EKSISTENSI HUKUM
PROGRESIF DALAM MENGGAPAI KEADILAN MASYARAKAT
Oleh
: Ahmad Syafi’i Rahman
A.
Prolog
Het volks is reloos, degering is redeloos, het land is reddeloos. (rakyat kehilangan daya piker sehat,
pemerintah kehilangan akal, Negara kehilangan harapan). Perkataan orang belanda
tersebut pada abad 18 tersebut nampaknya masih relevan untuk diucap ulang pada
ere sekarang ini, yang memang persis rakyat kita sedang kehilangan akal sehat
dan harapan.
Untuk membuktikan asumsi di atas, tulisan ini berusaha mencari
kebenaran (truts research) sebuah pemikiran hukum yang berdasar pada
asumsi-asumsi, pola-pola, dan penerapannya dalam hukum (yang oleh pak Prof
Satjipto Raharjo dengan progresif law sebagai hukum yang sesungguhnya). Ia
menawarkan satu bentuk hukum baru, yakni hukum progresif, hukum yang lebih
melihat pada kebutuhan social, ketertiban social, dan kesejahteraan social.
hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Prof. Satjipto Raharjo – yang lebih
akrab dipanggil pak Tjip pent- Sang Begawan Hukum Progresif, dengan
pemikirannya, ia mampu meramu hukum dan meretaskannya ke dalam satu bentuk
system hukum yang tidak berdiri sendiri, memberikan hukum dengan nafas needs
of generale people, mengawinkan hukum yang lajang, kaku menjadi hukum yang
hidup berdampingan dan serasi dalam aspek kebutuhan manusia, keserasian hukum
dangan aspek ilmu-ilmu sosial, tentu diharapkan akan melahirkan embrio
perkembangan yang tiada henti, karena hukum itu akan selalu terus hidup dalam
masyarakat (law is life in people).
Oleh kerena itu, tatkala Pak Tjip meninggal Dunia, ada rasa sedih, karena
penulis baru mendapatkan satu tetes pemikiran pak Tjip secara langsung (tatap
muka) sebagai mahasiswanya, menimba wawasan hukum progresif, bak magnet ke takjuban
dari sebuah “lompakan pemikiran” yang ditunggu-tunggu banyak pihak sebagai
penawar baku pemikiran yang memiliki solusi universal terhadap
persoalan-persoalan hukum kompleks saat ini. Sehingga, walaupun ide –ide itu tidak
dengan tuntas pada akhir masa kuliahnya, penulis masih mampu menapak tulisannya
yang banyak berserakan diberbagai buku, jurnal dan majalah hukum. Penulis sebisa
mungkin menguak satu pemikiran seorang
tokoh besar dengan ide besar berdasarkan tulisa-tulisan yang ada, tentu yang
menjadi blue print dalam yang penulis harapkan dalam tulisan ini peneka
dua hal: 1) membuka tabir eksistensi hukum progresif (acuan kerangka dasar)
pemikiran pak Tjip. 2) apa hakikat keadilan itu?[1]
Yang kedua ini, penulis memaparkan keadilan masyarakat dalam kerangka tujuan
hukum progresif. Sebagai penutup, penulisan akan memaparkan satu konsep khas
pemikiran pak Tjip dalam pembentukan hukum progresif. Permasalahan disini yang
penulis angkat atau bahas cukup sederhana, apakah yang dinamakan “hukum” yang
“berkeadilan”? padahal ada dua hal, yang dalam perkembangannya antara keinginan
hukum yang diharapkan, yakni dibatasi antara kepastian hukum dan keadilan yang
ditegakkan. Apakah eksistensi hukum progresif mampu memberikan satu pandangan
solutif dan responsive terhadap kebutuhan hukum dalam masyarakat? Apakah
ketertiban dalam hukum lebih tinggi tingkatannya dari sekedar kepastian hukum
itu sendiri?
B.
Hukum yang Berkeadilan
Hukum senantiasa berkenaan dengan kehidupan manusia, sebab kaidah hukum
itu sendiri diciptakan melalui proses interaksi antar manusia didalam pergaulan
hidupnya. Tetapi segera setelah hukum itu terbentuk, ia mengatur dan
mengarahkan prilaku manusia dalam kehidupan kemasyarakatan ditempat ia berada.
Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa keseluruhan pemikiran dan pembicaraan
tentang hukum haruslah bermula dan bermuara kepada aspek kehidupan manusia yang terus tumbuh dan
berkembang dalam berbagai seginya. Oleh karenanya, keberadaan hukum akan
mengalami perubahan dan perkembangan budaya dan peradaban yang secara langsung
berkaitan erat dengan keseluruhan system sarana pelaksanaan hukum serta
mekanisme penegaknya.
Makna inti dari hukum itu sendiri tidak mengalami perubahan yang mendasar, kendati sekedar untuk
merumuskan pengertian hukum dalam sebuah definisi belum berhasil menelurkan
jawaban yang dapat diterima umum. Oleh karena itu, yang tampaknya lebih penting
untuk diungkap adalah yang berkaitan dnegan fungsi dan tujuan hukum. Kenyataan
ini sukar terindarkan mengingat adanya keragaman dalam sudut pandang. Sedangkan
keragaman sudut pandang itu sendiri
sangat dipengaruhi oleh adanya perbedaan pandangan hidup, situasi kondisi zaman,
dan cara berfikir yang dianut dalam lingkungan masung-masing.
Perbedaan-perbedaan itu acapkali tidak selalu bersifat prinsipil namun hanya
sebatas gradual.
Tujuan hukum tidaklah dapat dilepaskan dari tujuan akhir hidup
bernegara dan bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai
bernegara dan bermasyarakat itu sendiri, yakni keadilan, (rechtsvaardigheid atau
justice) dengan demikian, keberadaan hukum merupakan sarana untuk
mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup lahir batin dalam kehidupan
bersama.
Menurut Teori Pengayoman, implementasi dalam tatanan hukum nasional
harus bercirikan progresif terhadap
perkembangan dan aspiratif terhadap pengharapan masyarakat. Atau dengan kata lain,
hukum ditujukan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang manusiawi, sehingga
memungkinkan proses-proses kemasyarakatan berllangsung secara wajar dan patut.
Dengan demikian, secara adil setiap manusia memperoleh kesempatan luas untuk
mengembangkan seluruh potensi (lahiriah dan batiniah) kemanusiaannya secara
utuh. Adapun usaha untuk mewujudkan pengayoman ini akan mencakup:
1. ketertiban dan keteraturan yang memunculkan
prediktabilitas;
2. Kedamaian dan ketentraman’
3. Keadilan yang meliputi keadilan distributive[2],
keadilan komulatif,[3]
keadilan vindiktif,[4]
dan keadilan protelktif;[5]
4. Kesejahteraan dan keadilan social;
5. Pembinaan akhlak luhur berdasarkan ketuhanan
yang maha Esa.[6]
Jadi tepatlah kiranya kata adil dan keadilan disebut dua kali dalam
Pancasila dan lima kali dalam pembukaan UUD 45 yang merupakan staatsfundamenteelnorm,
sehingga memastikan bahwa keadilan adalah saripati dalam kehidupan manusia
Indonesia yang beradab.
Selanjutnya dengan tujuan hukum tersebut, maka hal penting dan mendasar
lainnya yang patut dicermati adalah berkenaan dengan fungsi hukum itu sendiri.
Beberapa sumber kepustakaan menampakkan adanya nuansa keragaman pendapat
tentang fungsi hukum. Kenyataannya demikian akan melahirkan gagasan-gagasan
yang saling melengkapi. N.E Algra (et.al) mengemukakan tiga fungsi hukum dalam
masyarakat (there are four primary function), yakni:
Pertama , hukum merupakan
suatu alat untuk membagikan hak dan kewajiban para anggota masyarakat. Kedua,
hukum merupakan pendistribusia wewenang untuk mengambil keputusan
mengenai soal public, soal umum (tidak hanya privat) . ketiga, hukum
ialah aturan yang menunjukkan suatu jalan bagi penyelesaian pertentangan atau
konflik yang dapat dipaksakan.[7]
Berkenaan dengan adanya fungsi hukum dalam konteks masyarakat,
diungkapkan oleh Sunaryati Hartono Sebagai: 1) pemeliharaan ketertiban dan
keamanan, 2) Sarana Pembangunan, 3) Sarana Penegakkan keadilan, 4) Sarana
pendidikan masyarakat.[8] Sedangkan Sahrah Basah mengupas funfsi hukum
dengan lebih tertuju kepada (di) Indonesia, sebagai berikut: 1) direktif,
sebagai pengarah dalam pembangunan untuk membentuk masyarakat yang hendak
dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara, 2) integratif, sebagai
pembinaan kesatuan bangsa, 3) Stabilitas, sebagai pemelihara (termasuk
didalamnya hasil-hasil pembangunan) dan menjaga keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 4) Perfektif, sebagai
penyempurna terhadap tindakan administrasi , maupun sikap tindak warga Negara
dan bermasyarakat, 5) Korektif, baik terhadap warga Negara maupun
administrasi Negara.
Dikatakan lebih lanjut bahwa melihat hkum secara fungsional pada
akhirnya hukum dimengeri sebagai kumpullan nilai-nilai kehidupan, yang
mengandung kadar kesadaran hukum masyarakat dan pengayom dalam kehidupan
bermasyarakat.
Setelah dilakukan pengujian dan pengkajian terhadap tujuan dan fungsi
hukum seperti penulis sebutkan di atas mejadi jelas bahwa suatu yang mustahil
apabila hidup tanpa keadilan hukum. Melalui dan dengan keadilan hukum, maka
individu atau masyarakat dapat menjalani hidup dan kehidupan secara layak dan
bermartabat. Dengan demikian dalam setiap masyarakat senantiasa diperlukan keberadaan
keadilan hukum/keadilan subtantif bagaimanapun sederhananya.[9]
Masalah hukum yang ada di
Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk mengembalikan keadilan hukum sebagai
norma tertinggi baik bagi warga negara maupun negara. Memuliakan keadilan hukum
yang berkeadilan dimaknai sebagai sikap dasar insan Indonesia untuk mengakui,
menghormati, dan menempatkan hukum yang berintikan keadilan masyarakat di atas
kepentingan pribadi, politik, dan lain-lain. Memuliakan keadilan hukum dalam
kehidupan masyarakat berarti bahwa dalam membentuk hukum harus dilakukan
melalui proses yang aspiratif, akomodatif, partisipatif, dan kolaboratif
sebagai salah satu sikap mengedepankan kepentingan rakyat di atas
segala-galanya.
C.
Eksistensi Hukum Progresif Dalam Menggapai Keadilan Masyarakat
1.
Batas Pengertian Hukum
Progresif dan Ruang Lingkupnya Terhadap Hukum lain.
Hukum progresif adalah
sebuah konsep mengenai cara berhukum. Cara berhukum tidak hanya satu; melainkan
bermacam-macam, sehingga hukum progresif memiliki tempatnya sendiri.
Untuk membuat deskripsi
yang jelas mengenai hukum progresif, maka ia dapat dihadapkan dengan kepada
cara berhukum yang positif legalistis. Dengan cara berhukum yang terakhir, maka
hukumnya adalah penerapan undang-undang. Cara berhukum semacam ini adalah
semata-mata berdasarkan undang-undang atau “mengeja undang-undang”. dengan
berbagai macam aspek persoalannya, pasti akan merujuk kepada undang-undang.
Disini orang tidak berfikir jauh bagaimana orang tidak membaca teks dan
penerapannya. Cara berhukum semacam ini adalah ibarat seperti menarik garis
lurus antara dua titik. Titik yang satu adalah pasal undang-undang dan titik
yang lain adalah fakta yeng terjadi. Segalanya berjalan linier, sehingga
cara berhukum sudah seperti mesin
otomatis. Paul Scholten menyebutnya sebagai “hanteren van logische figuren”[10]Holmes
mengatakannya sebagai “a book of mathematics” (Holmes, 1963).[11]
Dihadapkan pada cara berhukum tersebut, maka hukum progresif bekerja dengan
sangat berbeda. Ia tidak berhenti dengan membaca teks dan menerapkannya seperti
mesin, melainkan suatu aksi atau usaha (effort). Cara berhukum memang
mulai dari teks, tetapi tidak berhenti sampai disitu, melainkan pengolahannya
lebih lanjut, yang disebut aksi atau usaha manusia itu. Dengan demikian, maka
cara berhukum secara progresif itu lebih menguras tenaga, baik itu pikiran, empati
dan keberanian.
Cara berhukum yang
demikian itu adalah non linier, oleh karena adanya faktor aksi dan usaha
manusia yang terlibat di dalamnya. Masuknya faktor atau keterlibata manusia itu
menyebabkan bahwa berhukum itu tidak mengeja teks. Melainkan penuh dengan
kreativitas dan pilihan pilihan. Scholten mengatakan, bahwa dalam pembuatan
putusan-putusan hukum selalu terjadi suatu lompatan (enn sprong) dan
oleh karena itu bersifat non linier. Dengan demikian itu maka hukum bukan hanya
merupakan proses logis semata.
Homes merumuskan dengan
kata-kata “ the life of the law has not been logic: it has been experience”.[12]
Pengalaman tersebut memberi isi kepada teks hukum. Hakim misalnya akan
memutus berdasarkan keadaan (the felt necessities of the time), kendatipun
bertolak pada hukum.
Keterlibatan manusia
secara aktif juga melibatkan empati, nilai nilai, keberanian dan lain-lain.
Dengan demikian bukan berarti mengotak atik undang-undang dan berlogika (logos),
melainkan dengan wholeness atau seluruh potensi yang berada pada manusia.
2.
Landasan
Filosofis Hukum Progresif
Hukum progresif memang
masih berupa wacana, namun kehadirannya terasa sangat dibutuhkan oleh
masyarakat Indonesia yang sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum
yang berlaku sekarang ini. Hukum progresif belum lagi menampakkan dirinya
sebagai sebuah teori yang sudah mapan. Menurut pemikiran Imre Lakatos (Chalmers,
1983: 85), apa yang kita pikirkan sebagai “teori” merupakan kumpulan yang
sesungguhnya rapuh, berbeda dengan teori yang dihimpun dari beberapa gagasan
umum atau yang biasa dinamakan Lakatos dengan inti pokok program (hard core).
Lakatos menamakan kumpulan ini dengan istilah program
riset (Research Programs). Para ilmuwan yang terlibat dalam program ini
akan melindungi inti teori dari usaha falsifikasi di belakang suatu sabuk
pelindung ( a protective belt) dari hipotesis pelengkap (auxiliary
hypotheses). Demikian pula halnya dengan hukum progresif, harus ada inti
pokok program (hard core) yang perlu dijaga dan dilindungi dari
kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul ketika hukum progresif itu akan
diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, manakala
hukum progresif dikembangkan dari wacana (discourse) menjadi sebuah
teori, maka haruslah dilengkapi dengan hipotesis pelengkap (auxiliary
hypotheses). Hal inilah yang nampaknya belum dimiliki hukum progresif,
sehingga pencetus ide (Satipto Rahardjo) harus dapat mengembangkan program
riset ilmiah tentang hukum progresif secara serius, tidak hanya berhenti pada
tataran wacana. Inti pokok program yang perlu dipertahankan dalam hukum
progresif adalah hukum
adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Adagium bahwa hukum adalah untuk manusia perlu
dipertahankan dari berbagai bentuk falsifiable agar kedudukan hukum
sebagai alat (tool) untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai tujuan yang
sudah final. Apa yang dimaksud dengan falsifiable disini meminjam
istilah Popper, yaitu sebuah hipotesis atau teori hanya diterima sebagai
kebenaran sementara sejauh belum ditemukan kesalahannya. Semakin sulit
ditemukan kesalahannya, maka hipotesis atau teori itu justeru mengalami
pengukuhan (corroboration).
Setiap teori ilmiah,
baik yang sudah mapan maupun yang masih dalam proses kematangan, memiliki
landasan filosofis. Ada tiga landasan filosofis pengembangan ilmu, termasuk
hukum, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan ontologis ilmu
hukum artinya hakikat kehadiran ilmu hukum itu dalam dunia ilmiah. Artinya apa
yang menjadi realitas hukum, sehingga kehadirannya benar-benar merupakan
sesuatu yang substansial. Landasan epistemologis ilmu hukum artinya cara-cara
yang dilakukan di dalam ilmu hukum, sehingga kebenarannya bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Landasan aksiologis ilmu hukum artinya
manfaat dan kegunaan apa saja yang terdapat dalam hukum itu, sehingga
kehadirannya benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Landasan ontologis
hukum progresif lebih terkait dengan persoalan realitas hukum yang terjadi di
Indonesia. Masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap peraturan hukum
yang berlaku. Hukum yang ada dianggap sudah tidak mampu mengatasi kejahatan
kerah putih (white colar crime) seperti korupsi, sehingga masyarakat
mengimpikan teori hukum yang lebih adekuat. Ketika kehausan masyarakat akan
kehadiran hukum yang lebih baik itu sudah berakumulasi, maka gagasan tentang
hukum progresif ibarat gayung bersambut. Persoalannya adalah substansi hukum
progresif itu sendiri seperti apa, belum ada hasil pemikiran yang terprogram
secara ilmiah.
Landasan epistemologis
hukum progresif lebih terkait dengan dimensi metodologis yang harus
dikembangkan untuk menguak kebenaran ilmiah. Selama ini metode “kasuistik” dalam
istilah logika lebih dekat dengan pengertian induktif-lebih mendominasi bidang
hukum. Kasus pelanggaran hukum tertentu yang dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku – dicari dalam pasal-pasal hukum yang tertulis,
menjadikan dimensi metodologis belum berkembang secara optimal. Interpretasi
atas peraturan perundang-undangan yang berlaku didominasi oleh pakar hukum yang
kebanyakan praktisi yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya untuk membela
kliennya. Tentu saja hal ini mengandung validitas tersendiri, namun diperlukan
terobosan metodologis yang lebih canggih untuk menemukan inovasi terhadap
sistem hukum yang berlaku. Misalnya interpretasi terhadap peraturan
perundang-undangan yang tidak semata-mata bersifat tekstual, melainkan juga
kontekstual. Hukum tidak dipandang sebagai kumpulan huruf atau kalimat yang
dianggap mantera sakti yang hanya boleh dipahami secara harafiah. Metode
hermeneutika boleh dikembangkan oleh para pakar hukum untuk membuka wawasan tentang
berbagai situasi yang melingkupi kasus hukum yang sedang berkembang dan
disoroti masyarakat. Misalnya kasus korupsi yang terjadi di kalangan birokrat,
bukan semata-mata dipahami sebagai bentuk kecilnya gaji yang mereka terima,
sehingga sikap permisif atas kejahatan korupsi yang dilakukan acapkali terjadi.
Pemahaman atas sikap amanah atas jabatan yang mereka emban jauh lebih penting
untuk menuntut rasa tanggung jawab (sense of responsibility) mereka.
Hukum harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengemban amanah. Dengan
demikian landasan epistemologis hukum progresif bergerak pada upaya penemuan
langkah metodologis yang tepat, agar hukum progresif dapat menjadi dasar
kebenaran bagi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apa yang dimaksud dengan metodologis disini ialah
kajian perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh (prosedur ilmiah), supaya
pengetahuan yang diperoleh benar-benar memenuhi ciri ilmiah. Metodologi merupakan bidang yang ditempuh untuk memperoleh
pengetahuan dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran ilmu.
Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika sebagai paduan sistematis
dari berbagai proses kognitif yang meliputi: klasifikasi, konseptualisasi,
kesimpulan, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, dan
lain-lain. (1984:48). Hukum progresif baru dapat dikatakan ilmiah
manakala prosedur ilmiah berupa langkah-langkah metodis di atas sudah jelas.
Landasan aksiologis
hukum progresif terkait dengan problem nilai yang terkandung di dalamnya.
Aksiologi atau Teori Nilai menurut Runes adalah hasrat, keinginan, kebaikan,
penyelidikan atas kodratnya, kriterianya, dan status metafisiknya. Hasrat,
keinginan, dan kebaikan dari hukum progresif perlu ditentukan kriteria dan
status metafisiknya agar diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang
nilai yang terkandung di dalamnya. Kriteria nilai terkait dengan standar
pengujian nilai yang dipengaruhi aspek psikologis dan logis. Hal ini sangat
tergantung pada aliran filsafat yang dianut, kaum hedonist misalnya menemukan
standar nilai dalam kuantitas kesenangan. Kaum idealis lebih mengakui sistem
objektif norma rasional sebagai kriteria. Sedangkan kaum naturalis menemukan
ketahanan biologis sebagai tolok ukur. Hukum progresif seharusnya lebih memihak
pada cara pandang kaum idealis yang mengakui sistem objektif norma rasional,
karena persoalan yang dihadapi hukum progresif harus dipandang secara
objektif-rasionalistik.[13]
Pentingnya memahami
landasan nilai dalam sebuah teori atau gerakan ilmiah adalah untuk mengetahui
secara pasti orientasi atau kiblat dari teori atau aliran tersebut. Persoalan
yang pokok dalam aksiologi ilmu adalah: Apa tujuan pengembangan ilmu? Apakah
ilmu bebas nilai ataukah tidak? Nilai-nilai apa yang harus ditaati oleh
ilmuwan? Tujuan ilmu yang hakiki adalah untuk kemaslahatan atau kepentingan
manusia, bukan ilmu untuk ilmu (science to science). Ilmu yang
dikembangkan untuk kepentingan manusia senantiasa akan memihak pada masyarakat,
bukan pada dokumen atau lembaran ilmiah semata. Ketika kepentingan manusia
terkalahkan oleh dokumen ilmiah, maka di sanalah dibutuhkan landasan nilai (basic
of value) yang mampu memperjuangkan dan mengangkat martabat kemanusiaan
sebagai suatu bentuk actus humanus. Hukum progresif harus memiliki
landasan nilai yang tidak terjebak ke dalam semangat legal formal semata, namun
memihak kepada semangat kemanusiaan (spirit of humanity). Problem ilmu
itu bebas nilai atau tidak, masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan.Namun
mereka yang berpihak pada kubu bebas nilai (value-free) -- terutama kaum
positivistik harus mengakui bahwa manusia tidak dapat diperlakukan seperti
benda mati atau angka-angka yang bersifat exactly, measurable, clear and
distinct. Manusia adalah mahluk berkesadaran yang memiliki nurani yang
tidak sertamerta serba pasti, terukur, jelas dan terpilah. Manusia adalah
mahluk dinamis yang selalu berproses dalam menemukan jati dirinya. Lantaran itu
pula terma “kejahatan” (criminal) tidak ditemukan dalam ranah benda mati
atau dunia satwa, melainkan dalam kehidupan manusia.
Ilmu selalu memiliki
kepentingan, ujar Habermas. Ia menegaskan bahwa
pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga kategori pengetahuan yang mungkin,
yakni informasi yang memperluas kekuasaan kita atas kontrol teknik; informasi
yang memungkinkan orientasi tindakan dalam tradisi umum; dan analisis yang
membebaskan kesadaran kita dari ketergantungannya atas kekuasaan. Dengan
demikian hanya ada tiga struktur kepentingan yang saling terkait dalam organisasi
sosial, yaitu kerja, bahasa, dan kekuasaan.[14]
Hukum progresif pun tak sepenuhnya bebas nilai, bahkan sangat terkait
dengan kepentingan pembebasan kesadaran kita dari ketergantungan atas kekuasaan
(politik, hukum positif, dan lain-lain).
Nilai-nilai yang harus
ditaati oleh ilmuwan (termasuk pakar hukum), tidak hanya peraturan
perundang-undangan sebagai bentuk rule of the game dalam kehidupan
berbangsa-bernegara, tetapi juga keberpihakan kepada kebenaran (truth),
pengembangan profesionalitas yang menuntut pertanggungjawaban ilmiah, dan
lain-lain.
D.
Makna Keadilan dalam Berhukum
Progresif
Berhukum secara
progresif juga dapat diartikan sebagai menguji batas kemampuan hukum. Kalau
dikatakan, bahwa perjalanan hukum ini menciptakan keadilan dalam masyarakat,
maka berhukum itu adalah upaya untuk mewujudkan keadilan. Berhukum dengan teks
semata tidak otomatis menciptakan keadilan. Oleh karena itu orang membedakan
keadilan menurut teks (Formal,Legal Justice) dan keadilan yang
sebenarnya (substantial justice). Paul Scholten mengatakan, bahwa keadilan itu memang ada di
dalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan. Dengan demikian, berhukum
itu tidak persis sama dengan menerapkan undang-undang, melaikan suatu usaha
untuk memunculkan keadilan yang tersimpan di dalamnya. Itulah makna menguji
batas kemampuan hukum.
Hukum progresif tidak
pernah berhenti, melainkan terus mengalir, mewujudkan gagasannya yaitu hukum
untuk manusia.[15]
Maka hukum progresif
menjadi kebutuhan yang mendesak karena alasan merujuk pada suatu pada fakta
yang terjadi. Satu hal menarik adalah kasus di Indonesia “kasus BLBI, kasus
Susno Duaji, kasus Gayus, disana ada tarik menarik kepentingan. Hukum yang
dipolitisi, hukum yang di hitung dengan matematik keuangan (penyogokan terhadap
hakim) dan parahnya adalah jual beli perkara sudah menjadi barang tak asing
lagi. Adanya perang retorika seputar teks hukum (Undang-undang ) tanpa
mencermati kebutuhan social yang mendesak. Dengan mencari penafsiran-penafsiran
yang cocok sesuai dengan apa yang dinamakan keadilan bagi rakyat. Tidak
sebagaimana yang di bela atas nama kebenaran dengan bersandar pada kepastian
hukum semata.
Perkembangan tekhnologi sekarang ini semakin cepat, secepat gerak
perlombaan dalam kepentingannya untuk memperoleh hak dan keinginannya. Khas
manusia dewasa ini pada umumnya adalah menuntut hak (dengan berbagai macam
segala bentuk hak dasar yang melekat pada manusia), hak hak ini nampaknya
menjadi senjata pamungkas bertahan dari ego kapitalis mereka,[16]
sehingga, kadang hak ini memiliki ciri lebih cenderung pada hak personal) dan
seringkali Nampak mengabaikan kewajiban yang menjadi tolok ukur bentuk
penghargan satu dengan yang lain. Ekses-eksen yang terjadi adalah hilangnya
“ketertiban masyarakat”, dapat dilihat, adanya satu sama lain tidak saling
menghargai hak, banyak kewajiban tidak terpenuhi, dan ini terjadi manakala
kemajuan teknologi menjadikan aktifitas manusia bahkan masuk pada tataran
system terbelenggu, dan ini bukan saja hanya pada semua bidang, termasuk pada
bidang hukum, ini dikemas oleh satu asas “legal formal positivistik”yang
semata-mata memenuhi kepastian dan prosedural.
Dalam perkembangannya, di Indonesia, salah satu Negara berkembang,
dalam penerapannya, yang diberlakukan
sampai sekarang sebagai hukum baku, tentu ada kecendrungan kecendrungan system
hukum yang menjadi kiblat sebagai panutannya. Secara umum, Ada dua kiblat
system hokum yang berkembang didunia. 1) System hukum continental; dan 2) Sistem hukum Anglo Saxon. Dari dua system
hokum ini, Indonesia, karena masih merujuk pada system perundang-undangan atas
peninggalan penjajah. Maka Indonesia merujuk pada system hukum continental.
Maka tentunya dapat dipahami secara jelas dalam latar belakang ini, yang dalam
perkembangannya dengan berbagai persoalan-persoalan yang rumit seiring
percepatan teknologi dan informasi dengan tidak diimbangi keampuhan, kehandalan
hukum posivistik dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Maka dalam titik
darurat, perlu dikaji ulang konsep hokum tersebut dengan berbagai sumber
pendekatan, jika perlu dilakukan emergency change, reformasi, atau
bahkan revolusi. Jika kita menilik ke Eropa sekarang ini, system hukum Legal
Positivistik perlahan-lahan mulai ditinggalkan karena dianggap tidak
ampuh menyelesaikan persoalan-persoalan sebagai akibat perubahan social yang
pesat.
Barangkali kekecewaan, ketidakpuasan, kegamangan, dan ketidakpercayaan
terhadap system hukum tersebut, oleh para pakar melahirkan kontribusi pemikiran
yang efektif “ Judge Made Law”dalam mengatasi apa yang dinamakan sebagai
“kebuntuan hukum”. Maka, di Indonesia sendiri, mulai banyak para peminat dari
praktisi maupun akademisi hukum perlahan-lahan mengadopsi system hukum Anglo
Saxon. Tentunya kemampuan dalam mengadopsi system hokum baru ini, tentunya
harus diuji dahulu, banyak bentuk dalam
pengkajian, yang tentunya perlu keberanian dan analisa pengetahuan yang dalam
dalam bidang hukum. Salah satu tawaran yang cerdas dari seorang pakar hokum
yakni Prof. Dr. Satjipto Raharjo, ia memberikan salah satu pandangan bahwa
hukum haruslah berlandaskan aspek sosiologis, yang populer dikalangan akademisi
sebagai “hukum progresif”. Ini menjadi persoalan lain. Jika
pandangan hukum legal-positivistik, sudah barang tentu perbuatan tersebut
dikatakan menyimpang dan tidak lazim karena tidak ada UU-nya.
Gagasan pandangan
berhukum dengan hukum progresif yang pertama kali diperkenalkan oleh Profesor
Satjipto Rahardjo tahun 2002 lalu, awalnya tercetus dari kegundahan intelektual
terhadap kontribusi yang rendah hukum modern dalam turut mencerahkan bangsa
untuk keluar dari krisis serta hegemoninya yang legal-positivistik dalam
berhukum semakin menunjukkan keterpurukan dan kegagalan dalam mengatasi
berbagai kasus hukum.
Gagasan tersebut memang
belum bisa dipandang sebagai teori yang final, namun dari sedemikian banyak
tulisan dan kajian mengenai hukum progresif dapat ditarik beberapa pokok
gagasan. Pertama, hukum adalah untuk manusia sehingga cara berhukum
tersentral pada faktor dan peran manusia, seperti mengutamakan pemikiran yang
mandiri, bertanggung jawab, empati, rasa-perasaan, dedikasi, kesungguhan,
kejujuran dan keberanian. Sedangkan pada legal positivistik, manusia adalah
untuk hukum sehingga cara berhukum tersentral pada UU. Jadi, apapun yang
dipikirkan oleh pengemban hukum dan rakyat akan terpental karena yang dibaca adalah
kata-katanya.
Kedua,
membaca UU bukan sekedar membaca teks, tetapi juga makna sesuai konteks,
sehingga UU sebagai alat untuk mewujudkan keadilan substantif tercapai;
membebaskan dari kelaziman praktik yang kaku, keliru, dan terisolasi oleh UU
yang menghambat pencapaian keadilan, sehingga menjadi fleksibel dan responsif
terhadap perkembangan rasa keadilan itu sendiri.[17]
Itulah beberapa gagasan
yang selanjutnya menjadi nilai lebih berhukum dengan hukum progresif.
Singkatnya, sifat yang tidak terikat dan kaku dengan teks UU membuat dia
terbuka dengan uji coba dan penemuan baru untuk menerobos kebuntuan hukum kalau
memang hal itu dalam konteks mewujudkan keadilan substantif bagi rakyat.
Kemudian, apakah gagasan
hukum progresif akan merusak sistem hukum yang telah ada? Jelas tidak dan
kembali dipertegas, prioritas manusia dalam berhukum lebih ditampilkan, maka
hukum progresif tidak bersikap submisif begitu saja terhadap UU yang ada,
melainkan bersikap kritis. Sehingga setiap Penyidik dituntut menerobos
kebuntuan hukum dengan melakukan “lompatan” lebih dari sekedar tugas dan
kewenangan yang diberikan oleh teks aturan formal. Artinya, selama UU tersebut
dapat memenuhi keadilan substantif bagi rakyat akan tetap dipergunakan, namun
jika tidak, UU tersebut dikesampingkan.
E.
Kesimpulan
Kesimpulannya dalah keadilan masyarakat merupakan satu keadilan hukum
tertinggi, diperjuangkan, dan menjadi satu pandangan hidup yang berkelanjutan
dalam setiap hubungan hukum dan masyarakat. Bukan berarti kepastian hukum
benjadi tidak penting. Dibutuhkan keseimbangan antara keduanya.
Satjipto Raharjo (Sang Begawan) merupakan penggagas hukum progresif
ingin memperjuangkan hukum yang berkeadilan masyarakat, tanpa harus
meninggalkan Undang-Undang (nilai yang tersurat dan tersirat) yang gagasannya
tersebut sebagai tindak lanjut dari pemikiran hukum responsive (nonet dan
zelnik). Harapan ini ditunggu-tunggu berbagai pihak bahwa hukum progresif
menjadi sangat mendesak untuk diterapkan dalam system hukum yang ada di
Indonesia. Karena melihat ketimpangan-ketimpangan yang ada, system hukum
colonial (yang kiblatnya hukum anglosaxon) tidak sepenuhnya harus diterapkan
sehingga pengembangan hukum yang berwawasan ke-Indonesiaan menjadi sangat
penting melihat keberagaman masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Habermas, Jurgen. Knowledge
and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro, Beacon Press, Boston
1971
Hartanto, Sunaryati. Hukum Ekonomi
Pembangunan Indonesia, Bandung, Bina Cipta, 1982
Holmes, The common Law, Boston: Litle
Brown and Company, 1963
N.E, Algra. (et.al) Mula Hukum, Bandung: Bina
Cipta, 1983
Raharjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir-
Cacatan Kritis tentang Kritis tentang
Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: penerbit Buku Kompas, 2007
_____________. “Hukum
Progresif, Hukum Yang Membebaskan, dalam Jurnal Hukum Progresif, Volume 1/No.1/April 2005, PDIH Ilmu Hukum
UNDIP
Scholten, Paul. Algemeen deel sebagaimana
dikutip dari www.http://hiburan.kompasiana.com/group/buku/2009/12/10/cerita-sampul-hukum-progresif-yang-mengalir/
Sidarta, Arief. Refleksi Tentang Struktur
Ilmu Hukum. Bandung, Mandar Maju,1999
Wignjosoebroto, Soetandyo. Dari Hukum
Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1955
[1] Tema dan Pendekatan pengkajian hukum
Progresif disusun sebagaimana sesuai dengan materi kuliah.
[2] Keadilan Distributif adalah keadilan
yang memberikan kepada setiap orang bagian atau jatah yang sesuai dengan
jasanya. Asanya adalahkesebandingan.
[3] Keadilan Komulatif adalah keadilan yang
memberikan kepada setiap orang bagian yang sama banyak tanpa memperhatikan
jasanya. Yang menjadi asas dalam keadilan ini adalah persamaan.
[4] Keadilan Vindiktif adalah memberikan
ganjaran atau hukuman yang sesuai dengan kesalahan yang dilakukan.
[5] Keadilan Protektif adalah memberikan
perlindungan kepada setiap orang sehingga tidak setiap orang pun akan
mendapatkan perlakuan sewenang-wenang.
[6] Arief Sidarta, Refleksi Tentang
Struktur Ilmu Hukum (Bandung, Mandar Maju,1999), hlm. 115.
[7] Algra N.E, (et.al) Mula Hukum, Bina
Cipta, 1983, hlm. 379-384.
[8] Sunaryati Hartanto, Hukum Ekonomi
Pembangunan Indonesia, (Bandung, Bina Cipta, 1982),hlm. 10-30.
[9] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum
Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1955), hlm. 82.
[10] Paul Scholten, Algemeen deel sebagaimana dikutip dari www.http://hiburan.kompasiana.com/group/buku/2009/12/10/cerita-sampul-hukum-progresif-yang-mengalir/
[11] Holmes, The common Law, Boston:
Litle. Brown and Company, 1963, hlm. 67.
[12] Ibid, hlm. 129.
[13] Satjipto
Rahardjo, “Hukum Progresif, Hukum Yang Membebaskan, dalam Jurnal
Hukum Progresif, Volume 1/No.1/April
2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP, hlm. 8
[14] Jurgen
Habermas, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J.
Shapiro, (Boston: Beacon Press, 1971), hlm. 131
[15] Satjipto raharjo, Biarkan Hukum
Mengalir- Cacatan Kritis tentang Kritis
tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: penerbit Buku Kompas, 2007, hlm.
98.
[16] Sebagaimana penjelasan tentang “Hukum Progresif Satjipto Raharjo”
dalam mata kuliah teori Hukum oleh Dr. Dadan Muttaqien, SH. M.Hum. Program
Doktor Hukum Islam, Universitas Islam Indonesia.
[17] Bagian Subtanasi dari Penjelasan “Kajian
Hukum Progresif” yang disampaikan oleh Dr. Dadan Muttaqien, M.Hum. dalam mata kuliah “teori Hukum”
Program Doktor Hukum Islam, Universitas Islam Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar