Epistemologi
Hukum Islam
Oleh :
Ahmad Syafi’i Rahman
Mahasiswa Konsentrasi Hukum Islam
Program Doktor Universitas Islam Indonesia (FIAI-UII)
Abstrak
Hukum Islam
merupakan salah satu Islamic Studies (kajian Ke Islaman) yang di dalamnya
berisi seluk beluk Hukum Islam, seperti sejarah pembentukan hukum Islam,
sumber-sumber hukum, perubahan hukum, dan lain-lain. Maka, tidaklah
mengherankan bila kajian hukum Islam menjadi semakin berkembang, terutama pada
persoalan-persoalan Ijtihad yang mengacu
pada wahyu dan akal, teori hukum Islam inilah yang merupakan permulaan
Epistemologi Hukum Islam. Karena, dari penerapan teori hukum Islam dalam prakteknya,
terutama berkaitan dengan argumen hukum dalam penyelesaian problem hukum Islam
dapat diketahui aspek epistemologinya. Manakah yang lebih dominan dalam menggunakan
peranan akal atau wahyu? Maka kecendrungan epistemologinya dapat terlihat dari
sistematika pemikiran yang dalam perkembangannya melembaga ke dalam sebuah
system ilmu seperti ilmu fiqih. Kemudian tidak menjadi dogma, pengembangan
sebuah ilmu selalu mengacu pada pengembangan metodologinya, yang dalam filsafat
dikenal sebagai epistemology. Paradigma metodologi (epistemology) tentang
hubungan wahyu dan akal yang mempengaruhi
proses penemuan hukum dan produk yang dihasilkan. Apalagi tidak menafikan
kebutuhan masyarakat akan hokum. Tidaklah naïf, jika kiranya merenungkan apa
yang dikatakan N.J. Coulson(1969) bahwa pemikiran Epistemologi hukum Islam
tersebut seyogyanya diletakkan dan dipahami sebagai produk pemikiran serta
diposisikan pada keenam pasangan pilihan tarik-menarik yaitu antara kesatuan
dan keragaman, antara universalisme dan partikularisme, antara wahyu dan akal,
antara kemapanan dan perubahan, antara idealisme dan realisme, dan antara
otoritarianisme dan liberalisme.
Kata Kunci:
Epistemologi hukum Islam, akal dan wahyu.
1. Pendahuluan
Hubungan antara akal dan wahyu
dalam khasanah pemikiran Islam merupakan problem yang telah mewarnai perdebatan
dari masa ke masa. Kelompok Islam Modernis menganjurkan penafsiran al-Qur’an
secara rasional, sedangkan kelompok Islam tradisional memberikan peran lebih
kepada penggunaan wahyu.[1]
Tentunya perdebatan ini akan menyentuh berbagai macam ajaran Islam, termasuk
aspek hukumnya. Kelompok pertama mengatakan bahwa hukum Islam itu mempunyai
nilai-nilai universal dan dinamis sehingga cocok untuk semua tempat dan zaman.
Sedangkan kelompok kedua mengatakan bahwa hukum Islam itu statis dan tidak
modern dan hanya cocok untuk masyarakat tertentu dan waktu tertentu saja.
Pandangan
pertama dianut oleh sejumlah kecil pakar hukum Islam seperti Linaut dee
Bellefonds dan mayoritas pembaharu maupun Yuris modern. Mereka berpendapat bahwa
prinsip-prinsip hukum Islam seperti pertimbangan maslahah, fleksibilitas hukum
Islam dalam praktek dan tekanan pada ijtihad (pemikiran hukum independen)
menunjukkan bahwa hukum Islam dapat di adaptasikan dengan perubahan sosial.
Sedangkan pendapat kedua di anut oleh sejumlah besar Islamolog seperti C.S
Hurgronje dan J. Schacht maupun oleh sejumlah besar muslim tradisional. Mereka
berpendapat bahwa dalam konsepnya dan sesuai dengan sifat perkembangan dan
metodologinya. Hukum Islam adalah abadi dan karenanya tidak dapat diadaptasikan
dengan perubahan social.[2]
Perdebatan kedua kelompok tersebut jika ditelusuri lebih jauh akan bermuara
pada problem-problem filosofis yakni epistemologis dibidang hukum Islam,
seperti problem mengenai sumber-sumber hukum Islam (Masadir Ahkam), methode-methode
penemuan hukum (Istinbat), termasuk
juga tolah ukur dan kriteria sah atau tidaknya sebuah pendapat hukum yang
berujung pada permasalahan peranan akal dan wahyu.
Sekalipun persoalan peran akal dan
wahyu semula merupakan pokok pembahasan dalam teologi Islam (Ilmu kalam), tetapi
pada masa perkembangannya telah merupakan perdebatan dibidang hukum Islam
(Fiqih).[3]
Dalam pemikiran
hukum Islam, wahyu (al-Quran) menempati posisi yang sangat penting karena ia
diyakini oleh umat Islam sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diuji (untestable
truth). Bahkan Fazlur Rahman pernah mengatakan bahwa seorang yang mengaku
dirinya seorang muslim minimal harus mengakui kebenaran wahyu al-Quran ini.[4] Dari
sinilah kemudian muncul persoalan: bagaimana wahyu yang berasal dari Tuhan yang
bersifat ahistoris mampu berdialog dengan realitas historis masyarakat Islam.
Dengan kata lain, persoalan sentral dalam epistemologi hukum Islam adalah bagaimana
mengatur hubungan, interaksi, dan dialektika antara wahyu Tuhan dengan realitas
sosial dalam dimensi kesejarahan manusia. Pada awal sejarah perkembangan
disiplin ilmu-ilmu keislaman, dialektika wahyu dan sejarah ini hampir tidak
menemui banyak hambatan. Respon ulama mengenai pentingnya mengapresiasi wahyu
dalam konteks kesejarahan tertentu tampak dari dinamika pemikiran ulama dalam
menjawab berbagai macam persoalan terkait dengan perubahan sosial yang terus
berlangsung. Dalam banyak hal, pemikiran para ulama saat itu sesungguhnya
merupakan hasil dari sebuah interaksi antara para ulama dengan fakta sosial
yang melingkupinya. Sekedar contoh, pemikiran Imam Abu Hanifah (pendiri madzhab
Hanafi) yang hidup di tengah-tengah kota Baghdad, kota metropolitan, pusat
perdagangan dan pusat perkembangan intelektual kala itu telah melahirkan
rumusan ilmu-ilmu keislaman yang sangat berbeda, misalnya, dengan Imam
al-Syafi‘i (pendiri madzhab Syafi‘i) yang tinggal di Mesir yang agraris,[5]
sementara pemikiran Imam Syafi‘i sendiri mengalami evolusi dari al-qaul
al-qadim (old opinion), suatu pandangan tentang persoalan-persoalan
keagamaan yang ia kemukakan ketika ia tinggal di Baghdad, menuju al-qaul
al-jadid (new opinion) yang ia kemukakan ketika tinggal di Mesir. Dari
dua model pemikiran tersebut, ternyata terdapat beberapa pandangan al-qaul
al-qadim (old opinion) yang direvisi oleh al-qaul al-jadid (new opinion) karena
faktor lingkungan sosial (social environtment) dan juga politik yang ia hadapi
ketika tinggal di Baghdad dan Mesir sangat berbeda.[6] Fakta
sejarah tersebut menunjukkan bagaimana epistemologi Islam sangat apresiatif
terhadap pluralitas sosial sehingga para ulama tidak mengembangkan logika
tunggal yang mengusung tema keseragaman tetapi mengembangkan logika pluralistik
yang mengakui keberagaman dalam bingkai al-Quran.
Maka di sinilah
sisi penting pengembangan studi pemikiran Islam, asumsi dasar (Postulat) yang dibangun atas dasar
pemikiran yang sistematis, metodologi menjadi sangat penting.[7] Oleh
karena itu bagi umat Islam asumsi dasar merupakan pondasi bagi pengembangan
Epistemologi Hukum Islam sebagai wahana praktik social.
Islam
sebagaimana agama wahyu memiliki prinsip dasar yang dapat dijadikan petunjuk
bagi umat, tentunya umat Islam harus mampu menjawab semua permasalahan yang
telah dan akan timbul sebab perkembangan tekhnologi dan ilmu pengetahuan. Dengan
demikian bangunan epistemologi akan berlanjut jika ditopang melalui Ijtihad,
tanpa demikian Akibatnya, epistemologi Islam yang pada awalnya
bergerak dinamis kini berubah menjadi statis dan kaku. Seluruh konstruksi
epistemologi keilmuan Islam klasik-skolastik lalu diterima oleh umat Islam
secara taken for granted tanpa kritik. Mereka menerima wacana al-Quran secara
dogmatis tanpa analisis historis sosiologis. Akibatnya, wacana al-Quran
kehilangan relevansi historisnya dan studi-studi keislaman pun hadir dalam
paket-paket produk ulama yang cenderung dianggap final.
Penulis akan
menyajikan peta epistemologi hukum Islam mulai dari pengertian, sejarah, perbedaannya
dengan epistemology barat serta perkembangan Epistemologi Hukum Islam dan tawaran
metodologi hukum oleh para ulama/ intelektual muslim.
2.
Pokok
Masalah
Bagaimana
perkembangan Epistemologi dari masa ke masa?
Apa perbedaan
epistemology Hukum Islam dan Epistemologi Barat?
Apakah
implikasi penerapan Epistemologi hukum Islam?
3. Pembahasan
a. Epistemologi Dalam Filsafat Ilmu
Sebagai
cabang filsafat epistemologi secara khusus membahas tentang teori pengetahuan
sebagimana yang telah dijelaskan definisi di atas, teori pengetahuan ini yang
dalam bahasa Indonesia adalah Filsafat pengetahuan.[8]
Secara
sistematis pembahasan dalam Epistemologi adalah sebagai berikut:
Pertama: Persoalan
asal pengetahuan, diantaranya apakah sumber-sumber pengetahuan itu?, dari
manakah pengetahuan itu datang? Bagaimana cara ia mendapatkannya?.
Kedua: Persoalan
hakikat (realitas) pengetahuan diantaranya apakah watak (karakteristik) pengetahuan
itu? Apakah ada dua dunia? Yang benar-benar diluar pemikiran kita? Kalau ada
apakah kita dapat mengetahuinya?
Ketiga: persoalan
kajian terhadap kebenaran. Di antaranya, apakah pengetahuan kita itu benar?
Selanjutnya, bagaimana membedakan pengetahuan yang benar dari yang salah?[9]
Dari ketiga
postulat diatas, pemakalah akan memaparkan tentang epistemologi ilmu dalam
filsafat Yunani, karena pemikiran mereka sedikit banyak berpengaruh pula
terhadap pemikiran Islam. Dalam penjelasan tentang hakitat pengetahuan terdapat
dua teori, pertama, teori realism, teori ini menggambarkan bahwa
hakikat pengetahuan adalah gambaran yang ada di alam nyata. Kedua: teori
Idealisme, merupakan teori tentang hakikat pengetahuan yang didasarkan bahwa
hakikat segala sesuatu adalah jiwa, atau ide, sehingga jiwa memiliki kedudukan
utama dalam alam semesta.[10]
Kedua aliran ini
bersitegang mempertahankan keyakinan masing-masing. Dalam sejarah filsafat,
Plato, (427-347 SM) dan Aristoteles merupakan Prototype pergumulan aliran ini.
Plato berpendapat bahwa pengamatan Indrawi tidak memberikan pengetahuan yang
kokoh karena sifatnya yang berubah-ubah sehingga ia menemukan bahwa disebrang
sana (diluar wilayah pengetahuan inderawi) ada sesuatu yang disebut idea. Dunia
idea bersifat kekal, tatap dan tidak berubah-ubah. Dengan ide bawaan ini
manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu dan disitulah timbulnya IP
(Ilmu pengetahuan)
Aristoteles
menyanggah teori ini dengan mengatakan bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada.
Menurutnya, pengetahuan dan pemahaman yang bersifat universal bukanlah bawaan
sejak lahir, namun hal itu dapat dilakukan dengan proses yang panjang dalam
pengalaman empiric.
Dalam persoalan epistemology yang
berkaitan dengan sumber dan metode untuk memperoleh pengetahuan melahirkan
empat pandangan pemikiran epistemology:
Pertama: Empirisme,
yaitu aliran epistemology yang berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman panca indera. Karena itulah metode yang menjadi tumpuan aliran ini
adalah metode eksperimen. Tokoh aliran ini adalah Jhon Locke (1632-1704) yang
mengemukakan teori tabula rasa yang maksudnya bahwa manusia pada mulanya
kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwanya yang kosong itu,
lantas ia memiliki pengetahuan.[11]
Kedua :
Rasionalisme, yaitu aliran epistemology yang berpendapat bahwa sumber dari seluruh pengetahuan manusia
adalah rasio dan akal. Tokoh dalam hal ini adalah Rene Descrates (1596-1650)
dengan semboyan Cogito ergo Sum menurutnya dalam menyusun sebuah
pengetahuan haruslah dimulai dari ide
yang tegas.[12]
Ketiga,
Intuisionisme, yaitu aliran Epistemologi yang meyakini bahwa sumber pengetahuan
adalah Intuisi, Tokoh aliran ini adalah Henri Bergson.(1859-1941).
Dialog rasional empiris. Tokoh dalam aliran ini adalah Imanuel Kant yang
menurutnya bahwa pengetahuan yang sesungguhnya adalah pengetahuan yang bersifat
kombinatif antara pengetahuan empiris dan rasionalis.
b. Epistemologi Dalam Hukum Islam
1) Pengertian Epistemologi Hukum Islam
Dalam
perspektif filsafat ilmu, terdapat tiga penyangga suatu ilmu yaitu, Ontologi,
aksiologi, dan epistemologi. Ontologi mengkaji persoalan tentang (apa) suatu
ilmu, aksiologi mengkaji mengenai persoalan fungsi (kenapa ) suatu ilmu, dan
epistemology mengkaji persoalan sumber ( bagaimana) suatu ilmu.[13]
Epistemologi adalah episteme ditambah logos, atau teori.[14]
Dari kata ini ditarik sebuah kesimpulan bahwa epistemology merupakan cabang
dari suatu filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur,
metode dan Validitas Ilmu pengetahuan. Rumusan lain disampain oleh Anton Suhono
yang yang menyatakan bahwa epistemologi merupakan hakikat pengetahuan yang
merupakan bagian dari filsafat mengenai reaksi manusia atas kenyataan.[15]
Dalam
perkembangannya, perdebatan epistemologi secara garis besar berakar pada dua
aliran pokok yaitu Idealisme atau disebut dengan rasionalisme dan realisme atau
empirisme.[16]
Basis epistemologi yang dikembangkan di Barat seperti rasionalisme, dan empirisme,
menurut pemakalah adalah kurang cocok, karena keduanya lebih cenderung bergerak
pada natural science yang terlepas pada dimensi wahyu. Dengan demikian,
diperlukan perangkat kerangka analisis epistemologi yang khas untuk pemikiran
Islam.
Meskipun
sangat langka literatur hukum Islam yang membahas tentang epistemology hukum
Islam,[17]
namun epistemologi hukum Islam sudah terlihat sejak karya pertama ushul fiqih
yaitu al Risalah karya as-Syafi’i (w.204/280).[18]
Walaupun permasalahan epistemologi hukum Islam belum dikaji secara eksplisit,
namun dalam karya as-Syafi’I tersebut telah disinggung mengenai apa yang
membentuk dan membatasi pengetahuan hukum, disamping juga mengenai masalah
bagaimana pengetahuan hukum itu dapat diperoleh dan di justifikasi serta
kreteria-kreteria kesolehannya.[19]
Menanggapi kelangkaan referensi fondasi epistemologi ini, al-Jabiri memberikan
sebuah solusi melalui formulasi Naqd al Aql al-Araby (Kritik Nalar
Arab).[20]
Ada kesan bahwa ia mencoba untuk menghidupkan kembali semangat berfikir ala Ibn
Rusyd (Ruh Rusydiyyah) yang murni paripatetik itu.[21]
Menurut pemikir asal Maroko ini, Epistemologi Islam memiliki tiga kecendrungan,
yaitu Bayani, Irfani, dan Burhani.[22]
Epistemologi bayani adalah epstemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu adalah teks (nash) atau
penalaran dari teks.[23]
Adapun
epistemology Irfani adalah epistemology yang beranggapan bahwa sumber
Ilmu pengetahuan adalah Ilham. Epistemology ini memiliki metode yang
khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu metode kasyf. metode ini
sangat unik karena tidak dapat dirasionalkan selamanya, diverifikasi atau
diperdebatkan. Epistemology ini sangat sulit dijelaskan, karena seseorang harus
mengalami sendiri kalau ingin mengetahui. Epistemology ini dianut para sufi.[24]
Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber
pengetahuan adalah akal. Ibn Khaldun menyebut epistemologi ini dengan knowledge
by intellenct (al-ulum al-aqliyyah). Epistemologi ini disebut juga
epistemologi falsafah, karena merujuk kepada tradisi intelektual Yunani. Tokoh
pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles.[25]
Dari
ketiga macam epistemologi tersebut, maka epistemology bayani yang paling
dekat dengan ushul fiqih, karena epistemologi ini berkaitan dengan teks
(nash). Menurut para pakar, epistemologi ini merupakan produk khas
bangsa Arab, sebagaimana falsafah adalah produk khas Yunani. Epistemologi bayani
pada akhirnya dapat melahirkan tradisi yang khas pula, yaitu memahami fiqh
dalam Islam.[26]
Ketiga
model epistemologi tersebut sebenarnya masih satu rumpun walaupun dalam
prakteknya masih tersekat-sekat bahkan saling bertentangan satu sama lain. Kemudian
Amin Abdullah mencoba memetakan antara ketiganya dalam pola hubungan Parallrel,
Linier, Sirkular.[27]
Kategori pola hubungan parallrel yang bila masing-masing corak
epistemologi tersebut berjalan sendiri-sendiri tanpa ada dialog satu sama lain.
Sedangkan pola hubungan linier yaitu kecendrungan untuk lebih memilih
(mengistimewakan) salah satu corak dan mengabaikan corak yang lainnya.
Alternative ke tiga adalah pola hubungan sirkular[28]
yang model kerjanya memanfaatkan gerak putar hermeneutis antara ketiga corak
tersebut sehingga masing-masing corak dapat memahami keterbatasan, kelemahan,
dan kekurangan internalnya, sekaligus bersifat terbuka terhadap masukan dan
temuan-temuan corak keilmuan lainnya.
Dalam al-Qur’an ditemukan sekian
banyak ayat yang berbicara tentang hukum. Walaupun secara sepintas, boleh jadi
mengantarkan orang kepada perbedaan pendapat, bahwa ayat al-Qur’an yang berbicara
secara tegas mengenai hukum dan mengkhususkannya hanya berdasar serta sumber
dari Allah, yakni ayat yang mengatakan: “menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah.[29]
Dalam merujuk terhadap konsep hukum,
hukum Islam dipahami sebagai Fiqih, bahkan Syari’ah. Alasan bagi ambiguitas ini
adalah pandangan bahwa syari’ah dan fiqih adalah kaitan erat
secara tak terpisahkan, syari’ah sebagai Hukum dan fiqih sebagai
Ilmu untuk mengetahui hukum tersebut.
Pada Prakteknya hukum Islam identik
dengan ijtihad para mujtahid, dan syari’ah Allah yang dalam arti
konkretnya adalah wahyu murni yang posisinya diluar jangkauan manusia.
Ketika
fikih berarti hukum Islam yang merupakan produk mujtahid, fiqh sekaligus
mempunyai arti yang berbeda dengan syari’ah, Syari’ah merupakan wahyu
Allah itu sendiri yang dalam wujudnya berupa
nash al-Qur’ah dan Hadis. Sedangkan fiqh adalah produk
pemahaman manusia etrhadap nash kalau nash itu ada jaminan kebenarannya maka
pemahaman atau penafsiran itu nisbi. Dengan demikian, maka al-Hakim adalah
Allah. Sedangkan orang yang mencoba memahaminya (faqih) atau mujtahid itu
adalah manusia. Oleh karenanya pengertian hukum syar’i diberi batas sebagai khitabullah (titah Ilahi) yang
berkenan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntunan (perintah), taghyir (pilihan)
atau penetapan. Dengan batasan seperti ini kalangan teoritis hukum Islam
dikenal dengan istlah la hukma illa Lillah.
Konsekuensi
Metodologisnya adalah bahwa analisis hukum karenanya adalah analisi teks
melalui penerapan penalaran diskruktif, namun mereka berbeda tentang sejauh
mana kompetensi akal dalam mengetahui hukum Allah itu, yaitu bagaimana hukum
itu dapat diketahui oleh manusia? Melalui para ahli ushul bahwa hukum mengikuti
nilai baik buruk. Jadi apa yang dinilai baik adalah yang diperintahkan oleh hukum,
sedangkan yang buruk berarti dilarang oleh hukum, sehinga untuk memperoleh
pengetahuan adalah melalui nilai baik dan buruk.
Perdebatan
mengetahui pengetahuan hukum ini juga diwakili oleh aliran rasionalis dan
aliran tradisionalis. Aliran rasionalis mengatakan bahwa baik dan buruk dapat
diketahui dangan penalaran akal (pemikiran ini diwakili oleh mu’tazilah).
Sedangkan aliran tradisionalis menyatakan bahwa baik dan buruk adalah apa yang
diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang memiliki otoritas untuk
memerintah atau melarang, sehingga subyek yang berwenang menurut aliran ini
hanyalah Tuhan (pemikiran ini diwakili oleh Asy’ariyah). Di antara kedua
aliran di atas ada aliran tengah yang diwakili oleh aliran Maturidiyah.
Menurutnya baik dan buruk perbuatan yang dilakukan manusia sesungguhnya dapat
diketahui melalui penalaran akal secara lepas dari wahyu, namun pengetahuan
baik dan buruk tersebut itu tidak dengan sendirinya menjadi hukum, karena harus
didasarkan kepada wahyu. Hukum Allah itu
identik dengan tangkapan akal, sebab betapapun matangnya akal kadang keliru
dalam penilaian terhadap sesuatu. Jadi akal manusia tidak dapat mengetahui hukum
meskipun dapat mengetahui baik dan buruk.
Ulama
Ushul sepakat bahwa hukum merupakan titah Ilahi, oleh karena itu sumber
hukum hanyalah Allah semata, sedangkan Nabi hanyalah penyampai belaka,
As-syafi’i menyatakan bahwa keadilan itu adalah berbuat dan ketaatan kepada
Allah.[30]
Pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa baik buruk semata-mata adalah perintah
atau larangan pembuat hukum, demikianlah hukum Islam (dengan kedua cabangnya)
yang sumbernya berupa wahyu Ilahi.
Lebih
Jauh mengenai sumber pengetahuan hukum, terhadap konsekuensi metodologi di uangapkan
oleh al-Ghazali bahwa hukum bersumber kepada syara’ dan akal secara
sama. Dapat disimpulkan bahwa jika tidak ada nash maka diperluas melalui
ijtihad, diantaranya melalui kesesuaian keputusan hukum dengan tujuan pembuat hukum
(mewujudkan maslahat).
Sebagaimana
di ungkapkan oleh al-Ghazali, syara’ merupakan sinar yang memungkinkan
mata untuk melihat. Wahyu di sini berfungsi untuk memberikan postulat dalam
dalam membangun sebuah kesimpulan ilmiyyah. Wahyu dapat memberi
postulat-postulat terhadap upaya keilmuan dalam memberi penjelasan mengenai realitas.
Penjelasan terhadap realitas bukan sekedar penalaran empiris sederhana, tetapi
juga teori-teori yang kompleks. Lebih lanjut, mangatakan secara yurisis
filosofis, hukum sebagai taklif (pembebanan) tidak hanya mengandung
aspek pragmatis (maslahah), tetapi juga aspek penghambaan dan ketaatan (ubudiyyah).
[31]
Ilmu
Hukum adalah sarana yang efektif dalam hukum syara karena diesensikan Allah,
yaitu Allah menetapkan hukumnya berdasar sifat esensial sesuatu. Hukum yang
diatur oleh hukum kausalitas Allah tidak membuat hukum sendiri untuk mengatur
kehidupan kreatif manusia. Hukum untuk kehidupan kreatif manusia ditentukan
oleh Allah dengan cara mengefektifkan illat terhadap ma’lulnya (hukum).
Prinsip kausalitas dalam arti syari’at Allah ditetapkan dengan iradahnya
yang mutlaq di atas landasan sunnah, sehingga rahmat dan keutamaan Allah atas
manusia maka akan terbangun dua jalur metodologi yaitu pendekatan Linguistik dan
filosofis. Lingusitik mencerminkan aspek ta’abbudi untuk menggali hukum
particular (Juz’i) dari dalil dalil particular dalam al-Qur’an dan
Sunnah, sedangkan pendekatan filosofis untuk menangkap esensi dari hukum-hukum
particular itu dalam bentuk hukum Universal (kulli) yang tercakup dalam
Akal.[32]
2) Perbedaan antara Epistemologi Islam dan Barat
Epistemologi Hukum Islam dijadikan
alternative terutama bagi filasafat, pemikiran dan keilmuan muslim untuk
menyelamatkan mereka dari keterjebakan ke dalam arus besar dibawah kendali
epistemoligi barat. Epistemologi Hukum Islam terbukti dipandang mampu
mengantarkan zaman klasik Islam menuju kepada kemampuan membangun ilmu dan
kebudayaan yang tidak dikotomik. Menengok kejayaan Islam masa lalu tersebut,
maka perlu diketengahkan kembali perkembangan epistemology zaman klasik Islam
yang tidak dikotomik.[33]
Namun satu hal yang perlu dibenahi bahwa tradisi pemikiran klasik Islam Ortodok
tidak mengenal tradisi kritik epistemologis dalam artian yang sesungguhnya.[34]
Namun tradisi kritik ini penting sebab pada dasarnya epistemology adalah cara
untuk mendapatkan yang benar, nilai kebenaran akan lebih baik dan lebih tepat
jika di landasi dengan upaya pemahaman kritis.[35]
Terlepas dari kelemahan tradisi
pemikiran Islam klasik ortodoks tersebut, yang jelas epistemology Islam telah
menawarkan sesuatu yang berbeda yang tidak dimiliki oleh epistemology barat.
Dalam penerapannya epistemology Islam memiliki dua jalur yang menghubungkan
dengan pengetahuan, yakni pertama, jalur luar (lahiriyyah) dengan
tetap memanfaatkan relitas atau data-data empiric sebagai pijakan dalam menarik
kesimpulan mengenai sesuatu pengetahuan. Jalur kedua, jalur ke dalam, (Batiniyyah)
yakni mencoba “menterjemahkan” realitas atau data-data non empiric untuk
memperkaya dan melengkapi capaian ilmu pengetahuan. Zainudin Sardar menyebutkan
ada Sembilan ciri dasar epistemology Islam yang tidak dimiliki barat, yaitu:
- Yang didasarkan atas sesuatu kerangka pedoman mutlak.
- Dalam kerangka pedoman ini, epistemology Islam bersifat aktif dan bukan pasif
- Dia memandang objektifitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi
- Sebagian besar bersifat deduktif
- Dia memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam.
- Dia memandang pengetahuan yang bersifat inlkkusif dan bukan eksklusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subyektif sama sahnya dengan evaluasi yang obyektif.
- Dia berusaha menyusun pengalaman subyektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman ini, yang dari sini umat Islam memperoleh komitmen-komitmen nilai dasar mereka.
- Dia memadukan konsep-konsep dari sikap kesadaran, atau tingkat pengalaman subyektif sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan kiasan-kiasan yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya. (ini sama dengan perluasan dari jangkauan proses “ kesadaran” yang dikenal dan termasuk dalam bidang imajinatif kreatif dan pengalaman mistis serta spiritual).
- Dia tidak bertentangan dengan pandangan holistic, menyatu, manusiawi dari pemahaman dan pengalaman manusia. Dengan begitu ia sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari prkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.[36]
Dari
cirri-ciri tersebut dapat dijelaskan bahwa perbedaan yang mencolok antara
epistemology barat dengan epistemology Islam adalah bahwa epistemology Islam
memiliki sandaran teologis berupa kerangkan pedoman mutlak. Dengan demikian
epistemology Islam sebenarnya telah menekankan totalitas pengalaman dan
kenyataan serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam, sehingga ilmu
bisa diberoleh dari wahyu maupun alam,
dari observasi maupun inruisi, dari tradisi maupun spekulasi teoritis. Maka
epistemology Islam menekankan pencaharian semua bentuk ilmu pengetahuan dalam
kerangka nilai-nilai abadi yang merupakan landasan utama peradaban muslim.[37]
3) Metode Penemuan Hukum Islam
Dalam
sistematika Filsafat terdapat tiga macam sub system, yaitu: ontology,
aksiologi, dan epistemology. Epistemology mencakup pembahasan tentang batasan
pengetahuan, sumber pengetahuan, validitas, dan metode. Metode untuk
mendapatkan pengetahuan menjadi pembahasan tersendiri yang disusun secara
sistematis dan logis, sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian
disebut dengan metodologi. Filsafat mencakup epistemology, selanjutnya
epistemology mencakup metodologi. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa
metodologi merupakan salah satu perwujudan operasional dari epistemology.
Demikian juga kronologi struktur dalam metodologi hukum Islam, yaitu berangkat
dari filsafat hukum Islam yang mencakup epistemology sedangkan epistemology
hukum Islam melahirkan metodologi hukum Islam.
Akhirnya Epistemologi Hukum Islam
tersebut didasarkan pada sumber utama hukum Islam yakni al-Qur’an dan
al-hadist. Metode hukum Islam tetap dipengaruhi oleh wahyu kendati juga
dipengaruhi oleh akal. Sesungguhnya metode Islami dalam memperoleh pengetahuan
dengan sengaja berpegang pada wahyu (naql) dan akal (aql) bersama sama, dan menolak sikap ekstrim.
Dalam sejarahnya, metodologi hukum Islam
berasal dari Ilmu Ushul, yang membahas metode yang digunakan untuk
mengambil dan menemukan dalil-dalil syari’ah dari sumber-sumber hukum Islam. Di
antara berbagai penggunaan terminologi dari kata ushul ada tiga istilah yang banyak dipakai dalam
cabang-cabang pengetahuan Islam; ushul dien, yang dianggap se arti
dengan kalam atau teologi skolastik; ushul hadis, yang berkaitan dengan
ilmu dan terminology hadis; dan ushul fiqih, yang umumya dikatakan
sebagai metodologi hukum Islam.[38]
Tampaknya, dari ketiga kata ushul
tersebut, kata Ushul fiqih dianggap paling layak menjadi epistemologi,
yaitu epistemologi hukum Islam, karena ia paling banyak menghasilkan beragam
metode dan pendekatan epistemilogi dibanding dengan dua kata ushul lainnya.
Dalam ushul fiqih terdapat
berbagai macam pendekatan epistemologi. Para juris klasik menngunakan kata ijma, Qias,
Ijtihad, Isltihsan, isltislah, dan urf sebagai metode dan pendekatan
untuk memecahkan problem-problem praktis dalam menggali hukum dan menemukan hukum.
Sedangkan peniruan-peniruan buta terhadap putusan-putusan ini tidak hanya akan
mengubah bagan syari’ah menjadi canon yang memfosil, tetapi juga akan
mengancam kelansungan kehidupan peradaban Islam sendiri.[39]
Peniruan terhadap pendekata pendekatan epistemology hokum Islam itu hanya mampu
mempertahankan khazanah pemikiran lama, tetapi tidak mampu mengembangkan
khazanah pemikiran hokum Islam yang baru sama sekali, karena tidak ada upaya
membuat suatu tawaran pendekatan atau
metode baru. Gajala peniruan secara membuta ini akan berlangsung lama hingga
sekarang ini, dan dapat menimbulkan problem yang memerlukan pemecahannya.
Dalam
hal ini Arqoun mengomentari sikap ummat Islam yang tidak mau mengembangkan
epistemologi hukum Islam atau ushul fiqih yang telah dirinci oleh
syafi’i:
“Saya
tidak mengenal seorang pemikir muslimpun yang bahkan gagasan untuk mengulangi langkah
intelektual dari syafi’i ketika ia menyusun Risalah yang mashur itu. Pengajaran-pengajaran
ushul di fakultas-fakultas teologi mutakhir hanyalah penumpahan dan
pengulangan tanpa pengembangan dari beberapa buku pelajaran klasik. Padahal di
sanalah lebih dari pada tempat lain, tempat kritik nalar yang benar-benar
bersifat Islam dalam segala kebesaran sejarah dan filsafatnya. Dengan caranya
sendiri dalam rangka epistemisnya, ushul al fiqih telah menyentuh apa
yang sekarang dipraktekkan orang dengan nama epistemology atau kritis mengenai
pengetahuan.[40]
Ushul fiqh tugasnya menggarap
proses untuk memproduksi teori-teori hukum
Islam. Sedangakan fiqih hanya membahas prosuk-produk berupa teori-teori hukum Islam tersebut. Dari kronologisnya, ushul
fiqih timbul terlebih dahulu dibanding fiqih, dan penguasaan Ushul fiqih
lebih penting sekiranya keduanya harus diperhadapkan.
Secara umum Ijtihad –suatu kata
kunci dalam ushul fiqh- berkembang menjadi suatu konsep epistemology
tersendiri, bahkan secara lebih rinci menjadi suatu metodologi ilmu hukum Islam dan ilmu syari’ah pada
umumnya[41]
Ijtihad dikatakan menempati posisi senteral di dalam pembahasan Unshul fiqih,
karena Ijtihad dapat dijadikan kata kunci, yaitu al-Qur’an dan hadis dipahami
oleh ulama (usaha memahami al_Qur’an dan
hadis tersebut disebut Ijtihad; dan Produknya disebut fiqh).
4) Implikasi Metodologi dalam Penemuan Hukum Islam
Pada zaman modern, dalam konteks
bangkitnya kembali upaya mencari system pengetahuan alternative, tampaknya
tesis skema as-Syafi’I dengan penalaran akal manusia berada dibawah sumber
wahyu dan ijma’ demikian juga deduksi analogi qiyas harus bertitik tolak
dan hasilnya tidak boleh bertentangan dengan ketiga sumber hukum sebelumnya
yang telah pemakalah jelaskan, ini dikategorikan sebagai system pengetahuan bayani,
yang masih terpaku pada literalisme teks.
Dari tesis intregrasi wahyu dan ra’yu dari
al-Ghazali, dengan mencoba memadukan dan mengintegrasikan system bayani
dan system burhani melalui
introduksi metode induktif dan teori maqasid
asy-Syari’ah dalam bentuk metodologis mewujudkan dalam mekanisme istidlal
mursal dan teori munasabah. Kini menjadi perhatian kembali dari beberapa
sarjana muslim kontenporer yang mencoba mengembangkan dari apa yang disebut
pendekatan terpadu hukum Islam dan social. Karena dengan demikian akan terbuka
peluang untuk analisa social dan empiris penemuan hukum.
Paradigm ini, kemudian oleh
asy-Syatibi[42]
yang banyak mendalami teori analisis hukum Islam secara empiris. Hal ini
karena, justru berlainan dengan al-Ghazali, ia mengembangkan paradigm yang
berbeda, yaitu tab’iyyah al-aql li al-naql (the primacy of revelation
overe relation.[43]
Kebanyakan kajian para Ulama sesudah al-Ghazali mengenai istidlal mursal dan
maqasid Syari’ah bersifat repetitive dan reproduktif tanpa ada penemuan
gagasan dam interpretasi baru yang produktif.
Barulah pada akhir abad ke 19 M dan
awal Abad ke 20M sampai pada pertengahan abad ini Para pembaharu Ushul fiqih di
dunia modern, seperti Muhammad Abduh (w.1950), Rasyid Ridha (w.1935), Abdul
Wahhab Khallaf (w.1956M), merevitalisasi prinsip Maslahah yang
ditawarkan oleh asy-Syatibi melalui teori maqasid-nya, karena
tidak menawarkan teori baru maka wael B Hallaq mengkategorikan para pembaharu
dibidang ushul dalam kelompok ini sebagai para pembaharu aliran utilitarianisme.[44]
Kemudian Wael B. Hallaq mengkategorikan
kelompok kedua yang melakukan pembaharuan dalam Ushul fiqih, seperti Muhammad
Asmawi, Fazlur rahman, dan Syahrur sebagai kelompok Liberasme Keagamaan
(relegius Liberalism), karena coraknya yang liberal dan cenderung membuang
teori-teori ushul fiqih lama.[45]
Tetapi bagaimanapun juga, tawaran pembaharuan Ushul fiqih yang mereka
disebutkan Hallaq sebagai kaum Liberalisme tetap saja menyisakan sejumlah kontroversi
dan perdebatan.
Tawaran
pembaharuan kelompok kedua ini, hingga saai ini masih ditanggapi oleh mayoritas
ulama Ushul secara negative dan penuh kecurigaan. Akar utama penyebab kontroversi
ini adalah karena tawaran mereka tidak memiliki landasan kuat pada kerangka
teoritik (teoritical frame) ilmu Ushul yang telah ada sebelumnya.
Padalah perkembangan suatu ilmu tidaklah harus berjalan secara evolutif yang
selalu berpijak pada teori lama tetapi bisa saja secara revolutif, dengan
menawarkan paradigma yang sama sekali baru. Amin Abdullah menyebut perkembangan
ilmu semacam ini dengan pergeseran paradigma, (paradigm shift) yang
sangat terkenal dengan filsafat pengetahuan kontemporer.
- Kesimpulan
1.
epistemologi hukum Islam
sudah terlihat sejak karya pertama ushul fiqih yaitu al Risalah karya
as-Syafi’I, namun dalam karya as-Syafi’I tersebut telah disinggung mengenai apa
yang membentuk dan membatasi pengetahuan hukum, disamping juga mengenai masalah
bagaimana pengetahuan hukum itu dapat diperoleh dan di justifikasi, Menanggapi
kelangkaan referensi fondasi epistemologi ini, al-Jabiri memberikan sebuah
solusi melalui formulasi Naqd al Aql al-Araby (Kritik Nalar Arab),
menurutnya Epistemologi Islam memiliki tiga kecendrungan , yaitu Bayani, Irfani,
dan Burhani.
2.
Epistemologi Islam berbeda
dengan E. barat, Sebab Epistemologi Hukum Islam Yang didasarkan atas sesuatu
kerangka pedoman mutlak, Dalam kerangka pedoman ini, epistemology Islam
bersifat aktif dan bukan pasif, Epistemologi Islam memandang objektifitas
sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi, Sebagian besar bersifat
deduktif, Dia memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai islam, Dia memandang
pengetahuan yang bersifat inlkkusif dan bukan eksklusif, yaitu menganggap
pegalaman manusia yang subyektif sama sahnya dengan evaluasi yang obyektif dan
seterusnya.
3.
Implikasinya, lahir
beberapa aliran dalam Epistemologi Hukum Islam, Imam Syafi’I dapat
dikategorikan sebagai system pengetahuan bayani, sedangkan al-Ghazali berusaha
memadukan system bayani dan sietem burhani melalui metode
induktif dan teori maqasid asy-Syari’ah dalam bentuk metodologis
mewujudkan dalam mekanisme istidlal mursal dan teori munasabah. Kemudian
oleh asy-Syatibi ia mengembangkan paradigm yang berbeda, yaitu tab’iyyah
al-aql li al-naql (the primacy of revelation overe relation.
Kemudian pada abad 20-an Para pembaharu Ushul fiqih di dunia modern, seperti
Muhammad Abduh (w. 19050, Rasyid Ridha (w. 1935), Abdul Wahhab Khallaf (w.
1956M), merevitalisasi prinsip Maslahah yang ditawarkan oleh asy-Syatibi
melalui teori maqasidnya, wael B Hallaq mengkategorikan para pembaharu
dibidang ushul dalam kelompok ini sebagai para pembaharu aliran utilitarianisme,
kelompok kedua yang memlakukan pembaharuan dalam Ushul fiqih, seperti
Muhammad Asmawi, Fazlur rahman, dan Syahrur sebagai kelompok Liberasme
Keagamaan (relegius Liberalism), karena coraknya yang liberal dan cenderung
membuang teori-teori ushul fiqih lama.
4.
Dari kesimpulan ini juga,
pemakalah kira, pembahasan tentang epistemology hokum Islam tampaknya masih
menyisakan persoalan-persoalan yang kita kritisi bersama, baik yang berkaitan
dengan aspek paradigm, struktur maupun implikasi bila epistemology hokum Islam
seperti yang telah dipaparkan akan kita manfaatkan untuk membangun hokum Islam
di masa global ini. Kritik dan saran atas makalah ini pemakalah ucapkan
terimakasih.@
Daftar Pustaka
Atha Mudzhar, M, “Social History
Approach to Islamic Law”, Al-Jamiah No. 61, tahun 1998.
Abdullah,
Amin. M. Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Abdullah,
Amin, al-Ta’wil al-Ilmi: Kearah perubahan penafsiran kitab suci . al
Jamiah, Th 2001, Vol 39.
Anwar,
Samsul , Epistemologi Hukum Islam, Probabilitas dan Kepastian, dalam Kearah
filsafat Indonesia (ed). Yudian W Asmin, Yogyakarta: Forum Studi Hukum
Islam.Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta, 1994.
Abid al Jabiri,
M. Bunyah al-Aql al-Araby: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah Li Nuzum
al-Ma’rifah fi as Saqafah al Islamiyyah,
Beirut : Markaz Dirasah al Wihdah al-Arabiyah, 1993.
A.A Qadri, Islamic
Jurisprudence in The Modern World, Lahore: Asyraf, 1973.
Abdullah,
Amin, Paradigma al-ternatif Pengembangan ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh
Kontemporer, dalam Ainul Rafiq, (ed), Mazhab Jokja: Menggagas Paradigma
Ushul Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
dan Arruz Press, 2002.
as-Syafi’I , al-Risalah,
Kairo: Maktabah Dar al Turats, 1979.
Harold H. Titus,
dkk. Persoalan-persoalan Filsafat ,Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.
Hasan, Ahmad, The Early
Development of Islamic Jurisprudence Islamabad: Islamic Research Institute,
1988.
Hamlyan,
History of Epistemologi”, dalam Paul Edward, the Encyclopedia of
Philosophy, Vol III, 1967.
Happy Suseno, Ada
apa dengan Islamisasi Ilmu? Dalam Groups, Or.id/ Pendidikan Islam PErmail/
Fosi/2003-desember/oooo11.Html.-17.yk, Akses 5 Agustus 2009.
Jujun suria S
Sumantreri, Filsafat Ilmu , Jakarta, Pusat Sinar Harapan, 1993.
Muslehuddin,
Muhammad, Filsafat Islam dan Pemikiran Orientalis, alih bahasa Yudian W.
Asmin, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1997.
Muallim,
Amir, dan Yusdani, Konfigurasi pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII
Press, 2001.
Miska
M. Amin, Epistemologi Islam,
Pengantar Filsafat pengetahuanIslam (Jakarta: UI Press 1983). Lihat P.
Hardono Hadi, “Pengantar”, dalam Knneth T. Gallagher, Epistemologi Fisafat
Pengetahuan, disadur Oleh P. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Muhajir,
Noeng, Metodologi Penelitian
Kualitatif, Edisi III, Cet, Ke 8 ,Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998.
Muhdor
Ahmad, ILmu dan Keinginan Tahu ( Epistemologi dalam Filsafat) Bandung:
Trigenda Karya, 1994.
M.Arqoun,
Nalar Islami dan nalar Modern: Berbagai tantangan dan Jalan BAru, terj. Rahayu S. Hidayat,
Jakarta: INIS, 1994.
Muslih,
Muhammad, Filsafat Ilmu KAjian atas
Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:
Belukar, 2004.
Nasution,
Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta:
UI Press, 1986,
Nusaibeh, Sari,
“Epistemologi” dalam S.H. Nasr dan Oliver Leamen, History of Islamic
Philosophy, Vol I .London-New York: Routledge, 1996.
Rahman, Fazlur, Islam and
Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: Chicago University
Press, 1980.
Raharjo,
M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1993.
Sardar,
Zainul, Jihad Intelektual Merumuskan parameter-parametar Sains Islam, Terj.
A.E. Priono, Surabaya: Risalah Gusti, 1998.
Sardar,
Zainul, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti,
Bandung: Mizan, 1993.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Umum Akal dan hati Sejak Thales sampai James. Cet VIII
Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999.
Tim
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol 5.
Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989.
[1] Muhammad Muslehuddin, Filsafat
Islam dan Pemikiran Orientalis, alih bahasa Yudian W. Asmin, (Yogyakarta:
PT Tiara Wacana, 1997) hal 11.
[2] Ibid , hal.2.
[3] Harun Nasution, Akal dan
Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), hal 72-73; Amir Muallim dan
Yusdani, Konfigurasi pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2001), hal.3.
[4] Fazlur Rahman,
Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago:
Chicago University Press, 1980), hal . 25.
[5] Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:
Paramadina, 1996), hal. 134.
[6]
M. Atha Mudzhar, “Social History Approach to Islamic Law”, Al-Jamiah (No. 61,
tahun 1998), hal. 78. Lihat juga Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic
Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1988), hal. 24-25.
[7] M. Amin Abdullah, Studi
Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hal 101
[8] Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi
III, Cet, Ke 8 (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998). Hal 86.
[9] Harold H. Titus, dkk. Persoalan-persoalan
Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 187-188.
[10] Ibid. hal 214.
[11] Ahmad tafsir, Filsafat Umum
Akal dan hati Sejak Thales sampai James. Cet VIII (Bandung, PT.
Remaja Rosdakarya, 1999), hal 21.
[12] Ibid. hal 22.
[13] Jujun suria S Sumantreri, Filsafat
Ilmu ,Pusat Sinar Harapan, 1993) hal, 35.
[14]
Hamlyan, History of
Epistemologi”, dalam Paul Edward, the Encyclopedia of Philosophy, Vol
III, 1967, hal 8-9
[15] Miska M. Amin, Epistemologi Islam, Pengantar
Filsafat pengetahuanIslam (Jakarta: UI Press 1983) hal 2. Lihat P. Hardono
Hadi, “Pengantar”, dalam Knneth T. Gallagher, Epistemologi Fisafat
Pengetahuan, disadur Oleh P. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 1994),
hal. 5. Lihat Juga, Muhdor Ahmad, Ilmu dan Keinginan Tahu ( Epistemologi
dalam Filsafat) (Bandung: Trigenda Karya, 1994) hal. 61.
[16] Tim Ensiklopedi NAsional Indonesia, Vol 5 (Jakarta: PT
Cipta Adi Pustaka, 1989) hal 145-146.
Mengenai masalah perkambangan epistemology lihat Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal.57-62.
[17]
Sahrur berpendapat bahwa sampai saat ini belum ada satu pun formulais
Epistemologi Islam yang boleh dikatakan Valid. Lihat Karyanya al-Kitab wa
al-Qur’an: Qira’ah mu’asiroh, (Kairo: Sina li al-Nasyr dan Damaskus:
al-Ahalli, 1992) hal. 30-32.
[18] Untuk Karya as-Syafi’I , Lihat
al-Risalah , (Kairo: Maktabah Dar al Turats, 1979).
[19] Samsul Anwar, Epistemologi
Hukum Islam, Probabilitas dan Kepastian, dalam Kearah filsafat Indonesia (ed).
Yudian W Asmin (Yogyakarta: Forum Studi Hukum islam.Fakultas Syari’ah IAIN
Yogyakarta, 1994), hal. 26.
[20] Lihat M. Abid al Jabiri, Bunyah
al-Aql al-Araby: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah Li Nuzum al-Ma’rifah fi as
Saqafah al Islamiyyah ( Beirut : Markaz Dirasah al Wihdah al-Arabiyah,
1993.
[21] Lihat M. Abid al-jabiri, Nahwn,
hal. 47-53.
[22] Lihat M. Abid al-jabiri, Bunyah,
hal. 13.
[23] Ibid.
[24] Sari Nusaibeh, “Epistemologi”
dalam S.H. Nasr dan Oliver Leamen, History of Islamic Philosophy, Vol I
(London-New York: Routledge, 1996, hal 830.
[25] Lihat M. Abid al-jabiri, Bunyah,
hal. 383.
[26] Lihat M. Abid al-jabiri, Bunyah,
hal. 113.
[27] Amin Abdullah, al-Ta’wil
al-Ilmi: Kearah perubahan penafsiran kitab suci (al Jamiah, Th 2001, Vol
39, hal. 384-387.
[28] Model ketiga ini oleh Amin
Abdullah dinamakan model al-Ta’wil al Ilmi, yaitu cara berfikir,
mentalitas, etos atau sepirit keilmuan yang cara kerjanya memanfaatkat gegrak
putar hermeneutis antara nalar bayani, Irfani, dan Burhani, dimana
ketiga nalar tersebut saling mengisi dan melengkapi
[29] Al-An’am (6): 57
[30]
Asy-Syafi’I, Ar-Risalah,Mesir: Matba’ah
Mustafa al babi al halabi wa auladuh. Hal 25.
[31]
Saiful Anwar, Filsafat
Ilmu al-Ghazali: analisis tentang Dimensi Ontologi, Epistemologi, Aksiologi,
Ilmu Era Paripatetik. (Yogyakarta: Desertasi Doktor IAIN Sunan Kalijaga,
2001), hal 374.
[32]
Ibid , hal 379.
[33]
Zainul Sardar, Jihad Intelektual Merumuskan parameter-parametar Sains Islam,
Terj. A.E. Priono (Surabaya: RIsalah Gusti, 1998) hal 126.
[34]
Ibid, hal 11.
[35]
Happy Suseno, Ada apa dengan Islamisasi Ilmu? Dalam Groups, Or.id/
Pendidikan Islam PErmail/ Fosi/2003-desember/oooo11.Html.-17.yk, Akses 5
Agustus 2009.
[36]
Zainul Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani
Astuti (Bandung: Mizan, 1993). Hal 42.
[37]
Zainuddin sarder, Jihad Intelektual, hal. 54.
[38]
A.A Qadri, Islamic Jurisprudence in The Modern World, Lahore: Asyraf,
1973. Hal 32.
[39]
Ziauddin Sardar, Ijtihad Intelektual, hal 13.
[40]
M.Arqoun, Nalar Islami dan nalar Modern: Berbagai tantangan dan Jalan BAru, terj. Rahayu S. Hidayat
(Jakarta: INIS, 1994) hal.52.
[41]
M. Dawam Raharjo, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Pootik BAngsa:
Risalah Cendikiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1993) hal. 132.
[42]
Menurut Asy-Syatibi semua kewajiaban (taklif) diciptakan dalam rangka
untuk merealisasilan kemaslahatan hamba.tak satupun hokum Allah dalam
pandangannya tidak mempunyai tujuan, dan
hokum dibuat tidaklah untuk hokum itu sendiri melainkan dibuat untuk tujuanlain yakni kemaslahatan.Lihat, Asyafri Jaya Bakri,
Konsep maqasid asy-Syari’ah menurut Asy-Syatibi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hal 4-5.
[43]
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam Mustasfa min Ilm al-Ushul
karya al-Ghazali, (Desertasi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Suka, 2000.
[44]
Amin Abdullah, Paradigma al-ternatif Pengembangan ushul Fiqh dan Dampaknya
pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainul Rafiq, (ed), Mazhab Jokja: Menggagas
Paradigma Ushul Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN
Sunan Kalijaga dan Arruz Press, 2002), hal.120.
[45]
Ibid, hal. 121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar