KEDUDUKAN MAHAR
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, HUKUM POSITIF DAN HUKUM ADAT
(Studi Kasus Mahar Boka dalam Suku Adat Muna
Sulawesi Tenggara)
Ahmad Syafi'i Rahman MSI
A.
Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara kepualauan yang
didalamnya berdiam berjuta juta penduduk dari berbagai pulau, adat dan budaya,
karena banyak dan beraneka ragamny adat dan budaya itulah menjadikan kesulitan
untuk mengemukakan bagaimana cirri hukum adat yang berlaku dalam lingkungan
masyarakat adat. Misalnya dalam
perkawinan adat yang satu dengan yang lain akan berbeda beda pelaksanaannya.
Perkawinan sebagai
salah satu sendi kehidupan masyarakat yang tidak bisa lepas dari tradisi yang
telah dimodifikasi agar sesuai dengan ajaran yang mereka anut, baik sebelum dan
sesudah upacara pernikahan dilaksanakan, karena perkawinan adalah merupakan
sumbu kehidupan masyarakat, maka melalui perkawinan dimasyarakat tertentu dapat
diperoleh informasi budaya masyarakat itu sendiri. Perkawinan pada suatu
masyarakat biasanya diikuti beberapa rangkaian acara dan upacara adat. Acara
dan Upacara adat suatu perkawinan masing –masing sering ditemukan adanya
perbedaan-perbedaan meskipun tidak bersifat prinsip.
Umumnya
pelaksanaan upacara perkawinan Indonesia dipengaruhi oleh bentuk dan system
perkawinan adat setempat dalam kaitannya susunan masyarakat atau kekeluargaan
yang dipertahankan masyarakat tertentu. upacara perkawinan dalam segala bentuk
dan tata caranya, pada umumnya dilaksanakan pada masa pertunangan, penyampaian
lamaran, upacara adat perkawinan, upacara keagamaan dan terakhir upacara
kunjungan mempelai ketempat mertua.[1]
Banyak
hal yang menjadikan kendala mewujudkan sebuah pernikahan yang ideal menurut syar’i,
hal mana yang diketahui bahwa masyarakat telah terkontaminasi oleh tradisi
yang telah mengakar dan seakan akan menjadi ideology, yang justru memberatkan
pelaksanaan nikah, sehingga tidak jarang pernikahan tersebut menyimpang dari
tujuan agung sebagaimana tuntunan Allah Swt dan Rasul-Nya. Hal ini disebabkan,
pengaruh adat istiadat nenek moyangnya yang menwarisi secara turun temurun, dan
menurut anggapan meraka lebih dominan dibandingkan dengan ajaran Islam,
sepertihalnya dengan boka dalam Istilah Muna atau mahar dalam Istilah
Islam.[2]
Boka (mahar) merupakan pemberian dari calon mempelai
laki-laki kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa
yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, hal tersebut tentunya hukumnya
wajib, namun menurut kesepakatan ulama hal tersebut merupakan syarat sahnya
nikah.[3] Kecuali mazhab Malikiyyah memasukkan sebagai salah satu
rukun nikah.[4] Atau dengan kata lain boka (mahar) adalah pemberian
wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai wanita
ketika dilangsungkan akad nikah. Boka (mahar) merupakan salah satu unsur
terpenting dalam proses pernikahan. Salah satu usaha Islam Ialah memperhatikan
dan menghargai kedudukan wanita, yang memberikannya untuk memegang urusannya.
Di zaman jahiliyyah hak wanita itu dihilangkan dan disia siakan, sehingga
walinya semena-mena dalam menggunakan hartanya. Karena tidak memberikan
kesempatan dalam mengurus hartanya dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan
belenggu tersebut dan kepadanya diberikann hak mahar serta suami diberi
kewajiban membayar Boka (mahar).[5]
Namun kadar dan
bentuk boka (mahar) dalam Islam tidak ditetapkan jumlahnya, diserahkan
sesuai kesepakatan antara pihak wanita
dengan pihak laki-laki, dengan syarat bermanfaat. Seperti halnya yang
terjadi pada masa Rasulullah saw, yaitu boka (mahar) berupa sebentuk
cincin besi, sepasang sandal, mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengajarkan
al –qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak mempersulit proses akad
nikah. Lain halnya dengan realitas mayoritas masyarakat muslim Muna di Kabupaten
Muna ketika menikahkan anak wanitanya penyebutan boka (mahar) bukan
sawah atau kebun atau satu sel perhiasan emas atau selainnya, akan tetapi
penyebutan boka (mahar), dikondisikan dengan strata social calon
mempelai wanita ditengah tengah masyarakat dengan menggunakan mata uang. Jika golongan Kaomu (La Ode) menikahi
golongan Kaomu (Wa Ode) atau golongan di bawahnya, maharnya senilai 20 Boka
(Saat ini 1 Boka senilai Rp 24.000,-). Jika golongan Walaka menikahi Golongan
Kaomu, maka maharnya senilai 35 Boka. Akan tetapi jika menikahi golongan Walaka
juga, maharnya adalah 10 Boka 10 Suku (1 Suku senilai 0,25 boka, jadi 10 boka
10 suku sekitar 12,5 boka). Akan tetapi jika golongan Sara-Kaomu maharnya
adalah 15 Boka. Golongan sara kaomu (Perempuan Sara-Kaomu) artinya Ayahnya
Golongan Walaka dan Ibunya Golongan Kaomu. Jila golongan Anangkolaki menikahi
golongan Kaomu, maka maharnya adalah 75 boka. Jika menikahi golongan Walaka,
maharnya adalah 35 Boka. Akan tetapi jika menikahi golongan anangkolaki juga
atau di bawahnya, maharnya adalah 7 boka 2 suku (atau 7,5 boka). Jika golongan
Maradika menikahi golongan Kaomu maharnya adalah 2 x 75 Boka, jika menikahi
golongan Walaka maharnya adalah 75 bola, jika menikahi golongan Anangkolaki
maharnya 7 boka 2 suku (7,5 boka).
Sesungguhnya boka
(mahar) dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang masalah perkawinan
(selanjutnya disingkat dengan UUP No.1 Tahun 1974) tidak diatur. [6] namun boka (mahar) ini diatur dalam KHI agar
supaya menjadikannya mahar itu tertib dalam menetapkan tentang kepastian hukum
bahwa Boka (mahar) bukan merupakan rukun nikah.[7] Sebenarnya pengaturan boka (mahar) dalalm KHI
adalah untuk menetapkan etika boka (mahar) atas asas kesederhanaan dan
kemudahan, buka didasarkan aras asas ekonomi, status, dan gengsi.
Sebagaimana
dimaklumi bahwa masyarakat adat yang begitu kuat memegang tradisi dalam melaksanakan
ibadah-ibadah, sehingga kadang-kadang berbeda-beda dengan penerapannya.[8] Hal ini terbukti pada praktek pelaksanaan Boka (mahar)
pada masyarakat Suku Muna Sulawesi Tenggara, bahwa Boka (mahar) yang tadinya adalah normatif harus merujuk
kepada normatif, namun masyarakat masih mengikuti pola adat yang sangat kuat.
Adanya adat yang begitu kental.[9]
Sehubungan dengan
hal tersebut, dapat diduga bahwa Boka (mahar) di dalam Muna sangat
bertentangan dengan uraian normatif diatas seakan –akan diambil sebagai gengsi
dalam tingkat sosial. Namun hal ini juga dipraktikkan oleh sebagian besar
masyarakat Muna dengan melihat tingkat Boka (mahar) itu sesuai dengan
status sosial calon mempelai wanita.
Melihat fenomena
atas realitas tersebut dan nilai yang idealitas dengan kesejalanan dari Hukum
Islam maka perlu untuk mengkaji secara mendalam dengan berbagai pendekatan,
baik itu pendekatan antropologi (aspek sikap manusia secara personal),
pendekatan sosiologis budaya (perkembangan hukum adat dan prilaku sosial yang
disepakati) dan pendekatan Urf (yang merupakan salah satu yang menjadi
rujukan dalam hukum Islam karena didalamnya mengandung nilai-nilai kemaslahatan)
Suatu analisa bahwa
dalam peneltian Studi Kasus ini, dengan pendekatan diatas, penyusun akan lebih
terfokus kepada konsep Boka (mahar)
dalam hukum adat dan hukum Islam.
B.
Pokok Masalah
1.
Bagaimana latar belakang pemikiran tokoh masyarakat Muna
tentang pelaksanaan mahar dalam adat setempat?
2.
Bagaimana tinjauan hukum Islam dalam menyikapi fenomena
mahar dalam adat perkawinan masyarakat Muna, serta dampak yang ditimbulkannya?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dalam penelitian disertasi ini
diharapkan bisa mengungkap latar belakang pemikiran tokoh masyarakat Bone
tentang penyebab terjadinya mahar Boka dalam adat mereka. Jika telah
diketahui, harapan selanjutnya adalah untuk mengetahui sudut mahar boka jika
ditinjau dari segi hukum Islam, serta dampak yang ditimbulkannya.
D.
Kontribusi yang diharapkan
E.
Daftar Pustaka
F.
Kerangka Teori
Para ulama telah sepakat bahwa hukum hukum dalam syari’at
Islam mempunyai maksud dan latar belakang. Maksud dan latar belakang tersebut
dapat dipahami oleh rasio secara rinci kecuali sebagaian hukum yang bersifat ta’abbudi
dan hikmahnya tidak dipahami akal yaitu yang rinci rahasia dibalik
pensyari’atan tidak dapat dipahami.
Islam diyakini sebagian agama yang universal, tidak
terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Al-Qur'an menyatakan bahwa lingkunan
berlakunya ajaran Islam dibawa oleh Nabi adalah untuk seluruh umat manusia
dimanapun mereka.
Secara sosiologis diakui bahwa masyarakat senantiasa
mengalami perubahan. Perubahan suatu masyarakat dapat dipengaruhi pola pikir
dan tata nilai yang ada pada mereka. Semakin maju cara berfikir suatu
masyarakat akan semakin terbuka untuk menerima kemajuan ilmu pengetahuan.
Bagi Ummat beragama, khususnya umat Islam kenyataan ini
dapat menimbulkan masalah utama apabila suatu kegiatan dihubungkan dengan
norma-norma agama. Akibatnya, diperlukan pemecahan atas masalah tersebut.[10]
Dengan demikian , para ulama dan fuqaha dalam mencari
suatu hukum berpegang pada sumber hukum Islam dan maqasid asy-syari’ah dimana
salah satu sumber hukum yang dapat digunkaan adalah Al-urf, yang sesuai
dengan pembahasan ini.
Sebagai salah satu sumber hukum Islam, urf adalah
sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan menjadi tradisi mereka baik
yang berupa perkataan atau perbuatan yang dilakukan atau ditinggalkan. Urf juga disebut adat. Sedangkan menurut
istilah para ahli syara’, tidak
ada perbedaan antara urf’ dan adat kebiasaan. Urf terbentuk
saling pengertian orang banyak, sekalipun stratifikasi sosial mereka berlainan
yaitu kalangan awam dari masyarakat dan kelompok elite mereka.[11]
Urf ada
dua macam, yaitu urf sahih dan urf fasid, Urf yang sahih adalah
yang dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’,;
tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan dan tidak pula membatalkan sesuatu
yang wajib.[12]
Sesungguhnya
sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah menjadi adat
kebiasaan mereka maka sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Karena itu ulama
berkata:[13]
hukum didasarkan atas urf dapat
berubah. Dengan adanya perubahan suatu nash atau tempat. Walaupun sebenarnya urf
bukan merupakan dalil syar’i yang berdiri sendiri . Biasanya urf adalah
termasuk dari memelihara masahah mursalah. [14]
Walaupun
teori hukum Islam dibangun oleh aliran-aliran hukum klasik memandang hukum
islam sebagai hkum yang bersifat kebal dari perubahan, dan manusia hanya mampu
menginterpretasikan dan mengeksplanasikan hukum tanpa menciptakan permasalahan
permasalahan kesehariaan yang muncul dan perkembangnya budaya mengharuskan
adanya adaptasi dari aturan aturan hukum tersebut kepada situasi baru.[15]
Sehingga
ketika mereka menghadapi masalah-masalah yang tidak ditemui oleh para sahabat,
para iman dan aliran-aliran hukum (mazhabiyah) tersebut, mereka memanfaatkan
hukum adat yang di praktikkan di dalam daerah-daerah baru yang dikuasai oleh
orang Islam.
Para
ahli hukum Islam meihat prinsip-prinsip adat sebagai salah satu sumber hukum
Islam yang sekunder dan bukan primer, dalam arti diaplikasikannya prinsip-prinsip
tersebut hanya ketika sumber-sumber tersebut hanya ketika sumber-sumber yang
primer tidak memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang mancul.[16]
Ahli
hukum Islam dari mazhab Maliki yang terkenal, as-Syatibi berpendapat bahwa adat
lokal yang tidak bertentangan dengan semangat Islam dapat menjadi penuntun
dalam mengaplikasikan hukum. Ia membedakan dua macam adat atau kebiasaan, yang
pertama ia sebut dengan adat awaid asy-syar’iyyah yang terdiri dari
tradisi-tradisi yang disetujui oleh nash dan dalil-dalil syar’i lainnya. Yang
kedua adalah awaid Al-Qur'an jariyah, yang terdiri dari berbagai macam
bentuk adat didiami oleh syari’ah, dalam arti tidak menerima dan tidak menolak.
Sementara penerimaan syari’ah terhadap kelompok pertama tergantung kepada kesesuaiannya
dengan syariah itu sendiri, kelompok kedua ini bersifat tidak mengikat akan
tetapi bersifat mubah.[17]
Dalam
metodologi hukum Islam, adat (urf atau al-addah) sebagai salah
satu sumber hukum yang dikembangkan dari
akad pembiayaan mudharabah pikiran (ra’y), disamping Qiyas, Istihsan,
dan Istishlah . dengan kata lain bahwa adat memiliki tempat dalam
hukum Islam sepanjang tidak bertentangan dalam hukum Islam sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum Islam yang dalam hal ini sumbernya (yakni Al-Qur'an
dan hadis).
Ketika islam datang
dahulu, dan orang-orang telah mempunyai urf-urf yang berbeda-beda, lalu
Islam mengakui yang baik diantaranya serta sesuai dengan tujuan syara’
dan prinsip-prinsipnya maka Islam tidak menolak yang demikian. Namun ada pula
yang sebagian yang diperbaiki dan diluruskan sehingga urf menjadi
sejalan dengan arah dan sasarannya.
Banyak hal yang
telah dibiarkan oleh syara’ tanpa pembaharuan yang baku dan jelas sebagai
lapangan gerak bagi Al-urf as-shahih (kebiasaan yang baik), di sinilah urf
menentukan hukumnya, menjelaskan batasan-batasan dan rinciannya.[18]
Para Fuqaha telah banyak menyebutnya dengan urf dan mereka telah banyak
meletakkan ketetapan-ketetapan hukum di dalam urf. Dalam hal ini mereka
berpegang kepada Ucapan Ibn Mas’ud:[19]
ماراه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Jika kita cermati, Secara umum
mazhab-mazhab besar seperti kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanbaliyah
dan Syafi’iyyah menggunakan al-‘urf sebagai landasan hukum
Islam, hanya saja dalam jumlah dan perinciannya mereka berbeda pendapat[20]
Penerimaan al-‘urf sebagai dalil syara’ ini
di kalangan para ulama fiqh diperkuat dengan dipakainya urf oleh
Imam al-Syatibi (w. 790 H/ ahli ushul fiqh Maliki) dan Imam Ibn Qayyim
al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M/ ahli ushul fiqh Hanbali).[21] Imam Malik misalnya dalam memutuskan persoalan fiqhiyah
senantiasa menyandarkan pada al-‘urf yang dilakukan oleh masyarakat
Madinah. Sikap yang sama dilakukan oleh Imam Syafi’I ketika berada di Mesir dan
di Baghdad. Karena al-‘urf di Mesir dan di Baghdad berlainan, Imam
Syafi’i pun merubah qaul al-qadim menjadi qaul al-jadid.[22]
Selanjutnya istilah qaul al-qadim dan qaul al-jadid identik
dengan keputusan-keputusan hukum Islam yang ditetapkan oleh Imam Syafi’i.
Para ulama sepakat
menggunakan al-‘urf sebagai landasan atau sumber pembangunan hukum
Islam, selain itu mereka juga bersepakat bahwa hukum yang dibentuk berdasarkan pada
al-‘urf bertahan selama al-‘urf masih dipertahankan oleh suatu
masyarakat. Jika al-‘urf telah berubah, maka kekuatan hukum itu pun juga
berubah. Dengan kata lain bahwa ketetapan hukum Islam yang dibangun
bersumberkan pada al-‘urf tidak mempunyai ketetapan yang abadi.
Konskuensi lainnya adalah ketetapan atas al-‘urf pun tidak bisa diberlakukan
di suatu masyarakat yang hidup kemudian, kecuali dijadikan sebagai bahan
pertimbangan. Berikut syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama
diperbolehkannya al-‘urf sebagai sumber hukum Islam, adalah:
1.
Al-‘urf berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan
keberlakukannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
2.
Al-‘urf sudah ada sebelum munculnya kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3.
Al-‘urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu aqad
(transaksi).
Dengan persyaratan
tersebut di atas para ulama memperbolehkan penggunaan al-‘urf sebagai
sumber hukum Islam. Tentunya persyaratan tersebut muncul bukan tanpa alasan,
tetapi persolan teologis, dan sosio-historis-anthropologis, menjadi
pertimbangan utama.
Dari pembahasan
diatas, proses Al-urf yang bermakna
local wisdom atau kebajikan local (adat) pada tingkatan praksis kemasyarakatan
terkait erat dan dipengaruhi oleh factor budaya yang ada di masyarakat hingga
kemudian secara operasional al-urf membutuhkan landasan normative agar bisa
menjadi landasan hukum. Pertanyaannya apakah semua urf (tradisi) sesuai dengan
syari’at Islam?. Meskipun diakui jumhur (ahli Hukum Islam), Islam sangat
menghargai keberadaan al-urf dengan adagium“al-Adah al-Muhakamah”. Pertanyaan
kedua, apakah Boka (mahar) dalam perkawinan adat Muna telah sesuai dengan
apa yang dimaksud urf dalam hukum
Islam.
G.
Metodologi
Antropologi
Sosiologi
H.
Sistematika Penelitian
[1]
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan Hukum Adat
, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003). Hal, 97.
[2]
Wawancara jarak jauh dengan Bapak La Ode Ida (Sesepuh Suku Muna)
[3]
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Indonesia, cet.1 (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995). Hal. 101.
[4]
Abd. Rahman, Fiqih Mazabih al arba’ah, Juz.IV, (Mesir:
al-Makatabah al Tajariyah al Kubra, 1969). Hal. 12
[5]
Wawancara jarak jauh dengan Bapak La Ode Ida (Sesepuh Suku Muna)
[6] UU
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak mengatur tentang boka (mahar)
disebabkan UUP No. 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan secara Nasional bagi warga
Negara Indonesi a berdasarkan agama dan kepercayaannya. Lain halnya dengan
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur perkawinan secara Khusus bagi ummat Islam
di Indonesia, sehingga mahar dijelaskan
secara rinci pada bab V, mulai pasal 30 s/d 38, KHI. Lihat Zainal Abidin Abu
Bakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan dalam Peradilan Agama, cet.3
(Jakarta: Yayasan al Hikmah, 1993). Hal, 313-314.
[7]
Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), hal. 55.
[8]
Bushar Muhammad, Pokok Pokok Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita,
1981), hal. 4. Lihat Juga Abdur Rahman, Hukum Adat Menurut
Perundang-Undangan Republik Indonesia, cet. 1 (Jakarta: Cendana Press,
1984), hal. 17.
[9]
Wawancara Jarak Jauh dengan bapak La Ode Ida, Tokoh Sesepuh Adat Muna.
[10]
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Cet.1 ( Jakarta: Wacana Ilmu,
1998), hal.46.
[11]
Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al Fiqh, cet.12 (Kuwait: Dar
Al-Qur'an-Falah, 1978). Hal.91.
[12] Ibid, hal.91.
[13]
As-Suyuti, al-Asybah wa an Naza’ir, (Kairo: dar Ihya al-Kutub al’-
Allah’rabi, t.t.). hal.63.
[14]
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, ibid, hal. 91.
[15]
Ratno Lukito, Pergumulan Hukum Islam dan Hukum adapt di Indoensia, (Jakarta:
INIS, 1998). Hal. 17.
[16] Ibid, hal.18.
[17]
Syatibi melalui buku Ratno Lukito, Pergumulan, hal, 21.
[18]
Yusuf Qardawi, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam, alih bahasa Said Agil
Husain al-Munawwar, (Semarang: Dimas, 1993). Hal, 19.
[19]
Tentang Riwayat ini al-A’la’i berkata bahwa itu bukan perkataan Nabi, tetapi
perkataan Ibn Mas’ud . Lihat keterangan ini dalam Suyuti, Al- Asbah wa- an
Nadha’ir, hal.65. perkataan ini juga di perkuat oleh Mahmasani dalam kitabnya Falsafah tasyri’ hal.
241. yang menyatakan bahwa Ulama Hanafiyah lah yang senantiasa berpendapat
bahwa risalah ini merupakan hadis Nabi.
[20]
Satria Effendi Muh Zein, Ushul Fikih, dalam Taufik Abdullah, at. al.,
ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve). 273.
[21] Nasrun Haroen , Ushul Fiqh, cet., ke-2 (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997). Hal. 142.
[22]
Khallaf, Abdul Wahhab, al-Siyasi al-Syar’iyyah (Cairo, 1977).hal. 135.
[23]
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, cet., ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997). Hal. 144.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar