Sabtu, 31 Maret 2012


Epistemologi Hukum Islam

Ahmad Syafi’i Rahman

Mahasiswa Konsentrasi Hukum Islam
Program Doktor Universitas Islam Indonesia (FIAI-UII)
 (teridentifikasi dalam Jurnal Ilmiah)
Abstrak
Hukum Islam merupakan salah satu Islamic Studies (kajian Ke Islaman) yang di dalamnya berisi seluk beluk Hukum Islam, seperti sejarah pembentukan hukum Islam, sumber-sumber hukum, perubahan hukum, dan lain-lain. Maka, tidaklah mengherankan bila kajian hukum Islam menjadi semakin berkembang, terutama pada persoalan-persoalan Ijtihad  yang mengacu pada wahyu dan akal, teori hukum Islam inilah yang merupakan permulaan Epistemologi Hukum Islam. Karena, dari penerapan teori hukum Islam dalam prakteknya, terutama berkaitan dengan argumen hukum dalam penyelesaian problem hukum Islam dapat diketahui aspek epistemologinya. Manakah yang lebih dominan dalam menggunakan peranan akal atau wahyu? Maka kecendrungan epistemologinya dapat terlihat dari sistematika pemikiran yang dalam perkembangannya melembaga ke dalam sebuah system ilmu seperti ilmu fiqih. Kemudian tidak menjadi dogma, pengembangan sebuah ilmu selalu mengacu pada pengembangan metodologinya, yang dalam filsafat dikenal sebagai epistemology. Paradigma metodologi (epistemology) tentang hubungan wahyu  dan akal yang mempengaruhi proses penemuan hukum dan produk yang dihasilkan. Apalagi tidak menafikan kebutuhan masyarakat akan hokum. Tidaklah naïf, jika kiranya merenungkan apa yang dikatakan N.J. Coulson(1969) bahwa pemikiran Epistemologi hukum Islam tersebut seyogyanya diletakkan dan dipahami sebagai produk pemikiran serta diposisikan pada keenam pasangan pilihan tarik-menarik yaitu antara kesatuan dan keragaman, antara universalisme dan partikularisme, antara wahyu dan akal, antara kemapanan dan perubahan, antara idealisme dan realisme, dan antara otoritarianisme dan liberalisme.   
Kata Kunci: Epistemologi hukum Islam, akal dan wahyu.
1.      Pendahuluan
            Hubungan antara akal dan wahyu dalam khasanah pemikiran Islam merupakan problem yang telah mewarnai perdebatan dari masa ke masa. Kelompok Islam Modernis menganjurkan penafsiran al-Qur’an secara rasional, sedangkan kelompok Islam tradisional memberikan peran lebih kepada penggunaan wahyu.[1] Tentunya perdebatan ini akan menyentuh berbagai macam ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya. Kelompok pertama mengatakan bahwa hukum Islam itu mempunyai nilai-nilai universal dan dinamis sehingga cocok untuk semua tempat dan zaman. Sedangkan kelompok kedua mengatakan bahwa hukum Islam itu statis dan tidak modern dan hanya cocok untuk masyarakat tertentu dan waktu tertentu saja.
Pandangan pertama dianut oleh sejumlah kecil pakar hukum Islam seperti Linaut dee Bellefonds dan mayoritas pembaharu maupun Yuris modern. Mereka berpendapat bahwa prinsip-prinsip hukum Islam seperti pertimbangan maslahah, fleksibilitas hukum Islam dalam praktek dan tekanan pada ijtihad (pemikiran hukum independen) menunjukkan bahwa hukum Islam dapat di adaptasikan dengan perubahan sosial. Sedangkan pendapat kedua di anut oleh sejumlah besar Islamolog seperti C.S Hurgronje dan J. Schacht maupun oleh sejumlah besar muslim tradisional. Mereka berpendapat bahwa dalam konsepnya dan sesuai dengan sifat perkembangan dan metodologinya. Hukum Islam adalah abadi dan karenanya tidak dapat diadaptasikan dengan perubahan social.[2] Perdebatan kedua kelompok tersebut jika ditelusuri lebih jauh akan bermuara pada problem-problem filosofis yakni epistemologis dibidang hukum Islam, seperti problem mengenai sumber-sumber hukum Islam (Masadir Ahkam), methode-methode penemuan hukum (Istinbat),  termasuk juga tolah ukur dan kriteria sah atau tidaknya sebuah pendapat hukum yang berujung pada permasalahan peranan akal dan wahyu.
            Sekalipun persoalan peran akal dan wahyu semula merupakan pokok pembahasan dalam teologi Islam (Ilmu kalam), tetapi pada masa perkembangannya telah merupakan perdebatan dibidang hukum Islam (Fiqih).[3]    
Dalam pemikiran hukum Islam, wahyu (al-Quran) menempati posisi yang sangat penting karena ia diyakini oleh umat Islam sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diuji (untestable truth). Bahkan Fazlur Rahman pernah mengatakan bahwa seorang yang mengaku dirinya seorang muslim minimal harus mengakui kebenaran wahyu al-Quran ini.[4] Dari sinilah kemudian muncul persoalan: bagaimana wahyu yang berasal dari Tuhan yang bersifat ahistoris mampu berdialog dengan realitas historis masyarakat Islam. Dengan kata lain, persoalan sentral dalam epistemologi hukum Islam adalah bagaimana mengatur hubungan, interaksi, dan dialektika antara wahyu Tuhan dengan realitas sosial dalam dimensi kesejarahan manusia. Pada awal sejarah perkembangan disiplin ilmu-ilmu keislaman, dialektika wahyu dan sejarah ini hampir tidak menemui banyak hambatan. Respon ulama mengenai pentingnya mengapresiasi wahyu dalam konteks kesejarahan tertentu tampak dari dinamika pemikiran ulama dalam menjawab berbagai macam persoalan terkait dengan perubahan sosial yang terus berlangsung. Dalam banyak hal, pemikiran para ulama saat itu sesungguhnya merupakan hasil dari sebuah interaksi antara para ulama dengan fakta sosial yang melingkupinya. Sekedar contoh, pemikiran Imam Abu Hanifah (pendiri madzhab Hanafi) yang hidup di tengah-tengah kota Baghdad, kota metropolitan, pusat perdagangan dan pusat perkembangan intelektual kala itu telah melahirkan rumusan ilmu-ilmu keislaman yang sangat berbeda, misalnya, dengan Imam al-Syafi‘i (pendiri madzhab Syafi‘i) yang tinggal di Mesir yang agraris,[5] sementara pemikiran Imam Syafi‘i sendiri mengalami evolusi dari al-qaul al-qadim (old opinion), suatu pandangan tentang persoalan-persoalan keagamaan yang ia kemukakan ketika ia tinggal di Baghdad, menuju al-qaul al-jadid (new opinion) yang ia kemukakan ketika tinggal di Mesir. Dari dua model pemikiran tersebut, ternyata terdapat beberapa pandangan al-qaul al-qadim (old opinion) yang direvisi oleh al-qaul al-jadid (new opinion) karena faktor lingkungan sosial (social environtment) dan juga politik yang ia hadapi ketika tinggal di Baghdad dan Mesir sangat berbeda.[6] Fakta sejarah tersebut menunjukkan bagaimana epistemologi Islam sangat apresiatif terhadap pluralitas sosial sehingga para ulama tidak mengembangkan logika tunggal yang mengusung tema keseragaman tetapi mengembangkan logika pluralistik yang mengakui keberagaman dalam bingkai al-Quran.
Maka di sinilah sisi penting pengembangan studi pemikiran Islam, asumsi dasar  (Postulat) yang dibangun atas dasar pemikiran yang sistematis, metodologi menjadi sangat penting.[7] Oleh karena itu bagi umat Islam asumsi dasar merupakan pondasi bagi pengembangan Epistemologi Hukum Islam sebagai wahana praktik social. 
Islam sebagaimana agama wahyu memiliki prinsip dasar yang dapat dijadikan petunjuk bagi umat, tentunya umat Islam harus mampu menjawab semua permasalahan yang telah dan akan timbul sebab perkembangan tekhnologi dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian bangunan epistemologi akan berlanjut jika ditopang melalui Ijtihad, tanpa demikian Akibatnya, epistemologi Islam yang pada awalnya bergerak dinamis kini berubah menjadi statis dan kaku. Seluruh konstruksi epistemologi keilmuan Islam klasik-skolastik lalu diterima oleh umat Islam secara taken for granted tanpa kritik. Mereka menerima wacana al-Quran secara dogmatis tanpa analisis historis sosiologis. Akibatnya, wacana al-Quran kehilangan relevansi historisnya dan studi-studi keislaman pun hadir dalam paket-paket produk ulama yang cenderung dianggap final.
Penulis akan menyajikan peta epistemologi hukum Islam mulai dari pengertian, sejarah, perbedaannya dengan epistemology barat serta perkembangan Epistemologi Hukum Islam dan tawaran metodologi hukum oleh para ulama/ intelektual muslim.
2.      Pokok Masalah
Bagaimana perkembangan Epistemologi dari masa ke masa?
Apa perbedaan epistemology Hukum Islam dan Epistemologi Barat?
Apakah implikasi penerapan Epistemologi hukum Islam?

3.      Pembahasan
a.      Epistemologi Dalam Filsafat Ilmu

Sebagai cabang filsafat epistemologi secara khusus membahas tentang teori pengetahuan sebagimana yang telah dijelaskan definisi di atas, teori pengetahuan ini yang dalam bahasa Indonesia adalah Filsafat pengetahuan.[8]
Secara sistematis pembahasan dalam Epistemologi adalah sebagai berikut:
Pertama: Persoalan asal pengetahuan, diantaranya apakah sumber-sumber pengetahuan itu?, dari manakah pengetahuan itu datang? Bagaimana cara ia mendapatkannya?.
Kedua: Persoalan hakikat (realitas) pengetahuan diantaranya apakah watak (karakteristik) pengetahuan itu? Apakah ada dua dunia? Yang benar-benar diluar pemikiran kita? Kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya?
Ketiga: persoalan kajian terhadap kebenaran. Di antaranya, apakah pengetahuan kita itu benar? Selanjutnya, bagaimana membedakan pengetahuan yang benar dari yang salah?[9]
Dari ketiga postulat diatas, pemakalah akan memaparkan tentang epistemologi ilmu dalam filsafat Yunani, karena pemikiran mereka sedikit banyak berpengaruh pula terhadap pemikiran Islam. Dalam penjelasan tentang hakitat pengetahuan terdapat dua teori, pertama, teori realism, teori ini menggambarkan bahwa hakikat pengetahuan adalah gambaran yang ada di alam nyata. Kedua: teori Idealisme, merupakan teori tentang hakikat pengetahuan yang didasarkan bahwa hakikat segala sesuatu adalah jiwa, atau ide, sehingga jiwa memiliki kedudukan utama dalam alam semesta.[10]
Kedua aliran ini bersitegang mempertahankan keyakinan masing-masing. Dalam sejarah filsafat, Plato, (427-347 SM) dan Aristoteles merupakan Prototype pergumulan aliran ini. Plato berpendapat bahwa pengamatan Indrawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang berubah-ubah sehingga ia menemukan bahwa disebrang sana (diluar wilayah pengetahuan inderawi) ada sesuatu yang disebut idea. Dunia idea bersifat kekal, tatap dan tidak berubah-ubah. Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu dan disitulah timbulnya IP (Ilmu pengetahuan)
Aristoteles menyanggah teori ini dengan mengatakan bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Menurutnya, pengetahuan dan pemahaman yang bersifat universal bukanlah bawaan sejak lahir, namun hal itu dapat dilakukan dengan proses yang panjang dalam pengalaman empiric.
            Dalam persoalan epistemology yang berkaitan dengan sumber dan metode untuk memperoleh pengetahuan melahirkan empat pandangan pemikiran epistemology:
Pertama: Empirisme, yaitu aliran epistemology yang berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman panca indera. Karena itulah metode yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen. Tokoh aliran ini adalah Jhon Locke (1632-1704) yang mengemukakan teori tabula rasa yang maksudnya bahwa manusia pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwanya yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan.[11]  
Kedua : Rasionalisme, yaitu aliran epistemology yang berpendapat bahwa  sumber dari seluruh pengetahuan manusia adalah rasio dan akal. Tokoh dalam hal ini adalah Rene Descrates (1596-1650) dengan semboyan Cogito ergo Sum menurutnya dalam menyusun sebuah pengetahuan  haruslah dimulai dari ide yang tegas.[12]
Ketiga, Intuisionisme, yaitu aliran Epistemologi yang meyakini bahwa sumber pengetahuan adalah Intuisi, Tokoh aliran ini adalah Henri Bergson.(1859-1941). Dialog rasional empiris. Tokoh dalam aliran ini adalah Imanuel Kant yang menurutnya bahwa pengetahuan yang sesungguhnya adalah pengetahuan yang bersifat kombinatif antara pengetahuan empiris dan rasionalis.
b.      Epistemologi Dalam Hukum Islam
1)      Pengertian Epistemologi Hukum Islam
Dalam perspektif filsafat ilmu, terdapat tiga penyangga suatu ilmu yaitu, Ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Ontologi mengkaji persoalan tentang (apa) suatu ilmu, aksiologi mengkaji mengenai persoalan fungsi (kenapa ) suatu ilmu, dan epistemology  mengkaji persoalan  sumber ( bagaimana) suatu ilmu.[13] Epistemologi adalah episteme ditambah logos, atau teori.[14] Dari kata ini ditarik sebuah kesimpulan bahwa epistemology merupakan cabang dari suatu filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, metode dan Validitas Ilmu pengetahuan. Rumusan lain disampain oleh Anton Suhono yang yang menyatakan bahwa epistemologi merupakan hakikat pengetahuan yang merupakan bagian dari filsafat mengenai reaksi manusia atas kenyataan.[15]
Dalam perkembangannya, perdebatan epistemologi secara garis besar berakar pada dua aliran pokok yaitu Idealisme atau disebut dengan rasionalisme dan realisme atau empirisme.[16] Basis epistemologi yang dikembangkan di Barat seperti rasionalisme, dan empirisme, menurut pemakalah adalah kurang cocok, karena keduanya lebih cenderung bergerak pada natural science yang terlepas pada dimensi wahyu. Dengan demikian, diperlukan perangkat kerangka analisis epistemologi yang khas untuk pemikiran Islam.
Meskipun sangat langka literatur hukum Islam yang membahas tentang epistemology hukum Islam,[17] namun epistemologi hukum Islam sudah terlihat sejak karya pertama ushul fiqih yaitu al Risalah karya as-Syafi’i (w.204/280).[18] Walaupun permasalahan epistemologi hukum Islam belum dikaji secara eksplisit, namun dalam karya as-Syafi’I tersebut telah disinggung mengenai apa yang membentuk dan membatasi pengetahuan hukum, disamping juga mengenai masalah bagaimana pengetahuan hukum itu dapat diperoleh dan di justifikasi serta kreteria-kreteria kesolehannya.[19] Menanggapi kelangkaan referensi fondasi epistemologi ini, al-Jabiri memberikan sebuah solusi melalui formulasi Naqd al Aql al-Araby (Kritik Nalar Arab).[20] Ada kesan bahwa ia mencoba untuk menghidupkan kembali semangat berfikir ala Ibn Rusyd (Ruh Rusydiyyah) yang murni paripatetik itu.[21] Menurut pemikir asal Maroko ini, Epistemologi Islam memiliki tiga kecendrungan, yaitu Bayani, Irfani, dan Burhani.[22] Epistemologi bayani adalah epstemologi yang beranggapan bahwa  sumber ilmu adalah teks (nash) atau penalaran dari teks.[23]
Adapun epistemology Irfani adalah epistemology yang beranggapan bahwa sumber Ilmu pengetahuan adalah Ilham. Epistemology ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu metode kasyf. metode ini sangat unik karena tidak dapat dirasionalkan selamanya, diverifikasi atau diperdebatkan. Epistemology ini sangat sulit dijelaskan, karena seseorang harus mengalami sendiri kalau ingin mengetahui. Epistemology ini dianut para sufi.[24] Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Ibn Khaldun menyebut epistemologi ini dengan knowledge by intellenct (al-ulum al-aqliyyah). Epistemologi ini disebut juga epistemologi falsafah, karena merujuk kepada tradisi intelektual Yunani. Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles.[25]
Dari ketiga macam epistemologi tersebut, maka epistemology bayani yang paling dekat dengan ushul fiqih, karena epistemologi ini berkaitan dengan teks (nash). Menurut para pakar, epistemologi ini merupakan produk khas bangsa Arab, sebagaimana falsafah adalah produk khas Yunani. Epistemologi bayani pada akhirnya dapat melahirkan tradisi yang khas pula, yaitu memahami fiqh dalam Islam.[26]
Ketiga model epistemologi tersebut sebenarnya masih satu rumpun walaupun dalam prakteknya masih tersekat-sekat bahkan saling bertentangan satu sama lain. Kemudian Amin Abdullah mencoba memetakan antara ketiganya dalam pola hubungan Parallrel, Linier, Sirkular.[27] Kategori pola hubungan parallrel yang bila masing-masing corak epistemologi tersebut berjalan sendiri-sendiri tanpa ada dialog satu sama lain. Sedangkan pola hubungan linier yaitu kecendrungan untuk lebih memilih (mengistimewakan) salah satu corak dan mengabaikan corak yang lainnya. Alternative ke tiga adalah pola hubungan sirkular[28] yang model kerjanya memanfaatkan gerak putar hermeneutis antara ketiga corak tersebut sehingga masing-masing corak dapat memahami keterbatasan, kelemahan, dan kekurangan internalnya, sekaligus bersifat terbuka terhadap masukan dan temuan-temuan corak keilmuan lainnya.
            Dalam al-Qur’an ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara tentang hukum. Walaupun secara sepintas, boleh jadi mengantarkan orang kepada perbedaan pendapat, bahwa ayat al-Qur’an yang berbicara secara tegas mengenai hukum dan mengkhususkannya hanya berdasar serta sumber dari Allah, yakni ayat yang mengatakan: “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.[29]  
            Dalam merujuk terhadap konsep hukum, hukum Islam dipahami sebagai Fiqih, bahkan Syari’ah. Alasan bagi ambiguitas ini adalah pandangan bahwa syari’ah dan fiqih adalah kaitan erat secara tak terpisahkan, syari’ah sebagai Hukum dan fiqih sebagai Ilmu untuk mengetahui hukum tersebut.
            Pada Prakteknya hukum Islam identik dengan ijtihad para mujtahid, dan syari’ah Allah yang dalam arti konkretnya adalah wahyu murni yang posisinya diluar jangkauan manusia.
Ketika fikih berarti hukum Islam yang merupakan produk mujtahid, fiqh sekaligus mempunyai arti yang berbeda dengan syari’ah, Syari’ah merupakan wahyu Allah itu sendiri yang dalam wujudnya berupa  nash al-Qur’ah dan Hadis. Sedangkan fiqh adalah produk pemahaman manusia etrhadap nash kalau nash itu ada jaminan kebenarannya maka pemahaman atau penafsiran itu nisbi. Dengan demikian, maka al-Hakim adalah Allah. Sedangkan orang yang mencoba memahaminya (faqih) atau mujtahid itu adalah manusia. Oleh karenanya pengertian hukum syar’i diberi batas  sebagai khitabullah (titah Ilahi) yang berkenan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntunan (perintah), taghyir (pilihan) atau penetapan. Dengan batasan seperti ini kalangan teoritis hukum Islam dikenal dengan istlah la hukma illa Lillah.
Konsekuensi Metodologisnya adalah bahwa analisis hukum karenanya adalah analisi teks melalui penerapan penalaran diskruktif, namun mereka berbeda tentang sejauh mana kompetensi akal dalam mengetahui hukum Allah itu, yaitu bagaimana hukum itu dapat diketahui oleh manusia? Melalui para ahli ushul bahwa hukum mengikuti nilai baik buruk. Jadi apa yang dinilai baik adalah yang diperintahkan oleh hukum, sedangkan yang buruk berarti dilarang oleh hukum, sehinga untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui nilai baik dan buruk.
Perdebatan mengetahui pengetahuan hukum ini juga diwakili oleh aliran rasionalis dan aliran tradisionalis. Aliran rasionalis mengatakan bahwa baik dan buruk dapat diketahui dangan penalaran akal (pemikiran ini diwakili oleh mu’tazilah). Sedangkan aliran tradisionalis menyatakan bahwa baik dan buruk adalah apa yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang memiliki otoritas untuk memerintah atau melarang, sehingga subyek yang berwenang menurut aliran ini hanyalah Tuhan (pemikiran ini diwakili oleh Asy’ariyah). Di antara kedua aliran di atas ada aliran tengah yang diwakili oleh aliran Maturidiyah. Menurutnya baik dan buruk perbuatan yang dilakukan manusia sesungguhnya dapat diketahui melalui penalaran akal secara lepas dari wahyu, namun pengetahuan baik dan buruk tersebut itu tidak dengan sendirinya menjadi hukum, karena harus didasarkan  kepada wahyu. Hukum Allah itu identik dengan tangkapan akal, sebab betapapun matangnya akal kadang keliru dalam penilaian terhadap sesuatu. Jadi akal manusia tidak dapat mengetahui hukum meskipun dapat mengetahui baik dan buruk.
Ulama Ushul sepakat bahwa hukum merupakan titah Ilahi, oleh karena itu sumber hukum hanyalah Allah semata, sedangkan Nabi hanyalah penyampai belaka, As-syafi’i menyatakan bahwa keadilan itu adalah berbuat dan ketaatan kepada Allah.[30] Pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa baik buruk semata-mata adalah perintah atau larangan pembuat hukum, demikianlah hukum Islam (dengan kedua cabangnya) yang sumbernya berupa wahyu Ilahi.
Lebih Jauh mengenai sumber pengetahuan hukum, terhadap konsekuensi metodologi di uangapkan oleh al-Ghazali bahwa hukum bersumber kepada syara’ dan akal secara sama. Dapat disimpulkan bahwa jika tidak ada nash maka diperluas melalui ijtihad, diantaranya melalui kesesuaian keputusan hukum dengan tujuan pembuat hukum (mewujudkan maslahat).
Sebagaimana di ungkapkan oleh al-Ghazali, syara’ merupakan sinar yang memungkinkan mata untuk melihat. Wahyu di sini berfungsi untuk memberikan postulat dalam dalam membangun sebuah kesimpulan ilmiyyah. Wahyu dapat memberi postulat-postulat terhadap upaya keilmuan dalam memberi penjelasan mengenai realitas. Penjelasan terhadap realitas bukan sekedar penalaran empiris sederhana, tetapi juga teori-teori yang kompleks. Lebih lanjut, mangatakan secara yurisis filosofis, hukum sebagai taklif (pembebanan) tidak hanya mengandung aspek pragmatis (maslahah), tetapi juga aspek penghambaan dan ketaatan (ubudiyyah). [31]
Ilmu Hukum adalah sarana yang efektif dalam hukum syara karena diesensikan Allah, yaitu Allah menetapkan hukumnya berdasar sifat esensial sesuatu. Hukum yang diatur oleh hukum kausalitas Allah tidak membuat hukum sendiri untuk mengatur kehidupan kreatif manusia. Hukum untuk kehidupan kreatif manusia ditentukan oleh Allah dengan cara mengefektifkan illat terhadap ma’lulnya (hukum). Prinsip kausalitas dalam arti syari’at Allah ditetapkan dengan iradahnya yang mutlaq di atas landasan sunnah, sehingga rahmat dan keutamaan Allah atas manusia maka akan terbangun dua jalur metodologi yaitu pendekatan Linguistik dan filosofis. Lingusitik mencerminkan aspek ta’abbudi untuk menggali hukum particular (Juz’i) dari dalil dalil particular dalam al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan pendekatan filosofis untuk menangkap esensi dari hukum-hukum particular itu dalam bentuk hukum Universal (kulli) yang tercakup dalam Akal.[32]          
2)      Perbedaan antara Epistemologi Islam dan Barat
            Epistemologi Hukum Islam dijadikan alternative terutama bagi filasafat, pemikiran dan keilmuan muslim untuk menyelamatkan mereka dari keterjebakan ke dalam arus besar dibawah kendali epistemoligi barat. Epistemologi Hukum Islam terbukti dipandang mampu mengantarkan zaman klasik Islam menuju kepada kemampuan membangun ilmu dan kebudayaan yang tidak dikotomik. Menengok kejayaan Islam masa lalu tersebut, maka perlu diketengahkan kembali perkembangan epistemology zaman klasik Islam yang tidak dikotomik.[33] Namun satu hal yang perlu dibenahi bahwa tradisi pemikiran klasik Islam Ortodok tidak mengenal tradisi kritik epistemologis dalam artian yang sesungguhnya.[34] Namun tradisi kritik ini penting sebab pada dasarnya epistemology adalah cara untuk mendapatkan yang benar, nilai kebenaran akan lebih baik dan lebih tepat jika di landasi dengan upaya pemahaman kritis.[35]
            Terlepas dari kelemahan tradisi pemikiran Islam klasik ortodoks tersebut, yang jelas epistemology Islam telah menawarkan sesuatu yang berbeda yang tidak dimiliki oleh epistemology barat. Dalam penerapannya epistemology Islam memiliki dua jalur yang menghubungkan dengan pengetahuan, yakni pertama, jalur luar (lahiriyyah) dengan tetap memanfaatkan relitas atau data-data empiric sebagai pijakan dalam menarik kesimpulan mengenai sesuatu pengetahuan. Jalur kedua, jalur ke dalam, (Batiniyyah) yakni mencoba “menterjemahkan” realitas atau data-data non empiric untuk memperkaya dan melengkapi capaian ilmu pengetahuan. Zainudin Sardar menyebutkan ada Sembilan ciri dasar epistemology Islam yang tidak dimiliki barat, yaitu:
  1. Yang didasarkan atas sesuatu kerangka pedoman mutlak.
  2. Dalam kerangka pedoman ini, epistemology Islam bersifat aktif dan bukan pasif
  3. Dia memandang objektifitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi
  4. Sebagian besar bersifat deduktif
  5. Dia memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam.
  6. Dia memandang pengetahuan yang bersifat inlkkusif dan bukan eksklusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subyektif sama sahnya dengan evaluasi yang obyektif.
  7. Dia berusaha menyusun pengalaman subyektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman ini, yang dari sini umat Islam memperoleh komitmen-komitmen nilai dasar mereka.
  8. Dia memadukan konsep-konsep dari sikap kesadaran, atau tingkat pengalaman subyektif sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan kiasan-kiasan yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya. (ini sama dengan perluasan dari jangkauan proses “ kesadaran” yang dikenal dan termasuk dalam bidang imajinatif kreatif dan pengalaman mistis serta spiritual).
  9. Dia tidak bertentangan dengan pandangan holistic, menyatu, manusiawi dari pemahaman dan pengalaman manusia. Dengan begitu ia sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari prkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.[36]
Dari cirri-ciri tersebut dapat dijelaskan bahwa perbedaan yang mencolok antara epistemology barat dengan epistemology Islam adalah bahwa epistemology Islam memiliki sandaran teologis berupa kerangkan pedoman mutlak. Dengan demikian epistemology Islam sebenarnya telah menekankan totalitas pengalaman dan kenyataan serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam, sehingga ilmu bisa diberoleh dari wahyu  maupun alam, dari observasi maupun inruisi, dari tradisi maupun spekulasi teoritis. Maka epistemology Islam menekankan pencaharian semua bentuk ilmu pengetahuan dalam kerangka nilai-nilai abadi yang merupakan landasan utama peradaban muslim.[37]   
  
3)      Metode Penemuan Hukum Islam
Dalam sistematika Filsafat terdapat tiga macam sub system, yaitu: ontology, aksiologi, dan epistemology. Epistemology mencakup pembahasan tentang batasan pengetahuan, sumber pengetahuan, validitas, dan metode. Metode untuk mendapatkan pengetahuan menjadi pembahasan tersendiri yang disusun secara sistematis dan logis, sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian disebut dengan metodologi. Filsafat mencakup epistemology, selanjutnya epistemology mencakup metodologi. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa metodologi merupakan salah satu perwujudan operasional dari epistemology. Demikian juga kronologi struktur dalam metodologi hukum Islam, yaitu berangkat dari filsafat hukum Islam yang mencakup epistemology sedangkan epistemology hukum Islam melahirkan metodologi hukum Islam.
            Akhirnya Epistemologi Hukum Islam tersebut didasarkan pada sumber utama hukum Islam yakni al-Qur’an dan al-hadist. Metode hukum Islam tetap dipengaruhi oleh wahyu kendati juga dipengaruhi oleh akal. Sesungguhnya metode Islami dalam memperoleh pengetahuan dengan sengaja berpegang pada wahyu (naql) dan akal (aql)  bersama sama, dan menolak sikap ekstrim.
 Dalam sejarahnya, metodologi hukum Islam berasal dari Ilmu Ushul, yang membahas metode yang digunakan untuk mengambil dan menemukan dalil-dalil syari’ah dari sumber-sumber hukum Islam. Di antara berbagai penggunaan terminologi dari kata ushul  ada tiga istilah yang banyak dipakai dalam cabang-cabang pengetahuan Islam; ushul dien, yang dianggap se arti dengan kalam atau teologi skolastik; ushul hadis, yang berkaitan dengan ilmu dan terminology hadis; dan ushul fiqih, yang umumya dikatakan sebagai metodologi hukum Islam.[38]
            Tampaknya, dari ketiga kata ushul tersebut, kata Ushul fiqih dianggap paling layak menjadi epistemologi, yaitu epistemologi hukum Islam, karena ia paling banyak menghasilkan beragam metode dan pendekatan epistemilogi dibanding dengan dua kata ushul lainnya.
            Dalam ushul fiqih terdapat berbagai macam pendekatan epistemologi. Para  juris klasik menngunakan kata ijma, Qias, Ijtihad, Isltihsan, isltislah, dan urf sebagai metode dan pendekatan untuk memecahkan problem-problem praktis dalam menggali hukum dan menemukan hukum. Sedangkan peniruan-peniruan buta terhadap putusan-putusan ini tidak hanya akan mengubah bagan syari’ah menjadi canon yang memfosil, tetapi juga akan mengancam kelansungan kehidupan peradaban Islam sendiri.[39] Peniruan terhadap pendekata pendekatan epistemology hokum Islam itu hanya mampu mempertahankan khazanah pemikiran lama, tetapi tidak mampu mengembangkan khazanah pemikiran hokum Islam yang baru sama sekali, karena tidak ada upaya membuat suatu tawaran pendekatan  atau metode baru. Gajala peniruan secara membuta ini akan berlangsung lama hingga sekarang ini, dan dapat menimbulkan problem yang memerlukan pemecahannya.
Dalam hal ini Arqoun mengomentari sikap ummat Islam yang tidak mau mengembangkan epistemologi hukum Islam atau ushul fiqih yang telah dirinci oleh syafi’i:
“Saya tidak mengenal seorang pemikir muslimpun yang bahkan gagasan untuk mengulangi langkah intelektual dari syafi’i ketika ia menyusun Risalah yang mashur itu. Pengajaran-pengajaran ushul di fakultas-fakultas teologi mutakhir hanyalah penumpahan dan pengulangan tanpa pengembangan dari beberapa buku pelajaran klasik. Padahal di sanalah lebih dari pada tempat lain, tempat kritik nalar yang benar-benar bersifat Islam dalam segala kebesaran sejarah dan filsafatnya. Dengan caranya sendiri dalam rangka epistemisnya, ushul al fiqih telah menyentuh apa yang sekarang dipraktekkan orang dengan nama epistemology atau kritis mengenai pengetahuan.[40]
            Ushul fiqh tugasnya menggarap proses untuk memproduksi  teori-teori hukum Islam. Sedangakan fiqih hanya membahas prosuk-produk berupa teori-teori hukum  Islam tersebut. Dari kronologisnya, ushul fiqih timbul terlebih dahulu dibanding fiqih, dan penguasaan Ushul fiqih lebih penting sekiranya keduanya harus diperhadapkan.
            Secara umum Ijtihad –suatu kata kunci dalam ushul fiqh- berkembang menjadi suatu konsep epistemology tersendiri, bahkan secara lebih rinci menjadi suatu metodologi  ilmu hukum Islam dan ilmu syari’ah pada umumnya[41] Ijtihad dikatakan menempati posisi senteral di dalam pembahasan Unshul fiqih, karena Ijtihad dapat dijadikan kata kunci, yaitu al-Qur’an dan hadis dipahami oleh ulama  (usaha memahami al_Qur’an dan hadis tersebut disebut Ijtihad; dan Produknya disebut fiqh).

4)      Implikasi Metodologi dalam Penemuan Hukum Islam
            Pada zaman modern, dalam konteks bangkitnya kembali upaya mencari system pengetahuan alternative, tampaknya tesis skema as-Syafi’I dengan penalaran akal manusia berada dibawah sumber wahyu dan ijma’ demikian juga deduksi analogi qiyas harus bertitik tolak dan hasilnya tidak boleh bertentangan dengan ketiga sumber hukum sebelumnya yang telah pemakalah jelaskan, ini dikategorikan sebagai system pengetahuan bayani, yang masih terpaku pada literalisme teks.
               Dari tesis intregrasi wahyu dan ra’yu dari al-Ghazali, dengan mencoba memadukan dan mengintegrasikan system bayani dan system burhani  melalui introduksi  metode induktif dan teori maqasid asy-Syari’ah dalam bentuk metodologis mewujudkan dalam mekanisme istidlal mursal dan teori munasabah. Kini menjadi perhatian kembali dari beberapa sarjana muslim kontenporer yang mencoba mengembangkan dari apa yang disebut pendekatan terpadu hukum Islam dan social. Karena dengan demikian akan terbuka peluang untuk analisa social dan empiris penemuan hukum.
            Paradigm ini, kemudian oleh asy-Syatibi[42] yang banyak mendalami teori analisis hukum Islam secara empiris. Hal ini karena, justru berlainan dengan al-Ghazali, ia mengembangkan paradigm yang berbeda, yaitu tab’iyyah al-aql li al-naql (the primacy of revelation overe relation.[43] Kebanyakan kajian para Ulama sesudah al-Ghazali mengenai istidlal mursal dan maqasid Syari’ah bersifat repetitive dan reproduktif tanpa ada penemuan gagasan dam interpretasi baru yang produktif.
            Barulah pada akhir abad ke 19 M dan awal Abad ke 20M sampai pada pertengahan abad ini Para pembaharu Ushul fiqih di dunia modern, seperti Muhammad Abduh (w.1950), Rasyid Ridha (w.1935), Abdul Wahhab Khallaf (w.1956M), merevitalisasi prinsip Maslahah yang ditawarkan oleh asy-Syatibi melalui teori maqasid-nya, karena tidak menawarkan teori baru maka wael B Hallaq mengkategorikan para pembaharu dibidang ushul dalam kelompok ini sebagai para pembaharu aliran utilitarianisme.[44] 
            Kemudian Wael B. Hallaq mengkategorikan kelompok kedua yang melakukan pembaharuan dalam Ushul fiqih, seperti Muhammad Asmawi, Fazlur rahman, dan Syahrur sebagai kelompok Liberasme Keagamaan (relegius Liberalism), karena coraknya yang liberal dan cenderung membuang teori-teori ushul fiqih lama.[45] Tetapi bagaimanapun juga, tawaran pembaharuan Ushul fiqih yang mereka disebutkan Hallaq sebagai kaum Liberalisme tetap saja menyisakan sejumlah kontroversi dan perdebatan.
Tawaran pembaharuan kelompok kedua ini, hingga saai ini masih ditanggapi oleh mayoritas ulama Ushul secara negative dan penuh kecurigaan. Akar utama penyebab kontroversi ini adalah karena tawaran mereka tidak memiliki landasan kuat pada kerangka teoritik (teoritical frame) ilmu Ushul yang telah ada sebelumnya. Padalah perkembangan suatu ilmu tidaklah harus berjalan secara evolutif yang selalu berpijak pada teori lama tetapi bisa saja secara revolutif, dengan menawarkan paradigma yang sama sekali baru. Amin Abdullah menyebut perkembangan ilmu semacam ini dengan pergeseran paradigma, (paradigm shift) yang sangat terkenal dengan filsafat pengetahuan kontemporer.

  1. Kesimpulan
1.         epistemologi hukum Islam sudah terlihat sejak karya pertama ushul fiqih yaitu al Risalah karya as-Syafi’I, namun dalam karya as-Syafi’I tersebut telah disinggung mengenai apa yang membentuk dan membatasi pengetahuan hukum, disamping juga mengenai masalah bagaimana pengetahuan hukum itu dapat diperoleh dan di justifikasi, Menanggapi kelangkaan referensi fondasi epistemologi ini, al-Jabiri memberikan sebuah solusi melalui formulasi Naqd al Aql al-Araby (Kritik Nalar Arab), menurutnya Epistemologi Islam memiliki tiga kecendrungan , yaitu Bayani, Irfani, dan Burhani.
2.         Epistemologi Islam berbeda dengan E. barat, Sebab Epistemologi Hukum Islam Yang didasarkan atas sesuatu kerangka pedoman mutlak, Dalam kerangka pedoman ini, epistemology Islam bersifat aktif dan bukan pasif, Epistemologi Islam memandang objektifitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi, Sebagian besar bersifat deduktif, Dia memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai islam, Dia memandang pengetahuan yang bersifat inlkkusif dan bukan eksklusif, yaitu menganggap pegalaman manusia yang subyektif sama sahnya dengan evaluasi yang obyektif dan seterusnya.
3.         Implikasinya, lahir beberapa aliran dalam Epistemologi Hukum Islam, Imam Syafi’I dapat dikategorikan sebagai system pengetahuan bayani, sedangkan al-Ghazali berusaha memadukan system bayani dan sietem burhani melalui metode induktif dan teori maqasid asy-Syari’ah dalam bentuk metodologis mewujudkan dalam mekanisme istidlal mursal dan teori munasabah. Kemudian oleh asy-Syatibi ia mengembangkan paradigm yang berbeda, yaitu tab’iyyah al-aql li al-naql (the primacy of revelation overe relation. Kemudian pada abad 20-an Para pembaharu Ushul fiqih di dunia modern, seperti Muhammad Abduh (w. 19050, Rasyid Ridha (w. 1935), Abdul Wahhab Khallaf (w. 1956M), merevitalisasi prinsip Maslahah yang ditawarkan oleh asy-Syatibi melalui teori maqasidnya, wael B Hallaq mengkategorikan para pembaharu dibidang ushul dalam kelompok ini sebagai para pembaharu aliran utilitarianisme, kelompok kedua yang memlakukan pembaharuan dalam Ushul fiqih, seperti Muhammad Asmawi, Fazlur rahman, dan Syahrur sebagai kelompok Liberasme Keagamaan (relegius Liberalism), karena coraknya yang liberal dan cenderung membuang teori-teori ushul fiqih lama.
4.         Dari kesimpulan ini juga, pemakalah kira, pembahasan tentang epistemology hokum Islam tampaknya masih menyisakan persoalan-persoalan yang kita kritisi bersama, baik yang berkaitan dengan aspek paradigm, struktur maupun implikasi bila epistemology hokum Islam seperti yang telah dipaparkan akan kita manfaatkan untuk membangun hokum Islam di masa global ini. Kritik dan saran atas makalah ini pemakalah ucapkan terimakasih.@


Daftar Pustaka

Atha Mudzhar, M, “Social History Approach to Islamic Law”, Al-Jamiah No. 61, tahun 1998.

Abdullah, Amin. M.  Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Abdullah, Amin, al-Ta’wil al-Ilmi: Kearah perubahan penafsiran kitab suci . al Jamiah, Th 2001, Vol 39.

Anwar, Samsul , Epistemologi Hukum Islam, Probabilitas dan Kepastian, dalam Kearah filsafat Indonesia (ed). Yudian W Asmin, Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam.Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta, 1994.

Abid al Jabiri, M. Bunyah al-Aql al-Araby: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah Li Nuzum al-Ma’rifah fi as Saqafah al Islamiyyah,  Beirut : Markaz Dirasah al Wihdah al-Arabiyah, 1993.

A.A Qadri, Islamic Jurisprudence in The Modern World, Lahore: Asyraf, 1973.

Abdullah, Amin, Paradigma al-ternatif Pengembangan ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainul Rafiq, (ed), Mazhab Jokja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga dan Arruz Press, 2002.

as-Syafi’I , al-Risalah, Kairo: Maktabah Dar al Turats, 1979.

Harold H. Titus, dkk. Persoalan-persoalan Filsafat ,Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.

Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence Islamabad: Islamic Research Institute, 1988.

Hamlyan, History of Epistemologi”, dalam Paul Edward, the Encyclopedia of Philosophy, Vol III, 1967.

Happy Suseno, Ada apa dengan Islamisasi Ilmu? Dalam Groups, Or.id/ Pendidikan Islam PErmail/ Fosi/2003-desember/oooo11.Html.-17.yk, Akses 5 Agustus 2009.

Jujun suria S Sumantreri, Filsafat Ilmu , Jakarta, Pusat Sinar Harapan, 1993.

Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Islam dan Pemikiran Orientalis, alih bahasa Yudian W. Asmin, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1997.

Muallim, Amir, dan Yusdani, Konfigurasi pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001.

Miska M.  Amin, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat pengetahuanIslam (Jakarta: UI Press 1983). Lihat P. Hardono Hadi, “Pengantar”, dalam Knneth T. Gallagher, Epistemologi Fisafat Pengetahuan, disadur Oleh P. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Muhajir, Noeng,  Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Cet, Ke 8 ,Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998.

Muhdor Ahmad, ILmu dan Keinginan Tahu ( Epistemologi dalam Filsafat) Bandung: Trigenda Karya, 1994.

M.Arqoun, Nalar Islami dan nalar Modern: Berbagai tantangan dan  Jalan BAru, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: INIS, 1994.

Muslih, Muhammad,  Filsafat Ilmu KAjian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2004.

Nasution, Harun,  Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986,

Nusaibeh, Sari, “Epistemologi” dalam S.H. Nasr dan Oliver Leamen, History of Islamic Philosophy, Vol I .London-New York: Routledge, 1996.

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: Chicago University Press, 1980.

Raharjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1993.

Sardar, Zainul, Jihad Intelektual Merumuskan parameter-parametar Sains Islam, Terj. A.E. Priono, Surabaya: Risalah Gusti, 1998.

Sardar, Zainul, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1993.

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum Akal dan hati Sejak Thales sampai James. Cet VIII Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999.
 
Tim Ensiklopedi  Nasional Indonesia, Vol 5. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989.



[1] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Islam dan Pemikiran Orientalis, alih bahasa Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1997) hal 11.
[2] Ibid , hal.2.
[3] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), hal 72-73; Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal.3.
[4] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: Chicago University Press, 1980), hal . 25.

[5] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 134.
[6] M. Atha Mudzhar, “Social History Approach to Islamic Law”, Al-Jamiah (No. 61, tahun 1998), hal. 78. Lihat juga Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1988), hal. 24-25.
[7] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal 101
[8] Noeng Muhajir,  Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Cet, Ke 8 (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998). Hal 86.
[9] Harold H. Titus, dkk. Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 187-188.
[10] Ibid. hal 214.
[11] Ahmad tafsir, Filsafat Umum Akal dan hati Sejak Thales sampai James. Cet VIII (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hal 21.
[12] Ibid. hal 22.
[13] Jujun suria S Sumantreri, Filsafat Ilmu ,Pusat Sinar Harapan, 1993) hal, 35.
[14] Hamlyan, History of Epistemologi”, dalam Paul Edward, the Encyclopedia of Philosophy, Vol III, 1967, hal 8-9
[15] Miska M.  Amin, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat pengetahuanIslam (Jakarta: UI Press 1983) hal 2. Lihat P. Hardono Hadi, “Pengantar”, dalam Knneth T. Gallagher, Epistemologi Fisafat Pengetahuan, disadur Oleh P. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 5. Lihat Juga, Muhdor Ahmad, Ilmu dan Keinginan Tahu ( Epistemologi dalam Filsafat) (Bandung: Trigenda Karya, 1994) hal. 61.
 
[16] Tim Ensiklopedi  NAsional Indonesia, Vol 5 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka,  1989) hal 145-146. Mengenai masalah perkambangan epistemology lihat Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan  (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal.57-62.
[17]  Sahrur berpendapat bahwa sampai saat ini belum ada satu pun formulais Epistemologi Islam yang boleh dikatakan Valid. Lihat Karyanya al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah mu’asiroh, (Kairo: Sina li al-Nasyr dan Damaskus: al-Ahalli, 1992) hal. 30-32.
[18] Untuk Karya as-Syafi’I , Lihat al-Risalah , (Kairo: Maktabah Dar al Turats, 1979).
[19] Samsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam, Probabilitas dan Kepastian, dalam Kearah filsafat Indonesia (ed). Yudian W Asmin (Yogyakarta: Forum Studi Hukum islam.Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta, 1994), hal. 26.
[20] Lihat M. Abid al Jabiri, Bunyah al-Aql al-Araby: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah Li Nuzum al-Ma’rifah fi as Saqafah al Islamiyyah ( Beirut : Markaz Dirasah al Wihdah al-Arabiyah, 1993.
[21] Lihat M. Abid al-jabiri, Nahwn, hal. 47-53.
[22] Lihat M. Abid al-jabiri, Bunyah, hal. 13.
[23] Ibid.
[24] Sari Nusaibeh, “Epistemologi” dalam S.H. Nasr dan Oliver Leamen, History of Islamic Philosophy, Vol I (London-New York: Routledge, 1996, hal 830.
[25] Lihat M. Abid al-jabiri, Bunyah, hal. 383.
[26] Lihat M. Abid al-jabiri, Bunyah, hal. 113.
[27] Amin Abdullah, al-Ta’wil al-Ilmi: Kearah perubahan penafsiran kitab suci (al Jamiah, Th 2001, Vol 39, hal. 384-387.
[28] Model ketiga ini oleh Amin Abdullah dinamakan model al-Ta’wil al Ilmi, yaitu cara berfikir, mentalitas, etos atau sepirit keilmuan yang cara kerjanya memanfaatkat gegrak putar hermeneutis antara nalar bayani, Irfani, dan Burhani, dimana ketiga nalar tersebut saling mengisi dan melengkapi
[29] Al-An’am (6): 57
[30] Asy-Syafi’I, Ar-Risalah,Mesir: Matba’ah  Mustafa al babi al halabi wa auladuh. Hal 25.

[31] Saiful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali: analisis tentang Dimensi Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, Ilmu Era Paripatetik. (Yogyakarta: Desertasi Doktor IAIN Sunan Kalijaga, 2001), hal 374.
[32] Ibid , hal 379.
[33] Zainul Sardar, Jihad Intelektual Merumuskan parameter-parametar Sains Islam, Terj. A.E. Priono (Surabaya: RIsalah Gusti, 1998) hal 126.
[34] Ibid, hal 11.
[35] Happy Suseno, Ada apa dengan Islamisasi Ilmu? Dalam Groups, Or.id/ Pendidikan Islam PErmail/ Fosi/2003-desember/oooo11.Html.-17.yk, Akses 5 Agustus 2009.

[36] Zainul Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1993). Hal 42.
[37] Zainuddin sarder, Jihad Intelektual, hal. 54.
[38] A.A Qadri, Islamic Jurisprudence in The Modern World, Lahore: Asyraf, 1973. Hal 32.

[39] Ziauddin Sardar, Ijtihad Intelektual, hal 13.
[40] M.Arqoun, Nalar Islami dan nalar Modern: Berbagai tantangan dan  Jalan BAru, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994) hal.52.
[41] M. Dawam Raharjo, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Pootik BAngsa: Risalah Cendikiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1993) hal. 132.
[42] Menurut Asy-Syatibi semua kewajiaban (taklif) diciptakan dalam rangka untuk merealisasilan kemaslahatan hamba.tak satupun hokum Allah dalam pandangannya tidak mempunyai  tujuan, dan hokum dibuat tidaklah untuk hokum itu sendiri melainkan dibuat  untuk tujuanlain  yakni kemaslahatan.Lihat, Asyafri Jaya Bakri, Konsep maqasid asy-Syari’ah menurut Asy-Syatibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal 4-5.
[43] Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam Mustasfa min Ilm al-Ushul karya al-Ghazali, (Desertasi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Suka, 2000.
[44] Amin Abdullah, Paradigma al-ternatif Pengembangan ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainul Rafiq, (ed), Mazhab Jokja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga dan Arruz Press, 2002), hal.120.
[45] Ibid, hal. 121.

Tidak ada komentar: