Sabtu, 31 Maret 2012


 KEDUDUKAN MAHAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, HUKUM POSITIF DAN HUKUM ADAT
(Studi Kasus Mahar Boka dalam Suku Adat Muna Sulawesi Tenggara)
Ahmad Syafi'i Rahman MSI

A.    Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara kepualauan yang didalamnya berdiam berjuta juta penduduk dari berbagai pulau, adat dan budaya, karena banyak dan beraneka ragamny adat dan budaya itulah menjadikan kesulitan untuk mengemukakan bagaimana cirri hukum adat yang berlaku dalam lingkungan masyarakat adat. Misalnya dalam perkawinan adat yang satu dengan yang lain akan berbeda beda pelaksanaannya.
Perkawinan sebagai salah satu sendi kehidupan masyarakat yang tidak bisa lepas dari tradisi yang telah dimodifikasi agar sesuai dengan ajaran yang mereka anut, baik sebelum dan sesudah upacara pernikahan dilaksanakan, karena perkawinan adalah merupakan sumbu kehidupan masyarakat, maka melalui perkawinan dimasyarakat tertentu dapat diperoleh informasi budaya masyarakat itu sendiri. Perkawinan pada suatu masyarakat biasanya diikuti beberapa rangkaian acara dan upacara adat. Acara dan Upacara adat suatu perkawinan masing –masing sering ditemukan adanya perbedaan-perbedaan meskipun tidak bersifat prinsip.
          Umumnya pelaksanaan upacara perkawinan Indonesia dipengaruhi oleh bentuk dan system perkawinan adat setempat dalam kaitannya susunan masyarakat atau kekeluargaan yang dipertahankan masyarakat tertentu. upacara perkawinan dalam segala bentuk dan tata caranya, pada umumnya dilaksanakan pada masa pertunangan, penyampaian lamaran, upacara adat perkawinan, upacara keagamaan dan terakhir upacara kunjungan mempelai ketempat mertua.[1]
            Banyak hal yang menjadikan kendala mewujudkan sebuah pernikahan yang ideal menurut syar’i, hal mana yang diketahui bahwa masyarakat telah terkontaminasi oleh tradisi yang telah mengakar dan seakan akan menjadi ideology, yang justru memberatkan pelaksanaan nikah, sehingga tidak jarang pernikahan tersebut menyimpang dari tujuan agung sebagaimana tuntunan Allah Swt dan Rasul-Nya. Hal ini disebabkan, pengaruh adat istiadat nenek moyangnya yang menwarisi secara turun temurun, dan menurut anggapan meraka lebih dominan dibandingkan dengan ajaran Islam, sepertihalnya dengan boka dalam Istilah Muna atau mahar dalam Istilah Islam.[2]
Boka (mahar) merupakan pemberian dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, hal tersebut tentunya hukumnya wajib, namun menurut kesepakatan ulama hal tersebut merupakan syarat sahnya nikah.[3] Kecuali mazhab Malikiyyah memasukkan sebagai salah satu rukun nikah.[4] Atau dengan kata lain boka (mahar) adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai wanita ketika dilangsungkan akad nikah. Boka (mahar) merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses pernikahan. Salah satu usaha Islam Ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yang memberikannya untuk memegang urusannya. Di zaman jahiliyyah hak wanita itu dihilangkan dan disia siakan, sehingga walinya semena-mena dalam menggunakan hartanya. Karena tidak memberikan kesempatan dalam mengurus hartanya dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan belenggu tersebut dan kepadanya diberikann hak mahar serta suami diberi kewajiban membayar Boka (mahar).[5]
Namun kadar dan bentuk boka (mahar) dalam Islam tidak ditetapkan jumlahnya, diserahkan sesuai kesepakatan antara pihak wanita  dengan pihak laki-laki, dengan syarat bermanfaat. Seperti halnya yang terjadi pada masa Rasulullah saw, yaitu boka (mahar) berupa sebentuk cincin besi, sepasang sandal, mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengajarkan al –qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak mempersulit proses akad nikah. Lain halnya dengan realitas mayoritas masyarakat muslim Muna di Kabupaten Muna ketika menikahkan anak wanitanya penyebutan boka (mahar) bukan sawah atau kebun atau satu sel perhiasan emas atau selainnya, akan tetapi penyebutan boka (mahar), dikondisikan dengan strata social calon mempelai wanita ditengah tengah masyarakat dengan menggunakan mata uang.  Jika golongan Kaomu (La Ode) menikahi golongan Kaomu (Wa Ode) atau golongan di bawahnya, maharnya senilai 20 Boka (Saat ini 1 Boka senilai Rp 24.000,-). Jika golongan Walaka menikahi Golongan Kaomu, maka maharnya senilai 35 Boka. Akan tetapi jika menikahi golongan Walaka juga, maharnya adalah 10 Boka 10 Suku (1 Suku senilai 0,25 boka, jadi 10 boka 10 suku sekitar 12,5 boka). Akan tetapi jika golongan Sara-Kaomu maharnya adalah 15 Boka. Golongan sara kaomu (Perempuan Sara-Kaomu) artinya Ayahnya Golongan Walaka dan Ibunya Golongan Kaomu. Jila golongan Anangkolaki menikahi golongan Kaomu, maka maharnya adalah 75 boka. Jika menikahi golongan Walaka, maharnya adalah 35 Boka. Akan tetapi jika menikahi golongan anangkolaki juga atau di bawahnya, maharnya adalah 7 boka 2 suku (atau 7,5 boka). Jika golongan Maradika menikahi golongan Kaomu maharnya adalah 2 x 75 Boka, jika menikahi golongan Walaka maharnya adalah 75 bola, jika menikahi golongan Anangkolaki maharnya 7 boka 2 suku (7,5 boka).
Sesungguhnya boka (mahar) dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang masalah perkawinan (selanjutnya disingkat dengan UUP No.1 Tahun 1974) tidak diatur. [6] namun boka (mahar) ini diatur dalam KHI agar supaya menjadikannya mahar itu tertib dalam menetapkan tentang kepastian hukum bahwa Boka (mahar) bukan merupakan rukun nikah.[7] Sebenarnya pengaturan boka (mahar) dalalm KHI adalah untuk menetapkan etika boka (mahar) atas asas kesederhanaan dan kemudahan, buka didasarkan aras asas ekonomi, status, dan gengsi.
Sebagaimana dimaklumi bahwa masyarakat adat yang begitu kuat  memegang tradisi dalam melaksanakan ibadah-ibadah, sehingga kadang-kadang berbeda-beda dengan penerapannya.[8] Hal ini terbukti pada praktek pelaksanaan Boka (mahar) pada masyarakat Suku Muna Sulawesi Tenggara, bahwa Boka (mahar)  yang tadinya adalah normatif harus merujuk kepada normatif, namun masyarakat masih mengikuti pola adat yang sangat kuat. Adanya adat yang begitu kental.[9]
Sehubungan dengan hal tersebut, dapat diduga bahwa Boka (mahar) di dalam Muna sangat bertentangan dengan uraian normatif diatas seakan –akan diambil sebagai gengsi dalam tingkat sosial. Namun hal ini juga dipraktikkan oleh sebagian besar masyarakat Muna dengan melihat tingkat Boka (mahar) itu sesuai dengan status sosial calon mempelai wanita.
Melihat fenomena atas realitas tersebut dan nilai yang idealitas dengan kesejalanan dari Hukum Islam maka perlu untuk mengkaji secara mendalam dengan berbagai pendekatan, baik itu pendekatan antropologi (aspek sikap manusia secara personal), pendekatan sosiologis budaya (perkembangan hukum adat dan prilaku sosial yang disepakati) dan pendekatan Urf (yang merupakan salah satu yang menjadi rujukan dalam hukum Islam karena didalamnya mengandung nilai-nilai kemaslahatan)
Suatu analisa bahwa dalam peneltian Studi Kasus ini, dengan pendekatan diatas, penyusun akan lebih terfokus kepada konsep Boka (mahar)  dalam hukum adat dan hukum Islam.

B.     Pokok Masalah
1.                  Bagaimana latar belakang pemikiran tokoh masyarakat Muna tentang pelaksanaan mahar dalam adat setempat?
2.                  Bagaimana tinjauan hukum Islam dalam menyikapi fenomena mahar dalam adat perkawinan masyarakat Muna, serta dampak yang ditimbulkannya?
C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dalam penelitian disertasi ini diharapkan bisa mengungkap latar belakang pemikiran tokoh masyarakat Bone tentang penyebab terjadinya mahar Boka dalam adat mereka. Jika telah diketahui, harapan selanjutnya adalah untuk mengetahui sudut mahar boka jika ditinjau dari segi hukum Islam, serta dampak yang ditimbulkannya.
D.    Kontribusi yang diharapkan
E.     Daftar Pustaka
F.     Kerangka Teori
Para ulama telah sepakat bahwa hukum hukum dalam syari’at Islam mempunyai maksud dan latar belakang. Maksud dan latar belakang tersebut dapat dipahami oleh rasio secara rinci kecuali sebagaian hukum yang bersifat ta’abbudi dan hikmahnya tidak dipahami akal yaitu yang rinci rahasia dibalik pensyari’atan tidak dapat dipahami.
Islam diyakini sebagian agama yang universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Al-Qur'an menyatakan bahwa lingkunan berlakunya ajaran Islam dibawa oleh Nabi adalah untuk seluruh umat manusia dimanapun mereka.
Secara sosiologis diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan suatu masyarakat dapat dipengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada pada mereka. Semakin maju cara berfikir suatu masyarakat akan semakin terbuka untuk menerima kemajuan ilmu pengetahuan.
Bagi Ummat beragama, khususnya umat Islam kenyataan ini dapat menimbulkan masalah utama apabila suatu kegiatan dihubungkan dengan norma-norma agama. Akibatnya, diperlukan pemecahan atas masalah tersebut.[10]
Dengan demikian , para ulama dan fuqaha dalam mencari suatu hukum berpegang pada sumber hukum Islam dan maqasid asy-syari’ah dimana salah satu sumber hukum yang dapat digunkaan adalah Al-urf, yang sesuai dengan pembahasan ini.
Sebagai salah satu sumber hukum Islam, urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan menjadi tradisi mereka baik yang berupa perkataan atau perbuatan yang dilakukan atau ditinggalkan. Urf  juga disebut adat. Sedangkan menurut istilah  para ahli syara’, tidak ada perbedaan antara urf’ dan adat kebiasaan. Urf terbentuk saling pengertian orang banyak, sekalipun stratifikasi sosial mereka berlainan yaitu kalangan awam dari masyarakat dan kelompok elite mereka.[11]
Urf ada dua macam, yaitu urf sahih dan urf fasid, Urf yang sahih adalah yang dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’,; tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib.[12]
Sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah menjadi adat kebiasaan mereka maka sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Karena itu ulama berkata:[13] hukum didasarkan atas urf  dapat berubah. Dengan adanya perubahan suatu nash atau tempat. Walaupun sebenarnya urf bukan merupakan dalil syar’i yang berdiri sendiri . Biasanya urf adalah termasuk dari memelihara masahah mursalah. [14]
            Walaupun teori hukum Islam dibangun oleh aliran-aliran hukum klasik memandang hukum islam sebagai hkum yang bersifat kebal dari perubahan, dan manusia hanya mampu menginterpretasikan dan mengeksplanasikan hukum tanpa menciptakan permasalahan permasalahan kesehariaan yang muncul dan perkembangnya budaya mengharuskan adanya adaptasi dari aturan aturan hukum tersebut kepada situasi baru.[15]
            Sehingga ketika mereka menghadapi masalah-masalah yang tidak ditemui oleh para sahabat, para iman dan aliran-aliran hukum (mazhabiyah) tersebut, mereka memanfaatkan hukum adat yang di praktikkan di dalam daerah-daerah baru yang dikuasai oleh orang Islam.
            Para ahli hukum Islam meihat prinsip-prinsip adat sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sekunder dan bukan primer, dalam arti diaplikasikannya prinsip-prinsip tersebut hanya ketika sumber-sumber tersebut hanya ketika sumber-sumber yang primer tidak memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang mancul.[16]
            Ahli hukum Islam dari mazhab Maliki yang terkenal, as-Syatibi berpendapat bahwa adat lokal yang tidak bertentangan dengan semangat Islam dapat menjadi penuntun dalam mengaplikasikan hukum. Ia membedakan dua macam adat atau kebiasaan, yang pertama ia sebut dengan adat awaid asy-syar’iyyah yang terdiri dari tradisi-tradisi yang disetujui oleh nash dan dalil-dalil syar’i lainnya. Yang kedua adalah awaid Al-Qur'an jariyah, yang terdiri dari berbagai macam bentuk adat didiami oleh syari’ah, dalam arti tidak menerima dan tidak menolak. Sementara penerimaan syari’ah terhadap kelompok  pertama tergantung kepada kesesuaiannya dengan syariah itu sendiri, kelompok kedua ini bersifat tidak mengikat akan tetapi bersifat mubah.[17]
            Dalam metodologi hukum Islam, adat (urf atau al-addah) sebagai salah satu sumber hukum yang dikembangkan  dari akad pembiayaan mudharabah pikiran (ra’y), disamping Qiyas, Istihsan, dan Istishlah . dengan kata lain bahwa adat memiliki tempat dalam hukum Islam sepanjang tidak bertentangan dalam hukum Islam sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam yang dalam hal ini sumbernya (yakni Al-Qur'an dan hadis).
Ketika islam datang dahulu, dan orang-orang telah mempunyai urf-urf yang berbeda-beda, lalu Islam mengakui yang baik diantaranya serta sesuai dengan tujuan syara’ dan prinsip-prinsipnya maka Islam tidak menolak yang demikian. Namun ada pula yang sebagian yang diperbaiki dan diluruskan sehingga urf menjadi sejalan dengan arah dan sasarannya.     
Banyak hal yang telah dibiarkan oleh syara’ tanpa pembaharuan yang baku dan jelas sebagai lapangan gerak bagi Al-urf as-shahih (kebiasaan yang baik), di sinilah urf menentukan hukumnya, menjelaskan batasan-batasan dan rinciannya.[18] Para Fuqaha telah banyak menyebutnya dengan urf dan mereka telah banyak meletakkan ketetapan-ketetapan hukum di dalam urf. Dalam hal ini mereka berpegang kepada Ucapan Ibn Mas’ud:[19]
ماراه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
                        Jika kita cermati, Secara umum mazhab-mazhab besar seperti kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanbaliyah dan Syafi’iyyah menggunakan al-‘urf sebagai landasan hukum Islam, hanya saja dalam jumlah dan perinciannya mereka berbeda pendapat[20]
Penerimaan al-‘urf sebagai dalil syara’ ini di kalangan para ulama fiqh diperkuat dengan dipakainya urf oleh Imam al-Syatibi (w. 790 H/ ahli ushul fiqh Maliki) dan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M/ ahli ushul fiqh Hanbali).[21] Imam Malik misalnya dalam memutuskan persoalan fiqhiyah senantiasa menyandarkan pada al-‘urf yang dilakukan oleh masyarakat Madinah. Sikap yang sama dilakukan oleh Imam Syafi’I ketika berada di Mesir dan di Baghdad. Karena al-‘urf di Mesir dan di Baghdad berlainan, Imam Syafi’i pun merubah qaul al-qadim menjadi qaul al-jadid.[22] Selanjutnya istilah qaul al-qadim dan qaul al-jadid identik dengan keputusan-keputusan hukum Islam yang ditetapkan oleh Imam Syafi’i.
Para ulama sepakat menggunakan al-‘urf sebagai landasan atau sumber pembangunan hukum Islam, selain itu mereka juga bersepakat bahwa hukum yang dibentuk berdasarkan pada al-‘urf bertahan selama al-‘urf masih dipertahankan oleh suatu masyarakat. Jika al-‘urf telah berubah, maka kekuatan hukum itu pun juga berubah. Dengan kata lain bahwa ketetapan hukum Islam yang dibangun bersumberkan pada al-‘urf tidak mempunyai ketetapan yang abadi. Konskuensi lainnya adalah ketetapan atas al-‘urf pun tidak bisa diberlakukan di suatu masyarakat yang hidup kemudian, kecuali dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Berikut syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama diperbolehkannya al-‘urf sebagai sumber hukum Islam, adalah:
1.      Al-‘urf berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakukannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
2.      Al-‘urf sudah ada sebelum munculnya kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3.      Al-‘urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu aqad (transaksi).
4.      Al-urf tidak bertentang dengan nash[23]

Dengan persyaratan tersebut di atas para ulama memperbolehkan penggunaan al-‘urf sebagai sumber hukum Islam. Tentunya persyaratan tersebut muncul bukan tanpa alasan, tetapi persolan teologis, dan sosio-historis-anthropologis, menjadi pertimbangan utama.
Dari pembahasan diatas, proses  Al-urf yang bermakna local wisdom atau kebajikan local (adat) pada tingkatan praksis kemasyarakatan terkait erat dan dipengaruhi oleh factor budaya yang ada di masyarakat hingga kemudian secara operasional al-urf membutuhkan landasan normative agar bisa menjadi landasan hukum. Pertanyaannya apakah semua urf (tradisi) sesuai dengan syari’at Islam?. Meskipun diakui jumhur (ahli Hukum Islam), Islam sangat menghargai keberadaan al-urf dengan adagium“al-Adah al-Muhakamah”. Pertanyaan kedua, apakah Boka (mahar) dalam perkawinan adat Muna telah sesuai dengan apa yang dimaksud  urf dalam hukum Islam.
G.    Metodologi
Antropologi
Sosiologi

H.    Sistematika Penelitian
              


[1] Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan Hukum Adat , Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003). Hal, 97.
[2] Wawancara jarak jauh dengan Bapak La Ode Ida (Sesepuh Suku Muna)
[3] Ahmad Rafiq, Hukum Islam Indonesia, cet.1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995). Hal. 101.
[4] Abd. Rahman, Fiqih Mazabih al arba’ah, Juz.IV, (Mesir: al-Makatabah al Tajariyah al Kubra, 1969). Hal. 12
[5] Wawancara jarak jauh dengan Bapak La Ode Ida (Sesepuh Suku Muna)
[6] UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak mengatur tentang boka (mahar) disebabkan UUP No. 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan secara Nasional bagi warga Negara Indonesi a berdasarkan agama dan kepercayaannya. Lain halnya dengan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur perkawinan secara Khusus bagi ummat Islam di Indonesia,  sehingga mahar dijelaskan secara rinci pada bab V, mulai pasal 30 s/d 38, KHI. Lihat Zainal Abidin Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan dalam Peradilan Agama, cet.3 (Jakarta: Yayasan al Hikmah, 1993). Hal, 313-314. 
[7] Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 55.
[8] Bushar Muhammad, Pokok Pokok Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), hal. 4. Lihat Juga Abdur Rahman, Hukum Adat Menurut Perundang-Undangan Republik Indonesia, cet. 1 (Jakarta: Cendana Press, 1984), hal. 17.
[9] Wawancara Jarak Jauh dengan bapak La Ode Ida, Tokoh Sesepuh Adat Muna.
[10] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Cet.1 ( Jakarta: Wacana Ilmu, 1998), hal.46.
[11] Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al Fiqh, cet.12 (Kuwait: Dar Al-Qur'an-Falah, 1978). Hal.91.
[12] Ibid, hal.91.
[13] As-Suyuti, al-Asybah wa an Naza’ir, (Kairo: dar Ihya al-Kutub al’- Allah’rabi, t.t.). hal.63.
[14] Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, ibid, hal. 91.
[15] Ratno Lukito, Pergumulan Hukum Islam dan Hukum adapt di Indoensia, (Jakarta: INIS, 1998). Hal. 17.
[16] Ibid, hal.18.
[17] Syatibi melalui buku Ratno Lukito, Pergumulan, hal, 21.
[18] Yusuf Qardawi, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam, alih bahasa Said Agil Husain al-Munawwar, (Semarang: Dimas, 1993). Hal, 19.
[19] Tentang Riwayat ini al-A’la’i berkata bahwa itu bukan perkataan Nabi, tetapi perkataan Ibn Mas’ud . Lihat keterangan ini dalam Suyuti, Al- Asbah wa- an Nadha’ir, hal.65. perkataan ini juga di perkuat oleh  Mahmasani dalam kitabnya Falsafah tasyri’ hal. 241. yang menyatakan bahwa Ulama Hanafiyah lah yang senantiasa berpendapat bahwa risalah ini merupakan hadis Nabi.
[20] Satria Effendi Muh Zein, Ushul Fikih, dalam Taufik Abdullah, at. al., ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve). 273.
[21] Nasrun Haroen , Ushul Fiqh, cet., ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Hal. 142.
[22] Khallaf, Abdul Wahhab, al-Siyasi al-Syar’iyyah (Cairo, 1977).hal. 135.
[23] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, cet., ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Hal. 144.

Tidak ada komentar: