KONSTRUKSI OTORITARIANISME
(Hermeneutika dalam Hukum Islam Khaled Abou El-Fadl)
Ahmad
Syafii Rahman. MSi[1]
A. PROLOG
Semua
agama, sebagaimana semua kelompok sosial dan politik, memiliki proses atau
metode untuk menciptakan dan menentukan otoritas. Otoritas bisa bersifat formal
atau informal. Namun, dalam keduanya otoritas menentukan apa yang resmi, formal
dan mengikat bagi orang yang berada dalam wilayah otoritas tersebut. Secara
mendasar, otoritas menentukan apa yang bisa dijadikan sandaran dan apa yang
seyogyanya diikuti. Dalam konteks Islam, kepada para penganutnya, pemegang
otoritas mengomunikasikan apa yang dapat disepakati, apa yang dapat diterima,
dan apa yang mengikat, serta apa yang secara formal dipandang sebagai bagian
dari agama mereka. (Khaled
Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Penerjemah: Helmi
Mustofa, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 39.)
Dalam hukum Islam, muncul persoalan
utama yaitu pertanyaan tentang siapakah yang paling otoritatif dalam memutuskan
sebuah hukum dalam Islam. Dalam Islam, peranan teks (nash) memegang
posisi yang sangat sentral. Teks yang dimaksud adalah Alquran dan Hadits.
Sentralnya posisi teks dalam kehidupan umat Islam tersebut berangkat dari
asumsi bahwa tekslah satu-satunya penjelas yang paling otoritatif. Teks
diyakini merupakan jejak dari pemegang otoritas tertinggi (supreme
authority), yakni Tuhan dan Muhammad sebagai rasul-Nya.
Pada masa Nabi masih hidup, memang
diakui bahwa beliaulah yang diakui sebagai suara otoritatif yang mewakili
kehendak Tuhan. Ia dinilai sebagai penerima wahyu yang pertama sehingga secara
efektif berperan sebagai pemegang otoritas. Setelah Nabi wafat, masyarakat
muslim paling awal mengalami kemelut paling serius tentang siapakah pemegang
legitimasi dan otoritas yang paling berwewenang. Kejadian itu juga muncul
setelahnya, dan itu masih terasa hingga hari ini. Mau tidak mau, akhirnya yang
bermain adalah interpretasi manusia dalam memahami dan menetapkan hukum Islam
dengan jalan menyesuaikannya menurut kondisi dan zamannya masing-masing.( http://www.dinamikaebooks.com/resensi.php?view=details&rid=24,
diunduh pada tanggal 4 Februari 2010.)
Sampai
di sini kita tidak menuai persoalan. Persoalan itu baru muncul ketika kita
dihadapkan pada kenyataan bahwa teks yang otoritatif pada dirinya sendiri
ternyata tidaklah jelas begitu saja. Kita setidaknya berhadapan dengan dua
permasalahan. Pertama, teks tidak berbicara pada kita tentang apa makna
yang dikandungnya. Teks tidak pernah jadi wasit dengan datang dan memberikan
keterangan tentang makna hakiki yang dikandungnya ketika antara dua orang ulama
terlibat perdebatan untuk menentukan makna apa yang dimaksud oleh teks
tersebut. Teks, misalkan, tidak pernah mengutarakan bahwa makna dari kata “yad”
adalah “tangan” dan bukan “kekuasaan”. Makna dari sebuah teks pada ujungnya
selalu ditentukan oleh pembaca (manusia). Dalam bahasa Imam Ali, “Alquran
hanyalah tulisan dintara dua sampul. dia tidak bisa berbicara. (agar bisa
bersuara) Alquran perlu penafsir, dan si penafsir itu adalah manusia”. Teks
tersebut haruslah diungkapkan melalui perantara pembaca (manusia).( http://zenzaenal.multiply.com/journal/item/4/YANG_OTORITATIF_DAN_YANG_OTORI-
TER_DALAM_ ISLAM, diunduh pada tanggal 3 Februari 2010).
Kedua, apakah seorang manusia, ketika
dia membaca teks yang otoritaf pada dirinya tersebut, lantas serta merta
mempunyai klaim bahwa apa yang diungkapkannya juga otoritatif. Kita dihadapkan
pada fakta bahwa yang otoritatif pada dirinya sendiri adalah teks. Namun, yang
otoritatif pada dirinya sendiri itu hanya mungkin bermakna dan berarti sejauh
teks itu dibaca oleh manusia. Manusia lantas menjadi penentu, sementara,
sebagaimana kita lihat dalam hirarki otoritas, akal manusia, melalui
ijtihadnya, menempati posisi yang lebih rendah ketimbang posisi teks. Dan
manusia pada dirinya sebenarnya tidaklah memiliki otoritas sama sekali. Namun,
ungkapan Imam Ali sebagaimana tersebut di atas dapat pula dijadikan sebagai
indikasi bahwa posisi teks (nash) dan pembaca adalah sejajar dan
sama-sama penting.
Berkaitan
dengan masalah otoritas, Khaled Abou El Fadl, seorang professor Hukum Islam di
UCLA School of Law, Amerika Serikat seperti dalam pengakuannya, sangat mengenal
sekaligus gelisah dengan fenomena radikalisme, fundamentalisme, dan puritanisme
--apapun namanya-- yang berkembang di tengah umat Islam yang muncul akibat
interpretasi teks yang otoriter. Dalam beberapa tahun terakhir ini dia terlibat
dalam berbagai debat publik mengenai promosi Islam yang moderat dan damai.
Dengan integritas dan keberanian intelektual dia mengkritik semua klaim
kebenaran kalangan fundamentalis Islam yang dinilainya memelintir dan
menyederhanakan masalah, dan secara tidak langsung mempersempit dan menjelekkan
citra Islam itu sendiri.( http://zenzaenal.multiply.com/journal/item/4/YANG_OTORITATIF_DAN_YANG_OTORI-
TER_DALAM_ ISLAM, diunduh pada tanggal 3 Februari 2010.
Melalui
bukunya, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
terjemahan dari Speaking in Gods
Name: Islamic Law, Authority, and Woman(Khaled Abou El Fadl, Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman,
(Oxford: Oneworld Publication, 2001).
Khaled menjelaskan secara akademis dan
memotret secara lebih dekat bagaimana sesungguhnya proses dan prosedur cara
kerja pendekatan hermeneutik yang bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan
lewat pendekatan hermeneutik tidak begitu populer dan untuk kalangan tertentu
justru cenderung dihindari untuk membongkar konstruksi otoritarianisme. Makalah
ini akan mencoba mengurai hermeneutika Khaled Abou El Fadl yang terdiri dari
biografi singkat, beberapa kata yang menjadi kunci dalam hermeneutikannya
yaitu: hermeneutik; otoritas, otoritatif, dan otoriter; dan konstruksi
otoritarianisme, sedikit tanggapan terhadap hermeneutika Khaled, serta
kontribusinya terhadap pemikiran dalam hukum Islam.
B. BIOGRAFI SINGKAT KHALED ABOU EL
FADL
Khaled lahir di Kuwait pada tahun 1963
dari keluarga terdidik yang sederhana. Orang tuanya adalah muslim taat yang
sangat terbuka dalam bidang pemikiran. Diakuinya dengan jujur, bahwa pada masa
remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme yang memang subur di
lingkungannya. Hari-harinya dipenuhi dengan utopia tentang sebuah 'kelompok
terbaik' dan 'kelompok yang mewakili Tuhan' di atas bumi. Selain itu, setiap
kali bertemu dengan orang, dia menyampaikan ajaran puritanisme yang dianggapnya
paling benar. Tak terasa sebagian masa remajanya habis tersedot oleh mimpi
puritanisme yang membuatnya benci, tertutup, dan marah-marah pada orang lain di
luar kelompoknya.
Untunglah Khaled memiliki orang tua
yang shaleh dan terpelajar. Mereka menawarkan berbagai khazanah keilmuwan Islam
dari berbagai aliran kepada Khaled. Maklum saat itu Wahabisme yang menjadi
mazhab negara telah menyortir semua bacaan yang harus dibaca oleh masyarakat.
Penguasa yang memiliki kepentingan dengan ideologi wahabisme menetapkan mana
bacaan yang sehat dan tidak sehat untuk masyarakat. Dengan bacaan yang luas
mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga Khaled mulai menyadari adanya
kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum
Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat
ulama masa lalu dalam memandang agama Islam.
Kesadaran
akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhirnya
dia menetap di Mesir. Di negeri Piramid tersebut ruang tidak terlalu sesak
seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang
represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau
pencerahan intelektual bagi masyarakatnya. Namun bayang-bayang puritanisme
tidak pernah redup dalam dirinya. Ketika menempuh pendidikan lanjutan di Yale
University, Amerika Serikat untuk meraih B. A. (Bachelor of Art)
kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus menjadi beban yang tak
terhapuskan. Namun tugas-tugas belajar menyedot energinya. Selepas dari Yale
tahun 1986, Khaled melanjutkan ke University of Pennsylvania yang diselesaikan
pada tahun 1989. Pada tahun 1999 dia melanjutkan ke Princeton University dengan
spesialisasi dalam bidang Islamic Studies yang pada saat bersamaan ia harus
menempuh studi Hukum di UCLA. Akhirnya di UCLA pula ia membangun karir
kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Selama menempuh kuliah Khaled sempat
menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian Arizona. Pernah juga menjadi
praktisi hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi. (Dikutip dari http://www.jaringanislamemansipatoris.com.,
diunduh pada tanggal 5 Februari 2010, dan Tholchatul Choir, Ahwan Fanani (ed.),
Islam dalam…, hlm. 156-159.)
Saat ini selain menjadi profesor hukum
Islam di UCLA, Khaled mengajar di Princeton, University of Texas, dan Yale
university. Terlibat juga sebagai aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran.
Selama beberapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of
Human Rights Watch dan Comission on International Relegious Freedom di Amerika
Serikat. Sebagai pakar dan aktivis hukum, Khaled dikenal sebagai penulis yang
prolifik/produktif, antara lain:
1.
Islam and
the Challenge of Democracy (Princeton
University Press, 2004)
2.
The Place
of Tolerance in Islam (Cambridge
University, 2001)
3.
Rebellion
dan Violence in Islamic Law (Cambridge
University, 2001)
4.
Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter
ke Fikih Otoritatif (PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004), terjemahan dari Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and
Woman (Oneworld Publication, 2001)
5.
Melawan
Tentara Tuhan (PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), terjemahan
dari And God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in
Islamic Discourse (2001)
6.
Musyawarah
Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab (PT. Serambi Ilmu Semesta,
2002), terjemahan dari Conference of The Books:
The Search for the Beauty in Islam (2001)
7.
Selamatkan
Islam dari Muslim Puritan (PT. Serambi Ilmu Semesta,
2006), terjemahan dari The Great
Theft: Wrestling Islam from the Extremists (HarperSanFrancisco, 2005)
C. PENDEKATAN HERMENEUTIK
Untuk
memahami apa yang dimaksud dengan hermeneutik, perlu menengok kronologi
asal-usul kata hermeneutik, supaya tidak terjadi distorsi pemaknaan sejarah
hermeneutik. Secara etimologis kata "hermeneutik" itu berasal
dari bahasa Yunani kata kerja "hermeneuein" yang berarti: menafsirkan atau menginterpretasi; kata
benda "hermenia" yang berarti: penafsiran atau interpretasi. Dari kata
kerja hermeneuein dapat ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian
aslinya, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya "to
say"; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan
sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam
transliterasi bahasa asing. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata
kerja inggris "to interpret" namun masing-masing dari ketiga makna tersebut membentuk sebuah makna
yang independen dan signifikan bagi interpretasi.( Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, (Yogyakarta, UII Press: 2005), hlm. 202.)
Pada
mitologi Yunani kuno, kata hermeneutik merupakan derivasi dari kata Hermes,
yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message)
dari Sang Dewa kepada manusia. Menurut versi mitos lain, Hermes adalah seorang
utusan yang memiliki tugas menafsirkan kehendak dewata dengan bantuan kata-kata
manusia. Pengertian dari mitologi ni kerapkali dapat menjelaskan pengertian
hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak tuhan sebagaimana
terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci. Secara teologis peran Hermes
tersebut dapat dinisbahkan sebagaimana peran Nabi, bahkan Sayyed Hossein Nashr
menyatakan bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s. (Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred, (New
York: State University Press, 1989), hlm. 7)1.Jadi, di sini dapat disimpulkan bahwa
hermeneutik adalah ilmu dan seni menginterpretasikan (the art of interpretation) suatu teks/kitab suci.
Sedangkan dalam perspektif filosofis, hermeneutik merupakan aliran filsafat
yang mempelajari hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu yang dapat berupa teks, naskah-naskah kuno,
peristiwa, pemikiran dan kitab suci, yang kesemua hal ini adalah merupakan
objek penafsiran hermeneutik.
Dalam perspektif
pendekatan hermeneutik, menurut Amin Abdullah, variabel pemahaman manusia
sedikitnya melibatkan tiga unsur. Pertama, unsur pengarang (author).
Kedua, unsur teks (text). Ketiga, unsur pembaca (reader).
Ketiga elemen pokok inilah yang dalam studi hermeneutika disebut Triadic
Structure.(
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta:Qalam,
2002), hlm. 3.
Menurut Fahruddin Faiz, hermeneutik
berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison/cakrawala yang
melingkupi tiga unsur tersebut. Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut,
diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi
dan reproduksi makna teks, di samping melacak bagaimana suatu teks itu
dilahirkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk atau ingin dimasukkan
oleh pengarang kedalam teks yang dibuatnya. Selain dari itu seorang
interpretator senantiasa berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai
dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Simpulan
yang bisa diambil adalah sebagai sebuah metode penemuan makna teks, hermeneutik
harus selalu memperhatikan tiga komponen pokok, yaitu teks, konteks, kemudian
upaya kontekstualisasi.( Fahruddin Faiz,
Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta:Qalam,
2002), hlm. 3.)
Faiz juga berpendapat bahwa pengasosiasian hermeneutik
dengan Hermes menunjukkan adanya tiga unsur yang pada akhirnya menjadi variable
utama pada kegiatan manusia dalam memahami, yaitu: (1) Tanda, pesan atau teks
yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan
atau teks yang dibawa oleh Hermes kepada manusia; (2) Perantara atau penafsir
pesan-pesan yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia; dan (3) Penyampaian
pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai pada penerima. Dari sinilah, kata hermeneutik ini bisa
didefinisikan sebagai tiga hal:
1.
Mengungkapkan
pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan, dan bertindak sebagai
penafsir.
2.
Usaha
mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke
dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
3.
Pemindahan
ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih
jelas.
Triadic structure dalam pendekatan hermeneutik yang oleh Amin Abdullah
disebut sebagai Fiqh at Tafsir wa at Ta'wil dapat digambarkan dalam
bagan sebagai berikut: ( "Hermeneutika dalam Hukum Islam Khaled Abou El Fadl
dalam karya Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority, and Woman",
hlm. 8, diambil dari www. derizzain.multiply.com., diedit oleh Zainal
Arifin, diunduh pada tanggal 1 Februari 2010.)
Dalam hermeneutik, seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami
sebuah teks –baik itu teks kitab suci maupun teks umum– dituntut untuk sekedar
melihat apa yag ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada di balik teks.
C. KONSEP OTORITAS, OTORITATIF, DAN OTORITER
Khaled Abou El Fadl membangun konsep otoritas dalam Islam dengan doktrin
Kedaulatan Tuhan dan Kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan dijelaskan melalui
Kalam-Nya yang telah tertulis. Demikian juga Nabi—sebagai pemegang otoritas
kedua setelah Tuhan—setelah wafat meninggalkan tradisinya (Sunnah) yang telah
terkodifikasi. Pada konteks ini telah terjadi proses pengalihan ‘suara’
Tuhan dan Nabi pada teks-teks yang tertulis dalam al-Quran (mushaf) dan
kitab-kitab sunnah. Di hadapan kita adalah sekumpulan teks-teks yang dipandang
mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi. Sejauh mana teks-teks tersebut memiliki
otoritas mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi? Bagaimana kita memahami kehendak
Tuhan dan Nabi melalui perantara teks-teks tersebut. Apakah aturan-aturan wakil
Tuhan agar bisa menyampaikan kehendak Tuhan tanpa menganggap pendapatnya
sebagai kehendak Tuhan? (http://kombas.wordpress.com/category/islam-dan-diskursus-wacana/,
diunduh pada tanggal 2 Februari 2010.)
Merespon pertanyaan-pertanyaan
mendasar di atas, menurut Khaled kita harus memerhatikan tiga hal berikut. Pertama,
berkaitan dengan “kompetensi” (autentisitas). Kedua, berkaitan
dengan “penetapan makna”. Ketiga, berkaitan dengan “perwakilan”. Tiga
pokok persoalan menjadi tiga kunci bagi Khaled untuk memisahkan diskursus yang
otoritatif dan yang otoriter dalam Islam. Menurut Khaled, untuk menjawab
persoalan-persoalan tersebut kita membutuhkan keseimbangan kekuatan yang harus
ada antara maksud teks, pengarang dan pembaca (balance
of power between the author, reader and text). Penetapan makna berasal dari
proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan dialektis antara ketiga unsur di
atas (teks, pengarang dan pembaca). Salah satu maksud tiga unsur itu tidak ada
yang mendominasi. Penafsiran yang tepat adalah penafsiran yang menghormati
peranan, otonomi dan integritas teks. Menghormati otonomi teks bertujuan
menghindari kooptasi dan otoritarianisme pembaca terhadap teks sehingga teks
bisa ditafsirkan sebebar-bebasnya. Maka dari itu, Khaled menegaskan gagasan
tentang teks yang terbuka (the open text). Sedangkan sikap otoriter
adalah proses pemasungan teks sehingga teks tidak bisa leluasa bergerak dan
berinteraksi dengan keragaman makna.
Sebagian wakil (orang-orang Islam yang
beriman dan shaleh, yang di sebut sebagai wakil umum) menundukkan keinginannya
dan menyerahkan sebagian keputusannya kepada sekelompok orang atau wakil dari
golongan tertentu (‘ulama’). Mereka melakukan hal tersebut “karena, dan hanya
karena,” mereka memandang wakil dari golongan tertentu memiliki otoritas.
Kelompok khusus ini menjadi otoritatif karena dipandang memiliki kompetensi dan
pemahaman yang khusus terhadap perintah atau kehendak Tuhan. Kelompok khusus
(disebut dengan wakil khusus) ini dipandang otoritatif “bukan karena mereka memangku otoritas” –jabatan formal tidak relevan sama sekali–
tetapi karena persepsi wakil umum menyangkut otoritas mereka berkaitan dengan
seperangkat perintah (petunjuk) yang mengarah pada Jalan Tuhan. Proses
penyerahan keputusan untuk mengetahui dan memahami Kehendak Tuhan, dari wakil
umum kepada wakil khusus juga memiliki problem hermeneutis tersendiri
–misalnya, pada proses tindak komunikasi dan dialog di antara keduanya.
Khaled Abou El Fadl mengemukakan lima batasan untuk menerima otoritas wakil
khusus tersebut. Sepanjang lima hal ini terpenuhi, seseorang bisa disebut
otoritatif. Khaled Abou El Fadl, Atas Nama
Tuhan…, hlm. 99. Lihat juga http://zenzaenal.multiply.com/journal/item/4/YANG_OTORITATIF_DAN_YANG_OTORITER_DALAM_ISLAM, diunduh pada tanggal 3 Februari 2010).
Kelima batasan itu adalah, pertama,
kejujuran. Masyarakat pada umumnya percaya pada kelompok wakil khusus ini bahwa
mereka akan jujur dan dapat dipercaya dalam memahami perintah Tuhan. Ia tidak
akan menyembunyikan, melebih-lebihkan atau berbohong atas apa yang ia pahami.
Ia akan mejelaskan semua yang ia pahami. Ia juga tidak akan berpura-pura
mengetahui satu permasalahan dan pura-pura mengetahui perintah Tuhan, padahal
dirinya belum mengetahui yang sesungguhnya.
Kedua, kalangan wakil khusus harus
sepenuhnya mempunyai kesungguhan. Dia dituntut untuk sepenuhnya mencurahkan
kemampuannya dalam menyelami satu persoalan. Batasan ini mungkin kelihatan
samar, namun setidaknya ini adalah sebuah kewajiban para wakil khusus itu untuk
serius dan bersungguh-sungguh dengan segenap kemampunnya untuk menyelami sebuah
persoalan. Kata ijtihad yang berasal dari akar kata jahada sesungguhnya
berarti pengerahan seluruh kemampuan seseorang untuk menyelami sebuah
persoalan.
Ketiga, adalah prinsip
kemenyeluruhan (comprehensiveness). Kalangan wakil khusus tersebut
harus mempertimbangkan semua argumen dan bukti, bahkan argumen yang
bertentangan sekalipun. Prinsip ini juga mengharuskan kaum wakil khusus
bertanggungjawab menyelidiki dengan kesungguhan semua bukti dan argumen
tersebut.
Keempat, para wakil khusus tersebut haruslah
melakukan penafsiran dan pencarian perintah Tuhan secara rasional. Kaum wakil
khusus dilarang melakukan, meminjam istilah Umberto Eco, “penafsiran secara
berlebihan” dengan cara, misalnya, menafsirkan sedemikian rupa sehingga
maknanya sesuai dengan keinginan seseorang, sementara makna teks sesungguhnya
dihiraukan. Penafsiran yang berlebihan terhadap teks, baik dengan cara
membiarkan teks terbuka dan dibanjiri segala kemungkinan penafsiran yang tak
terbatas sehingga tidak dapat ditampung sendiri oleh teks, maupun dengan
membuat teks tergembok dan didiami hanya oleh satu macam makna penafsiran saja,
telah dianggap mengingkari prinsip rasonalitas ini. Prinsip ini mengisyaratkan
bahwa kaum wakil khusus haruslah mengambil jarak dengan teks dan menghormati
integritas teks tersebut.
Kelima, para wakil khusus haruslah
bisa mengendalikan diri. Hal ini sebenarnya menujukan sikap kerendahan hati.
Dia bukanlah orang yang mengetahui segalanya dan yang mengetahui hakikat
segalanya hanyalah Tuhan. Semua yang dilakukannya adalah usaha untuk
mengungkap kehyendak-Nya. Bagi siapapun yang pernah dididik di lingkungan
pesantren pasti tahu bahwa di setiap akhir pengajian, guru-guru kita selalu
megucapkan "Wa Allahu a’lam bi murodihi" yang kurang lebih
berarti: Tuhanlah yang lebih mengetahui segalanya. Sikap ini lebih jauh
sebenarnya bisa dilihat sebagai sikap pengendalian diri dan kerendahan hati.
Itulah
kelima prasyarat yang dikemukakan Abou El Fadl untuk membatasi kemungkinan
otoritas yang dipegang oleh para agen khusus terjerumus pada sikap keberagamaan
otoriter. Menurut Abou Fadl, prasyarat tersebut muncul sebagai keharusan yang
bersifat rasional (dharuriyyat aqliyyah) bagi hubungan yang logis antara
umat Islam dengan wakil khusus dan teks
(baik al-Quran atau hadis). Hal di atas sebenarnya adalah usaha yang dilakukan
Abou Fadl agar pencarian makna teks yang merupakan usaha untuk mendekati
kehendak Tuhan semaksimal mungkin berlangsung objektif. Sepanjang seseorang
menerapkan kelima prasayarat tersebut di atas dan meyakini hasilnya
adalah kebenaran, maka itulah kebenaran menurut Tuhan. Pelanggaran terhadap
lima hal tersebut jelas adalah pelanggaran otoritas dan merupakan sebuah sikap
kesewenang-wenangan penafsiran, sebuah sikap otoriter. (http://zenzaenal.multiply.com/journal/
item/4/YANG_OTORITATIF_DAN_YANG_OTORI-TER_DALAM_ISLAM, diunduh pada tanggal 3
Februari 2010.)
Menurut Abou Fadl, sikap otoriter
sendiri terjadi ketika seorang manusia, baik dari kalangan wakil khusus atau
umat Islam pada umumnya, mengunci satu teks pada satu pemaknaan tunggal dan
menyumbat kemungkinan penafsiran yang lain. Sikap itu sesungguhnya menunjukan
bahwa seolah-olah, dengan menetapkan satu pemaknaan pada satu teks, dialah yang
tahu hakikat makna yang sesungguhnya. Seolah seseorang tersebut mengetahui
kehendak Tuhan dan lantas penafsirannya menjadi mutlak dan absolut.
D. KONSTRUKSI OTORITARIANISME
Dalam bahasa Khaled, “Authoritarianism
is the act of “locking” or captivating the Will of Divine or the will of the
tex into the spesific determination, and then presenting this determination as
inevitable, final, and conclusive” (Otoritarianisme adalah tindakan “mengunci”
atau mengurung Kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan
tertentu, dan kemudian menyajikan penutupan tersebut sebagai sesuatu yang
pasti, absolut dan menentukan.
Sebelum masuk pada pokok bahasan konstruksi
otoritarianisme, Khaled menelaah karya sebelumnya mengenai konsep otoritatif
dan otoriter. Yaitu karya Joseph Vining yang menulis sebuah buku tentang
perbedaan antara yang otoritatif dan yang otoriter. Dalam buku tersebut, ia
menyebutkan bahwa meskipun ada kebutuhan untuk menganut sebuah keyakinan
bersama terhadap sebuah system sebelum melakukan upaya interpretasi, yang
otoriter adalah sebentuk taklid buta, sementara yang otoritatif adalah
melakukan "pilihan terbaik berdasarkan rasio".
Hukum Besi Otoritarianisme
Robert Michels dalam karya klasiknya tentang
demokrasi secara persuasif menyatakan bahwa semua sistem politik, termasuk
demokrasi, berada di dalam genggaman apa yang ia sebut sebagai Hukum Besi
Oligarki. Michels menegaskan bahwa sistem-sistem politik mengalami tekanan yang
sangat kuat ke arah sentralisasi dan oligarki, dan bahwa tekanan-tekanan
tersebut merupakan sebuah kecenderungan yang pasti ke arah otoritarianismeyang
ditandai dengan munculnya penetapan yang bersifat tetap dan tidak bisa berubah.
Pemegang otoritas biasanya cenderung mengarah bersifat otoriter kecuali jika
ada upaya sadar dan aktif untuk membendung kecenderungan tersebut dari wakil
yang melakukan interpretasi dan wakil yang menerima interpretasi tersebut.
Ketika
seorang pembaca bergelut dengan teks dan menarik sebuah hukum dari teks, resiko
yang dihadapinya adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, atau penetapan
pembaca itu akan menjadi perwujudan eksklusif teks tesebut. Akibatnya teks dan
konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Dalam proses ini teks itu akan
tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks. Pada
posisi ini pembaca hanya akan melahirkan penafsiran yang otoriter. Lebih jauh
lagi melahirkan fanatisme yang mengkultuskan pada penafsiran-penafsiran itu
sehingga menganggap hasil penafsirannya memiliki kompetensi yang sama dengan
teks asal (al-Quran dan Sunnah). (http://guntur.name/2007/12/04/membongkar-otoritarianisme-hukum-islam/,
diunduh pada tanggal 1 Februari 2010.)
Kecenderungan otoriter
tersebut dapat dibendung dengan menerapkan lima prasyarat yang telah disebutkan
dalam pembahasan sebelumnya yaitu kejujuran, pengendalian diri, kesungguhan,
kemenyeluruhan, dan rasionalitas.
Hukum Islam sebagai Karya yang Terus Berubah
Gagasan tentang teks yang terbuka, menurut Khaled
sangat membantu. Khaled menyatakan bahwa Al-Qur'an dan Sunnah sebagai teks,
dengan meminjam istilah Umberto Eco, merupakan "karya yang terus
berubah" –keduanya adalah karya yang membiarkan diri mereka terbuka bagi
berbagai strategi interpretasi. Ini tidak berarti bahwa keduanya terbuka bagi
segala jenis interpretasi. Tapi maksudnya mereka mampu menampung gerak
interpretasi yang dinamis.
Dalam perkembangan hukum Islam, para ahli hukum
terpecah ke dalam dua madzhab. Madzhab pertama, yang dikenal dengan Mukhaththi'ah,
menyatakan bahwa pada akhirnya ada sebuah jawaban yang tepat bagi setiap
persoalan teks dan hukum. Namun, hanya Tuhan yang mengetahui jawaban yang tepat
dan kebenaran baru akan terungkap pada Hari Akhir nanti. Dalam pengertian ini,
setiap persoalan hukum dan dalam setiap pergulatan dengan teks, Tuhan telah
menentukan jawaban yang tepat sejak awal, yang termuat dalam wadah penampung
Pengetahuan Tuhan. Tapi manusia, dalam dalam sebagian besar kasus, tidak dapat
mengetahui secara pasti dan meyakinkan apakah mereka telah memperoleh jawaban
yang tepat. Dalam pengertian ini, setiap mujtahid mencapai kebenaran dalam
upayanya menemukan jawaban, namun seorang pembaca mungkin dapat mencapai
kebenaran, sementara yang lainnya tidak. Kelompok ini seringkali menyatakan
bahwa sesuatu tidak mungkin memiliki dua realitas, bahwa sesuatu itu baik atau
buruk, jelek atau cantik, harus salah satu di antara keduanya. Realitas sesuatu
tidak bergantung pada pengenalan atau pengakuan dari orang yang mengamati
realitas. Tapi realitas sesuatu melekat dalam realitas itu sendiri. Demikian
pula halnya, sebuah tindakan hukum tidak bisa dipandang sah dan tidak sah dalam
waktu yang bersamaan atau boleh dan tidak boleh dalam waktu yang bersamaan
–harus dipilih salah satunya. Kelompok ini menambahkan bahwa jika berbagai
jawaban bisa sama-sama tepat, dan jika orang tidak berusaha menemukan jawaban
yang tepat, maka apa maksud dari semua perdebatan dan diskusi hukum (munazharah)?
Perdebatan dan diskusi ini bermanfaat karena mereka berpotensi membawa kita
semakin dekat dengan kebenaran.
Madzhab kedua, yang dikenal dengan Mushawwibah.
Kelompok ini menyatakan bahwa tidak ada jawaban yang pasti dan tepat (hukm
mu'ayyan) yang diperintahkan Tuhan untuk ditemukan oleh manusia, karena
jika ada jawaban yang tepat, Tuhan akan membuat bukti-bukti tekstual yang jelas
dan meyakinkan. Tuhan tidak akan membebankan manusia dengan kewajiban untuk
menemukan jawaban yang tepat ketika tidak ada sarana objektif untuk menemukan
kebenaran sebuah makna teks dan persoalan hukum. Jika ada sebuah kebenaran
objektif menyangkut segala sesuatu, Tuhan pasti akan menjadikan kebenaran itu
bisa dicapai di dunia ini. Kebenaran atau ketepatan hukum, pada kebanyakan
kasus, bergantung pada keyakinan dan pembuktian, dan pada kenyataannya, sifat
dari semua tindakan hukum seringkali bergantung pada pengakuan. Tindakan yang
sama bisa diperbolehkan dan kemudian tidak diperbolehkan karena adanya
kenyataan yang bersifat tambahan pada karakteristik intrinsik dari tindakan
tersebut. Tindakan tersebut mungkin memiliki kualitas moral yang melekat dalam
dirinya (qabihah atau hasanah bi dzatiha) tapi kualitas hukumnya
bergantung pada hal-hal yang tidak terkait dengan karakteristik tindakan itu
sendiri. Perintah Tuhan kepada manusia adalah untuk melakukan pencarian dengan
sungguh-sungguh, dan hukum Tuhan akan ditangguhkan hingga manusia memperoleh
keyakinan yang kuat tentang hukum Tuhan tersebut. Ketika keyakinan yang kuat
itu terbentuk, maka hukum Tuhan mengikuti apa yang diyakininya itu.
Kemudian jika dua orang, masing-masing memiliki
keyakinan yang sama-sama kuat, terlibat dalam konflik kepentingan dan jika kita
tidak mungkin menampung setiap keyakinan yang kuat pada saat yang bersamaan dan
atas persoalan yang sama, maka kelompok ini menyatakan bahwa dalam situasi
tersebut hukum Tuhan (yang bersifat pribadi) untuk masing-masing orang tetap
menurut keyakinan mereka sendiri. Namun dalam kaitannya dengan orang lain, hukum Tuhan (yang bersifat publik)
ditangguhkan hingga ada keputusan hakim (ketetapan hukum) yang bersifat formal
antara berbagai kepentingan yang saling bertentangan itu. Dalam hal keputusan
hakim dipandang sebagai hukum Tuhan bukan karena ia lebih tepat dari keputusan
lain, tapi keputusan itu menjadi hukum Tuhan dalam bentuk keadilan prosedural.
Yang penting adalah bahwa kedua madzhab tersebut, Mukhaththi'ah
dan Mushawwibah, tidak menganut pendapat yang mengharuskan penutupan
teks. Kelompok pertama setuju dengan kemungkinan teoretis tertutupnya teks
dalam menemukan kebenaran. Tapi sebagai sebuah persoalan praktis, hal tersebut
mustahil selama terjadi perbedaan hukum menyangkut makna sebuah teks. Selama
ada perbedaan pendapat, Tuhan akan memutuskan perselisihan tersebut di akhirat
kelak. Kelompok kedua secara normatif menolak pendapat tentang tertutupnya
teks. Kemungkinan adanya keyakinan dan komitmen individu harus tetap dibuka
lebar, dan hal ini tidak mungkin tercapai kecuali jika teks tetap terbuka.
Penetapan makna sebuah teks tergantung pada sikap pembaca, dan penetapan
subjektif pembaca. Dengan demikian, makna sebuah teks tidak bisa ditentukan
dengan pasti.
Hal-Hal Mendasar dalam Agama dan Beban Pembuktian
Setiap agama memiliki nilai atau fondasi yang
sangat mendasar, dan oleh para ahli hukum hal tersebut digambarkan dengan
istilah ushul atau kebenaran yang pasti. Baik kelompok Mukhaththi'ah maupun
Mushawwibah tidak menerapkan gagasan tentang ketidakpastian terhadap semua
persoalan, dan keduanya mengecualikan semua persoalan yang termasuk ke dalam
cakupan hal-hal yang mendasar dalam agama dari gagasan tentang "setiap
mujtahid itu benar". Beberapa ahli hukum menyatakan bahwa hal-hal yang
bersifat pokok dalam agama adalah persoalan yang bersifat 'aqliyyat
(hal-hal yang kebenarannya bisa dibuktikan dengan petunjuk akal). Ahli hukum
lain berpendapat bahwa semua persoalan yang telah mencapai titik kepastian yang
meyakinkan tidak bisa tercemar dengan ketidakpastian. Ahli hukum lain
menyatakan bahwa sesuatu yang masuk ke dalam kategori kebenaran yang pasti (masa'il
qath'iyyah) harus dipandang sebagai bagian dari hal-hal yang bersifat pokok
dalam agama.
Terkait dengan beban pembuktian, jika terdapat
klaim bahwa persoalan tertentu itu sebuah kebenaran atau persoalan yang
mendasar dalam agama, hakikatnya adalah perkara tertentu menjadi begitu penting
sehingga jika perkara tersebut tidak ada, maka akan mengurangi kehendak Tuhan
yang sah. Dengan kata lain dibuat klaim secara implisit bagi komunitas
interpretasi hukum secara keseluruhan bahwa persoalan tersebut layak dimasukkan
atau dikeluarkan dari kategori persoalan yang bersifat mendasar dalam agama.
Oleh karena itu, beban pembuktian diserahkan kepada orang yang membuat klaim
semacam itu. Ia harus memenuhi kewajibannya untuk melakukan penelitian yang
sungguh-sungguh dan terkendali. Seperti yang disebutkan dalam sebuah adagium
hukum Islam, "Pembuktian dibebankan kepada orang yang membuat klaim"
(al-bayyinah 'ala man idda'a).
Mengenai asumsi dasar tentang komunitas
interpretasi, Khaled menyebutkan bahwa kita dapat membedakan antara empat jenis
asumsi dasar tersebut. Asumsi-asumsi tersebut berfungsi sebagai landasan untuk
membangun analisis hukum, dan seringkali berfungsi sebagai batas luar bagi
penetapan hukum. Ada empat jenis asumsi: asumsi berbasis nilai, asumsi
metodologis, asumsi berbasis iman, dan asumsi berbasis akal. Asumsi-asumsi
berbasis nilai dibangun di atas nilai-nilai normatif yang dipandang penting
atau mendasar oleh sebuah sistem hukum. Asumsi-asumsi tersebut menjadi
nilai-nilai mendasar dalam sebuah budaya hukum, atau apa yang oleh komunitas
interpretasi hukum tertentu dipandang sebagai asumsi yang secara normatif
diperlukan. Misalnya dalam teori hukum Islam adalah dibedakan antara apa yang
disebut apa yang disebut dengan dharuriyyat (kemendesakan yang bersifat
mendasar), hajjiyyat (kebutuhan mendasar) dan tahsiniyyat (juga
dikenal dengan kamaliyyat –kemewahan atau hiasan). Kemudian seringkali
ditegaskan oleh para ahli hukum Islam bahwa keperluan mendasar terdiri dari
lima nilai pokok (al-dharuriyyat al-khamsah): agama, kehidupan, akal,
keturunan, dan harta. Semuanya dipandang sebagai nilai atau tujuan dasar yang
harus dipenuhi atau dilindungi oleh syari'ah.
Pada sisi-sisi tertentu, asumsi-asumsi metodologis
berbeda dengan asumsi-asumsi berbasis nilai, dan pada sisi yang lain
asumsi-asumsi metodologis cenderung tumpang tindih dengan asumsi nilai dalam
sistem hukum. Misalnya persoalan apakah konsensus para ahli hukum Madinah bisa
menjadi dasar hukum, merupakan persoalan metodologis. Asumsi-asumsi metodologis
terkait dengan sarana atau langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan
normatif hukum. Asumsi-asumsi semacam itu diakui sebagai perangkat bantu yang
mempermudah tercapainya tujuan hukum. Asumsi-asumsi metodologis mungkin muncul
dari pendekatan teoritis yang sistematis terhadap hukum, tetapi asumsi-asumsi
tersebut cenderung bertahan dan berkembang melalui kekuatan kebiasaan.
Asumsi-asumsi tersebut menjadi kerangka yang selalu digunakan oleh budaya hukum
dalam menghasilkan hukum. Tidak jarang persoalan persoalan metodologis sangat
terkait erat dengan asumsi-asumsi berbasis nilai yang menjadikannya tidak
selalu mungkin bagi kita untuk dapat membedakan antara asumsi-asumsi
metodologis dan asumsi-asumsi berbasis nilai. Misalnya persoalan apakah
kepentingan publik dapat mengalahkan atau menyingkirkan bukti tekstual, atau
peran kepentingan mendesak (dharuriyyat) dalam menciptakan pengecualian
hukum.
Berbeda dengan dua asumsi sebelumnya, asumsi
berbasis akal memperoleh eksistensinya dari logika atau bukti hukum pada
penetapan hukum yang bersifat substantif. Ia bukanlah hasil dari dinamika
langsung antara Muslim dengan Tuhannya, tapi didasarkan pada hubungan antara
seorang Muslim dengan dan berbagai bukti atau perintah Tuhan yang ia temukan.
Asumsi berbasis akal diklaim bersandar pada potongan-potongan bukti yang
bersifat kumulatif. Asumi semacam itu dipandang sebagai sebagai hasil dari
proses objektif dalam mempertimbangkan berbagai bukti secara rasional, dan
bukan hasil dari pengalaman etis, eksistensial, atau metafisik yang bersifat
pribadi. Asumsi berbasis akal tidak mengakui pengaruh nilai normatif, tapi ia
menegaskan sikap yang moderat dan objektif. Persoalan yang bersifat menentukan
bagi jenis asumsi ini adalah bahwa, seperti halnya pembacaan literal terhadap
hukum, ia mengklaim sebagai bebas nilai, dan didasarkan hanya pada bobot
pembuktian.
Asumsi-asumsi berbasis iman lahir dari sebuah
hubungan tambahan antara wakil dan Tuannya. Asumsi-asumsi ini tidak mengklaim
diperoleh langsung dari perintah Tuannya, tapi dari dinamika antara wakil dan
Tuannya. Asumsi-asumsi berbasis iman ini dibangun di atas apa yang kita sebut
dengan pemahaman pokok atau mendasar tentang karakteristik pesan Tuhan dan
tujuannya. Dengan demikian, asumsi-asumsi ini membentuk kesadaran atau
keyakinan mendasar yang tidak akan dibagikan atau dipertanggungjawabkan kepada
orang lain. Juga terjadi tumpang tindih antara asumsi-asumsi berbasis nilai
dengan asumsi-asumsi berbasis iman. Namun asumsi-asumsi berbasis nilai
mengklaim bahwa dirinya bersumber hanya dari analisis teks, atau analisis
terhadap tujuan-tujuan yang lebih besar dari perintah-perintah Tuhan, sementara
asumsi-asumsi berbasis iman terkait dengan pemahaman tentang Tuhan itu sendiri.
Dalam beberapa hal, asumsi-asumsi berbasis iman terkait dengan normativitas
Tuhan, dan asumsi-asumsi berbasis nilai terkait dengan normativitas perintah-Nya.
Sebuah komunitas interpretasi harus mampu
mengetahui karakteristik utama dari asumsi-asumsi dasarnya –apakah ia bersifat
normatif, metodologis, didasarkan pada bukti, atau semata persoalan keimanan.
Menjelaskan dan secara kritis menganalisis karakteristik dari asumsi-asumsi
komunitas interpretasi tersebut akan menambah keterpaduan diskursus tersebut.
Penggunaan berbagai asumsi-asumsi di atas secara intrinsik bukanlah tindakan
otoriter. Tapi ketika asumsi-asumsi tersebut berubah menjadi objek loyalitas
dan akhirnya menggantikan keberwenangan Tuhan dan perintah-Nya, maka
asumsi-asumsi tersebut menjadi problematis. Sejauh mengenai asumsi-asumsi
nilai, akal, dan metodologis, moralitas tertingginya adalah moralitas proses,
bukan moralitas hasil.
Asumsi berbasis iman menuntut sebuah analisis yang
berbeda. Asumsi-asumsi ini merupakan nilai moral yang berperan sebagai dasar
bagi sebuah diskursus hukum. Ini tidak berarti bahwa asumsi-asumsi tersebut
pasti tertutup untuk didiskusikan atau dianalisis. Tapi itu berarti bahwa
asumsi-asumsi tersebut mungkin memberikan garis batas yang efektif antara satu
komunitas interpretasi dan komunitas interpretasi yang lain, dan bahwa
garis-garis batas tersebut tidak dapat dihilangkan oleh argumentasi-argumentasi
yang berbasis teks. Akhirnya kegunaan dari asumsi-asumsi berbasis iman
direduksi menjadi sebuah persoalan kesadaran bahwa Tuhan akan menilai di
akhirat kelak. Mengenai asumsi-asumsi tersebut, moralitas tertinggi mungkin
bukan lagi moralitas proses, tapi moralitas kesadaran. Sementara dalam seluruh
persoalan, hasil dari sebuah pencarian hanya bersifat sekunder dari proses
pencarian, asumsi berbasis iman mendahului, mengarahkan dan menentukan proses
itu sendiri. Asumsi berbasis iman merupakan keputusan moral yang didasari
keimanan terhadap apa yang menjadi nilai menentukan dari sebuah agama, yang
menuntun, dan tidak diarahkan oleh, suatu proses.
Keberatan Moral dan Otoritarianisme
Dapat terjadi suatu kondisi di mana ketentuan
al-Qur'an berbeda dengan ketentuan hadis Nabi. Sebagai contoh adalah ketentuan
ayat-ayat al-Qur'an yang menyatakan: "Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan", "Dan
katakanlah kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin
beriman hendaknya ia beriman dan barang siapa yang hendak kafir biarlah ia
kafir. Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang-orang yang
bersalah itu", "Tidak ada pemaksaan dalam agama", dan ketentuan
sebuah hadis yang dinilai mayoritas ulama' sebagai hadis shahih yang berbunyi:
"Barang siapa menukar agamanya, bunuhlah dia"[2]). Kondisi tersebut kemudian mungkin melahirkan
suatu asumsi metodologis yang menyatakan bahwa jika ketentuan al-Qur'an berbeda
dengan ketentuan hadis Nabi, maka ketentuan al-Qur'an yang harus diambil.
Tetapi seorang wakil khusus tidak harus menganut metodologi tersebut karena
bukti tersebut tampak bertentangan. Yang kemudian bisa dilakukan adalah
memandang al-Qur'an sebagai firman literal Tuhan, merenungkan makna ayat-ayat
al-Qur'an tersebut, bukan sebagai bagian dari perintah Tuhan, tapi sebagai
bagian dari hubungan antara dirinya dan Tuhan yang bersifat pribadi. Setelah
mempertimbangkan normativitas Tuhan dan pemahamannya sendiri, dapat diperoleh
keyakinan yang agak berbeda dengan pembuktian yang ditunjukkan oleh berbagai
penetapan yang ada, bahwa moralitas yang melandasi hubungannya dengan Tuhan
akan sangat ditentang jika seseorang yang murtad harus dijatuhi hukuman mati.
Pada titik ini, seorang wakil khusus dihadapkan
pada dua pilihan: apakah akan menyembunyikan proses pemikiran dan asumsinya,
atau mengungkapkan analisisnya, menjelaskan asumsi-asumsinya yang berbasis
iman, dan berharap bahwa beberapa atau semua wakil umum juga akan memiliki
keyakinan serupa. Tentu saja pilihan kedua ini mengandung resiko hilangnya
keberwenangan dan pengaruh yang bersangkutan karena para wakil umum mungkin
akan berkesimpulan bahwa si wakil khusus tidak lagi berhak memegang amanah.
Meskipun demikian, ini adalah ciri mendasar dari sebuah semangat yang akan
menjauhkan kita dari otoritarianisme. Seorang wakil khusus yang otoriter selalu
ingin berkuasa, dan ingin tetap otoritatif meskipun ia harus menampilkan
bukti-bukti teks secara tidak benar, atau memerankan fungsi sebagai Tuan.
Seorang ahli hukum terdahulu, Waki', diriwayatkan telah mengatakan:
"Orang yang berpengetahuan (ulama') mencatatkan semua bukti
[tentang suatu persoalan], baik bukti yang menyetujui atau yang menentang
pendapatnya. Orang yang mengikuti hawa nafsu hanya mencatatkan bukti-bukti yang
mendukung pendapatnya [dan mengabaikan bukti lain]". Menurut Khaled, ungkapan
tersebut benar-benar merangkum gagasan otoritarianisme.
E. PENDEKATAN HERMENEUTIK TERHADAP OTORITARIANISME
Salah
satu kajian hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks (text)
atau nash, penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader)
dalam dinamika pergumulan pemikiran Islam. Seharusnya kekuasaan (otoritas)
adalah mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhanlah (author) yang tahu apa
yang sebenarnya Ia kehendaki. Manusia (reader) hanya mampu memposisikan
dirinya sebagai penafsir atas maksud teks yang diungkapkan Tuhan. Dengan
demikian yang paling relevan dan paling benar hanyalah keinginan pengarang.
Namun pada praktiknya, seringkali terjadi dimana individu dan lembaga keagamaan
(reader) mengambil alih otoritas Tuhan (author) dengan menempatkan
dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas
kebenaran dan menafikan pandangan yang dikemukan oleh penafsir lainnya. Di sini
terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu
metamorfosis atau menyatunya reader dengan author, dalam arti reader
tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan
institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas. Tidak
berlebihan jika sikap otoritarianisme seperti ini dianggap sebagai tindakan
despotisme dan penyelewengan yang nyata dari logika kebenaran Islam. http://asnawiihsan.blogspot.com/2007/03/otoritarianisme-catatan-hitam-peradaban.html, diunduh pada tanggal 3 Februari
2010.)
Walaupun
kebenaran hanya menjadi hak Tuhan, tetapi manusia tetap berhak menjadi wakil
Tuhan untuk menafsirkan kehendak Tuhan yang terkandung dalam nash sebagai acuan
dalam menjalankan kehidupan. Hal ini sejalan dengan hakikat diciptakannya
manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dengan catatan, manusia tidak
melampaui batas-batas yang ada seperti mengambil alih posisi Tuhan, bersikap
arogan atas penafsirannya dengan menyalahkan penafsiran yang berbeda dan
menutup makna yang sebenarnya terbuka atau sebaliknya membuka makna tanpa
batas.
Jika
seorang pembaca berusaha menutup rapat-rapat teks dalam pangkuan makna tertentu
atau memaksakan penafsiran tunggal atas teks tertentu, maka tindakan tersebut
berisiko tinggi untuk melanggar integritas pengarang dan bahkan integritas teks
itu sendiri. Menutup rapat yang dimaksud otoritarianisme dalam penafsiran teks
keagamaan dalam buku itu adalah tindakan seseorang, kelompok, atau lembaga
tertentu yang ”menutup rapat-rapat” atau membatasi Kehendak Tuhan (the Will
of the Divine), atau maksud terdalam dari teks tertentu dalam suatu batasan
ketentuan atau penafsiran tertentu, dan kemudian menyajikan ketentuan-ketentuan
atau penafsiran-penafsiran tersebut sebagai hukum atau keputusan yang tidak
dapat dihindari, final, dan merupakan hasil akhir yang tidak dapat
diganggu-gugat.
Terkait
dengan bagan triadic structure yang sebelumnya sebagaimana tergambar
dalam bahasan sebelumnya –karena sang author yang awalnya reader menjadi
menafikan penafsir/reader lain dan bila muncul reader-reader yang
lain, maka terjadilah perdebatan hingga sikap-sikap otoriter– akan berubah
menjadi:
Pendekatan hermeneutika sebagaimana dalam gambar bagan pertama minimal
memberikan 3 tawaran dalam hubungannya antara teks, author dan reader,
sebagai berikut:
- interaksi dinamis
- sikap partisipatif
- negotiating process (proses negosiasi)
Tawaran tersebut sejalan dengan konsep triangle meaning dari Pierce di mana
ketiga meaning harus dishare satu sama lain.
F. KONTRIBUSI HERMENEUTIKA
ABOU FADL TERHADAP HUKUM ISLAM
Paling tidak ada empat
makna yang menjadikan hermeneutika Abou
Fadl begitu penting. Pertama, dalam
gelombang globalisasi yang membawa perubahan mendasar bagi kemanusiaan, buku
ini membangkitkan kesadaran perlunya pembaharuan pemikiran dan hukum Islam yang
selama ini diakui keberadaanya sangat strategis dalam bangunan agama Islam. Hal
ini dilakukan agar agama Islam tetap dapat bertahan dan menjadi semakin
dibutuhkan bagi pengembangan kemanusiaan yang lebih beradab. Kedua,
terkait dengan yang pertama, maka buku ini memberikan panduan yang
sistematis untuk melakukan pembaharuan hukum Islam yang lebih universal,
berbasis moralitas dan kemanusiaan. Ketiga, dalam
tataran tertentu, buku ini telah berperan mengubah cara pandang kaum muslimin
terhadap posisi ulama yang otoriter (sewenang-wenang memberi fatwa) dan yang
otoritatif (yang berwenang memberi fatwa). Keempat,
buku ini melakukan pembelaan serius bahwa Islam sebagai agama telah
memberikan tanggung jawab dan penghargaan kemanusiaan yang besar. Kesalahan
lebih sering datang dari penganutnya atau orang-orang yang merasa sebagai
penjaga syariat, padahal malah menghancurkan syari’at.
Salah satu sumbangan ide
terbesar Khaled Abou El Fadl terhadap diskursus hukum Islam kontempoter adalah
membongkar malpraktik otoritarianisme dalam hukum Islam. Fenomena ini menurut
Khaled menjadi mainstream pemahaman umat Islam tehadap hukum Islam pada
dewasa ini. Sehingga lahir wacana hukum Islam dan fikih yang otoriter, tertutup
dan statis. Trik-trik untuk menghadapinya, yang digunakan oleh Khaled adalah
sebagai berikut:
(http://guntur.name/2007/12/04/membongkar-otoritarianisme-hukum-islam/, diunduh pada tanggal 1 Februari 2010).
Pertama, Khaled memandang al-Quran dan
Sunnah—sumber otoritatif hukum Islam—sebagai “teks yang terbuka” maka
konsekuensi logisnya adalah meyakini hukum Islam sebagai karya yang terus
berubah (Islamic law as a work in movement). Untuk itu teks-teks
otoritatif sebagai sumber dari hukum Islam tidak boleh dikunci, ditutup dan
dipasung sehingga meniscayakan penafsiran dan pemahaman baru akan terus-menerus
lahir. Teks yang terbuka akan mampu menampung gerak dinamis pemahaman manusia
dengan keragaman konteksnya. Memasung makna teks merupakan tindakan kriminal
sekaligus kesombongan intelektual karena telah mengklaim dirinya paling
mengetahui maksud Tuhan. Selain itu sikap tersebut akan menutup rapat-rapat
bagi lahirnya pemahaman-pemahaman (fikih) baru yang menjadi kebanggaan umat
Islam sepanjang sejarah.
Kedua, mengembalikan diskursus hukum
Islam pada semangat awal, yaitu meneguhkan kembali jtihad sebagai upaya
pengerahan sekuat-kuatnya kemampuan manusia untuk melakukan pencarian,
penyeledikan dan pemahaman terhadap Kehendak Tuhan. Dalam konteks ini Khaled
membedakan antara syariah dan fikih. Syari’ah adalah Kehendak Tuhan dalam
bentuk yang abstrak dan ideal, tapi fikih merupakan upaya manusia memahami
Kehendak Tuhan. Dalam pengertian ini syariah selalu dipandang sebagai yang
terbaik, adil dan seimbang. Sedangkan fikih hanyalah upaya untuk mencapai
cita-cita dan tujuan syariah (maqâshid al-Syarî’ah). Tujuan syariat
Islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia (tahqîq mashâlih
al-’ibâd) dan tujuan fikih adalah untuk memahami dan menerapkan syariah.
Perbedaan ini lahir dari pengakuan atas kegagalan-upaya-manusia untuk memahami
tujuan dan maksud Tuhan. Dalam konteks ini ijtihad manusia tidak pernah final
dan sempurna.
Ketiga revitalisasi metodologi hukum
Islam klasik. Bagi Khaled, hukum Islam secara kukuh menentang kodifikasi dan
penyeragaman (Islamic law has staunchly resisted codification or uniformity).
Metodologi hukum Islam memiliki ciri yang terbuka dan antiotoritarianisme (tradisional
Islamic methodology has been its open-ended and anti-authoritarian character).
Akhirnya, Khaled menginginkan syariah
dipahami dalam diskursus pergulatan yang terus berubah dan bergerak maju;
diskursus fikih yang progresif. Sedangkan penguncian makna syariah pada
pemahaman (fiqh) tertentu akan melahirkan fikih yang otoriter; yang tertutup
dan sewenang-wenang.
G. KESIMPULAN
Hukum Islam seyogyanya
dipilahkan antara sebagai hukum yang abadi, yang bersumber dari Allah, dan
sebagai ikhtiar seseorang untuk memahami dan mengimplementasikan hukum abadi
tersebut. Ini berarti bahwa kebanyakan dari apa yang disebut hukum Islam adalah
produk manusia yang tak luput dari kemungkinan adanya kekeliruan, perubahan,
perkembangan, dan pembatalan menyangkut sebuah ketentuan hukum. Hukum abadi
yang bersumber dari Allah sangat sempurna, tetapi ia juga tak terjangkau oleh
umat manusia. Seseorang melakukan usaha semaksimal mungkin untuk menggapai dan
memahami hukum Allah, namun mengklaim bahwa seseorang dapat dengan penuh percaya
diri yakin bahwa ia berhasil memahami hukum Allah dapat dipandang sebagai sikap
arogan. Oleh karena itu seorang ahli hukum haruslah dengan rendah hati mengakui
bahwa apa yang diklaim sebagai hukum Islam itu mungkin salah. Seorang ahli
hukum harus mencurahkan usaha terbaiknya demi memahami hukum Allah, namun
semestinya ia tidak beranggapan bahwa pendapatnya pastilah identik dengan hukum
Allah.
Dalam sebuah wawancara,
Khaled menegaskan bahwa apa yang diinginkan Allah kita ketahui melalui elemen
kebenaran. Al Quran adalah elemen kebenaran dalam bentuk teks; dan elemen
kebenaran yang lain adalah penggunaan akal. Dan apa yang diketahui akal harus
disertai pengetahuan karena Allah menciptakan akal manusia menurut aturan
tertentu. Bila seseorang berbicara mengenai Tuhan, dia dapat saja otoritatif,
yaitu orang yang dapat Anda mintai pendapat karena mereka jujur, rajin,
memeriksa semua petunjuk dalam teks dan alam secara filosofis dan menyeluruh. Namun, mengatakan patuhi saya atau Anda bukan Muslim, itu
adalah otoriter. Otoriter adalah tindakan merampas wilayah milik Tuhan, dan
wilayah Tuhan adalah otoritas absolut untuk mengatakan, menilai, memutuskan,
dan memulai serta mengakhiri sesuatu. Otoriter seperti monopoli di pasar
gagasan, sedangkan otoritatif adalah seperti pasar bebas di pasar gagasan.
Semua gagasan dan argumentasi tersedia di sana dan memberi kebebasan kepada
manusia, kreasi Tuhan terbesar yaitu kreasi tentang pilihan yang membedakan
kita dari makhluk lain ciptaan Tuhan. Apa pun yang mencabut elemen kebebasan
memilih itu, bukan hanya itu otoriter, tetapi juga membatalkan tujuan
penciptaan manusia, membatalkan kemanusiaan kita.
Pada ranah otoritarianisme
akan terjadi tindakan mengunci dan mengurung kehendak Tuhan atau kehendak teks,
dalam sebuah penetapan makna, dan menyajikannya sebagai sesuatu yang pasti,
absolut, dan menentukan. Dihadapkan adanya sikap otoritarianisme tersebut Abou El Fadl melawan paksa
upaya penaklukan dan penutupan teks sekaligus memandang teks tetap bebas,
terbuka, dan otonom guna memahami dan mendekati kehendak Tuhan. Dengan
mengispirasikan teks tetap bebas, terbuka, dan otonom sebagai kehendak Tuhan,
maka Abou El Fadl
menempatkan perangkat yang akan mengantarkan kepada sebuah pemahaman untuk
mendekati kehendak Tuhan. Dalam hal ini adalah gagasan-gagasan yang selama ini
menjadi problem hermeneutis. Dan itulah yang telah menjadi gagasan Abou El Fadl.
Adapun gerak hermenutika
tersebut antara lain adalah membutuhkan “keseimbangan kekuatan” yang harus ada
antara maksud teks, pengarang dan pembaca. Dengan kata lain, penetapan makna
berasal dari proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan dialektis antara
ketiga unsur di atas (teks, pengarang dan pembaca). Sementara itu seorang
pembaca/penafsir –dalam hal ini wakil khusus– dalam membaca teks agar tidak
terjadi penyelewengan otoritas harus memenuhi “lima syarat keberwenangan”
sebagai prinsip-prinsip penafsiran yang “bertanggung jawab”. Antara lain,
kejujujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri.
Pada persoalan lain, kenyataan bahwa pembaca/penafsir tidak bebas asumsi, maka
dalam menafsirkan terkadang bertentang dengan teks. Dalam kondisi semacam ini
pembaca/penafsir harus melakukan jedaketelitian terhadap teks. Maksud dari jeda
ini bukan untuk menampik teks atau menolak penetapan tersebut, tapi untuk
merenungkan dan menyelidikinya secara lebih mendalam lagi. Ini serupa dengan
menggarisbawahi sebuah persoalan untuk kemudian mengkajinya lebih lanjut, dan
menangguhkan keputusan hingga kajian tersebut rampung.
Tampaknya pemikiran Abou El Fadl menganut paham
“relativitas”. Bukan tanpa alasan Abou El Fadl menganut pemikiran relativitas,
sebaliknya pemikiran seperti ini inspirasinya justru –meminjam teorinya Amin
Abdullah tentang perkembangan pemikiran Islam yang selalu mendasarkan pada–
termuat dalam “normativitas dan historisitas”.
Yang
terpenting adalah bahwa tawaran hermeneutika Abou El Fadl, yang digagas dari
paradigma hukum Islam dalam konstruksinya tentang hermeneutika tidak hanya
aplikatif dalam penafsiran al-Qur’an, tapi juga pada teks-teks Islam yang lain.
Dengan kata lain, Abou El Fadl telah mencoba melakukan rancang bangun
hermeneutika yang dapat menjadi prinsip-prinsip umum dalam menafsirkan
teks-teks Islam (baik yang sakral maupun yang profan). (http://kombas.wordpress.com/category/islam-dan-diskursus-wacana/,
diunduh pada tanggal 2 Februari 2010.)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.
Amin. “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan: Proses
Negosiasi Komunitas Pencari Makna, Pengarang dan Pembaca”, dalam El Fadl,
Khaled Abou. 2004. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Penerjemah: R. Cecep Lukman
Yasin. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Arifin, Zainal (ed.). "Hermeneutika dalam Hukum
Islam Khaled Abou El Fadl dalam karya Speaking in God's Name: Islamic Law,
Authority, and Woman", dalam www. derizzain.multiply.com.
Choir,
Tholchatul, Ahwan Fanani (ed.). 2009. Islam dalam Berbagai Pembacaan
Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
El Fadl, Khaled
Abou. 2001. Speaking in
Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman. Oxford:
Oneworld Publication.
----------------------------.
2004. Atas Nama
Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Penerjemah: R. Cecep Lukman
Yasin. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
----------------------------.
2006. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Penerjemah: Helmi Mustofa
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Faiz, Fahruddin. 2002. Hermeneutika
Qur’ani:
Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam.
Hamidi, Jazim.
2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press.
Nasr, Sayyed
Hossein. 1989. Knowledge and The Sacred. New York: State University
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar