Kamis, 03 Maret 2011


EKSISTENSI HUKUM PROGRESIF DALAM MENGGAPAI KEADILAN MASYARAKAT
Oleh : Ahmad Syafi’i Rahman
A.     Prolog
Het volks is reloos, degering is redeloos, het land is reddeloos. (rakyat kehilangan daya piker sehat, pemerintah kehilangan akal, Negara kehilangan harapan). Perkataan orang belanda tersebut pada abad 18 tersebut nampaknya masih relevan untuk diucap ulang pada ere sekarang ini, yang memang persis rakyat kita sedang kehilangan akal sehat dan harapan.
Untuk membuktikan asumsi di atas, tulisan ini berusaha mencari kebenaran (truts research) sebuah pemikiran hukum yang berdasar pada asumsi-asumsi, pola-pola, dan penerapannya dalam hukum (yang oleh pak Prof Satjipto Raharjo dengan progresif law sebagai hukum yang sesungguhnya). Ia menawarkan satu bentuk hukum baru, yakni hukum progresif, hukum yang lebih melihat pada kebutuhan social, ketertiban social, dan kesejahteraan social. hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Prof. Satjipto Raharjo – yang lebih akrab dipanggil pak Tjip pent- Sang Begawan Hukum Progresif, dengan pemikirannya, ia mampu meramu hukum dan meretaskannya ke dalam satu bentuk system hukum yang tidak berdiri sendiri, memberikan hukum dengan nafas needs of generale people, mengawinkan hukum yang lajang, kaku menjadi hukum yang hidup berdampingan dan serasi dalam aspek kebutuhan manusia, keserasian hukum dangan aspek ilmu-ilmu sosial, tentu diharapkan akan melahirkan embrio perkembangan yang tiada henti, karena hukum itu akan selalu terus hidup dalam masyarakat  (law is life in people). Oleh kerena itu, tatkala Pak Tjip meninggal Dunia, ada rasa sedih, karena penulis baru mendapatkan satu tetes pemikiran pak Tjip secara langsung (tatap muka) sebagai mahasiswanya, menimba wawasan hukum progresif, bak magnet ke takjuban dari sebuah “lompakan pemikiran” yang ditunggu-tunggu banyak pihak sebagai penawar baku pemikiran yang memiliki solusi universal terhadap persoalan-persoalan hukum kompleks saat ini. Sehingga, walaupun ide –ide itu tidak dengan tuntas pada akhir masa kuliahnya, penulis masih mampu menapak tulisannya yang banyak berserakan diberbagai buku, jurnal dan majalah hukum. Penulis sebisa mungkin  menguak satu pemikiran seorang tokoh besar dengan ide besar berdasarkan tulisa-tulisan yang ada, tentu yang menjadi blue print dalam yang penulis harapkan dalam tulisan ini peneka dua hal: 1) membuka tabir eksistensi hukum progresif (acuan kerangka dasar) pemikiran pak Tjip. 2) apa hakikat keadilan itu?[1] Yang kedua ini, penulis memaparkan keadilan masyarakat dalam kerangka tujuan hukum progresif. Sebagai penutup, penulisan akan memaparkan satu konsep khas pemikiran pak Tjip dalam pembentukan hukum progresif. Permasalahan disini yang penulis angkat atau bahas cukup sederhana, apakah yang dinamakan “hukum” yang “berkeadilan”? padahal ada dua hal, yang dalam perkembangannya antara keinginan hukum yang diharapkan, yakni dibatasi antara kepastian hukum dan keadilan yang ditegakkan. Apakah eksistensi hukum progresif mampu memberikan satu pandangan solutif dan responsive terhadap kebutuhan hukum dalam masyarakat? Apakah ketertiban dalam hukum lebih tinggi tingkatannya dari sekedar kepastian hukum itu sendiri?
B.     Hukum yang Berkeadilan
Hukum senantiasa berkenaan dengan kehidupan manusia, sebab kaidah hukum itu sendiri diciptakan melalui proses interaksi antar manusia didalam pergaulan hidupnya. Tetapi segera setelah hukum itu terbentuk, ia mengatur dan mengarahkan prilaku manusia dalam kehidupan kemasyarakatan ditempat ia berada. Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa keseluruhan pemikiran dan pembicaraan tentang hukum haruslah bermula dan bermuara kepada aspek  kehidupan manusia yang terus tumbuh dan berkembang dalam berbagai seginya. Oleh karenanya, keberadaan hukum akan mengalami perubahan dan perkembangan budaya dan peradaban yang secara langsung berkaitan erat dengan keseluruhan system sarana pelaksanaan hukum serta mekanisme penegaknya.
Makna inti dari hukum itu sendiri tidak mengalami perubahan  yang mendasar, kendati sekedar untuk merumuskan pengertian hukum dalam sebuah definisi belum berhasil menelurkan jawaban yang dapat diterima umum. Oleh karena itu, yang tampaknya lebih penting untuk diungkap adalah yang berkaitan dnegan fungsi dan tujuan hukum. Kenyataan ini sukar terindarkan mengingat adanya keragaman dalam sudut pandang. Sedangkan keragaman sudut pandang  itu sendiri sangat dipengaruhi oleh adanya perbedaan pandangan hidup, situasi kondisi zaman, dan cara berfikir yang dianut dalam lingkungan masung-masing. Perbedaan-perbedaan itu acapkali tidak selalu bersifat prinsipil namun hanya sebatas gradual.
Tujuan hukum tidaklah dapat dilepaskan dari tujuan akhir hidup bernegara dan bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai bernegara dan bermasyarakat itu sendiri, yakni keadilan, (rechtsvaardigheid atau justice) dengan demikian, keberadaan hukum merupakan sarana untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup lahir batin dalam kehidupan bersama.
Menurut Teori Pengayoman, implementasi dalam tatanan hukum nasional harus  bercirikan progresif terhadap perkembangan dan aspiratif terhadap pengharapan masyarakat. Atau dengan kata lain, hukum ditujukan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang manusiawi, sehingga memungkinkan proses-proses kemasyarakatan berllangsung secara wajar dan patut. Dengan demikian, secara adil setiap manusia memperoleh kesempatan luas untuk mengembangkan seluruh potensi (lahiriah dan batiniah) kemanusiaannya secara utuh. Adapun usaha untuk mewujudkan pengayoman ini akan mencakup:
1.      ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas;
2.      Kedamaian dan ketentraman’
3.      Keadilan yang meliputi keadilan distributive[2], keadilan komulatif,[3] keadilan vindiktif,[4] dan keadilan protelktif;[5]
4.      Kesejahteraan dan keadilan social;
5.      Pembinaan akhlak luhur berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.[6]
Jadi tepatlah kiranya kata adil dan keadilan disebut dua kali dalam Pancasila dan lima kali dalam pembukaan UUD 45 yang merupakan staatsfundamenteelnorm, sehingga memastikan bahwa keadilan adalah saripati dalam kehidupan manusia Indonesia yang beradab.
Selanjutnya dengan tujuan hukum tersebut, maka hal penting dan mendasar lainnya yang patut dicermati adalah berkenaan dengan fungsi hukum itu sendiri. Beberapa sumber kepustakaan menampakkan adanya nuansa keragaman pendapat tentang fungsi hukum. Kenyataannya demikian akan melahirkan gagasan-gagasan yang saling melengkapi. N.E Algra (et.al) mengemukakan tiga fungsi hukum dalam masyarakat (there are four primary function), yakni:
Pertama , hukum merupakan suatu alat untuk membagikan hak dan kewajiban para anggota masyarakat. Kedua, hukum merupakan pendistribusia wewenang untuk mengambil keputusan mengenai soal public, soal umum (tidak hanya privat) . ketiga, hukum ialah aturan yang menunjukkan suatu jalan bagi penyelesaian pertentangan atau konflik yang dapat dipaksakan.[7]
Berkenaan dengan adanya fungsi hukum dalam konteks masyarakat, diungkapkan oleh Sunaryati Hartono Sebagai: 1) pemeliharaan ketertiban dan keamanan, 2) Sarana Pembangunan, 3) Sarana Penegakkan keadilan, 4) Sarana pendidikan masyarakat.[8]  Sedangkan Sahrah Basah mengupas funfsi hukum dengan lebih tertuju kepada (di) Indonesia, sebagai berikut: 1) direktif, sebagai pengarah dalam pembangunan untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara, 2) integratif, sebagai pembinaan kesatuan bangsa, 3) Stabilitas, sebagai pemelihara (termasuk didalamnya hasil-hasil pembangunan) dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 4) Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan administrasi , maupun sikap tindak warga Negara dan bermasyarakat, 5) Korektif, baik terhadap warga Negara maupun administrasi Negara.
Dikatakan lebih lanjut bahwa melihat hkum secara fungsional pada akhirnya hukum dimengeri sebagai kumpullan nilai-nilai kehidupan, yang mengandung kadar kesadaran hukum masyarakat dan pengayom dalam kehidupan bermasyarakat.
Setelah dilakukan pengujian dan pengkajian terhadap tujuan dan fungsi hukum seperti penulis sebutkan di atas mejadi jelas bahwa suatu yang mustahil apabila hidup tanpa keadilan hukum. Melalui dan dengan keadilan hukum, maka individu atau masyarakat dapat menjalani hidup dan kehidupan secara layak dan bermartabat. Dengan demikian dalam setiap masyarakat senantiasa diperlukan keberadaan keadilan hukum/keadilan subtantif bagaimanapun sederhananya.[9]
Masalah hukum yang ada di Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk mengembalikan keadilan hukum sebagai norma tertinggi baik bagi warga negara maupun negara. Memuliakan keadilan hukum yang berkeadilan dimaknai sebagai sikap dasar insan Indonesia untuk mengakui, menghormati, dan menempatkan hukum yang berintikan keadilan masyarakat di atas kepentingan pribadi, politik, dan lain-lain. Memuliakan keadilan hukum dalam kehidupan masyarakat berarti bahwa dalam membentuk hukum harus dilakukan melalui proses yang aspiratif, akomodatif, partisipatif, dan kolaboratif sebagai salah satu sikap mengedepankan kepentingan rakyat di atas segala-galanya.



C.     Eksistensi Hukum Progresif Dalam Menggapai Keadilan Masyarakat
1.      Batas Pengertian Hukum Progresif dan Ruang Lingkupnya Terhadap Hukum lain.
Hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum. Cara berhukum tidak hanya satu; melainkan bermacam-macam, sehingga hukum progresif memiliki tempatnya sendiri.
Untuk membuat deskripsi yang jelas mengenai hukum progresif, maka ia dapat dihadapkan dengan kepada cara berhukum yang positif legalistis. Dengan cara berhukum yang terakhir, maka hukumnya adalah penerapan undang-undang. Cara berhukum semacam ini adalah semata-mata berdasarkan undang-undang atau “mengeja undang-undang”. dengan berbagai macam aspek persoalannya, pasti akan merujuk kepada undang-undang. Disini orang tidak berfikir jauh bagaimana orang tidak membaca teks dan penerapannya. Cara berhukum semacam ini adalah ibarat seperti menarik garis lurus antara dua titik. Titik yang satu adalah pasal undang-undang dan titik yang lain adalah fakta yeng terjadi. Segalanya berjalan linier, sehingga cara  berhukum sudah seperti mesin otomatis. Paul Scholten menyebutnya sebagai “hanteren van logische figuren”[10]Holmes mengatakannya sebagai “a book of mathematics” (Holmes, 1963).[11] Dihadapkan pada cara berhukum tersebut, maka hukum progresif bekerja dengan sangat berbeda. Ia tidak berhenti dengan membaca teks dan menerapkannya seperti mesin, melainkan suatu aksi atau usaha (effort). Cara berhukum memang mulai dari teks, tetapi tidak berhenti sampai disitu, melainkan pengolahannya lebih lanjut, yang disebut aksi atau usaha manusia itu. Dengan demikian, maka cara berhukum secara progresif itu lebih menguras tenaga, baik itu pikiran, empati dan keberanian.
Cara berhukum yang demikian itu adalah non linier, oleh karena adanya faktor aksi dan usaha manusia yang terlibat di dalamnya. Masuknya faktor atau keterlibata manusia itu menyebabkan bahwa berhukum itu tidak mengeja teks. Melainkan penuh dengan kreativitas dan pilihan pilihan. Scholten mengatakan, bahwa dalam pembuatan putusan-putusan hukum selalu terjadi suatu lompatan (enn sprong) dan oleh karena itu bersifat non linier. Dengan demikian itu maka hukum bukan hanya merupakan proses logis semata.
Homes merumuskan dengan kata-kata “ the life of the law has not been logic: it has been experience”.[12] Pengalaman tersebut memberi isi kepada teks hukum. Hakim misalnya akan memutus berdasarkan keadaan (the felt necessities of the time), kendatipun bertolak pada hukum.
Keterlibatan manusia secara aktif juga melibatkan empati, nilai nilai, keberanian dan lain-lain. Dengan demikian bukan berarti mengotak atik undang-undang dan berlogika (logos), melainkan dengan wholeness atau seluruh potensi yang berada pada manusia.
2.      Landasan Filosofis Hukum Progresif
Hukum progresif memang masih berupa wacana, namun kehadirannya terasa sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum yang berlaku sekarang ini. Hukum progresif belum lagi menampakkan dirinya sebagai sebuah teori yang sudah mapan. Menurut pemikiran Imre Lakatos (Chalmers, 1983: 85), apa yang kita pikirkan sebagai “teori” merupakan kumpulan yang sesungguhnya rapuh, berbeda dengan teori yang dihimpun dari beberapa gagasan umum atau yang biasa dinamakan Lakatos dengan inti pokok program (hard core). Lakatos menamakan kumpulan ini dengan istilah program riset (Research Programs). Para ilmuwan yang terlibat dalam program ini akan melindungi inti teori dari usaha falsifikasi di belakang suatu sabuk pelindung ( a protective belt) dari hipotesis pelengkap (auxiliary hypotheses). Demikian pula halnya dengan hukum progresif, harus ada inti pokok program (hard core) yang perlu dijaga dan dilindungi dari kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul ketika hukum progresif itu akan diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, manakala hukum progresif dikembangkan dari wacana (discourse) menjadi sebuah teori, maka haruslah dilengkapi dengan hipotesis pelengkap (auxiliary hypotheses). Hal inilah yang nampaknya belum dimiliki hukum progresif, sehingga pencetus ide (Satipto Rahardjo) harus dapat mengembangkan program riset ilmiah tentang hukum progresif secara serius, tidak hanya berhenti pada tataran wacana. Inti pokok program yang perlu dipertahankan dalam hukum progresif adalah hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Adagium bahwa hukum adalah untuk manusia perlu dipertahankan dari berbagai bentuk falsifiable agar kedudukan hukum sebagai alat (tool) untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai tujuan yang sudah final. Apa yang dimaksud dengan falsifiable disini meminjam istilah Popper, yaitu sebuah hipotesis atau teori hanya diterima sebagai kebenaran sementara sejauh belum ditemukan kesalahannya. Semakin sulit ditemukan kesalahannya, maka hipotesis atau teori itu justeru mengalami pengukuhan (corroboration).
Setiap teori ilmiah, baik yang sudah mapan maupun yang masih dalam proses kematangan, memiliki landasan filosofis. Ada tiga landasan filosofis pengembangan ilmu, termasuk hukum, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan ontologis ilmu hukum artinya hakikat kehadiran ilmu hukum itu dalam dunia ilmiah. Artinya apa yang menjadi realitas hukum, sehingga kehadirannya benar-benar merupakan sesuatu yang substansial. Landasan epistemologis ilmu hukum artinya cara-cara yang dilakukan di dalam ilmu hukum, sehingga kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Landasan aksiologis ilmu hukum artinya manfaat dan kegunaan apa saja yang terdapat dalam hukum itu, sehingga kehadirannya benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Landasan ontologis hukum progresif lebih terkait dengan persoalan realitas hukum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap peraturan hukum yang berlaku. Hukum yang ada dianggap sudah tidak mampu mengatasi kejahatan kerah putih (white colar crime) seperti korupsi, sehingga masyarakat mengimpikan teori hukum yang lebih adekuat. Ketika kehausan masyarakat akan kehadiran hukum yang lebih baik itu sudah berakumulasi, maka gagasan tentang hukum progresif ibarat gayung bersambut. Persoalannya adalah substansi hukum progresif itu sendiri seperti apa, belum ada hasil pemikiran yang terprogram secara ilmiah.
Landasan epistemologis hukum progresif lebih terkait dengan dimensi metodologis yang harus dikembangkan untuk menguak kebenaran ilmiah. Selama ini metode “kasuistik” dalam istilah logika lebih dekat dengan pengertian induktif-lebih mendominasi bidang hukum. Kasus pelanggaran hukum tertentu yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku – dicari dalam pasal-pasal hukum yang tertulis, menjadikan dimensi metodologis belum berkembang secara optimal. Interpretasi atas peraturan perundang-undangan yang berlaku didominasi oleh pakar hukum yang kebanyakan praktisi yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya untuk membela kliennya. Tentu saja hal ini mengandung validitas tersendiri, namun diperlukan terobosan metodologis yang lebih canggih untuk menemukan inovasi terhadap sistem hukum yang berlaku. Misalnya interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak semata-mata bersifat tekstual, melainkan juga kontekstual. Hukum tidak dipandang sebagai kumpulan huruf atau kalimat yang dianggap mantera sakti yang hanya boleh dipahami secara harafiah. Metode hermeneutika boleh dikembangkan oleh para pakar hukum untuk membuka wawasan tentang berbagai situasi yang melingkupi kasus hukum yang sedang berkembang dan disoroti masyarakat. Misalnya kasus korupsi yang terjadi di kalangan birokrat, bukan semata-mata dipahami sebagai bentuk kecilnya gaji yang mereka terima, sehingga sikap permisif atas kejahatan korupsi yang dilakukan acapkali terjadi. Pemahaman atas sikap amanah atas jabatan yang mereka emban jauh lebih penting untuk menuntut rasa tanggung jawab (sense of responsibility) mereka. Hukum harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengemban amanah. Dengan demikian landasan epistemologis hukum progresif bergerak pada upaya penemuan langkah metodologis yang tepat, agar hukum progresif dapat menjadi dasar kebenaran bagi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apa yang dimaksud dengan metodologis disini ialah kajian perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh (prosedur ilmiah), supaya pengetahuan yang diperoleh benar-benar memenuhi ciri ilmiah. Metodologi merupakan bidang yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran ilmu. Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika sebagai paduan sistematis dari berbagai proses kognitif yang meliputi: klasifikasi, konseptualisasi, kesimpulan, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, dan lain-lain. (1984:48). Hukum progresif baru dapat dikatakan ilmiah manakala prosedur ilmiah berupa langkah-langkah metodis di atas sudah jelas.
Landasan aksiologis hukum progresif terkait dengan problem nilai yang terkandung di dalamnya. Aksiologi atau Teori Nilai menurut Runes adalah hasrat, keinginan, kebaikan, penyelidikan atas kodratnya, kriterianya, dan status metafisiknya. Hasrat, keinginan, dan kebaikan dari hukum progresif perlu ditentukan kriteria dan status metafisiknya agar diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang nilai yang terkandung di dalamnya. Kriteria nilai terkait dengan standar pengujian nilai yang dipengaruhi aspek psikologis dan logis. Hal ini sangat tergantung pada aliran filsafat yang dianut, kaum hedonist misalnya menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan. Kaum idealis lebih mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria. Sedangkan kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur. Hukum progresif seharusnya lebih memihak pada cara pandang kaum idealis yang mengakui sistem objektif norma rasional, karena persoalan yang dihadapi hukum progresif harus dipandang secara objektif-rasionalistik.[13]
Pentingnya memahami landasan nilai dalam sebuah teori atau gerakan ilmiah adalah untuk mengetahui secara pasti orientasi atau kiblat dari teori atau aliran tersebut. Persoalan yang pokok dalam aksiologi ilmu adalah: Apa tujuan pengembangan ilmu? Apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak? Nilai-nilai apa yang harus ditaati oleh ilmuwan? Tujuan ilmu yang hakiki adalah untuk kemaslahatan atau kepentingan manusia, bukan ilmu untuk ilmu (science to science). Ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan manusia senantiasa akan memihak pada masyarakat, bukan pada dokumen atau lembaran ilmiah semata. Ketika kepentingan manusia terkalahkan oleh dokumen ilmiah, maka di sanalah dibutuhkan landasan nilai (basic of value) yang mampu memperjuangkan dan mengangkat martabat kemanusiaan sebagai suatu bentuk actus humanus. Hukum progresif harus memiliki landasan nilai yang tidak terjebak ke dalam semangat legal formal semata, namun memihak kepada semangat kemanusiaan (spirit of humanity). Problem ilmu itu bebas nilai atau tidak, masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan.Namun mereka yang berpihak pada kubu bebas nilai (value-free) -- terutama kaum positivistik harus mengakui bahwa manusia tidak dapat diperlakukan seperti benda mati atau angka-angka yang bersifat exactly, measurable, clear and distinct. Manusia adalah mahluk berkesadaran yang memiliki nurani yang tidak sertamerta serba pasti, terukur, jelas dan terpilah. Manusia adalah mahluk dinamis yang selalu berproses dalam menemukan jati dirinya. Lantaran itu pula terma “kejahatan” (criminal) tidak ditemukan dalam ranah benda mati atau dunia satwa, melainkan dalam kehidupan manusia.
Ilmu selalu memiliki kepentingan, ujar Habermas. Ia menegaskan bahwa pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga kategori pengetahuan yang mungkin, yakni informasi yang memperluas kekuasaan kita atas kontrol teknik; informasi yang memungkinkan orientasi tindakan dalam tradisi umum; dan analisis yang membebaskan kesadaran kita dari ketergantungannya atas kekuasaan. Dengan demikian hanya ada tiga struktur kepentingan yang saling terkait dalam organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa, dan kekuasaan.[14] Hukum progresif pun tak sepenuhnya bebas nilai, bahkan sangat terkait dengan kepentingan pembebasan kesadaran kita dari ketergantungan atas kekuasaan (politik, hukum positif, dan lain-lain).
Nilai-nilai yang harus ditaati oleh ilmuwan (termasuk pakar hukum), tidak hanya peraturan perundang-undangan sebagai bentuk rule of the game dalam kehidupan berbangsa-bernegara, tetapi juga keberpihakan kepada kebenaran (truth), pengembangan profesionalitas yang menuntut pertanggungjawaban ilmiah, dan lain-lain.
D.    Makna Keadilan dalam Berhukum Progresif
Berhukum secara progresif juga dapat diartikan sebagai menguji batas kemampuan hukum. Kalau dikatakan, bahwa perjalanan hukum ini menciptakan keadilan dalam masyarakat, maka berhukum itu adalah upaya untuk mewujudkan keadilan. Berhukum dengan teks semata tidak otomatis menciptakan keadilan. Oleh karena itu orang membedakan keadilan menurut teks (Formal,Legal Justice) dan keadilan yang sebenarnya (substantial justice). Paul Scholten  mengatakan, bahwa keadilan itu memang ada di dalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan. Dengan demikian, berhukum itu tidak persis sama dengan menerapkan undang-undang, melaikan suatu usaha untuk memunculkan keadilan yang tersimpan di dalamnya. Itulah makna menguji batas kemampuan hukum.
Hukum progresif tidak pernah berhenti, melainkan terus mengalir, mewujudkan gagasannya yaitu hukum untuk manusia.[15]           
Maka hukum progresif menjadi kebutuhan yang mendesak karena alasan merujuk pada suatu pada fakta yang terjadi. Satu hal menarik adalah kasus di Indonesia “kasus BLBI, kasus Susno Duaji, kasus Gayus, disana ada tarik menarik kepentingan. Hukum yang dipolitisi, hukum yang di hitung dengan matematik keuangan (penyogokan terhadap hakim) dan parahnya adalah jual beli perkara sudah menjadi barang tak asing lagi. Adanya perang retorika seputar teks hukum (Undang-undang ) tanpa mencermati kebutuhan social yang mendesak. Dengan mencari penafsiran-penafsiran yang cocok sesuai dengan apa yang dinamakan keadilan bagi rakyat. Tidak sebagaimana yang di bela atas nama kebenaran dengan bersandar pada kepastian hukum semata.
Perkembangan tekhnologi sekarang ini semakin cepat, secepat gerak perlombaan dalam kepentingannya untuk memperoleh hak dan keinginannya. Khas manusia dewasa ini pada umumnya adalah menuntut hak (dengan berbagai macam segala bentuk hak dasar yang melekat pada manusia), hak hak ini nampaknya menjadi senjata pamungkas bertahan dari ego kapitalis mereka,[16] sehingga, kadang hak ini memiliki ciri lebih cenderung pada hak personal) dan seringkali Nampak mengabaikan kewajiban yang menjadi tolok ukur bentuk penghargan satu dengan yang lain. Ekses-eksen yang terjadi adalah hilangnya “ketertiban masyarakat”, dapat dilihat, adanya satu sama lain tidak saling menghargai hak, banyak kewajiban tidak terpenuhi, dan ini terjadi manakala kemajuan teknologi menjadikan aktifitas manusia bahkan masuk pada tataran system terbelenggu, dan ini bukan saja hanya pada semua bidang, termasuk pada bidang hukum, ini dikemas oleh satu asas “legal formal positivistik”yang semata-mata memenuhi kepastian dan prosedural.
Dalam perkembangannya, di Indonesia, salah satu Negara berkembang, dalam  penerapannya, yang diberlakukan sampai sekarang sebagai hukum baku, tentu ada kecendrungan kecendrungan system hukum yang menjadi kiblat sebagai panutannya. Secara umum, Ada dua kiblat system hokum yang berkembang didunia. 1) System hukum continental; dan  2) Sistem hukum Anglo Saxon. Dari dua system hokum ini, Indonesia, karena masih merujuk pada system perundang-undangan atas peninggalan penjajah. Maka Indonesia merujuk pada system hukum continental. Maka tentunya dapat dipahami secara jelas dalam latar belakang ini, yang dalam perkembangannya dengan berbagai persoalan-persoalan yang rumit seiring percepatan teknologi dan informasi dengan tidak diimbangi keampuhan, kehandalan hukum posivistik dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Maka dalam titik darurat, perlu dikaji ulang konsep hokum tersebut dengan berbagai sumber pendekatan, jika perlu dilakukan emergency change, reformasi, atau bahkan revolusi. Jika kita menilik ke Eropa sekarang ini, system hukum Legal Positivistik perlahan-lahan mulai ditinggalkan karena dianggap tidak ampuh menyelesaikan persoalan-persoalan sebagai akibat perubahan social yang pesat.
Barangkali kekecewaan, ketidakpuasan, kegamangan, dan ketidakpercayaan terhadap system hukum tersebut, oleh para pakar melahirkan kontribusi pemikiran yang efektif “ Judge Made Law”dalam mengatasi apa yang dinamakan sebagai “kebuntuan hukum”. Maka, di Indonesia sendiri, mulai banyak para peminat dari praktisi maupun akademisi hukum perlahan-lahan mengadopsi system hukum Anglo Saxon. Tentunya kemampuan dalam mengadopsi system hokum baru ini, tentunya harus diuji dahulu, banyak  bentuk dalam pengkajian, yang tentunya perlu keberanian dan analisa pengetahuan yang dalam dalam bidang hukum. Salah satu tawaran yang cerdas dari seorang pakar hokum yakni Prof. Dr. Satjipto Raharjo, ia memberikan salah satu pandangan bahwa hukum haruslah berlandaskan aspek sosiologis, yang populer dikalangan akademisi sebagai “hukum progresif”. Ini menjadi persoalan lain. Jika pandangan hukum legal-positivistik, sudah barang tentu perbuatan tersebut dikatakan menyimpang dan tidak lazim  karena tidak ada UU-nya.
Gagasan pandangan berhukum dengan hukum progresif yang pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Satjipto Rahardjo tahun 2002 lalu, awalnya tercetus dari kegundahan intelektual terhadap kontribusi yang rendah hukum modern dalam turut mencerahkan bangsa untuk keluar dari krisis serta hegemoninya yang legal-positivistik dalam berhukum semakin menunjukkan keterpurukan dan kegagalan dalam mengatasi berbagai kasus hukum.
Gagasan tersebut memang belum bisa dipandang sebagai teori yang final, namun dari sedemikian banyak tulisan dan kajian mengenai hukum progresif dapat ditarik beberapa pokok gagasan. Pertama, hukum adalah untuk manusia sehingga cara berhukum tersentral pada faktor dan peran manusia, seperti mengutamakan pemikiran yang mandiri, bertanggung jawab, empati, rasa-perasaan, dedikasi, kesungguhan, kejujuran dan keberanian. Sedangkan pada legal positivistik, manusia adalah untuk hukum sehingga cara berhukum tersentral pada UU. Jadi, apapun yang dipikirkan oleh pengemban hukum dan rakyat akan terpental karena yang dibaca adalah kata-katanya.
Kedua, membaca UU bukan sekedar membaca teks, tetapi juga makna sesuai konteks, sehingga UU sebagai alat untuk mewujudkan keadilan substantif tercapai; membebaskan dari kelaziman praktik yang kaku, keliru, dan terisolasi oleh UU yang menghambat pencapaian keadilan, sehingga menjadi fleksibel dan responsif terhadap perkembangan rasa keadilan itu sendiri.[17]
Itulah beberapa gagasan yang selanjutnya menjadi nilai lebih berhukum dengan hukum progresif. Singkatnya, sifat yang tidak terikat dan kaku dengan teks UU membuat dia terbuka dengan uji coba dan penemuan baru untuk menerobos kebuntuan hukum kalau memang hal itu dalam konteks mewujudkan keadilan substantif bagi rakyat.
Kemudian, apakah gagasan hukum progresif akan merusak sistem hukum yang telah ada? Jelas tidak dan kembali dipertegas, prioritas manusia dalam berhukum lebih ditampilkan, maka hukum progresif tidak bersikap submisif begitu saja terhadap UU yang ada, melainkan bersikap kritis. Sehingga setiap Penyidik dituntut menerobos kebuntuan hukum dengan melakukan “lompatan” lebih dari sekedar tugas dan kewenangan yang diberikan oleh teks aturan formal. Artinya, selama UU tersebut dapat memenuhi keadilan substantif bagi rakyat akan tetap dipergunakan, namun jika tidak, UU tersebut dikesampingkan.
E.     Kesimpulan
Kesimpulannya dalah keadilan masyarakat merupakan satu keadilan hukum tertinggi, diperjuangkan, dan menjadi satu pandangan hidup yang berkelanjutan dalam setiap hubungan hukum dan masyarakat. Bukan berarti kepastian hukum benjadi tidak penting. Dibutuhkan keseimbangan antara keduanya.
Satjipto Raharjo (Sang Begawan) merupakan penggagas hukum progresif ingin memperjuangkan hukum yang berkeadilan masyarakat, tanpa harus meninggalkan Undang-Undang (nilai yang tersurat dan tersirat) yang gagasannya tersebut sebagai tindak lanjut dari pemikiran hukum responsive (nonet dan zelnik). Harapan ini ditunggu-tunggu berbagai pihak bahwa hukum progresif menjadi sangat mendesak untuk diterapkan dalam system hukum yang ada di Indonesia. Karena melihat ketimpangan-ketimpangan yang ada, system hukum colonial (yang kiblatnya hukum anglosaxon) tidak sepenuhnya harus diterapkan sehingga pengembangan hukum yang berwawasan ke-Indonesiaan menjadi sangat penting melihat keberagaman masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Habermas, Jurgen. Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro, Beacon Press, Boston 1971

Hartanto, Sunaryati. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung, Bina Cipta, 1982

Holmes, The common Law, Boston: Litle Brown and Company, 1963

N.E, Algra. (et.al) Mula Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983

Raharjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir- Cacatan Kritis tentang  Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: penerbit Buku Kompas, 2007

_____________. “Hukum Progresif, Hukum Yang Membebaskan, dalam Jurnal Hukum Progresif,  Volume 1/No.1/April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP

Scholten, Paul. Algemeen deel sebagaimana dikutip dari www.http://hiburan.kompasiana.com/group/buku/2009/12/10/cerita-sampul-hukum-progresif-yang-mengalir/

Sidarta, Arief. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung, Mandar Maju,1999

Wignjosoebroto, Soetandyo. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1955





[1] Tema dan Pendekatan pengkajian hukum Progresif disusun sebagaimana sesuai dengan materi kuliah.
[2] Keadilan Distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang bagian atau jatah yang sesuai dengan jasanya. Asanya adalahkesebandingan.
[3] Keadilan Komulatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang bagian yang sama banyak tanpa memperhatikan jasanya. Yang menjadi asas dalam keadilan ini adalah persamaan.
[4] Keadilan Vindiktif adalah memberikan ganjaran atau hukuman yang sesuai dengan kesalahan yang dilakukan.
[5] Keadilan Protektif adalah memberikan perlindungan kepada setiap orang sehingga tidak setiap orang pun akan mendapatkan perlakuan sewenang-wenang.
[6] Arief Sidarta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (Bandung, Mandar Maju,1999), hlm. 115.
[7] Algra N.E, (et.al) Mula Hukum, Bina Cipta, 1983, hlm. 379-384.
[8] Sunaryati Hartanto, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Bandung, Bina Cipta, 1982),hlm. 10-30.
[9] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1955), hlm. 82.
[10] Paul Scholten, Algemeen deel  sebagaimana dikutip dari www.http://hiburan.kompasiana.com/group/buku/2009/12/10/cerita-sampul-hukum-progresif-yang-mengalir/
[11] Holmes, The common Law, Boston: Litle. Brown and Company, 1963, hlm. 67.
[12] Ibid, hlm. 129.
[13] Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif, Hukum Yang Membebaskan, dalam Jurnal Hukum Progresif,  Volume 1/No.1/April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP, hlm. 8
[14] Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro, (Boston: Beacon Press, 1971), hlm. 131
[15] Satjipto raharjo, Biarkan Hukum Mengalir- Cacatan Kritis tentang  Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: penerbit Buku Kompas, 2007, hlm. 98.
[16] Sebagaimana penjelasan  tentang “Hukum Progresif Satjipto Raharjo” dalam mata kuliah teori Hukum oleh Dr. Dadan Muttaqien, SH. M.Hum. Program Doktor Hukum Islam, Universitas Islam Indonesia.   
[17] Bagian Subtanasi dari Penjelasan “Kajian Hukum Progresif” yang disampaikan oleh Dr. Dadan Muttaqien,  M.Hum. dalam mata kuliah “teori Hukum” Program Doktor Hukum Islam, Universitas Islam Indonesia. 

Tidak ada komentar: