Selasa, 27 Maret 2012


PENGALIHAN HUKUM PIDANA FISIK KE HUKUM PIDANA DENDA
Oleh: Ahmad Syafii Rahman[1]
A.    Prolog
Hukum sebagai salah satu aspek kehidupan manusia tumbuh dan berkembang seiring dengan perkambangan masyarakat yang ditunjang oleh ilmu dan teknologi modern akan menuntut diadakannya usaha-usaha pembaharuan hukum, agar ketentuan-ketentuan hokum yang berlaku senantiasa dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Indonesia termasuk Negara yang sangat lamban melakukan perubahan hokum nasionalnya. Di bidang hukum pidana, KUHP merupakan warisan produk colonial yang paling yang dibicarakan dan menjadi sorotan; karena sangat kuno dan ketinggalan zaman. Oleh karena itu, mengupayakan terbentuknya KUHP nasional dalam rangka pembaharuan Hukum Pidana yang berakar pada pada nilai-nilai social budaya masyarakat manjadi sangat urgen. Secara ilmiyah terdapat beberapa ahli yang telah membahas dan menguraikan tentang pembaharuan hukum pidana.
            Menarik terkait dengan hal diatas, Muladi mengatakan “ menerapkan hukum pidana yang diciptakan lebih dari seratus tahun yang lalu secara yuridis dogmatis dalam konteks social sekarang jelas akan memberikan “citra buruk” bagi system peradilan pidana, [2] pernyataan tersebut ada relevansinya dengan praktek dewasa ini, pidana denda merupakan jenis pidana yang jarang dijatuhkan, karena hakim cenderung mengoperasionalkan pidana perempasan kemerdekaan (penjara) sebagai jenis pidana “primadona” dalam putusannya.[3]
Terlepas dari berbagai pendapat mengenai urgensi pembaharuan hukum pidana (KUHP), secara mencolok dengan mudah dapat ditunjukkan pada ancama sanksi pidana denda dalam KUHP yang di nilai sudah sangat tidak sesuai dengan kebutuhan saat sekarang, baik dilihat dari segi perkembangan nilai mata uang maupun dari segi tujuan pemindanaan; dan terlebih dahulu lagi pidana (stelsel pidana) dalam suatu KUHP adalah cerminan dari peradaban suatu bangsa.
Kalo melihat selintas, bahwa hukum pidana fisik yang telah ada secara “Yuridis dogmatis” dalam kontek social sekarang jalas akan memberikan “citra buruk” bagi system peradilan pidana”[4] pernyataan tersebut ada relevansinya dengan praktek di pengadilan dewasa ini, pidana denda merupakan jenis pidana yang sangat jarang dijatuhkan, karena hakim cenderung mengoperasionalkan pidana perampasan kemerdekaan (penjara) sebagai jenis pidana “primadona” dalam putusannya.[5] Perampasan kemerdekaan seseorang, sudah barang tentu sangat bertentangan dengan kecendrungan  yang sedang melanda dunia Internasional dewasa ini, yaitu sejauh mungkin menghindari penjatuhan pidana fisik dan kemerdekaan seseorang dengan menerapkan kebijakan selektif dan limitatif,[6] akibat semakin menguatnya kritik dan sorotan tajam terhadap penggunaan penjara pidana.
Pararel dengan  itu, berkembangnya Aliran Modern dalam hukum Pidana yang menitik beratkan (berorientasi) pada si pembuat (pelaku tindak pidana) menghendaki individualisasi pidana, artinya pemindanaan memperhatikan sifat-sifat keadaan si pembuat[7] sebagai konsekuensinya maka menuntut pengembangan lebih banyak jenis-jenis sanski pidana non-custodial dalam stelsel pidana yang ada di dalam KUHP.
Dengan demikian wajar apabila pidana denda menjadi pusat perhatian, baik itu di gunakan sebagai pengganti pidana fisik (misalnya penjara pendek) dan juga sebagai pidana yang berdiri sendiri i(independen sanction), karena selain merupakan salah satu jenis sanski pidana yang bersifat non-custodial) juga dianggap tidak menimbulkan stigmatisasi idan prisonisasi serta secara ekonomis Negara mendapat masukan berupa uang atau setidak-tidaknya menghemat biaya social dibandingkan dengan jenis pidana fisik atau penjara.[8]
            Namun demikian bukan berarti tidak ada pandangan yang kontra terhadap eksistensi pidana denda sebagai sarana politik criminal. Adanya pribahasa latin yang mengatakan “Quaelibet poena corporalis, quanvis minima, majors quaelibet poena pecuniaria” (bagaimanapun ringannya suatu pidana badan, akan lebih berat dari pada pidana denda)[9] setidaknya member gambaran kepada masyarakat pada umumnya mengenai kedudukan pidana denda jika disbanding dengan pidana penjara. Selain itu, kelemahan segi negative yang dilakukan yang sering diajukan adalah bahwa pidana denda lebih menguntungkan yang kaya, semakin menempatkan pidana denda pada posisi yang lemah dibandingkan dengan pidana penjara (perampasan kemerdekaan).
Dari sudut sejarah, penggunaan pidana denda sebagai sarana pemberantasan/ penanggulangan kejahatan sebenarnya  telah dikenal secara luas di penjuru dunia, karena pidana denda merupakan jenis pidana tertua di samping pidana mati. Bahkan di Indonesia digunakan sejak Zaman Kerajaan majapahit, begitu pula pada pelbagai masyarakat primitive dan tradisional.[10]  
            Oleh karena itu wajar, apabila dalam rangka politik criminal sanski pidana denda semakin menempati posisi yang strategis sebagai salah satu tulang punggung (sarana) untuk memberantas tindak pidana  hal yang demikian itu dapat dilihat secara signifikan maraknya pengunaan pidana denda sebagai salah satu jenis pidana yang dilibatkan dalam mengatasi masalah-masalah delik delik baru sebagai akibat pesatnya perkembangan ekonomi maupun teknologi canggih yang diatur dalam beberapa “Undang-Undang Pidana Khusus”[11] atau perundang-undangan pidana diluar KUHP.
            Dalam pandangan penulis, bahwa pidana denda masih menjadi agenda yang masih diperdebatkan, walaupun pada eksistensinya sudah berlaku dalam ruang dan lingkup terbatas, biasanya denda dalam bentuk ganti rugi. Namun tema diatas bukan itu yang dimaksudkan, namun apapun yang berbentuk pidana fisik yang diubah, dialihkan pada pidana denda (dalam arti keseluruhan).
            Adanya usaha usaha dalam mencari alternative dan mengkomparasikan antara hukum pidana denda dalam KUHP dan pidana denda diyat dalam Pidana Islam seperti Bustanul Arifin, Abdul Gani Abdullah, Muksin, Ahmad Sukarja, memiliki usaha yang perlu direspon positif, walaupun pada tinggal aplikasi masih jauh dari harapan.
            Dalam Sistem hukum pidana Islam, apapun perkembangan hukum dalam arti luas, islam senantiasa fleksibel dengan perkembangan Zaman (taghayyurul ahkam bi thaghayyurul amkinati dan azminati.

B.     Sepercik Persoalan
1.      Apa dan bagaimana kedudukan pidana denda dalam system hukum pidana?
2.      Bagaimana konsepsi hukum Islam mengenai pidana denda?
3.      Apa perbedaan dan persamaan hukum Pidana denda dalam KUHP dan Hukum Pidan denda/ diyat dalam Pidana Islam?
C.    Pembahasan
1.      Pidana Denda Dalam KUHP
a.      Perkembangan Pidana Denda di Indonesia dan Pandangan beberapa Ahli Hukum
Pidana mati adalah suatu pidana yang ditujukan kepada jiwa orang, pidana penjara dan kurungan kepada kebebasan orang, sedangkan pidana denda tertuju kepada harta benda orang berupa kewajiban membayar sejumlah uang tertentu.
Diantara jenis-jenis pidana yang terdapat didalam KUHP (WvS) jenis pidana denda merupakan pidana tertua,[12] lebih tua dari pidana penjara[13] mungkin setua pidana mati.[14]
Sebelum menjadi sanksi yang mendukung system pemindanaan (KUHP), pidana denda telah dikenal secara luas hamper setiap masyarakat; termasuk masyarakat primitive, walapun dengan bentuknya yang primitive pula misanya jaman Majapahitmaupun pada pelbagai masyarakat primitive dan tradisional Indonesia.
Pada zaman kerajaan Majapahit, sanksi pidana denda biasanya dilkenakan pada kasus-kasus penghinaan atau pencurian dan pembunuhan binatang piaraan yang menjadi kesenangan raja. Dalam menetapkan besar atau kecilnya denda tergantung pada besar atau kecilnya kesalahan yang diperbuat,, yaitu dapat diperinci sebagai berikut: 1) berdasarkan kasta orang yang bersalah, dan kepada siapa kesalahan itu diperbuat; 2) berdasarkan akibat yang diderita oleh orang atau binatang yang terkena; 3) berdasarkan perincian anggota yang terkena; 4) berdasarkan berlakunya perbuatan; 5) berdasarkan niat orang yang berbuat salah; 6) berdasarkan jenis barang/ binatang yang menjadi objek perbuatan. Apabila denda tidak dibayar, maka orang yang bersalah harus menjadi hamba atau budak dengan menjalankan apa yang diperintahkan tuannya. Bila hutang benda dapat dilunasi maka setiap saat ia dapat berhenti menjadi hamba. Dan tidak berhak menetapkan berapa lama seseorang yang bersalah itu menghamba untuk melunasi hutang dendanya adalah raja yang berkuasa.[15]
Pidana denda juga dikanal di beberapa masyarakat tradisional di Indonesia, misalnya didaerah Teluk Yos Sudarso (Irian Jaya) seorang yang melanggar ketentuan hukum adat dapat dikenakan hukuman sanksi antara lain membayar denda berupa- manik atau bekerja untuk masyarakat.[16] Di Tapanuli, jika pembunuh tidak dapat membayar uang salah, keluarga yang terbunuh menyarahkan untuk dijatuhi hukuman mati, maka pidana mati dilaksanakan.[17] Sedangkan di Minangkabau. Dikenal hukum balas membalas, yaitu siapa yang mengucurkan darahnya. Hal ini menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan, eksekusi dilaksanakan di muka umum dengan cara ditikam.[18]
Dibali, dahulu denda dibedakan atas “danda” dan “ Dosa”. “Denda” adalah sejumlah uang yang dikenakan kepada seseorang yang melanggar suatu ketentuan (awig-awig) di banjar / desa; sedang “dosa” ialah sejumlah uang tertentu yang dikenakan kepada karma banjar / desa apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya. Kedua jenis pidana denda itu masih berlaku hingga saat ini dan merupakan bagian dari  jenis sanksi adat yang tercantum dalam awig-awig desa, tetapi hanya dikenakan kepada seseorang yang melakukan pelanggaran. Dan bila terhadap pelanggarannya itu tidak diselesaikan di pengadilan.[19]

Pada zaman modern ini, pidana denda telah banyak mengalami perubahan. Sejak terbentuknya UU No.1 tahun 1946 mendorong penciptaan tindak pidana baru di luar KUHP[20] dengan menggunakan sanksi pidana denda sebagai salah satu sarana pidana untuk memperkokoh berlakunya aturan aturan baru sebagai antisipasi terhadap semakin berkembangnya kriminalitas (kejahatan baru).
Meningkatnya penggunaan pidana denda dapat juga dilihat dengan munculnya kecendrungan yang mencolok untuk memperbantukan atau mengkaryakan hukum pidana denga dalam bidang hukum  yang lain. Sehubungan dengan hal itu, Wirjono Projodikoro[21] mengatakan bahwa hukum pidana mempunyai tempat yang istimewa dalam bidang hukum yang lain.[22]
Meningkatnya penggunaan sanksi pidana denda seperti disebutkan diatas, banyak pakar berpandangan sebagai suatu hal yang wajar, karena masyarakat itu terus berkembang, dan hukum pun berkembang mengikuti  kebutuhan masyarakat. Dalam perkembangannya, pidana denda mengalami perkembangan, seperti dikatakan oleh Andi hamzah, “pada Zaman modern ini pidana dendan dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan.[23]
b.      Kebijakan Sistem Pidana Denda di Dalam KUHP
Kebijakan menetapkan sanksi pidana denda di dalam KUHP pada hakekatnya untuk mengoperasionalkan guna menanggulangi tindak pidana.
Maka penyusun merasa perlu untuk membahasnya secaya cukup singkat dan padat mengenai factor pidana denda dalam kebijaka operasional pidana denda khusunya berkaitan dengan penetapan ancaman pidana denda, penetapan jumlah pidana denda dan penetapan pelaksanaannya.
1)      Penetapan Pidana Denda dalam KUHP
Penetapan pidana denda, KUHP tidak menganut system kumulasi. Dengan demikian tertutup kemungkinan pemindanaan secara kumulatif baik pidana mati dan denda maupun pidana perampasan kemerdekaan dan denda. Sebaliknya dengan mencermati perkembangan kualitas maupun kuantitas kejahatan, utamanya dengan motif ekonomi, maka dalam pandangan ini bahwa pidana denda bisa dimungkinkan secara kumulatif dengan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Kebijakan tersebut tidak saja dibutuhkan sebagai upaya antisipasi dalam menindak pidana dalammotif ekonomi namun juga merupakan langkah untuk meningkatkan fungsi pidana denda itu sendiri. Dengan perumusan kumulasi, pidana denda dapat difungsikan sebagai pemberata pidana sekaligus merampas kembali keuntungan hasil tindak pidana.
Menelusuri persoalan, mengapa kumulatif pidana pokok tidak dimungkinkan dalam system KUHP, dari segi historis, bahwa KUHP yang berlaku sekarang ini adalah warisan colonial belanda. Terkait dengan ini menurut Barda Nawawi Arief,[24] apabila merujuk keluarga hukum (Legal families) yang dilakukan oleh Rena David, maka KUHP warisan ini termasuk keluarga/ system hukum continental (Civil law System )dimana salah satu doktrinnya tercermin  dalam system pemindanaannya yang menganut system alternaitf dan alternative kumulatif dengan batas minimum dan batas maksimum ancaman pidana yang diperkenalkan menurut Undang-Undang.[25]
Namun sangat disayangkan, diantara kedua system alternative dan system alternative kumulaitif hanya system alternative yang diadopsi (bahkan mendominasi) system pengancaman pidana dalam KUHP sehingga tertutup peluan untuk merepakan pemindanaan secara kumulatif dua pidana poko, sebagaimana hal itu diterapkan oleh pada umumnya keluarga hukum  yang menganut sitem common law.
Untuk memperjelas jenis penetapan ancaman denda dalam KUHP Pidana Buku II dan III Menurut Barda Nawawi sebagai berikut:
Jenis Ancaman
0
%
Mati
13
1,30
Penjara
606
60,36
Kurungan
116
11,55
Denda
269
26,79
Jumlah
1004
100%
 Dilihat dari tebel komposisi jenis ancama pidana maka pidana denda menempati urutan ke 2 seteleh pidana penjara, yaitu sebanyak 297 perumusan (26,79). Namun demikian, komposisi yang besar itu lebih banyak di ancamkan terhadap delik pidana pelanggaran dan tindak pidana ringan/ kejahatan yang ringan saja. Sedangkan terhadap delik kejaharan,kebijakan KUHP lebih memposisikan (memprioritaskan) jenis pidana Penjara sebagai tulang punggung sarana pemindanaan (sebanyak 606 perumusan atau 60,36%).
Dengan demikian, mencermanti pengancaman pidana denda diatas, KUHP tidak menganut system kumulasi sehingga tertutup kemungkinan pemindanaan secara kumulatif baik pidana mati dan denda maupun pidana perampasan kemerdekaan.
2)      Penetapan jumlah besarnya Ancaman Pidana denda dalam KUHP
Kebijakan pengancaman jumlah (besarnya pidana denda dalam KUHP menerapkan rumusan “minimum umum”(algemene” dan “maksimum Khusus” special maxima) minimum umum pidana denda berdasarkan pasal 30 ayat (1) ditetapkan sebesar 150.000 (dalam jumlah yang telah berubah menyesuaikan perkembangan mata uang dalam masyarakat)[26]. Sedangkan maksimum khususnya ditetapkan sendiri-sendiri dalam rumusan delik terdapat dalam buku II dengan jumlah yang bervariasi.
Namun patut dipersoalkan adalah, apakah jumlah ancaman minimum umum-maksimum khusus dalam KUHP sudah cukup raisonal untuk mengemban fungsi perlundungan maupun tolok ukur untuk menunjukkan tingkat keseriuasan jenis-jenis tindak pidana (dalam KUHP)? Terlebih terdapat kecendrungan dalam praktik pemindanaan di pengadilan, jenis pidana denda merupakan jenis pidana yang jarang dioperasionalkan dalam kasus-kasus tindak pidana menurut KUHP.
Penyusun cenderung, bahwa secara teoritis, upaya pencapaian tujuan pemindanaan dengan cara menetapkan denda tinggi sebagaimana dimaksud dalam penjelasan umum dalam tindak pidana korupsi misalnya, jelas dipengaruhi oleh pemikiran/ajaran prevensi umum dengan jalan menakut-nakuti (afschrikkende middelen).[27] Yang mana kedua ajaran ini banyak disangsikan keefektifannya, termasuk oleh Anselm van Feuerbach sendiri selaku penggagas ajaran de psychologische dwang, lewat pernyatannya bahwa ancaman pidana denda yang tinggi misalnya, itu saja tidak cukup, maka disamping itu diperlukan penjatuhan pidana dan pelaksanaannya.[28]   
Sebagai konsekuensi yuridis dari ketidaklengkapan dari aturan pedoman yang bersifat khusus tersebut, maka penerapan kembali mengacu/ mengikuti “aturan umum” dalam buku I KUHP. Padahal sebagimana diketahui  Aturan umum dalam KUHP  tidak menganut system Minimum Khusus dalam pengancaman pidana denda, alias hanya menganut system Minimum umum dan maksimum Khusus.
3)      Penetapan Pelaksanaan Pidana denda dalam KUH Pidana.
Ditinjau sebagai sebuah system kebijakan, maka kebijakan pelaksanaan denda atau yang dikenal dengan istilah kebijakan eksekutif/administrasi adalah tahap akhir dalam mengkongkretkan putusan putusan pengadilan pidana.
Dari ketentuan Pasal 30 dan 31 diatas, kecuali Pasal 30 ayat (1) menganai penetapan minimum pidana  denda, maka kebijakan pelaksanaan pidana denda secera garis besar menetapkan:[29]
-          Jika pidana denda yang dijatuhkan tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan atau dikenal dengan istilah pidana kurungan pengganti denda/kurungan subside,
-          Lamanya pidana kurungan pengganti denda /kurungan subside sekurangnya 1 (satu) dari dan paling lama 6 bulan.
-          Cara perhitungan lamanya pidana kurungan pengganti denda, yaitu: jika denda setengah rupiah atau kurang, dihitung satu hari. Jika denda lebih besar dari pada itu, maka setiap setengah rupiah equivalent 1 hari, dan sisanya yang tidak mencukupi setengah rupiah juga equivalent 1 hari;
-          Dalam hal pemberatan pidana karena perihal perbarengan tindak pidana (concursus),  pengulangan tindak pidana (recidive) atau tindak pidana berkaitan dengan jabatan yang ditentukan Pasal 52 dan 52 a, maka maksimum pidana kurungan pengganti denda selama 6 bulan dapat ditingkatkan menjadi 8 bulan.
-          Terpidana diberi kebebasan untuk memilih antara membayar denda atau menjalani kurungan pengganti denda, dan setiap waktu berhak melepaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti pengganti denda dengan cara membayar denda;\
-          Dalam hal terpidana membayar sebagian dari denda, maka akan membebaskan sebagian yang sepandan dari pidana kurungan pengganti.
Dilihat dari aspek individualisasi pidana, kebijakan diatas jelas tidak memberi kebebasan hakim dalam 3 hal, yaitu menentukan batas waktu pembayaran denda, cara pelaksanaanya pembayaran pidana denda dan upaya paksa dalam hal pidana denda tidak dibayar. Dan ini masih problematik.  
2.      Pidana Denda dalam Hukum Islam (asas Hukum berlaku tidak surut)
“Hindarkan bagi Muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan bila dapat menemukan jalan untuk membebaskan daripada salah, lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum”. (Hadis).
Kedudukan Pidana denda dalam Islam jika melihat pada perkembangan Sejarah Pidana Islam menganut asas tidak berlaku surut, yaitu asas melarang berlakunya hukum pidana ke belakang, kepada perbuatan yang belum ada aturannya. Hukum pidana harus berjalan kedepan. Pelanggaran terhadap asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Contoh dari pelaksanaan asas ini adalah pelarangan praktik yang berlaku di dalam antara bangsa arab pra Islam.
Akan tetapi, setiap larangan dari praktik-praktik ini mengandung, suatu pernyataan bahwa tidak ada hukuman yang berlaku surut. Sebagai contoh praktik pra Islam di dalam Arab, yaitu seorang anak diizinkan menikahi istri dari ayahnya. Sangat jelas Islam sangat melarang teori ini dengan merujuk kapada salah satu ayat Al-Qur'an
"dan Janganlah engkau menikahi  istri istri bapak kamu... (an-Nisa)
Sebagai akibatnya ikatan perkawinan ini menjadi putus, namun dari sisi hukumnya pelakunya tidak dipidana.
Sama dengen ketentuan diatas, Rasulullah saw. Tidak menghukum kejahatan karena darah atau perbuatan –perbuatan riba yang terjadi sebelum Islam, tetapi menerapkan larangan tersebut mulai dari turunnya wahyu. Jelaslah sudah bahwa asas tidak berlaku surut dalam hukum pidana yang dimuat dalam pasal 8 dari the declaration of the right of man and the Citisen. (1789). Dan diikuti oleh beberapa konstitusi serta undang undang modern ini, telah dikenal dan diterapkan berabad –abad sebelumnya dalam syariah Islam.[30] Ia mengikuti kitab suci dan praktik dari Nabi saw. Jadi, para ahli Fiqh modern menyimpulkan bahwa praktik larangan berlaku surut adalah satu prinsip dasar (kaidah ushuliyah) dari syari’at. ”tidak ada hukum untuk perbuatan sebelum adanya suatu nash”. Secara singkat tidak ada kejahatan dan pidana, kecuali ada hukumnya lebih dahulu.[31]
Menurut Osman Abdul Malik Saleh, Profesor Hukum Publik dari Universitas Kuwait dan Nagaty Sanad, mengatakan kebanyakan ahli hukum Islam berpendapat  bahwa hanya ada saru pengecualian bagi berlakunya asas ini, yaitu jika yang baru memberikan sanksi yang lebih ringan dibanding hukum yang ada pada waktu perbuatan dilakukan. Dalam kasus seperti ini, hukuman yang lebih ringanlah yang diterapkan.[32]
Maka, dapat dimungkinkan saja, bahwa pidana denda dapat menjadi alternatif jitu dalam menerapkan satu hukuman, namun, agar dapat berlaku sesuai dengan asas keseimbangan yang tepat, perlu adanya semacam
a)      Tazir
Pidana denda dalam Islam sangat popular, bisa disebut dengan istilah Ta’zir, yang berarti menghukum. Ta’zir menurut bahasa berarti larangan, pencegahan, menegur, mencela dan memukul. Menurut istilah adalah hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya), yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kaffarat, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah maupun hal pribadi.[33]
Hukuman ta’zir ada bermacam-macam, diantaranya denda. Besarnya denda dalam ta’zir ditentukan oleh hakim, karena tidak ada jumlah minimal dan maksimal. Denda dalam bahasa arab diartikan dengan gharamah.[34]
Ada perbedaan dikalangan para ulama apakah hukuman denda dapat dijadikan hukuman umum untuk setiap jarimah atau tidak. Ulama melarang penggunaan hukuman denda sebagai hukuman yang umum karena beralasan bahwa pada masa Rasulullah mula-mula pernah menerapkan hukuman denda kemudian dibatalkan. Selain itu hukuman denda bukan cara yang terbaik dalam memberantas jarimah.
Adapun yang membolehkan pidana denda ini antara lain didasarkan agar harta pelaku dapat dikuasai, sedang Pelaku kejahatan ditahan sehingga dirinya menjadi baik. Dan jika pelaku sudah baik, maka harta pelaku tersebut dikembalikan. Begitu pula sebaliknya.
Ahmad hanafi berpendapat tentang adanya pidana penjara sebagai pengganti denda.[35] Menurutnya syari’at Islam melarang pelaksanaan hukuman penjara sebagai ganti rugi dari pada pindana denda, kecuali apabila sebenarnya ia mampu untuk mengeluarkan harta tetapi ia tidak mau memberikannya seperti hutang pada nafkah. Sebaliknya jika ia tidak mampu, maka tidak boleh ia menjalani hukuman penjara sebagai ganti jumlah denda yang tidak diampuni. Pertimbangan yang digunakan adalah karena hukuman penjara disebabkan hutang hanya diadakan sebagai dorongan bagi yang  berhutanh agar ia mau melunasinya. Kalau ternyata ia tidak mampu, maka tidak perlu menjalani hukuman penjara, sebab tujuannya tidak ada.[36] Dengan kata lain, hukuman penjara pengganti hukuman denda adalah hukuman khusus untuk orang-orang miskin, sedang syarat suatu hukuman adalah agar hukuman tersebut berlaku umum dengan tidak terbatas pada golongan tertentu.[37]
b)     Diyat.
Konsep diyat hamper sama dengan ganti rugi, dalam wilayah hukum pidana, istilah diyat dikenakan atas kekayaan yang disebut dengan denda. Walaupun banyak ulama ulama lain memaknai diyat dengan berbagai makna.[38]diyat dikenakan sebagai penggati hukuman qisash.[39] Dan diyat merupakan hukuman pokok.[40]
Menurut fuqoha bahwa diyat adalah khusus denda yang dibayarkan pelaku kepada pihak korban  dalam tindak pidana yang menyangkut diri orang lain, dipertegas lagi mereka (fuqoha) beranggapan bahwa diyat adalah khusus denda terhadap kejahatan menghilangkan anggota badan orang lain.[41]
Ulama menegaskan lagi bahwa ancaman diyat dijatuhkan kepada tindak pidana salah dan semi tersalah atau tersalah karena kesalahan motif dan kesalahan alat[42]
Sedangkan bentuk-bentuk diyat bisa dikategorikan pada diyat jiwa, diyat pelukaan, diyat anggota badan dan diyat anak yang gugur dalam kandungan.[43] Tegasnya dari macam macam dan bentuk-bentuknya, pada prinsipnya berhubungan dengan tindak pidana yang menyangkut keselamatan atau keamanan jiwa dan anggota badan manusia yang modus operandinya sering dilakukan dengan sengaja dan menampakkan motif serta cirri-ciri kekerasan.
Dalam konsep Hukulm Pidana Islam (HPI) jelas, bahwa tindak pidana pembunuhan misalnya, adalah menjadi hak Allah dan hak manusia bersama-sama, tetapi hak manusia lebih besar dakn lebih kuat[44] oleh karena itu, jika terjadi tindak pidana pembunuhan dengan sengaja, wali atau ahli waris korban berhak menuntut dilaksanakannya hukuman qisash atau memaafkannya dengan meminta denda. Memaafkan menjadi unsur pengecualian dan khas dalam Islam dan ini tidak ditemukan dalam hukum pidana lain dalam hukum pidana positif.[45]
Sedangkan besarnya diyat telah ditetapkan Rasulullah[46] dan ini merupakan satu prinsip pelaku kejahatannya yang telah memenuhi kewajiban atas hukumanya.
Dari beberapa paparan status hukum diayat terkait dengan denda yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana, secara umum bertujuan
kepada kemaslahatan, yang salah satunya bertujuan menciptakan dan melindungi kemaslahatan yang terkenal dengan maqasid khamsah (memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta benda dan kehormatan.[47]

D.    Konsep Harmonisasi Pidana Denda dalam KUHP dan HPI (Hukum Pidana Islam)
Dalam pembahasan kali ini, penyusun akan memberikan gambaran secara jelas berkenaan dengan jenis pidana denda dalam perspektif keduanya (pidana dalam UU KUHPidana dan Hukum Pidana Islam (Jinayat),  kalo dikatakan pidana denda, dalam Islam yang relevan atas pembahasan ini adalah diyat. Dari gambaran dimaksud, dalam pidana denda versi KUHP dan Diyat versi Pidana Islam tentu ada versi kesamaan dan perbedaannya. Penyusun mencoba menelaah dan memilah milah dari keduanya mana yang urgen menjadi bahasan yang tepat dalam penyusunan makalah ini, diantara segi yang akan penyusun bahas adalah:
1)      Dari segi Subtansi Hukumnya
Telah dijelaskan bahwa denda adalah hukuman pidana yang dikenakan kepada kekayaan, atau tepatnya sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan hakim. Sedangkan diyat adalah denda yang dikenakan  atas terpidana atau pihak penanggungnya dalam tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap orang lain yang pembayarannya diberikan kepada korban dan ahli warisnya.
Dari pengertian ini, jelas, bahwa denda dalam KUHP dan dalam Pidana islam subtansinya adalah sama, yakni keduanya sama-sama dikenai objek (harta), bukan pada diri terpidana dimana keduanya sama-sama mengandung unsure pembayaran.
2)      Penanggungan oleh Pihak Lain
Baik dalam pidana denda dalam KUHP maupun diyat dalam Pidana Islam dimana pelaksanaannya pembayarannya bisa ditanggunga oleh pihak lain. Malah dalam hukuman diyat untuk kasus tindak pembunuhan tersalah penanggungan oleh pihak lain (keluarga) justru lebih diutamakan.[48]
Alasan kebolehan penanggungan oleh pihak lain dalam pembayaran (pelaksanaan) hukum denda dalam KUHP ialah karena pidana denda dalam KUHP Pidana diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik delik ringan. Dalam KUHP Pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul orang lain selain terpidana.[49] Namun penanggungan pidana denda oleh orang lain dalam KUHP dipandang kelemahan dalam system pemindanaan dalam kasus ini. Karena sifat pemindanaan pada asasnya bertujuan dalam rangka membina kebaikan si pelaku agar jera, sadar, dan menjadi anggota masyarakat yang berguna serta mendidik pelaku agar mempertanggungjawabkan perbuatannya.[50]
Dalam Hukum Pidana Islam kebolehan penganngungan adalah berdasarkan untuk memenuhi asas keadilan dan persamaan, serta untuk menjamin sepenuhnya hak-hak korban, Hanafi menjelaskan bahwa ada lima alas an pokok dalam kebolehan penanggungan dalam Islam:
a.       Untuk menjamin hak-hak korban dan ahli warisnya.
b.      Meskipun pada dasarnya diyat berupa hukuman, namun ia merupakan harta yang menjadi hak korban atau ahli warisnya.
c.       Keluarga hanya menanggung diyat dalam jarimah-jarimah (tindak Pidana) dengan tidak sengaja dan semi sengaja karena kelalaian.
d.      Kehidupan keluarga dan masyarakat pada dasarnya ditegakkan pada asas kerjasama dan tolong menolong.
e.       Suatu ketentuan pokok dalam syari’at Islam ialah keharusan memelihara jiwa dan melindungi keamanan diri seseorang. Maka diyat ditetapkan untuk memenuhi maksud tersebut, oleh Karen pembayaran harus terjamin bisa ditunaikan, siapapun penanggungnya.[51]
3)      Kepentingan yang diatur
Sebagai ketentuan pidana, baik denda dalam KUHP maupun diyat dalam Hukum Pidana Islam termasuk dalam kelompok hukum Publik. Hukum pubik adalah hukum yang mengatur dan melindungi tertib masyarakat[52] jadi keduanya (KUHP dan Hukum Pidana Islam) adalah dalam rangka tujuan Maqasid (tertib masyarakat).
Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Penting juga di per  ketengahkan, bahwa rasa bersalah dalam setiap pelaku merukan unsur penting, namun yang lebih penting adalah bagaimana rasa bersalah tersebut yang berdampak pengucilan mampu di hilangkan dari setiap image dan memproteksi jiwa manusia agar senantiasa dihormati dan dimuliakan. Namun puncaknya adalah rasa keadilan dan kesamarataan.
4)      Sebagai alternative Pidana Lain
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa salah satu dari jenis-jenis pidana pokok dalam KUHP, pidana denda juga sebagai alternative  dari pidana lain atau denda “subsidaire”, yakni alternative atau penggnti pidana penjara.[53]

E.     Perbedaan Mendasar Pidana Denda dalam KUHP dan Pidana Islam
Ada beberapa perbedaan dari keduanya yang patut dipertegas dari keduanya sebagaimana dibawah ini:


No
Item perbedaan
Hukum Denda dalam KUHP
Hukum denda dalam Diyat Pidana Islam
1
Sumber Hukum dan asas Legalitasnya
Wetbook van Strafrecht voor Nederlansch
Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan al-Qiyas[54]
2
Delik yang di ancamkan
Delik-delik ringan
Delik delik berat
3
Kadar besarnya pidana yang diancamkan
Batas Minimum adalah 3,75,00
Batas Maksimum tidak ditentukan dalam undang- undang
Ditetapkan secara definitive mutlak dan tanpa kisaran batas minimum dan maksimum.
4
Pelaksanaan pembayaran
Pembayaran denda disetorkan kepada negara[55]
Diberikan kepada Korban dan ahli warisnya.
5
Waktu pembayaran
Ditentukan oleh kebijakan pegawai negeri yang menentukan vonis[56]
-  Diyat pembunuhan sengaja yang dimaafkan oleh keluarga korban d an telah diputuskan oleh hakim.
-  Untuk pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tersalah, pelukaan, pemotongan, dan dapat dibayar 3 tahun dan bisa diangsur.

Perbedaan ini mendasarkan dua system hukum ini menjadi acuan bagi kita untuk mencoba mencari titik integrasi dari perbedaan keduanya.  
F.     Efektifitas Pidana Denda Vs Pidana Denda
Pemikiran itu bertolak dari ketidakefektifan pidana penjara terhadap terpidana yang dihukum dibawah satu tahun atau pidana singkat. Hasilnya, malah terjadi pelanggaran hak azasi manusia bagi penghuni penjara. walaupun pidana denda merupakan pidana pokok sama halnya dengan pidana penjara. Too short for rehabilitation, too long for corruption,
Sesungguhnya, Pidana penjara masih menjadi primadona bagi penegak hukum yang bertujuan untuk menimbulkan efek jera pada pelaku. Paradigma menghukum itu juga berlaku bagi pembentuk undang-undang. Pembuat undang-undang walaupun tidak dapat ditampik, memiliki sikap langsung atau tidak langsung sikap emosional, kepentingan pada saat merumuskan pidana.
Minimnya penjatuhan pidana denda, disebabkan karena nilai besaran denda dalam KUHP tidak memadai lagi. Jumlahnya hanya kisaran puluhan hingga ratusan rupiah. Dalam Pasal 205 KUHAP sendiri diatur tindak pidana yang diperiksa dengan pemeriksaan pidana ringan adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda Rp7.500. Penurunan nilai mata uang itu mengakibatkan penegak hukum enggan menuntut dan menjatuhkan pidana denda.
Peraturan perundang-undangan yang ada tidak mendorong pelaksanaan pidana denda sebagai pengganti atau aalternatif pidana penjara dan kurungan. Pidana denda cenderung dijatuhkan bersama-sama ((kumulatif) dengan pidana penjara (kumulatif). Ditambah lagi, undang-undang menentukan batas minimal dan maksimal penjatuhan pidana penjara. Tidak jarang pula interval hukuman pidana minimum dan maksimal sangat rendah. Aturan itu justru menyulitkan hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil, ujarnya.
Agar penegak hukum bisa menerapkan denda, alangkah baiknya agar pemerintah segera membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang mengatur penyesuaian nilai mata uang pada ancaman pidana dalam KUHP.
Perpu itu bisa mengadopsi pola pidana denda yang dirumuskan dalam RUU KUHP. Yakni, pidana denda paling banyak dijatuhkan pada korporasi dan harus mempertimbangkan kemampuan terpidana.
Jika tidak mampu maka denda bisa diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana. Dapat pulda diganti dengan pidana kerja sosial, pidana pengawasan dan alternatif terakhir pidana penjara.

G.    Kesimpulan
1.      Pidana denda dalam KUHP dan Pidana denda dalam diyat Hukum Pidana Islam memiliki perbedaan prinsipil
2.      Perlunya ada usaha menjembatani perbedaan keduanya, dengan adanya inovasi hukum dimana “hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan yang berada dimasyarakat. Inilah apa yang dinamakan dengan “hukum Progresif”.


[1] Mahasiswa Program Doktor Hukum UII Yogyakarta.
[2] Muladi, Kapita Selekta Peradilan Pidana,(Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,1995), hal. 4
[3] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal.103
[4] Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan barda Nawawi Arief, terhadap putusan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia mengenei perkara kejahatan dalam tahun 1973 sampai tahun 1982, dapat diketahui bahwa dari 434.3133 terdakwa yang Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia terdapat 355.456 terdakwa atau sekitar 81,84% yang dijatuhi pidana penjara. Jumlah ini merupakan yang paling banyak dijatuhkan; untuk jenis pidana mati berada dibawah 9%. Lihat Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam Penangulangan kejahatan dengan Pidana Penjara, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 153.
[5] Ibid, hal. 234-235.
[6] Menurut Barda Nawawi Arief, “Kebijakan yang selektif dan limitative dalam penggunaan pidana fisik dan penjara, tidak hanya berari harus ada penghematan dan pembatasa pidana penjara yang dirumuskan/ diancamkan dalam perundang-undangan, tetapi juga harus ada peluang bagi hakim untuk menerapkan pidana penjara itu secara selektif dan limitatif. Ini berarti harus tersedia pula jenis/ tindakan alternative lain yang bersifat “non –custodial” Lihat Badra nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,(Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002) hal. 234-235.   
[7]Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 80.
[8] Terlebih lagi berdasarkan beberapa hasil penelitian luar negeri maupun di dalam negeri, yaitu antara lain yang dilakukan oleh Roger Hood, Hall Williams, R.M. Jackson, dan Sudarto yang secara umum diungkapkan bahwa ada tanda-tanda pidana denda lebih berhasil atau lebih efektif dari pada pidana fisik dan pidana penjara. Menurut Sudarto, bahwa “Hasil penelitian di negara lain sangat bermanfaat sebagai bahan perbandingan dan akan membantu pula untuk penyelesaian di Negara tertentu. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana,……., hal. 85-86. 
[9] Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemindanaan di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hal.3.
[10] Ibid, hal. 53.
[11] Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan “Undang-Undang Pidana Khusus” adalah Undang-Undang Pidana selain KUHP, yang merupakan induk dari peraturan pidana. Kedudukan sentral dari KUHP ini terutama karena didalamnya di muat ketentuan-ketentuan umum daru hukum pidana dalam buku I, yang berlaku juga terhadap tindak pidana yang terdapat di luar KUHP, kecuali apabila undang-undang menentukan lain (Pasal 103 KUHP); … Ibid, hal.64.
[12] Andi Hamzah, Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemindanaan di Indonesia, op.cit, hal. 53.
[13] Berdasarkan sejarah system pidana dan pemindanaan di Indonesia yang ditelusuri dari Kitab Perundang-Undangan Majapahit sama sekali tidak dikenal mengenai pidana penjara dan pidana kurungan. Hal tersebut dapat diketahui dari jenis0jenis pidana yang dijatuhkan kepada orang yang bersalah pada saat itu adalah meliputi: a. pidana pokok yaitu: 1) Pidana mata, 2) Pidana Potong Anggota Badan orang yang bersalah, 3) Denda, Ganti Kerugian atau pangligawa atau Putukucawa b. Pidana Tambahan: 1) tebusan, 2) penyitaan, 3) patibajampi (uang pembeli obat). Menurut Koesnoe, Pidana penjara baru dikenal di Indonesia ketika VOC (Verenida Oos indische Compagnie memperkenalkan lembaga “bui” pada tahun 1602 yang kemudian dilanjutkan pada zaman Hindia Belanda menjadi pidana penjara. (Lihat Slamet Muljana, Perundang-undangan Majapahit, Jakarta, 1967, Bratara, 1967, hal.20. Lihat pula: Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif…., Op.Cit. hal. 52.
[14] Pidana Mati telah dikenal sejak jaman Nabi Musa (Lihat S.R Sianturi dan Pangabean Mompang, Hukum Panintensia, hal. 51.
[15] Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemindanaan di Indonesia, Op.Cit, hal.14.
[16] Ibid, hal.14
[17] Ibid, hal. 15
[18] Ibid, hal. 15-16.
[19] I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Adat, (Bandung, Eresco, 1993). Hal. 19-21.
[20] Dalam perkara pidana denda yang diatur diluar KUHP banyak sekali, misalnya dapat ditemukan pada: a) UU No.7/Drt/1955 tentang UU TIndak Pidana Ekonomi; b) UU No. 5 tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekositemnya. C) UU No 7 tahun 1992 jo. UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan; d) UU No.7 tahun 1996 tentang pangan; e) UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika; f) UU No.22 Tahun 1997 tentang narkotika; g) UU No 23 tahun 1997 tentang UUPLH; h) UU No.8 tahun 1999 tentang perlingungan Konsumen; i) UU No.36 tahun 1999 tentang telekomunikasi; k) UU No 15 tahun 2001 tentang merek; L) UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi; m) UU No.15 tahun 2002 tentang pencucian uang; n) UU No 32 tahun 2002 tentang penyiaran o) UU No 19 tenun 2002 tentang hak cipta; p) UU No 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum; q) UU No. 23 tehun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, r) UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan s) UU No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang.
[21] Lihat Rohmat Soemitro, Pajak di Tinjau dari Segi Hukum, (Bandung: Eresco, 1991), hal.88.
[22] Andi Hamzah, Sistem Pidana dan……., Op.Cit, hal.53.
[23] Ibid, hal. 53.
[24] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek dalam Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum UNDIP—Semarang pada tanggal 25 Juni 1994—diakses tangal 23 Desember 2010. 
[25] Romly Atmasasmita, Perbandingan hukum Pidana (Bandung: Mandar Maju, 1996) hal. 50
[26] UU No 1 tahun 1960 tentang perubahan KUHP; Pasal 1 intinya menyatakan perubahan ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 359,360 dan 188 kitab KUHP.
[27] Lihat Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit, hal.2002.
[28] Ibid, hal 2014.
[29] Ibid, hal. 178-180.
[30] Osman Abd Al-Malik Saleh, The Right of the Individual to personal Security in Islam”, dalam, M. Cherif Bassioni, The Islamic Criminal Justice (London: Oceana Publication, 1982), hal. 63.
[31] Kamel, Taymor, dalam M. Cherif Bassiouni, The Islamic Criminal Justice System, (London: Ocean Publication, 1982), hal. 159.
[32] KUH Pidana , Pengecualian ini terdapat dalam pasal 1 ayat (2).
[33] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Intermasa, 2001), hal.1771.
[34] Sebagai contoh hukum pidana denda: adanya pencurian buah yang masih tergatung dipohon. Denda yang dijatuhkan atas tindak pidana ini adalah membayar dua kali lipat atas harga buah tersebut. Merujuk kepada hadis Nabi: ومن خرج بشىء فعليه غرامة منه مثليه والعقوبة   . Sulaiman Ibn al-As’as Al-Azdi Dawud Abi as Sajastani, Sunan abi Daud, hal.136
[35] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal 334.
[36] Ibdi, hal. 334.
[37] Ibid, hal. 334.
[38] Diyat dimaknai dengan ganti rugi, tebusan atau dimaknai denda, walaupun makna tersebut pada dasarnya sinonim (muradif) walaupun yang menjadi persoalannya pada terminologi hukumnya.  lihat, M. Abduh Malik, “Kejahatan terhadap Jiwa dalam Perspektif hukum Pidana Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), hal.97.
[39] Q.S al-Baqarah (2): 178.
[40] Q.S an-Nisa: 92.
[41] Mereka merujuk kepada salah satu ayat, Q.S. An-Nisa (4): 92.
[42] Lihat Surat an-Nisa: 92.
[43] Hilman, Hukum Pidana dalam Syari’at Islam, Menurut Ajaran Ahli Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hal. 310- 366.
[44] Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam),cet 4, (Yogyakarta: FK UII, 2008), hal. 136.
[45] Q.S. al-Baqarah(2): 178.
[46] 100 ekor Unta bagi pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2000 ekor domba bagi pemilik domba, 1000 dinar bagi pemilik emas, 2 dirham bagi pemilik perak,  atau 200 stel pakaian bagi pemilik pakaian. Lihat, Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asyas as Sajistani, Sunan Abi Daud, Beirut: Dar al Fikr, 1984), Kitab ad-Diyat bab ad Diyat kam Hiya hadi, Nomor 4542, IV, hal. 184.
[47] Lihat Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan tentang Filsafat Hukum Islam, cet.8, (Yogyakarata: FH UII, 2005), hal.27
[48] Mustaf Dibul Biga, Fiqih Islam, Alih bahasa Hasan baidawi (Yogyakarta: Sumbangsih Press, 1984), II, hal.304.
[49] Ninik Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemindaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.24.
[50] Ibid, hal.67.
[51] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,Op.Cit. hal. 315-317.
[52] Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1990). Hal.10.
[53] Lihat KUH Pidana Pasal 174, lihat juga pasal 493 KUH Pidana.
[54] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,Op.Cit. hal. 35,
[55] Pasal 42 KUH Pidana.
[56] Dengan catatan apabila pelaku pidana tidak atau kurang mampu membayar, maka konsekuensinya diganti dengan pidana kurungan, Lihat pasal 30 ayat (2) sampai (4) KUH Pidana.

Tidak ada komentar: