah yang bervariasi.
Namun patut dipersoalkan adalah, apakah jumlah ancaman
minimum umum-maksimum khusus dalam KUHP sudah cukup raisonal untuk mengemban
fungsi perlundungan maupun tolok ukur untuk menunjukkan tingkat keseriuasan
jenis-jenis tindak pidana (dalam KUHP)? Terlebih terdapat kecendrungan dalam
praktik pemindanaan di pengadilan, jenis pidana denda merupakan jenis pidana
yang jarang dioperasionalkan dalam kasus-kasus tindak pidana menurut KUHP.
Penyusun cenderung, bahwa secara teoritis, upaya
pencapaian tujuan pemindanaan dengan cara menetapkan denda tinggi sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan umum dalam tindak pidana korupsi misalnya, jelas
dipengaruhi oleh pemikiran/ajaran prevensi umum dengan jalan menakut-nakuti (afschrikkende
middelen).[27] Yang mana kedua ajaran ini banyak disangsikan
keefektifannya, termasuk oleh Anselm van Feuerbach sendiri selaku penggagas
ajaran de psychologische dwang, lewat pernyatannya bahwa ancaman pidana
denda yang tinggi misalnya, itu saja tidak cukup, maka disamping itu diperlukan
penjatuhan pidana dan pelaksanaannya.[28]
Sebagai konsekuensi yuridis dari ketidaklengkapan dari
aturan pedoman yang bersifat khusus tersebut, maka penerapan kembali mengacu/
mengikuti “aturan umum” dalam buku I KUHP. Padahal sebagimana diketahui Aturan umum dalam KUHP tidak menganut system Minimum Khusus dalam
pengancaman pidana denda, alias hanya menganut system Minimum umum dan maksimum
Khusus.
3)
Penetapan Pelaksanaan Pidana denda dalam KUH Pidana.
Ditinjau sebagai sebuah system kebijakan, maka kebijakan
pelaksanaan denda atau yang dikenal dengan istilah kebijakan
eksekutif/administrasi adalah tahap akhir dalam mengkongkretkan putusan putusan
pengadilan pidana.
Dari ketentuan Pasal 30 dan 31 diatas, kecuali Pasal 30
ayat (1) menganai penetapan minimum pidana
denda, maka kebijakan pelaksanaan pidana denda secera garis besar
menetapkan:[29]
-
Jika pidana denda yang dijatuhkan tidak dibayar, maka diganti dengan pidana
kurungan atau dikenal dengan istilah pidana kurungan pengganti denda/kurungan
subside,
-
Lamanya pidana kurungan pengganti denda /kurungan subside sekurangnya 1
(satu) dari dan paling lama 6 bulan.
-
Cara perhitungan lamanya pidana kurungan pengganti denda, yaitu: jika denda
setengah rupiah atau kurang, dihitung satu hari. Jika denda lebih besar dari
pada itu, maka setiap setengah rupiah equivalent 1 hari, dan sisanya
yang tidak mencukupi setengah rupiah juga equivalent 1 hari;
-
Dalam hal pemberatan pidana karena perihal perbarengan tindak pidana (concursus),
pengulangan tindak pidana (recidive)
atau tindak pidana berkaitan dengan jabatan yang ditentukan Pasal 52 dan 52
a, maka maksimum pidana kurungan pengganti denda selama 6 bulan dapat
ditingkatkan menjadi 8 bulan.
-
Terpidana diberi kebebasan untuk memilih antara membayar denda atau
menjalani kurungan pengganti denda, dan setiap waktu berhak melepaskan dirinya
dari pidana kurungan pengganti pengganti denda dengan cara membayar denda;\
-
Dalam hal terpidana membayar sebagian dari denda, maka akan membebaskan
sebagian yang sepandan dari pidana kurungan pengganti.
Dilihat dari aspek individualisasi pidana, kebijakan
diatas jelas tidak memberi kebebasan hakim dalam 3 hal, yaitu menentukan batas
waktu pembayaran denda, cara pelaksanaanya pembayaran pidana denda dan upaya
paksa dalam hal pidana denda tidak dibayar. Dan ini masih
problematik.
2.
Pidana Denda dalam Hukum Islam (asas Hukum berlaku tidak surut)
“Hindarkan bagi Muslim hukuman
hudud kapan saja kamu dapat dan bila dapat menemukan jalan untuk membebaskan
daripada salah, lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam
menghukum”. (Hadis).
Kedudukan Pidana denda dalam Islam jika melihat pada
perkembangan Sejarah Pidana Islam menganut asas tidak berlaku surut, yaitu asas
melarang berlakunya hukum pidana ke belakang, kepada perbuatan yang belum ada
aturannya. Hukum pidana harus berjalan kedepan. Pelanggaran terhadap asas ini
mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Contoh dari pelaksanaan
asas ini adalah pelarangan praktik yang berlaku di dalam antara bangsa arab pra
Islam.
Akan tetapi, setiap larangan dari praktik-praktik ini
mengandung, suatu pernyataan bahwa tidak ada hukuman yang berlaku surut.
Sebagai contoh praktik pra Islam di dalam Arab, yaitu seorang anak diizinkan
menikahi istri dari ayahnya. Sangat jelas Islam sangat melarang teori ini
dengan merujuk kapada salah satu ayat Al-Qur'an
Sebagai akibatnya ikatan perkawinan ini menjadi putus,
namun dari sisi hukumnya pelakunya tidak dipidana.
Sama dengen ketentuan diatas, Rasulullah saw. Tidak
menghukum kejahatan karena darah atau perbuatan –perbuatan riba yang terjadi
sebelum Islam, tetapi menerapkan larangan tersebut mulai dari turunnya wahyu. Jelaslah
sudah bahwa asas tidak berlaku surut dalam hukum pidana yang dimuat dalam pasal
8 dari the declaration of the right of man and the Citisen. (1789). Dan diikuti oleh beberapa konstitusi serta undang
undang modern ini, telah dikenal dan diterapkan berabad –abad sebelumnya dalam
syariah Islam.[30] Ia mengikuti kitab suci dan praktik dari Nabi saw. Jadi,
para ahli Fiqh modern menyimpulkan bahwa praktik larangan berlaku surut adalah
satu prinsip dasar (kaidah ushuliyah) dari syari’at. ”tidak ada hukum
untuk perbuatan sebelum adanya suatu nash”. Secara singkat tidak ada kejahatan
dan pidana, kecuali ada hukumnya lebih dahulu.[31]
Menurut Osman Abdul Malik Saleh, Profesor Hukum Publik
dari Universitas Kuwait dan Nagaty Sanad, mengatakan kebanyakan ahli hukum
Islam berpendapat bahwa hanya ada saru
pengecualian bagi berlakunya asas ini, yaitu jika yang baru memberikan sanksi
yang lebih ringan dibanding hukum yang ada pada waktu perbuatan dilakukan.
Dalam kasus seperti ini, hukuman yang lebih ringanlah yang diterapkan.[32]
Maka, dapat dimungkinkan saja, bahwa pidana denda dapat
menjadi alternatif jitu dalam menerapkan satu hukuman, namun, agar dapat
berlaku sesuai dengan asas keseimbangan yang tepat, perlu adanya semacam
a)
Tazir
Pidana denda dalam Islam sangat popular, bisa disebut
dengan istilah Ta’zir, yang berarti menghukum. Ta’zir menurut
bahasa berarti larangan, pencegahan, menegur, mencela dan memukul. Menurut
istilah adalah hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya), yang wajib
dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan
kaffarat, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah maupun hal pribadi.[33]
Hukuman ta’zir ada bermacam-macam, diantaranya denda.
Besarnya denda dalam ta’zir ditentukan oleh hakim, karena tidak ada
jumlah minimal dan maksimal. Denda dalam bahasa arab diartikan dengan gharamah.[34]
Ada perbedaan dikalangan para ulama apakah hukuman denda
dapat dijadikan hukuman umum untuk setiap jarimah atau tidak. Ulama melarang
penggunaan hukuman denda sebagai hukuman yang umum karena beralasan bahwa pada
masa Rasulullah mula-mula pernah menerapkan hukuman denda kemudian dibatalkan. Selain
itu hukuman denda bukan cara yang terbaik dalam memberantas jarimah.
Adapun yang membolehkan pidana denda ini antara lain
didasarkan agar harta pelaku dapat dikuasai, sedang Pelaku kejahatan ditahan
sehingga dirinya menjadi baik. Dan jika pelaku sudah baik, maka harta pelaku
tersebut dikembalikan. Begitu pula sebaliknya.
Ahmad hanafi berpendapat tentang adanya pidana penjara
sebagai pengganti denda.[35] Menurutnya syari’at Islam melarang pelaksanaan hukuman
penjara sebagai ganti rugi dari pada pindana denda, kecuali apabila sebenarnya
ia mampu untuk mengeluarkan harta tetapi ia tidak mau memberikannya seperti
hutang pada nafkah. Sebaliknya jika ia tidak mampu, maka tidak boleh ia
menjalani hukuman penjara sebagai ganti jumlah denda yang tidak diampuni.
Pertimbangan yang digunakan adalah karena hukuman penjara disebabkan hutang
hanya diadakan sebagai dorongan bagi yang
berhutanh agar ia mau melunasinya. Kalau ternyata ia tidak mampu, maka
tidak perlu menjalani hukuman penjara, sebab tujuannya tidak ada.[36] Dengan kata lain, hukuman penjara pengganti hukuman
denda adalah hukuman khusus untuk orang-orang miskin, sedang syarat suatu
hukuman adalah agar hukuman tersebut berlaku umum dengan tidak terbatas pada
golongan tertentu.[37]
b)
Diyat.
Konsep diyat hamper sama dengan ganti rugi, dalam wilayah
hukum pidana, istilah diyat dikenakan atas kekayaan yang disebut dengan denda.
Walaupun banyak ulama ulama lain memaknai diyat dengan berbagai makna.[38]diyat dikenakan sebagai penggati hukuman qisash.[39] Dan diyat merupakan hukuman pokok.[40]
Menurut fuqoha bahwa diyat adalah khusus denda yang
dibayarkan pelaku kepada pihak korban
dalam tindak pidana yang menyangkut diri orang lain, dipertegas lagi
mereka (fuqoha) beranggapan bahwa diyat adalah khusus denda terhadap kejahatan
menghilangkan anggota badan orang lain.[41]
Ulama menegaskan lagi bahwa ancaman diyat dijatuhkan
kepada tindak pidana salah dan semi tersalah atau tersalah karena kesalahan
motif dan kesalahan alat[42]
Sedangkan bentuk-bentuk diyat bisa dikategorikan pada
diyat jiwa, diyat pelukaan, diyat anggota badan dan diyat anak yang gugur dalam
kandungan.[43] Tegasnya dari macam macam dan bentuk-bentuknya, pada
prinsipnya berhubungan dengan tindak pidana yang menyangkut keselamatan atau
keamanan jiwa dan anggota badan manusia yang modus operandinya sering dilakukan
dengan sengaja dan menampakkan motif serta cirri-ciri kekerasan.
Dalam konsep Hukulm Pidana Islam (HPI) jelas, bahwa
tindak pidana pembunuhan misalnya, adalah menjadi hak Allah dan hak manusia
bersama-sama, tetapi hak manusia lebih besar dakn lebih kuat[44] oleh karena itu, jika terjadi tindak pidana pembunuhan
dengan sengaja, wali atau ahli waris korban berhak menuntut dilaksanakannya
hukuman qisash atau memaafkannya dengan meminta denda. Memaafkan menjadi unsur
pengecualian dan khas dalam Islam dan ini tidak ditemukan dalam hukum pidana
lain dalam hukum pidana positif.[45]
Sedangkan besarnya diyat telah ditetapkan Rasulullah[46] dan ini merupakan satu prinsip pelaku kejahatannya yang
telah memenuhi kewajiban atas hukumanya.
Dari beberapa paparan status hukum diayat terkait dengan
denda yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana, secara umum bertujuan
kepada kemaslahatan, yang salah satunya bertujuan
menciptakan dan melindungi kemaslahatan yang terkenal dengan maqasid khamsah
(memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan,
dan memelihara harta benda dan kehormatan.[47]
D.
Konsep Harmonisasi Pidana Denda dalam KUHP dan HPI (Hukum Pidana Islam)
Dalam pembahasan
kali ini, penyusun akan memberikan gambaran secara jelas berkenaan dengan jenis
pidana denda dalam perspektif keduanya (pidana dalam UU KUHPidana dan Hukum
Pidana Islam (Jinayat), kalo
dikatakan pidana denda, dalam Islam yang relevan atas pembahasan ini adalah diyat.
Dari gambaran dimaksud, dalam pidana denda versi KUHP dan Diyat versi
Pidana Islam tentu ada versi kesamaan dan perbedaannya. Penyusun mencoba
menelaah dan memilah milah dari keduanya mana yang urgen menjadi bahasan yang
tepat dalam penyusunan makalah ini, diantara segi yang akan penyusun bahas
adalah:
1)
Dari segi
Subtansi Hukumnya
Telah dijelaskan bahwa denda adalah hukuman pidana
yang dikenakan kepada kekayaan, atau tepatnya sejumlah uang yang wajib dibayar
oleh terpidana berdasarkan putusan hakim. Sedangkan diyat adalah denda yang
dikenakan atas terpidana atau pihak
penanggungnya dalam tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap orang lain
yang pembayarannya diberikan kepada korban dan ahli warisnya.
Dari pengertian ini, jelas, bahwa denda dalam KUHP dan
dalam Pidana islam subtansinya adalah sama, yakni keduanya sama-sama dikenai
objek (harta), bukan pada diri terpidana dimana keduanya sama-sama mengandung
unsure pembayaran.
2)
Penanggungan
oleh Pihak Lain
Baik dalam pidana denda dalam KUHP maupun diyat dalam
Pidana Islam dimana pelaksanaannya pembayarannya bisa ditanggunga oleh pihak
lain. Malah dalam hukuman diyat untuk kasus tindak pembunuhan tersalah
penanggungan oleh pihak lain (keluarga) justru lebih diutamakan.[48]
Alasan kebolehan penanggungan oleh pihak lain dalam
pembayaran (pelaksanaan) hukum denda dalam KUHP ialah karena pidana denda dalam
KUHP Pidana diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik delik ringan. Dalam KUHP Pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang
dapat dipikul orang lain selain terpidana.[49] Namun penanggungan pidana denda oleh orang lain dalam KUHP
dipandang kelemahan dalam system pemindanaan dalam kasus ini. Karena sifat
pemindanaan pada asasnya bertujuan dalam rangka membina kebaikan si pelaku agar
jera, sadar, dan menjadi anggota masyarakat yang berguna serta mendidik pelaku
agar mempertanggungjawabkan perbuatannya.[50]
Dalam Hukum Pidana Islam kebolehan penganngungan adalah
berdasarkan untuk memenuhi asas keadilan dan persamaan, serta untuk menjamin
sepenuhnya hak-hak korban, Hanafi menjelaskan bahwa ada lima alas an pokok
dalam kebolehan penanggungan dalam Islam:
a.
Untuk menjamin hak-hak korban dan ahli warisnya.
b.
Meskipun pada dasarnya diyat berupa hukuman, namun ia merupakan harta yang
menjadi hak korban atau ahli warisnya.
c.
Keluarga hanya menanggung diyat dalam jarimah-jarimah (tindak
Pidana) dengan tidak sengaja dan semi sengaja karena kelalaian.
d.
Kehidupan keluarga dan masyarakat pada dasarnya ditegakkan pada asas
kerjasama dan tolong menolong.
e.
Suatu ketentuan pokok dalam syari’at Islam ialah keharusan
memelihara jiwa dan melindungi keamanan diri seseorang. Maka diyat ditetapkan
untuk memenuhi maksud tersebut, oleh Karen pembayaran harus terjamin bisa
ditunaikan, siapapun penanggungnya.[51]
3)
Kepentingan
yang diatur
Sebagai ketentuan pidana, baik denda dalam KUHP maupun
diyat dalam Hukum Pidana Islam termasuk dalam kelompok hukum Publik. Hukum
pubik adalah hukum yang mengatur dan melindungi tertib masyarakat[52] jadi keduanya (KUHP dan Hukum Pidana Islam) adalah dalam
rangka tujuan Maqasid (tertib masyarakat).
Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Penting juga di
per ketengahkan, bahwa rasa bersalah
dalam setiap pelaku merukan unsur penting, namun yang lebih penting adalah
bagaimana rasa bersalah tersebut yang berdampak pengucilan mampu di hilangkan
dari setiap image dan memproteksi jiwa manusia agar senantiasa dihormati dan
dimuliakan. Namun puncaknya adalah rasa keadilan dan kesamarataan.
4)
Sebagai
alternative Pidana Lain
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa salah satu dari
jenis-jenis pidana pokok dalam KUHP, pidana denda juga sebagai alternative dari pidana lain atau denda “subsidaire”, yakni
alternative atau penggnti pidana penjara.[53]
E.
Perbedaan Mendasar Pidana Denda dalam KUHP dan Pidana Islam
Ada beberapa perbedaan dari keduanya yang patut
dipertegas dari keduanya sebagaimana dibawah ini:
No
|
Item perbedaan
|
Hukum Denda dalam KUHP
|
Hukum denda dalam Diyat
Pidana Islam
|
1
|
Sumber Hukum dan asas Legalitasnya
|
Wetbook van
Strafrecht voor Nederlansch
|
Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan al-Qiyas[54]
|
2
|
Delik yang di ancamkan
|
Delik-delik ringan
|
Delik delik berat
|
3
|
Kadar besarnya pidana yang
diancamkan
|
Batas Minimum adalah 3,75,00
Batas Maksimum tidak
ditentukan dalam undang- undang
|
Ditetapkan secara definitive
mutlak dan tanpa kisaran batas minimum dan maksimum.
|
4
|
Pelaksanaan pembayaran
|
Pembayaran denda disetorkan
kepada negara[55]
|
Diberikan kepada Korban dan
ahli warisnya.
|
5
|
Waktu pembayaran
|
Ditentukan oleh kebijakan
pegawai negeri yang menentukan vonis[56]
|
-
Diyat pembunuhan sengaja yang dimaafkan oleh keluarga korban d an telah
diputuskan oleh hakim.
-
Untuk pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tersalah, pelukaan, pemotongan,
dan dapat dibayar 3 tahun dan bisa diangsur.
|
Perbedaan ini mendasarkan dua system hukum ini menjadi
acuan bagi kita untuk mencoba mencari titik integrasi dari perbedaan keduanya.
F.
Efektifitas Pidana Denda Vs Pidana Denda
Pemikiran itu bertolak dari ketidakefektifan pidana
penjara terhadap terpidana yang dihukum dibawah satu tahun atau pidana singkat.
Hasilnya, malah terjadi pelanggaran hak azasi manusia bagi penghuni penjara. walaupun
pidana denda merupakan pidana pokok sama halnya dengan pidana penjara. Too
short for rehabilitation, too long for corruption,
Sesungguhnya, Pidana penjara
masih menjadi primadona bagi penegak hukum yang bertujuan untuk menimbulkan
efek jera pada pelaku. Paradigma menghukum itu juga berlaku bagi pembentuk
undang-undang. Pembuat undang-undang walaupun tidak dapat ditampik, memiliki
sikap langsung atau tidak langsung sikap emosional, kepentingan pada saat merumuskan
pidana.
Minimnya penjatuhan pidana denda, disebabkan karena
nilai besaran denda dalam KUHP tidak memadai lagi. Jumlahnya hanya kisaran
puluhan hingga ratusan rupiah. Dalam Pasal 205 KUHAP sendiri diatur tindak
pidana yang diperiksa dengan pemeriksaan pidana ringan adalah tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan
atau denda Rp7.500. Penurunan nilai mata uang itu mengakibatkan penegak hukum
enggan menuntut dan menjatuhkan pidana denda.
Peraturan perundang-undangan yang ada tidak
mendorong pelaksanaan pidana denda sebagai pengganti atau aalternatif pidana
penjara dan kurungan. Pidana denda cenderung dijatuhkan bersama-sama
((kumulatif) dengan pidana penjara (kumulatif). Ditambah lagi, undang-undang
menentukan batas minimal dan maksimal penjatuhan pidana penjara. Tidak jarang
pula interval hukuman pidana minimum dan maksimal sangat rendah. Aturan itu
justru menyulitkan hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil, ujarnya.
Agar penegak hukum bisa menerapkan denda, alangkah
baiknya agar pemerintah segera membuat peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (Perpu) yang mengatur penyesuaian nilai mata uang pada ancaman
pidana dalam KUHP.
Perpu itu bisa mengadopsi pola pidana denda yang
dirumuskan dalam RUU KUHP. Yakni, pidana denda paling banyak dijatuhkan pada
korporasi dan harus mempertimbangkan kemampuan terpidana.
Jika tidak mampu maka denda bisa diambil dari
kekayaan atau pendapatan terpidana. Dapat pulda diganti dengan pidana kerja
sosial, pidana pengawasan dan alternatif terakhir pidana penjara.
G.
Kesimpulan
1.
Pidana denda dalam KUHP dan Pidana denda dalam diyat Hukum Pidana Islam
memiliki perbedaan prinsipil
2.
Perlunya ada usaha menjembatani perbedaan keduanya, dengan adanya inovasi
hukum dimana “hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan yang berada
dimasyarakat. Inilah apa yang dinamakan
dengan “hukum Progresif”.
[2] Muladi, Kapita
Selekta Peradilan Pidana,(Semarang, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro,1995), hal. 4
[3] Barda Nawawi
Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum, (Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal.103
[4] Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan barda Nawawi Arief, terhadap putusan Pengadilan
Negeri di seluruh Indonesia mengenei perkara kejahatan dalam tahun 1973 sampai
tahun 1982, dapat diketahui bahwa dari 434.3133 terdakwa yang Pengadilan Negeri
di seluruh Indonesia terdapat 355.456 terdakwa atau sekitar 81,84% yang
dijatuhi pidana penjara. Jumlah ini merupakan yang paling banyak dijatuhkan;
untuk jenis pidana mati berada dibawah 9%. Lihat Barda Nawawi, Kebijakan
Legislatif dalam Penangulangan kejahatan dengan Pidana Penjara, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002), hal. 153.
[5] Ibid, hal. 234-235.
[6] Menurut Barda Nawawi
Arief, “Kebijakan yang selektif dan limitative dalam penggunaan pidana fisik
dan penjara, tidak hanya berari harus ada penghematan dan pembatasa pidana
penjara yang dirumuskan/ diancamkan dalam perundang-undangan, tetapi juga harus
ada peluang bagi hakim untuk menerapkan pidana penjara itu secara selektif dan
limitatif. Ini berarti harus tersedia pula jenis/ tindakan alternative lain
yang bersifat “non –custodial” Lihat Badra nawawi, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana,(Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002) hal. 234-235.
[8] Terlebih lagi
berdasarkan beberapa hasil penelitian luar negeri maupun di dalam negeri, yaitu
antara lain yang dilakukan oleh Roger Hood, Hall Williams, R.M. Jackson, dan
Sudarto yang secara umum diungkapkan bahwa ada tanda-tanda pidana denda lebih
berhasil atau lebih efektif dari pada pidana fisik dan pidana penjara. Menurut
Sudarto, bahwa “Hasil penelitian di negara lain sangat bermanfaat sebagai bahan
perbandingan dan akan membantu pula untuk penyelesaian di Negara tertentu. Sudarto,
Kapita Selekta Hukum Pidana,……., hal. 85-86.
[9] Andi Hamzah,
Sistem Pidana dan Pemindanaan di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1993), hal.3.
[11] Menurut
Sudarto, yang dimaksud dengan “Undang-Undang Pidana Khusus” adalah
Undang-Undang Pidana selain KUHP, yang merupakan induk dari peraturan pidana.
Kedudukan sentral dari KUHP ini terutama karena didalamnya di muat
ketentuan-ketentuan umum daru hukum pidana dalam buku I, yang berlaku juga
terhadap tindak pidana yang terdapat di luar KUHP, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain (Pasal 103 KUHP); … Ibid, hal.64.
[13] Berdasarkan
sejarah system pidana dan pemindanaan di Indonesia yang ditelusuri dari Kitab
Perundang-Undangan Majapahit sama sekali tidak dikenal mengenai pidana penjara
dan pidana kurungan. Hal tersebut dapat diketahui dari jenis0jenis pidana yang
dijatuhkan kepada orang yang bersalah pada saat itu adalah meliputi: a. pidana
pokok yaitu: 1) Pidana mata, 2) Pidana Potong Anggota Badan orang yang bersalah,
3) Denda, Ganti Kerugian atau pangligawa atau Putukucawa b. Pidana Tambahan: 1)
tebusan, 2) penyitaan, 3) patibajampi (uang pembeli obat). Menurut
Koesnoe, Pidana penjara baru dikenal di Indonesia ketika VOC (Verenida Oos
indische Compagnie memperkenalkan lembaga “bui” pada tahun 1602 yang
kemudian dilanjutkan pada zaman Hindia Belanda menjadi pidana penjara. (Lihat
Slamet Muljana, Perundang-undangan Majapahit, Jakarta, 1967, Bratara,
1967, hal.20. Lihat pula: Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif….,
Op.Cit. hal. 52.
[14] Pidana Mati
telah dikenal sejak jaman Nabi Musa (Lihat S.R Sianturi dan Pangabean Mompang, Hukum
Panintensia, hal. 51.
[20] Dalam
perkara pidana denda yang diatur diluar KUHP banyak sekali, misalnya dapat
ditemukan pada: a) UU No.7/Drt/1955 tentang UU TIndak Pidana Ekonomi; b) UU No.
5 tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekositemnya. C) UU No 7
tahun 1992 jo. UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan; d) UU No.7 tahun 1996
tentang pangan; e) UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika; f) UU No.22 Tahun
1997 tentang narkotika; g) UU No 23 tahun 1997 tentang UUPLH; h) UU No.8 tahun
1999 tentang perlingungan Konsumen; i) UU No.36 tahun 1999 tentang
telekomunikasi; k) UU No 15 tahun 2001 tentang merek; L) UU No.31 tahun 1999 jo
UU No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi; m) UU No.15
tahun 2002 tentang pencucian uang; n) UU No 32 tahun 2002 tentang penyiaran o)
UU No 19 tenun 2002 tentang hak cipta; p) UU No 12 tahun 2003 tentang pemilihan
umum; q) UU No. 23 tehun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,
r) UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan s) UU No 21 tahun 2007
tentang pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang.
[23] Ibid, hal. 53.
[24] Barda Nawawi Arief, Beberapa
Aspek dalam Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Pidato pengukuhan Guru Besar
pada Fakultas Hukum UNDIP—Semarang pada tanggal 25 Juni 1994—diakses tangal 23
Desember 2010.
[26] UU No 1 tahun 1960
tentang perubahan KUHP; Pasal 1 intinya menyatakan perubahan ancaman pidana
yang terdapat dalam Pasal 359,360 dan 188 kitab KUHP.
[30] Osman Abd Al-Malik Saleh, ”The Right of
the Individual to personal Security in Islam”, dalam, M.
Cherif Bassioni, The Islamic Criminal Justice (London: Oceana
Publication, 1982), hal. 63.
[31] Kamel, Taymor, dalam M. Cherif Bassiouni, The Islamic Criminal
Justice System, (London: Ocean Publication, 1982), hal. 159.
[32] KUH Pidana , Pengecualian ini terdapat dalam pasal 1 ayat (2).
[34] Sebagai
contoh hukum pidana denda: adanya pencurian buah yang masih tergatung dipohon.
Denda yang dijatuhkan atas tindak pidana ini adalah membayar dua kali lipat
atas harga buah tersebut. Merujuk kepada hadis Nabi: ومن
خرج بشىء فعليه غرامة منه مثليه والعقوبة .
Sulaiman Ibn al-As’as Al-Azdi Dawud Abi as Sajastani, Sunan abi Daud, hal.136
[36] Ibdi, hal. 334.
[37] Ibid, hal. 334.
[38] Diyat dimaknai dengan
ganti rugi, tebusan atau dimaknai denda, walaupun makna tersebut pada dasarnya
sinonim (muradif) walaupun yang menjadi persoalannya pada terminologi
hukumnya. lihat, M.
Abduh Malik, “Kejahatan terhadap Jiwa dalam Perspektif hukum Pidana Islam, (Jakarta,
Pustaka Firdaus, 2001), hal.97.
[39] Q.S al-Baqarah (2): 178.
[40] Q.S an-Nisa: 92.
[41] Mereka merujuk kepada
salah satu ayat, Q.S. An-Nisa (4): 92.
[43] Hilman, Hukum
Pidana dalam Syari’at Islam, Menurut Ajaran Ahli Sunnah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1972), hal. 310- 366.
[45] Q.S. al-Baqarah(2): 178.
[46] 100 ekor Unta bagi
pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2000 ekor domba bagi pemilik
domba, 1000 dinar bagi pemilik emas, 2 dirham bagi pemilik perak, atau 200 stel pakaian bagi pemilik pakaian. Lihat,
Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asyas as Sajistani, Sunan Abi Daud, Beirut: Dar
al Fikr, 1984), Kitab ad-Diyat bab ad Diyat kam Hiya hadi, Nomor 4542,
IV, hal. 184.
[47] Lihat Azhar Basyir, Pokok-Pokok
Persoalan tentang Filsafat Hukum Islam, cet.8, (Yogyakarata: FH UII, 2005),
hal.27
[48] Mustaf Dibul Biga, Fiqih
Islam, Alih bahasa Hasan baidawi (Yogyakarta: Sumbangsih Press, 1984), II,
hal.304.
[49] Ninik
Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemindaan,
Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.24.
[52] Kusumadi
Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1990). Hal.10.
[56] Dengan
catatan apabila pelaku pidana tidak atau kurang mampu membayar, maka
konsekuensinya diganti dengan pidana kurungan, Lihat pasal 30 ayat (2) sampai
(4) KUH Pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar