Fiqh Kesetaraan Gender
di Indonesia
Pendahuluan
Gagasan awal otonomi daerah (Otoda) adalah membangun demokrasi dengan
ciri utama pastisipasi seluruh masyaraklat, termasuk di dalamnya perempuan
untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat yang selama ini terabaikan. Otoda
merupakan suatu kebijan yang memberikan kewenangan kepada daerah dalam
batas-batas tertentu agar leluasa mengatur wilayahnya menjadi lebih mandiri dan
lebih berkembang sehingga masyarakatnya menjadi lebih sejahtera.[1]
Namun, setelah tujuh tahun pelaksanaan Otoda, yang terjadi alih-alih
mensejahterakan, malahan membuat masyarakat, khususnya kaum perempuan,
terpimggirkan dan jauh dari ukuran sejahtera. Sejak Otoda digulirkan sampai
akhir 2006 tercatat 56 produk kebijakan peraturan daerah dalam berbagai bentuk:
Peraturan Daerah (Perda), qanun, surat edaran, dan keputusan kepala daerah.
Produk kebijakan daerah tersebut secara tegas berorientasi pada ajaran moral
Islam sehingga pantas dinamakan Perda Syari’at Islam.[2]
Sebagian perda tersebut secara stuktural dan spesifik mengatur kaum
perempuan. Sayangnya, pengaturan terhadap perempuan bukan dalam rangka
perlindungan dan pemberdayaan, melainkan lebih dimaksudkan sebagai pengucilan
dan pembatasan. Perda-Perda tersebut meneguhkan subordinasi perempuan;
membatasi hak kebebasan perempuan; membatasi ruang gerak dan mobilitas
perempuan; serta membatasi waktu beraktivitas perempuan pada malam hari. Secara
eksplisit perda-perda itu mengekang hak dan kebebasan asasi manusia perempuan;
menempatkan perempuan hanya sebagai obyek hukum dan bahkan lebih rendah lagi
sebagai obyek seksual. Perda-perda yang mengandung pembatasan terhadap
kedaulatan perempuan dan juga berpotensi melahirkan prilaku kekerasan terhadap
perempuan[3] harus digugat dan
direvisi karena menyalahi prinsip-prinsip dasar negara Indonesia, yakni
Pancasila dan UUD 1945.[4]
Selain itu, produk kebijakan tersebut jelas mengingkari nilai-nilai
hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 7 tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU
Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi
Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik. Bahkan, lebih parah
lagi Perda-perda tersebut menyimpang dari esensi ajaran Islam yang menempatkan
manusia, perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai makhluk terhormat dan
bermartabat, serta memiliki hak dan kebebasan dasar yang harus dihormati.
Pembatasan dan pengekangan terhadap perempuan berarti menegasikan keutuhan
kemanusiaan perempuan dan Tuhan pasti tersinggung melihat perempuan, makhluk
ciptaan-Nya dimarjinalkan.[5]
Salah
Kaprah Memahami Otonomi Daerah
Mengapa harus memilih Otoda? Otoda dipilih karena merupakan salah satu
media yang meyakinkan untuk membangun demokrasi. Sampai sekarang, demokrasi
masih dinilai sebagai suatu sistem pemerintahan terbaik karena sistem tersebut
paling mampu merefleksikan sifat-sifat good governance (Taylor: 1999).
Konsep Otoda pada hakekatnya merupakan bagian dari proses demokratisasi yang
mengutamakan tranparansi dan partisipasi aktif dari seluruh warga masyarakat.
Tentu saja yang dimasud dengan masyarakat di sini selalu terdiri dari laki-laki
dan perempuan. Otoda yang terwujud melalui UU no 32 Tahun 2004 adalah
konsekuensi logis dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi.[6]
Otoda harus dipahami sebagai sebuah proses membuka ruang bagi lahirnya
kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan
yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara
suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban
publik. Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan. Dalam
perumusan setiap kebijakan publik harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan
itu, siapa yang diuntungkan, apa resiko yang harus ditanggung, dan siapa yang
harus bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal.[7]
Otoda berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai
dengan kebutuhan lokal di daerah, membangun sistem dan pola karir politik dan
administrasi yang kompetitif, serta mengmbangkan sistem manajemen pemerintahan yang
efektif. Otoda akan berhasil manakala terpenuhi minimal dua syarat. Pertama,
implementasi Otoda sungguh-sungguh diikuti dengan pembenahan borikrasi
pemerintah sehingga mendekatkan pelayanan pemerinah terhadap rakyat. Kedua,
apabila Otoda dapat mewujudkan desentralisasi pengelolaan keuangan yang dioreintasikan
sepenuhnya kepada kebutuhan masyarakat di daerah.[8]
Akan tetapi, yang terwujud bukanlah otonomi masyarakat daerah secara
keseluruhan, melainkan otonomi dari aspek pemerintah daerah saja. Artinya,
pemerintah daerah berusaha semaksimal mungkin mengambil alih semua kewenangan
pemerintah pusat dengan membuat berbagai kebijakan yang pada dasarnya sama
dengan watak kebijakan pemerintah pusat yang sentralistik, otoriter, dan tidak
melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Akibatnya, seperti yang tampak
sekarang dua elemen penting dalam proses Otoda, yaitu transparansi dan
partisipasi warga tidak muncul sama sekali. Hasil yang terwujud kemudian adalah
pemerintah daerah yang otoriter, tidak transparan, dan tidak demokratis.[9]
Ketidaksiapan
Berdemokrasi
Berbicara tentang demokrasi dalam konteks masyarakat Indonesia yang
mayoritas beragama Islam, maka faktor kultur politik merupakan elemen yang
sangat signipikan. Pertanyaan yang muncul, apakah kultur politik Islam kondusif
bagi penegakan sistem demokrasi. Ternyata ada dua varian jawaban: pertama,
memandang kultur politik Islam merupakan kendala besar bagi upaya penegakan
demokrasi. Kedua, melihat kultur politik Islam bukan hambatan yang
signifikan bagi penegakan demokrasi.[10]
Dalam konteks ini, sebuah hasil penelitian mengungkapakan bahwa kultut
politik Islam atau oreintasi terhadap nilai-nilai Islam dapat dilihat dari dua
perspektif, yakni oreintasi nilai-nilai politik simbolik Islam dan oreintasi
atas politik Islam sebagai tuntutan legal spesifik. Menarik dicatat bahwa
sejumlah penelitian mengungkapakan mayoritas umat Islam mendukung nilai-nilai
pilitik Islam, tetapi sebaliknya kurang setuju terhadap tuntutan legal spesifik
atau tuntutan formalisasi politik Islam. (laporan PPIN: 2001).[11]
Lebih lanjut penelitian itu mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat
muslim Indonesia (58%) menyatakan dukungan mereka terhadapa pembentukan
pemerintahan Islam, yakni pemerintahan yang didasarkan atas Al-Qur’an dan Sunnah
di bawah kepemimpinan ulama. Bahwa sebagian besar (61%) masyarakat Islam setuju
kalau negara mewajibkan pelaksanaan syari’at Islam. Akan tetapi, ketika pengertian
syari’at Islam dielaborasi dalam pengertian yang lebih konkret dan lebih
operasional timbul sejumlah interpretasi dan penafsiran yang sangat beragam,
dan sering kali satu sama lain saling berbeda, bahkan tidak jarang saling
berkontradiksi.[12]
Suatu fakta yang tidak dapat dibantah bahwa mayoritas umat Islam
menghormati Al-Qur’an, Sunnah, dan syari’at Islam, tetapi ketika ketiga kata
kunci tersebut mulai dijelaskan dalam konsep-konsep yang operasional muncul
pandangan dan sikap yang beragam. Salah satu idikator yang dapat dikemukakan di
sini adalah bahwa ternyata dukungan positif terhadap ide penegakan syari’at
Islam seperti yang diperjuangkan organisasi-organisasi Islam sepeti Hizbut
Tahrir, Majelis Mujahidin, Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad, dan Darul
Islam tidak menggembirakan. Demikian pula hanya sedikit yang mendukung gagasan
bahwa pemilu hanya dimaksudkan untuk memilih calon-calon pemimpin yang ahli
dalam agama Islam. Lebih kecil lagi dukungan terhadap gagasan bahwa pemilu
hanya untuk memilih partai Islam. Dukungan yang sama kecilnya dikemukakan
terhadap gagasan perlunya penegakan hukum rajam bagi pezina, hukum potong
tangan bagi pencuri, penghapusan bunga bank, dan perlunya pengawasan polisi
terhadap pelaksanaan shalat wajib dan puasa Ramadhan. Juga menarik dicatat
bahwa hanya segolongan kecil yang mendukung ide perlunya muhrim bagi perempuan
bila bepergian jauh atau larangan bagi perempuan berkhalwat atau berdua-duaan
dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.[13]
Penelitian lain dalam bentuk jajak pendapat dilakukan oleh Balai Pengkajian
dan Pengembangan Informasi Makassar (2001) tentang Agenda Permasalahan dan
Persiapan Pemberlakuan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan memperlihatkan
temuan yang signipikan. Temuan itu antara lain menjelaskan bahwa agenda paling
mendesak untuk ditangani berkaitan dengan rencana pemberlakuan syari’at Islam
di Sulsel adalah persoalan pemahaman masyarakat tentang syari’at Islam. Karena
itu program utama yang harus dijalankan menurut responden adalah upaya
sosialisasi pemahaman syari’at Islam. Temuan ini jelas menunjukkan bahwa
pemahaman mayoritas umat Islam sendiri masih kabur terhadap konsep syari’at
Islam atau paling tidak mereka perlu penjelasan yang lebih rinci tentang apa
yang dikehendaki dengan syari’at Islam.[14]
Lebih menarik lagi bahwa ternyata tidak sampai setengah dari responden
yang beragama Islam setuju terdapap rencana pemberlakuan syari’at Islam di
kawasan itu. Selebihnya memperlihatkan sikap ragu-ragu, tidak setuju dan tidak
menjawab. Sementara responden
yang non-Muslim seluruhnya menyatakan
sikap tidak setuju atas rencana tersebut. Karena itu, hasil survey
merekomendasikan agar aspirasi tentang rencana pemberlakuan syariat Islam di
Sulawesi Selatan ditanggapi dan dipahami secara hati-hati. Hal itu dimaksudkan
agar rencana tersebut tidak mengganggu tatanan sosial serta keutuhan berbangsa
dan bernegara.[15]
“Memperebutkan”
Perempuan dalam Kebijakan Publik
Sebuah pertanyaan kritis muncul. Mengapa perempuan selalu menjadi kelompok
yang diperebutkan? Dalam berbagai diskursus, perempuan selalu menjadi isu yang
diperebutkan (contested). Lihat saja misalnya dalam diskursus
sekularisme dan revivalisme. Sekularisme hadir dengan mengusung ide pokok,
yakni melepaskan diri dari ajaran agama, dan salah satu ajaran agama yang
dimaksudkan itu adalah ajaran yang memandang perempuan sebagai makhluk setengah
laki-laki sehingga hak waris perempuan hanya setengah hak laki-laki; jumlah
kambing untuk akikah anak perempuan setengah dari jumlah kambing untuk anak
laki-laki; persaksian dua perempuan dinilai setara dengan persaksian satu laki-laki
dan seterusnya. Dengan melepaskan diri dari ajaran agama, sekularisme
menawarkan hak yang sama begi semua orang, hak yang sama bagi laki-laki dan
perempuan atau dikenal dengan istilah emansipasi perempuan.[16]
Sebaliknya, revivalisme yang lahir sebagai respons terhadap sekularisme mengajak kembali kepada ajaran agama. Akan
tetapi, dalam konteks perempuan yang diklaim sebagai kembali kepada ajaran
agama adalah kembali merumahkan perempuan; kembali ke ajaran domestifikasi
perempuan; kembali meneguhkan subordinasi perempuan.[17]
Ada apa dengan perempuan dan mengapa diperebutkan? Para pemerhati
perempuan sepakat menyimpulkan bahwa perempuan diperebutkan tidak lain karena
tubuhnya merupakan perwujudan dari berbagai simbol: simbol kehidupan, simbol
kekuasaan, simbol kebenaran, simbol moralitas, dan simbol kemurnian ajaran
agama. Perempuan menjadi
rebutan, baik oleh kalangan sekularis terlebih lagi kalangan revivalis. Sebab, menaklukan
perempuan dapat dimaknai sebagai menguasai kehidupan, mengontrol kekuasaan,
membela kebenaran, menjaga moralitas, dan mengembalikan kemurnian ajaran agama.[18]
Pemaknaan terakhir itulah, yakni pemurnian ajaran agama menjadi alasan
utama kelompok revivalisme Islam membatasi kebebasan dasar perempuan dan
memasung hak-hak asasi mereka sebagai manusia. Gagasan kembali ke Islam yang
diperjuangkan kelompok revivalis selalu bermakna kembali kepada Islam
tekstaualis, yakni ajaran Islam yang bertumpu semata-mata pada teks dan
mengabaikan konteks historisnya; kembali kepada karakter ideologis yang statis,
ahistoris, sangat eksklusif, dan bias gender. Tentu saja, gagasan demikian sangat
berseberangan dengan visi otentik Islam yang cirinya adalah dinamis, kritis,
rasional, inklusif, mengapresiasi keniscayaan pluralitas (kemajemukan) serta
mengakomodasikan perubahan dan pembaharuan demi kesejahteraan, keadilan, dan
kemaslahatan manusia.[19]
Menarik dicatat di sini bahwa peneguhan subordinasi perempuan selalu
terjadi dalam bidang hukum. Perempuan dan hukum memang selalu tidak bersahabat
seperti terlihat dalam sejumlah perda syari’at. Sejumlah penelitian mengenai
perempuan dan hukum di Indonesia[20] menyimpulkan betapa marginalnya posisi
perempuan. Indikasi ini membuktikan secara nyata bahwa ketimpangan gender dalam
relasi laki-laki dan perempuan di Indonesia masih sangat kuat. Ketimpangan
gender jelas merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integrative
dengan menganalisis berbagai faktor yang turut serta melanggengkannya, termasuk
di dalamya faktor hukum yang kerap kali mendapatkan pembenaran agama.[21]
Analisis terhadap kasus-kasus hukum mengungkapkan bahwa ketimpangan gender
dalam bidang hukum[22] dijumpai pada tiga aspek hukum sekaligus,
yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of
law) dan struktur hukum (structure of law). Pada aspek struktur, ketimpangan
gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender di lingkungan penegak
hukum, terutama di kalangan polisi, jaksa dan hakim. Lalu, pada aspek budaya hukumnya
juga masih sangat dipengaruhi nilai-nilai patriarki yang kemudian mendapat
legitimasi kuat dari interpretasi agama. Tidak heran jika selanjutnya agama
dituduh sebagi salah satu unsur yang melanggengkan budaya patriarki dan
mengekalkan ketimpangan relasi gender dalam bidang hukum.[23]
Hal itu kemudian diperparah oleh keterbatasan materi hukum yang ada
sebagaimana yang terlihat dalam berbagai peraturan daerah yang akhir-akhir ini
menjadi sorotan publik. Materi hukum dalam sejumlah peraturan daerah sarat
dengan muatan nilai-nilai patriarki yang bias gender. Di antara
peraturan-peraturan daerah yang meminggirkan perempuan dan tidak menghargai
keberagaman budaya dan kebebasan beragama masyarakat sebagai berikut.[24] Surat Edaran Bupati Pamekasan, Jawa
Timur Nomor 450 Tahun 2002 tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan
pemerintah; Surat Edaran Bupati Maros, Sulsel tertanggal 21 Oktober 2002
tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah; Perda Sinjai yang dibuat
berdasarkan kesepakatan DPRD, masyarakat, dan Pemda Sinjai mewajibkan jilbab
bagi karyawan pemerintah; Perda Gowa, Sulsel yang dibuat berdasarkan adat dan
kesepakatan masyarakat tentang wajibnya jilbab bagi karyawan pemerintah.
Peraturan serupa ditemukan juga di daerah Cianjur, Indramayu, Pasaman Barat. Di
daerah yang disebutkan terakhir mewajibkan para pelajar perempuan mengenakan
baju kurung dan jilbab. Perda serupa ditemukan pula dalam bentuk surat edaran
Bupati Tasikmalaya, No. 451/SE/04/Sos/2001; Perda Solok, Sumbar Tahun 2000;
Instruksi Walikota Padang, Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret
berisi perintah wajib jilbab dan busana islami bagi orang Islam dan anjuran
memakainya untuk non-Islam.[25]
Selain membatasi kebebasan perempuan dalam berbusana, sejumlah Perda
membatasi perempuan beraktivitas di ruang publik pada malam hari. Di antaranya,
Perda Kabupaten Gowa No.7 Tahun 2003 tentang larangan perempuan berjalan
sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya, hususnya pada
selang waktu pukul 24.00; dan Perda Tanggerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan
pelacuran yang salah satu pasalnya membenarkan penangkapan perempuan di tempat
umum karena diduga melacur.[26]
Dijumpai pula sejumlah Perda yang sepintas isinya tidak mendiskreditkan
perempuan, namun dalam implementasinya menjadikan perempuan sebagai sasaran
utama, seperti Qonun Provinsi Aceh nomor 14 tahun 2002 tentang Larangan
Berkhalwat; Perda Kota Bandar Lampung nomor 15 tahun 2002 tentang Larangan
Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila; Perda Kabupaten Lahat, nomor 3 tahun 2002
tentang Larangan Perbuatan Pelacuran dan Tuna Susila; Perda Kota Mataram
tentang pencegahan Maksiat, nomor 12 tahun 2003; Perda Kotamadya Kupang, nomor
39 tahun 1999 tentang Penertiban Tempat Pelacuran.[27]
Mengapa Perda-Perda tersebut menyasar perempuan dalam implementasinya di
lapangan? Sebab, masyarakat masih kuat memandang perempuan sebagai penyangga
moral sehingga penegakkan moralitas di masyarakat harus dimulai dari perempuan.
Pandangan ini menyalahi ajaran Islam yang menekankan kepada manusia laki-laki
dan perempuan untuk sungguh-sungguh menjadi bermoral.[28] Bukankah tujuan dari keberagaman
seseorang itu adalah membangun moralitas yang dalam istilah Islam disebut
akhlak karimah?[29]
Selain itu, budaya hukum di masyarakat masih memandang perempuan sebagai
obyek yang harus diatur, dikekang dan dibatasi geraknya di ruang publik. Kata
pelacur dan prostitusi di masyarakat selalu diarahkan kepada perempuan,
muncullah istilah WTS (Wanita Tuna Susila) bukan PTS (Pria Tuna Susila),
padahal perempuan dan laki-laki pelacur kedua-duanya sama-sama tuna susila, dan
sama-sama berdosa di hadapan Tuhan.[30]
Realitas sosiologis di masyarakat membuktikan bahwa upaya-upaya untuk
mengeliminasi prostitusi dan perbuatan maksiat lainnya selalu
mendiskriminasikan perempuan. Seolah-olah perempuanlah penyebab utamanya muncul
perbuatan maksiat tersebut. Padahal sejumlah penelitian tentang prostitusi
mengungkapkan ada sejumlah elemen di masyarakat yang diuntungkan oleh praktek
prostitusi. Mereka itu adalah para calo, germo, petugas keamanan, pedagang
makanan dan minuman, supir-supir taksi, bahkan Pemerintah Daerah yang menarik
retribusi atau pajak dari tempat-tempat lokalisasi prostitusi. Dan, jangan lupa tentunya para
pengguna atau pelanggan yang notabene adalah laki-laki. Karena itu, semua upaya
penghapusan prostitusi harus memangkas semua elemen yang mengambil keuntungan
dari praktik prostitusi, bukan hanya melakukan razia terhadap perempuan yang
terlibat prostitusi. Ini tidak adil dan tidak fair.[31]
Dapat disimpulkan bahwa Perda-perda diskriminatif tersebut menyalahi
semangat keadilan dan kemanusiaan sebagaimana dinyatakan dalam pancasila;
menyalahi prinsip persamaan warga Negara di depan hukum seperti terpatri dalam
UUD 1945 hasil amandemen ke- 4, dan sejumlah UU sebagaimana disebutkan pada
awal tulisan ini. Patut juga dinyatakan disini bahwa Perda tersebut
bertentangan dengan UU no 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan
Perundang-undangan, khususnya pasal 3 yang mewajibkan seluruh
perundang-undangan harus mengacu kepada ketentuan dasar dalam konstitusi
negara. Sementara itu UU noomr 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah juga mensyaratkan
agar materi Perda memenuhi 10 asas, di antaranya asas kebangsaan,
kenusantaraan, kebhinekaan, asas kepastian hukum, kesamaan dalam hukum, dan
asas keadilan.[32]
Perda-perda tersebut selalu menempatkan perempuan sebagai obyek, bukan
subyek hukum. Akibatnya, perempuan kehilangan haknya menikmati tujuan
perundang-undangan dan menjadi kelompok yang dirugikan dan dipinggirkan atas
nama otonomi daerah. Kerinduan perempuan untuk menikmati kehidupan yang lebih
adil dan sejahtera di masa Otoda ini menjadi pupus seiring bermuncullannya
sejumlah Perda yang dibuat dengan alasan meningkatkan moralitas bangsa
Indonesia.[33]
Masalahnya, pengertian moralitas dalam Perda-perda tersebut juga sudah
mengalami degradasi makna. Moralitas hanya dipahami dalam pengertian sempit,
yaitu berkaitan dengan soal kesusilaan. Bahkan, sampai direduksi hanya yang
berkaitan dengan soal tubuh perempuan. Seharusnya, ketika memperjuangkan
perbaikan moral bangsa, maka orientasinya harus lebih mengarah kepada
upaya-upaya berikut: pemberantasan korupsi yang merugikan kepentingan banyak
orang dan telah menimbulkan ketidak adilan dan kebobrokkan serius di
masyarakat; pemberantasan buta hurup, pemberantasan penyakit menular,
pemberatasan narkoba dan HIV/AIDS, serta semua bentuk pornografi, pemberantasan
trafficking (perdagangan) anak dan perempuan dan penghapusan semua
prilaku yang tidak manusiawi. Apakah pemerintah bisa disebut bermoral jika
membiarkan kejahatan tersebut mencekap masyarakat?[34]
Perlu ditegaskan di sini, bahwa tidak semua produk kebijak Otoda bermasalah
bagi perempuan, melainkan ditemukan pula sejumlah Perda yang memihak
kepentingan perempuan. Di antaranya, Perda yang disahkan Pemerintah Provinsi
Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Perlindungan bagi Anak
dan Perempuan Korban Kekerasan. Isi Perda antara lain mewajibkan pemerintah
daerah melakukan upaya-upaya preventif bagi timbulnya prilaku kekerasan dan
menyediakan layanan terpadu bagi korban kekerasan. Perda lain yang senada adalah
Peraturan Desa Sido Urip, Kecamatan Kota Argamakmur, Bengkulu Utara, Nomor 1
Tahun 2005 tentang Perlindungan Hukum bagi Korban Kekerasan. Perda lainnya
adalah Perda Kabupaten Sumbawa Nomor 11 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Asal Sumbawa. Perda ini menyatakan
kewajiban pemerintah memberikan perlindungan terhadap buruh migran di daerahnya
dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan serta menolak semua bentuk
komoditisasi terhadap tenaga kerja yang mayoritas perempuan.[35]
Menyimak Perda-perda yang isinya memiliki empati kemanusiaan terhadap
perempuan secara khusus dan masyarakat secara umum, sudah sepatutnya pemerintah
daerah yang menggagas dan menghasilkan kebijakan tersebut mendapatkan
apresiasi, bahkan kalau perlu mendapatkan kehormatan sebagai pemerintahan
daerah yang berhasil melaksanakan Otoda dengan sukses. Dari perspektif ajaran
Islam, justru Perda-perda semacam inilah yang pantas disebut Perda Syari’at
Islam karena isinya sangat mengedepankan pembelaan terhadap kelompok rentan dan
tertindas yang dalam istilah Islam disebut kelompok mustadl’afin. Oleh
karena itu, tingkat moralitas dan keimanan seorang Islam, laki-laki dan
perempuan justru harus diukur dari seberapa besar ia memiliki empati
kemanusiaan dan keberpihakkan terhadap kelompok mustadl’afin tersebut. Bukan
diukur dari panjang jilbabnya, panjang jenggotnya, atau banyaknya ritual yang
dipersembahkan.[36]
Di masa depan pemerintah daerah yang ingin mendapatkan pujian dari
masyarakatnya sebagai pemerintah yang menegakkan syariat Islam jangan lagi
melahirkan Perda-perda yang tidak relevan bagi upaya mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan warga, seperti Perda tentang kewajiban berjilbab, larangan keluar
malam, larangan berkhalwat, dan sejenisnya. Sebaliknya, Pemda hendaknya lebih
kreatif dan inovatif melahirkan Perda-perda Syari’at Islam yang akomodatif
terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan mendorong terciptanya keadilan dan
kesejahteraan warga, seperti Perda tentang perlindungan anak-anak dari semua
bentuk ekspoitasi dan penelantaran, Perda tentang perlindungan kelompok rentan
seperti lansia, penyandang cacat, pengungsi, buruh kasar, dan pekerja migran.[37]
Juga tidak kalah pentingnya merumuskan Perda-perda yang akan membantu
peningkatan pendapatan daerah, mengeliminasi pengangguran dan kemiskinan,
seperti Perda perlindungan investor, Perda untuk eksplorasi laut secara aman,
dan Perda pengembangan agro bisnis dan industri kecil. Perda semacam itulah
yang dibutuhkan masyarakat di daerah menuju terwujudnya masyarakat madani yang
ditandai dengan keadilan dan kesejahteraan.[38]
Mengapa Menolak
Formalisasi Syari’at Islam?
Sebagai seorang perempuan Muslim, penulis yakin
dan percaya sepenuhnya bahwa apa yang disyari’atkan Allah sebagai pencipta
kepada manusia pasti merupakan tuntunan yang luhur dan ideal sesuai dengan
kebutuhan manusia. Persoalannya, apa yang disyari’atkan Allah itu selalu
bersipat umum sehinga perlu dielaborasi dalam aturan yang bersipat operasional
dan spesifik sesuai kebutuhan dan kondisi manusia atau masyarakat yang akan
menggunakannya. Dengan ungkapan lain, tuntunan agama dalam bentuk nash-nash
Al-Quran dan Hadits Nabi masih perlu diterjemahkan dan ditafsirkan ke dalam
bahasa masyarakat penggunanya.[39]
Di sinilah problematikanya. Disadari
atau tidak, setiap terjemahan dan tafsiran
terhadap nash-nash Al-Quran dan Hadits Nabi selalu rentan mengalami bias
kepentingan: teologis, politis, ekonomis, sosiologis, dan mungkin juga
geografis. Hal itu wajar saja karena para mufassir adalah anak zamannya. Mereka
sulit melepaskan diri sepenuhnya dari pengaruh situasi dan kondisi
sosio-kultural, historis dan politis yang terjadi disekitarnya. Kelahiran
berbagai mazhab fiqih, mazhab tasawuf, mazhab teologi, mazhab filsafat dan
berbagai aliran politik dalam Islam menjelaskan hal itu dengan sempurna.[40]
Untuk mereduksi kemungkinan bias
dalam penafsiran tersebut, ulama ushul fiqih telah menyusun berbagai kaidah
fiqih atau metode istinbath berdasarkan pemahaman terhadap prinsip umum
yang terkandung dalam nash Al-Quran, khususnya yang berkaitan dengan muamalah,
seperti kaidah Al-ashlu fi al-asyya’I al-ibahah (hukum asal dari segala
sesuatu adalah kebolehan). Artinya, sepanjang tidak ditemukan dalil yang
melarang atau mengharamkan, maka sesuatu itu hukumnya mubah atau boleh.[41] Selain merumuskan kaidah istinbat,
sebagian ulama merumuskan tujuan pokok syari’at (maqashid as-syari’ah) di
antaranya adalah keadilan dan kemaslahatan manusia. Setiap bentuk istinbat
hukum harus mengakomodasikan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bagi
manusia. Sebab, hukum dibangun untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan, sama
sekali bukan ditujukan bagi kepentingan Allah. Allah Swt tidak memerlukan
apapun dari manusia karena Dia adalah Zat yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna.
Kaidah-kaidah istinbat tersebut dirumuskan dalam rangka mewujudkan nilai-nilai
al-Quran sebagai petunjuk abadi dalam segala aspek hidup dan kehidupan manusia.[42]
Selain itu dalam ilmu ushul fiqh
terhadap pembahasan tentang qath’i dan zhanni. Qath’i sering
dimaknai sebagai nash-nash yang pasti jelas dan tegas maknanya dalam
mengemukakan hukum suatu persoalan. Sebaliknya, Zhanni adalah nash-nash
yang masih membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Para ulama sepakat bahwa
persoalan yang belum ditegaskan ketentuan hukumnya dalam nash atau nash yang
mengaturnya bersipat zhanni maka hukumnya dapat berubah sesuai dengan perubahan
dan perkembangan zaman. Selanjutnya, dalam persoalan-persoalan yang telah
ditegaskan hukumnya oleh nash yang bersipat qath’I maka umumnya ulama tidak membolehkan
perubahan penafsiran untuk disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan kondisi.[43]
Akan tetapi, masalahnya menjadi
rumit karena para ulama tidak sepakat terhadap nash-nash mana yang
dikategorikan sebagai qath’I dan zhanni. Akibatnya muncul perbedaan ulama dalam
menentukkan nash qath’I dan zhanni. Suatu nash dinilai qath’I oleh ulama
tertentu, ternyata dinilai zhanni oleh ulama lainnya, demikian sebaliknya. Hal
ini terjadi karena penentuan qath'i dan zhanni terhadap sebuah nash merupakan
ijtihad ulama, tidak ada jaminan benar secara absolut.[44]
Menarik dicatat bahwa perbedaan
ulama dalam menentukan qath'i dan zhanni sebuah nash sudah terjadi sejak masa
awal Islam. Adalah Umar ibn Khatthab menunjukkan keberaniannya berijtihad yang
hasilnya seringkali menyalahi pendapat yang populer. Berbeda dengan kebanyakan
ulama, Umar ibn Khatthab berani mengubah ketentuan hukum dari suatu nash
(termasuk yang dinilai qath'i sekalipun), jika kondisi atau kemaslahatan
masyarakat menghendakinya. Pandangan ini yang unik ini terlihat, antara lain
dalam kasus-kasus pelaksanaan hukuman potong tangan, pembagian harta rampasan
perang, dan penentuan talak tiga dalam perceraian.[45]
Penjelasan di atas menyimpulkan
bahwa formalisasi syari’at Islam menghendaki ijtihad dalam rangka istinbat
hukum. Masalahnya siapa yang akan melakukan ijtihad? Atas dasar apa dan
berdasarkan legitimasi apa? Kemudian, dalam aspek apa saja formalisasi syariat
tersebut akan diimplementasikan? Apakah juga termasuk dalam pelaksanaan hukum
jinayat, seperti pelaksanaan hukum cambuk, rajam, dan qishas? Terakhir, apakah
dalam perumusan dan pengambilan keputusan publik itu juga melibatkan
partisipasi seluruh elemen masyarakat, termasuk kaum perempuan? Jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa sangat bervariasi, tergantung
siapa yang menjawab dan untuk kepentingan apa. Oleh karena itu, menjadi sangat
problematik jika membakukan syari’at Islam ke dalam hukum positif.[46]
Kekhawatiran masyarakat, tak
terkecuali kalangan Muslim sendiri terhadap upaya-upaya pemberlakuan syariat
bukan tanpa alasan. Sebab, data-data historis sejarah Islam menunjukkan bahwa
isu syariat Islam seringkali hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh
sebagian elit demi mengejar ambisi pribadi atau golongan. Oleh karena itu,
ketika Kemal Attaturk tampil sebagai penguasa di wilayah Turki, program
prioritasnya institusi khalifah. Alasannya sederhana saja bahwa selama ini
institusi itu kerapkali digunakan untuk menjustifikasikan kepentingan politik
dari kelompok penguasa dengan dalih agama.[47]
Dalam kondisi seperti itu, agama
tidak lagi ditempatkan sebagai sistem penjaga moral dan etika dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, lewat para pemeluknya. Akan tetapi,
agama telah digeser dan dipaksa memainkan perannya secara berlebihan dalam
urusan negara. Agama kemudian dijadikan legitimasi oleh penguasa untuk
mengabsahkan kebijakan-kebijakan yang seringkali malah bertentangan dengan
nilai agama. Dalam berpolitik, bendera agama acapkali dikibarkan oleh
partai-partai politik untuk sekadar menguras suara pemilih sebanyak-banyaknya.
Tentu saja kondisi seperti ini bertentangan dengan idealitas agama karena tidak
sesuai dengan nilai dasar yang diperjuangkan agama itu sendiri, yakni
mewujudkan masyarakat yang bermoral dalam arti seluas-luasnya.[48]
Karena itu, perjuangan untuk
implementasi syariat Islam di Indonesia hendaknya dilakukan dengan mewaspadai
gejala-gejala yang dikhawatirkan tadi. Akan lebih baik bila perjuangan untuk
didahului dengan upaya sungguh-sungguh menata kehidupan sosial dan politik umat
Islam melalui program-program pemberdayaan yang manfaatnya segera dirasakan
secara kongkret, seperti pemenuhan kebutuhan vital masyarakat berupa air bersih
dan listrik, dan penyediaan fasilitas publik berupa rumah sakit, angkutan umum,
dan taman-taman rekreasi. Demikian juga pendidikan gratis dan peningkatan
pendapatan ekonomi bagi keluarga yang tidak mampu sehingga pada gilirannya
nanti masyarakat terbebaskan dari musuh-musuh agama yang paling menakutkan dan
paling menyesatkan, yaitu ketidak adilan, kebodohan, kemiskinan,
keterbelakangan dan ketertindasan.[49]
Perlunya
Membangun Kebijakan Publik yang Ramah Perempuan
Pada hakekatnya tidak semua yang terdapat dalam
ajaran Islam itu bersifat mutlak dan kekal. Ajaran Islam dapat dikategorikan ke
dalam dua bagian: ajaran dasar dan ajaran non dasar. Ajaran dasar mengambil
bentuk nash-nash al-Quran dan Sunnah Mutawatir, sedangkan ajaran non dasar
tampil dalam bentuk penafsiran dan penjelasan tentang perincian dan pelaksanaan
ajaran dasar itu. Dengan ungkapan lain, ajaran dasar adalah wahyu Tuhan yang
terwujud dalam teks-teks suci al-Quran dan Sunnah Mutawatir yang bersifat
absolut benar, kekal, benar, tak berubah dan tak boleh diubah. Sebaliknya, yang
kedua adalah hasil ijtihad para ulama terhadap teks-teks suci tersebut atau
merupakan rekayasa cerdas pemikiran manusia dan karena itu bersipat relative,
nisbi, serta boleh diubah sesuai tuntutan dinamika manusia dan perkembangan
zaman.[50]
Ayat-ayat al-Quran dapat pula
dikelompokan ke dalam dua kategori. Pertama ayat yang disebut qath'i
ad-dalalah, yakni ayat yang maknanya hanya satu, tidak mungkin diberi makna
lain, jelas dan absolut. Ayat semacam ini hanya diambil arti harfiah atau arti
tersuratnya. Kedua, ayat yang disebut zhanni ad-dalalah, yaitu ayat yang
artinya boleh lebih dari satu. Sebab, disamping memiliki arti tersurat juga
memiliki arti tersirat. Menarik dicatat bahwa ayat yang qath'i ad-dalalah
sangat sedikit jumlahnya dalam al-Quran, yang banyak justru ayat zhanni
ad-dalalah. Menghadapi kenyataan itu, Nabi dalam salah satu haditsnya menghibau
dengan sangat agar umat Islam bersungguh-sungguh melakukan ijtihad.[51] Agar dapat memahami pesan moral al-Quran
dan mengimplementasikannya dalam kehidupan keseharian mereka.[52]
Pada prinsipnya, semua penafsiran,
mazhab-mazhab, dan aliran-aliran itu adalah hasil ijtihad atau pemikiran
manusia. Dan karena semua ijtihad dan pemikiran itu bukan wahyu yang bersifat
absolut, melainkan bersifat relatif, maka semua bentuk ijtihad atau pemikiran
itu bisa berubah dan boleh berubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia
dan tuntutan kemajuan zaman. Sejak zaman klasik Islam, para ulama besar sudah
terbiasa menerima keragaman penafsiran dan hasil ijtihad dengan sikap
demokratis, penuh pengertian, dan lapang dada, bahkan para imam mujtahid, yakni
para pendiri mazhab yang terkemuka, seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal tak segan-segan menghimbau para murid dan
pengikutnya untuk tidak bersikap panatik dan taqlid buta apalagi mengklaim
bahwa pendapat merekalah yang mutlak benar. Sebaliknya, para imam mazhab itu
secara tertulis meminta kepada para penganut mazhabnya untuk tetap bersikap
terbuka menerima kritik dan jika perlu mengubah pendapat mereka dengan pendapat
yang lebih kuat argumentasinya. Itulah sikap tasamuh (toleransi) yang
banyak diajarkan para ulama pendiri mazhab.[53]
Akan tetapi sangat disayangkan,
sikap demokratis dan terbuka dalam beragama sebagaimana dicontohkan Rasululllah
Saw, dilestarikan para sahabat dan generasi ulama berikutnya, seperti para imam
mazhab tadi, tidak banyak dipraktikkan oleh umat Islam, termasuk di Indonesia.
Bahkan, sebagian besar umat Islam cenderung menganggap hasil ijtihad berupa
penafsiran atau pemikiran ulama itu bersifat final abadi dan mutlak, sehingga
tidak bisa diubah. Akibatnya, masing-masing kelompok mengklaim penafsiran dan
pendapat mereka sebagai paling benar sedangkan penafsiran lainnya salah dan
tidak benar. Tidak jarang suatu kelompok mengkafirkan kelompok yang lain yang
tidak sepaham dengan mereka. Kecenderungan seperti itu membawa kepada kaburnya
pengertian umat Islam terhadap esensi ajaran agama mereka, sehingga tidak bisa
lagi membedakan antara ajaran dasar yang bersifat absolut dan tak dapat diubah
dan ajaran yang bukan dasar yang pasti bersifat relatif dan dapat diubah.
Kerancuan pemahaman tersebut sangat tampak dalam ajaran tentang relasi
perempuan dan laki-laki dalam Islam. [54]
Perlu ditegaskan disini bahwa esensi
Islam terbaca dalam ajaran tentang tauhid atau paham kemahaesaan Allah
mengajarkan : tiada Tuhan selain Allah dan hanya Allah-lah pencipta alam
semesta. Seluruh manusia, bahkan seluruh makhluk berasal dari sumber yang satu,
yaitu Allah Swt. Prinsip tauhid mengajarkan bahwa semua manusia adalah makhluk
ciptaan Allah dan karena itu, semua manusia sama kedudukkanya di hadapan Allah,
yaitu sama-sama sebagai ciptaan atau makhluk. Kalau semua manusia itu sama, sudah tentu
perempuan dan laki-lakipun sama. Satu-satunya perbedaan yang memungkinkan
seorang manusia lebih tinggi atau lebih rendah derajatnya dari manusia lainnya
adalah nilai pengabdian dan ketaqwaannya kepada Allah Swt (Q.S. al-Hujurat
(49):13) ayat ini menegaskan bahwa satu-satunya kriteria yang boleh dipakai
untuk membedakan seorang manusia dari lainnya adalah kualitas taqwa, bukan
warna kulit, jenis ras, suku, bangsa, agama, apalagi jenis kelamin. Ringkasnya,
ajaran tauhid membawa ajaran persamaan antarmanusia (al-musawamah).[55]
Ada banyak ayat dalam al-Quran,
antara lain suat al-Hujurat (49) : 13, an-Nisa’ (4) : 1, al-A’raf (7) 189,
az-Zumar (39) : 6, Fatir (35) :11, dan al-Mukmin (40) :67 yang menegaskan bahwa
dari segi hakikat penciptaan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya
tidak ada perbedaan, termasuk di dalamnya perempuan dan laki-laki. Karena itu,
tidak perlu ada semacam superioritas satu golongan, satu suku, satu bangsa atau
satu ras terhadap yang lainnya.[56]
Kesamaan asal mula biologis ini
mengindikasikan adanya persamaan antar sesama manusia, termasuk persamaan
antara manusia dan laki-laki. Dalam sejumlah hadits Nabi pun dinyatakan bahwa
sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-laki (lihat, antara lain hadits
‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, dan at-Turmudzi). Dengan
demikian, pada hakikatnya manusia itu adalah sama dan sederajat, mereka
bersaudara dan satu keluarga. Penjelasan tersebut melahirkan kesimpulan bahwa
al-Quran menegaskan kesederajatan perempuan dan laki-laki. [57]
Akan tetapi, mengapa masih sering timbul bahwa
ajaran Islam merupakan landasan imperioritas perempuan? Hal itu, menurut hemat
penulis, timbul dari interpretasi terhadap ayat-ayat dan hadits yang secara
tekstual memang mengarah kepada pemahaman seperti itu. Ayat-ayat yang dimaksud,
antara lain: 1) an-Nisa (4) : 1 yang berbicara soal penciptaan, 2) an-Nisa (4)
: 34 yang menegaskan kepemimpinan laki-laki atas perempuan, dan 3) Ali Imran (3) : 236 yang menerangkan
ketinggian derajat laki-laki atas perempuan. Adapun dari hadits, umpamanya
hadits Abu Hurairah, riwayat at-Turmudzi menjelaskan soal penciptaan perempuan
dari tulang yang bengkok (dlila’in a’waj), atau hadits Abu Bakrah
riwayat Bukhari, an-Nasa’I dan Ahmad yang mengatakan: “Tidak akan beruntung
suatu kaum jika mengangkat perempuan sebagai pemimpin”.[58]
Sejumlah ulama telah menafsirkan
ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut dengan penafsiran yang bias gender dan
bias nilai-nilai patrilkhal. Hal itu karena mereka berpijak pada teks
harfiahnya yang sepintas memang tampak mendukung penafsiran demikian. Ditambah lagi pengaruh latar
belakang sosio-historis dan sosio-politis para penafsir yang umumnya didominasi
budaya patriarkhi. Pada masyarakat dimana unsure budaya patriarkhi sangat
dominant, penafsiran seperti itu bukan hal yang janggal dan karenanya tidak
dipersoalkan. Akan tetapi, pada masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai
demokrasi atau sedang mengalami proses demokratisasi dengan upaya-upaya
penegakkan hak-hak asasi manusia, penafsiran tersebut dirasakan sangat tidak
kondusif lagi. Karena itu, diperlukan reinterpretasi ajaran agama agar sesuai
dengan tuntutan dinamika masyarakat.[59]
Ajaran Islam, baik yang bersumber
dari al-Quran maupun dari hadits Nabi Saw jika dikaji secara mendalam semua
memberikan penekanan kepada upaya peningkatan derajat, harkat, dan martabat
perempuan. Secara histories hal itu dilatarbelakangi oleh situasi masyarakat
Arab pada waktu Islam lahir. Tradisi Arab ketika itu memandang perempuan tak
ubahnya sebagai komoditas, posisinya sama dengan harta kekayaan, perempuan
tidak punya hak sama sekali, termasuk pada tubuh mereka sendiri. Perempuan
tidak dihargai sedikitpun. Perempuan hanya dijadikan pemuas nafsu laki-laki.
Perlu dicatat bahwa pada masa itu posisi kaum perempuan yang demikian hinanya
dalam masyarakat Arab, ternyata tidak lebih buruk kondisinya daripada perempuan
di Eropa. Malahan, pada masa itu para pemimpin gereja di Eropa masih
mempertanyakan apakah perempuan itu punya ruh atau tidak.[60]
Fakta sejarah menunjukkan Islam
memberikan koreksi total terhadap tradisi masyarakat Arab, terutama tradisi
berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan. Islam melakukan transpormasi
sosial dari sistem masyarakat yang tidak menghargai perempuan kepada sistem
yang amat menjunjung harkat dan martabat perempuan; dari tradisi masyarakat
yang mengesahkan adanya hegemoni bagi kaum laki-laki kepada tradisi yang
menyamakan kedudukan perempuan dan laki-laki.[61]
Kesamaan antara perempuan dan
laki-laki itu, terutama dapat dilihat dari tiga dimensi. Pertama, dari
segi hakikat kemanusiaannya. Dilihat dari hakikatnya sebagai manusia, Islam
memberikan kepada perempuan sejumlah hak untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya,
seperti hak mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, dan hak-hak lain yang
berkenaan dengan urusan publik. Kedua, dari segi pelaksanaan ajaran
Islam, Islam mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat
pahala atas amal shaleh yang diperbuatnya. Sebaliknya kedunyapun akan
mendapatkan siksaan atas dosa yang diperbuat. Tidak satupun amalan dalam Islam
yang memberikan keistimewaan kepada salah satunya. Ketiga, dari segi
hak-hak dalam keluarga, Islam memberikan hak mendapatkan nafaqah hak waris
kepada perempuan meskipun jumlahnya tidak sebanyak yang diberikan kepada
laki-laki. Selain waris, perempuan dinyatakan bisa menjadi saksi, menerima
mahar dan diakikahkan ketika lahir. Sebelumnya hak-hak tersebut tidak dikenal
dalam tradisi Arab. Islam juga memberikan hak kepada perempuan untuk mengajukan
tuntutan cerai bilamana ia menghendaki demikian. Hak inipun sebelumnya tidak
dikenal dalam tradisi Arab pada masa itu. Bahkan, poligami yang sebelumnya
sudah menjadi tradisi yang kuat, ternyata oleh Islam hanya boleh dilakukan
kalau pihak istri merasa dirinya diperlakukan adil.[62]
Fakta historis sejarah Islam secara jelas
memaparkan realitas kehidupan perempuan di masa Nabi. Di masa itu perempuan diizinkan
berkiprah dan beraktivitas tanpa batas di sektor publik, seperti Khadijah bin
Khuwailid (istri Nabi) dan Qailah Umm Bani Ahmar. Keduanya dikenal sebagai
perempuan pengusaha yang sukses. Umm Salim binti Malhan bekerja sebagai penata
rias. Zainab binti Jahsyi (istri Nabi) bekerja sebagai penyamak kulit dan
hasilnya disedekahkan kepada faqir miskin. Asy-Syifa’ adalah perempuan pertama
yang diserahin tugas oleh khalifah Umar ibn al-Khattab sebagai manajer yang
mengelola pasar Madinah. Bahkan, ada seorang perempuan bernama Raitah (istri
sahabat Nabi) bekerja demi menghidupi suami dan anaknya. Perempuan-perempuan
lainnya seperti Umm Salamah (istri Nabi), Shafiyyah, Laila al-Gaffariyah, dan
Umm Sinam tercatat sebagai aktivis dan relawan kemanusiaan di medan perang
menolong prajurit yang cedera dalam peperangan. Partisipasi aktif kaum
perempuan dalam perempuan justru banyak diungkapkan dalam kitab-kitab hadits
klasik, seperti kitab Shahih Bukhari.[63]
Tidak ada data yang menjelaskan
bahwa Rasul melarang perempuan berkiprah di ruang publik, melarang perempuan
keluar di malam hari. Kalaupun ada anjuran perempuan keluar bersama muhrimnya
dalam berbagai teks hadits, hendaknya itu dipahami dalam konteks perlindungan
dan ketidak amanan dan ketidak selamatan yang sipatnya sangat kondisional. Di
masa sekarang dimana unsur keamanan dan keselamatan sudah demikian terjamin
sebagai akibat dari kemajuan sains dan teknologi, maka perlindungan muhrim
tidak signifikan lagi.[64]
Akan tetapi, ajaran Islam yang
demikian ideal dan luhur itu dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah
kekuasaan Islam meluas ke berbagai wilayah yang penduduknya masih kental menganut
budaya patriarkhi, mengalami perubahan sangat drastis. Ajaran Islam yang sangat
mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, prinsip-prinsip egalitarian, inklusif,
dan nilai-nilai demokrasi serta ramah terhadap perempuan ternyata tidak lagi
dipraktikkan sebagaimana mestinya.[65]
Akibatnya, kaum perempuan di
berbagai wilayah Islam kembali diperlakukan seperti pada masa Jahiliyah.
Perempuan kembali terkekang di dalam rumah dan dituntut mengerjakan tugas-tugas
tradisional mereka selaku perempuan. Mereka hanya boleh keluar jika ada izin
suami atau kerabat lelakinya, itupun untuk keperluan darurat. Perempuan sudah
tidak lagi memiliki kebebasan bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan, mereka
tidak bisa lagi memilih model busana (walaupun tetap sopan, tidak merangsang),
melainkan harus mengenakan hijab, semacam pakaian yang menutup seluruh tubuh,
kecuali wajah dan telapak tangan. Tentu saja kondisi demikian tidak kondusif
bagi perempuan untuk berkiprah dan beraktivitas di masyarakat secara leluasa
sebagaimana pernah terjadi di masa Rasul. [66] Kondisi seperti inilah yang masih
berlangsung sampai sekarang termasuk di kalangan umat Islam Indonesia.[67]
Kembali ke persoalan Otoda,
setidaknya ada tiga masalah mendasar yang dihadapi kaum perempuan berkenaan
dengan pelaksanaan Otoda. Pertama, masih rendahnya pengetahuan keadagaan
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan peran dan fungsi perempuan. Kedua,
masih banyaknya penafsiran dan pemahaman keagamaan yang bias gender dan bias
nilai-nilai patriartkhi yang dianut masyarakat sebagai akibat dari pemahaman
teks-teks suci yang sangat harfiah dan mengabaikian aspek konstektualnya, serta
pengamalan agama yang menekankan pada tataran formalitas belaka, bukan pada
subtansinya. Ketiga, masih rendahnya tingkat partisipasi kaum perempuan
dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.[68]
Sebagai solusi, ditawarkan pemikiran
atau rekomendasi sebagai berikut. Pertama, perlu sekali melakukan upaya-upaya
rekonstruksi budaya melalui pendidikan, baik di level formal maupun non formal,
terutama pendidikan dalam keluarga. Pendidikan yang dapat mengubah budaya
patriarkhi menjadi budaya yang menghargai kesetaraan, perbedaan, dan
kemajemukkan; mengubah budaya kekerasan menjadi budaya damai penuh toleransi.
Upaya ini diharapkan dapat membantu lahirnya iklim demokrasi yang memungkinkan
partisipasi perempuan secara luas dalam berbagai perumusan kebijakan publik. [69]
Kedua, melakukan upaya-upaya
sistematis, merepisi semua perundang-undangan, khususnya Perda yang
diskriminatif dan tidak ramah terhadap perempuan melalui Judicial Review kepada
mahkamah agung dan Executive Review kepada Departemen Dalam Negeri, dan
selanjutnya mengusulkan Perda-perda yang memihak perempuan, seperti Perda
Provinsi Jawa Timur nomor 9 tahun 2005 tentang Perlindungan Anak dan Perempuan
Korban Kekerasan. Sejatinya, Perda semacam inilah yang sangat pantas disebut
Perda syari’at Islam mengingat Islam adalah agama yang paling gigih menyuarakan
pemihakan dan perlindungan kepada semua kelompok tertindas yang dalam al-Quran
disebut kelompok mustadl’afin. Perda seperti inilah yang dapat mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat. [70]
Ketiga, menggalakkan
upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama dalam rangka mengeliminasi secara
gradual semua pemahaman keagamaan yang tidak kondusif bagi kehidupan demokrasi
dan bangunan masyarakat madani, seperti kewajiban berjilbab, larangan keluar
malam, larangan bepergian tanpa muhrim dan sebagainya yang tidak memiliki dasar
argumentiologis yang kuat dalam al-Quran dan Sunnah Rasul. Reinterpretasi
ajaran agama ini pada akhirnya diharapkan mewujudkan ajaran Islam yang
akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, ajaran yang ramah terhadap
perempuan, ajaran yang rahmatan lil ‘alamin atau sungguh-sungguh mendatangkan
kesejukkan, kedamaian, kemaslahatan bagi alam semesta.[71]
[1]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan dalam Perda Syari’at”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Perda
Syari’at Islam Menuai Makna, Edisi No. 20 Tahun 2006.
[2]Meskipun tidak ada Peraturan Daerah (Perda)
yang secara eksplisit menyebut dirinya sebagai Perda Syari’at, namun isinya
secara eksplisit bernuansa syari’at Islam. Istilah Perda Syari’at digunakan
secara luas terhadap sejumlah perda yang isinyaa mengatur kehidupan masyarakat
berdasarkan ketentuan ajaran tertentu,yakni ajaran Islam. Sayangnya acuan Islam
yang dipakai di sini terbatas pada hal-hal yang bersifat legal-formal dan
sangat simbolik, misalnya pemakain jilbab dan busana muslimah, belum sampai ke
tingkat substansial, seperti peraturan yang mengatur perlindungan bagi kelompok
rentan di masyarakat, seperti anak-anak terlantar, perempuan yang mengalami
eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan, kelompok penyandang cacat, kelompok
lansia, pengangguran, buruh kasar dan seterusnya.
[3]Perda kota Tangerang Nomor 8 tahun 2005
tentang Larangan Pelacuran dalam implementasinya telah menimbulkan
kriminalisasi terhadap perempuan yang bekerja di malam hari. Perlakuan ini
menyalahi asas praduga tak bersalah dalam hukum. Bahwa korban pertama dari
perda diskriminatif ini adalah seorang perempuan bernama Lia yang hidup di
tengah kemiskinan dan harus bejuang mencari nafkah di malam hari bukanlah suatu
kebetulan, melainkan merupakan konsekuensi logis dari budaya hukum yang bias
gender dan bias nilai-nilai patriarki sehingga memposisikan perempuan sebagai
obyek hukum dan pola ini akan terus berulang dan berulang di tempat lain.
[4]Amandemen ke- 4 UUD 1945, pasal-pasal 28c,
28d, 28h, dan 28i menyebutkan secara jelas hak-hak setiap warga negara,
termasuk perempuan untuk mengembangkan diri sebagai manusia bermartabat, hak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah dan hak untuk bebas dari semua
bentuk perlakuan diskriminatif.
[5] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan., hlm. 22.
[6]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid., hlm. 22-23.
[7]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid., hlm. 23.
[8] Laode Ida, Otonomi Daerah,
Demokrasi Lokal dan Clean Government (Jakarta: PSPK, 2002). Lihat pula Laode Ida, Otonomi Daerah dalam
Interaksi Kritis Stakeholders (Jakarta: PSPK, 2002).
[9] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan., hlm. 23.
[13] Informasi lebih jauh mengenai
hasil penelitian ini lihat laporan penelitian PPIM yang diadakan pada 16
provinsi di Indonesia.
[14] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan., hlm. 25.
[15]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid.hlm.25
[18]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid. hlm.26
[20] Lihat hasil penelitian Tapi
Omas Ihromi tetang Perempuan dan Hukum Nasional (1997); Siti Musdah Mulia
tentang Posisi Perempuan dalam UUP dan Kompilasi Hukum Islam (2001); dan
Sulistyowati Iriato tentang Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum (2003).
[21] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan., hlm. 26-27.
[22] Uraian mengenai bentuk-bentuk
ketimpangan gender di Indonesia dapat dilihat dalam Fakta, Data dan
Informasi Kesenjangan Gender di Indonesia (Jakarta: Kantor Mentri Negara
Pemberdayaan Perempuan RI, 2001), hlm. 71-93.
[23] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan., hlm. 27.
[24] Kasus-kasus ketimpangan gender
dalam bidang hukum di Indonesia dipaparkan secara rinci dalam Nursyahbani
Katjasumkana dan Mumtahanan, Kasus-kasus Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan
(Jakarta: LBH APIK, 2002).
[25] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan., hlm. 28.
[28] Nama-nama Perda yang
meminggirkan perempuan dapat dilihat secara jelas dalam lampiran tulisan ini.
[29] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan., hlm. 29.
[30]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid.hlm.29
[32]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid.hlm.29
[33]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid., hlm. 29-30.
[34]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid., hlm. 30.
[35]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid., hlm. 30-31.
[36]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid., hlm. 31.
[37]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid.hlm.31
[38]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid. hlm.31
[39]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid., hlm. 31-32.
[40]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid., hlm. 32.
[41] QS. an-Nur (24): 30-31 dan
al-Mukminun (23): 1-7.
[42] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan., hlm. 32.
[43]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan, Ibid., hlm. 33.
[47]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid., hlm. 33-34.
[48]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid., hlm. 34.
[49]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid.hlm.34
[51] Kaidah ini disusun berdasarkan
pemahaman terhadap terhadap ayat-ayat berikut: al-Baqarah (2) : 29, al-Jasiyah
(45) : 13, dan al-A’raf (7) : 32.
[52] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan., hlm. 35.
[53]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid.hlm.35
[55]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid., hlm. 36
[56]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid.hlm.36
[57]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid.hlm.36
[60]Haditsnya berbunyi: “Siapa yang
berijtihad dan ijtihadnya benar akan mendapatkan dua pahala sedangkan jika
ijtihadnya salah dia tetap mendapatkan satu pahala.” Hadits inilah yang
memberikan inspirasi dan motivasi kuat bagi para ulama di masa awal Islam
melakukan ijtihad sehingga melahirkan berbagai macam mazhab (aliran pemikiran)
dalam tafsir, fiqih, tasawuf, filsafat dan teologi.
[61]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan., hlm. 38.
[65]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid. hlm.39
[66] Husein Haikal, Hayatu
Muhammad (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1993), Cet. Ke- 19, hlm. 280.
[67] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan., hlm. 39.
[69]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid. hlm. 40
[70]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid.hlm.40
[71]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
Perempuan Ibid. hlm.40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar