Rabu, 31 Maret 2010

Fiqh Bingkai Multikulturalisme Indonesia


1.Pengantar

Memperhatikan jalannya reformasi di tanah air dalam 10 tahun terakhir ini dari sudut pandang sosial keagamaan, nampaknya patut dipersoalkan di manakah sesungguhnya fungsi dan peranan agama-agama, terutama Islam sebagai agama yang dianut mayoritas bangsa Indonesia? Sebagai “motivator”, “aktor”, “pendamping”, ataukah sebagai “penumpang gelap” reformasi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini penting diformulasikan karena ia akan menjadi aksioma bagi diskursus keagamaan di Indonesia masa kini dan mendatang dalam kaitannya dengan masalah posisi agama di ruang publik. Dengan sendirinya pula masalah ini secara sosiologis akan terkait dengan pertanyaan masa depan agama-agama, terutama Islam di negeri ini.[1]

Ada tiga hipotesis yang dapat dikemukakan dalam konteks diskursus di atas. yaitu:

Pertama, jika memang agama (Islam) ikut berperan dalam proses reformasi, dalam jangka panjang kemungkinan besar agama (Islam) masih akan memiliki legitimasi karena memang punya saham untuk ikut memainkan perannya di panggung publik.

Kedua, jika agama (Islam) dianggap tidak berfungsi apa-apa di dalam proses reformasi, sementara itu proses reformasi merupakan babak baru yang sangat penting dalam mengubah haluan sejarah kenegaraan dan perpolitikan di tanah air, dalam jangka panjang agama (Islam) akan kehilangan legitimasinya untuk berperan di dalam politik.

Ketiga, jika keikutsertaan agama (Islam) di dalam mengubah haluan sejarah bangsa ini hanya bersifat mozaik dan samar-samar, tidak memberikan sumbangan mendasar, hubungan antara agama (Islam) di satu pihak dan perubahan kenegaraan dan politik di pihak lain merupakan hubungan insidental, bukan substansial. Jika demikian, posisi agama (Islam) di ranah publik masa-masa yang akan datang masih akan terus dipertanyakan dan diperdebatkan.[2]

Oleh karena itu langkah-langkah pemimpin agama (Islam) secara signifikan akan ikut menentukan adakah peran agama dalam perubahan aspek kenegaraan dan sosial politik hanya bersifat ad hoc, ataukah memang memiliki kekuatan paradigmatik untuk membangun masa depan bangsa ini? Dalam konteks ini para pemimpin agama (Islam) dituntut untuk bisa mengambil langkah-langkah strategis dan melibatkan seluruh kekuatan politik yang ada, dalam menuntaskan hubungan agama-negara atau posisi agama di ruang publik. Kalau para elite politik dan agama (Islam) tidak mampu mengemban tugas besar tersebut, dan bahkan terjatuh pada pemihakan kelompok, keraguan kian membesar mengenai kemampuan peran politik keagamaan (Islam) dalam wacana politik modern.

2.Jebakan Komunalisme

Membaca fenomena gerakan Islam di Indonesia dalam konteks membangun masa depan bangsa saat ini mengindikasikan komunalisme dan primordialisme. Selain itu, realitas ini menunjukkan pula keterpinggiran dan keterasingan yang dihadapi oleh umat Islam dari kekuatan ilmu pengetahuan. Akan tetapi terlepas dari realitas sosiologis ini, fenomena tersebut sebenarnya juga mengandung jebakan. Pertama, jangan-jangan agenda besar bangsa membangun clean government, civil society, dan demokratisasi, tertutup oleh tembok komunalisme di atas. Kedua, bangsa Indonesia sekarang ini tengah kehilangan bingkai kebangsaaan karena masing-masing kelompok berada dalam kurungan dan jebakan itu.[3]

Fenomena komunalisme dan primordialisme keislaman mengakibatkan Islam telah menjadi instrumen partikularistik gerakan-gerakan agama dan kebangkitan etnis yang kemudian mendapatkan satu legitimasi dari kebijakan politik negara yang berupa otonomisasi dan desentralisasi. Padahal agama pada awalnya menjadi satu perekat pada level civil society. Jika perekat itu hilang dan kemudian diganti oleh ikatan-ikatan komunalisme-parochialisme[4], konsep dan cita Indonesia akan lenyap perlahan-lahan

Secara global agama di dunia dewasa ini terkesan membuat gentar dan cemas lantaran seringnya tampil dengan wajah yang penuh kekerasan. Agama tampak kehilangan wajah ramahnya. Lihat saja serangkaian bom bunuh diri di Israel yang mewaskan warga sipil biasa, teror gas beracun Aum Shinrikyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang (1990-an), kekerasan rezim Taliban di Afghanistan atas nama ketaatan terhadap syariat Islam sebagai hukum negara, kekerasan kelompok ektremis Yahudi Israel, pimpinan Rabi Mei Kahape atas warga Arab Palestina, bunuh diri masal pada Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana (1970-an), dan pada gerakan David Koresh di Texas (1990-an). Puncaknya tragedi WTC 11 September di Amerika yang mewaskan ribuan manusia yang tak tahu apa-apa.[5]

Sementara dalam beberapa tahun belakangan ini di Indonesia, isu radikalisme agama sangat menguat dan mengguncangkan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Peristiwa bom Bali menewaskan ratusan nyawa; ledakan bom di Hotel JW Marriot, Jakarta dan tempat-tempat lainnya. Kelompok agama fundamental berjuang sekuat tenaga dan dengan segala cara, memperjuangkan visi dan misi mereka, tanpa peduli akan kenyataan dalam masyarakat bahwa bangsa ini adalah pluralis. Di tengah-tengah pro dan kontra ancaman kelompok agama fundamentalisme ini, kini muncul pertanyaan, ada apa dengan agama? Apakah agama memang melegitimasi kekerasan, bahkan teror? Apakah agama berperan sebagai sumber problem atau sumber solusi? Apakah radikalisme agama merupakan ancaman bagi sebuah bangsa yang majemuk? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini wajar terlontar, mengingat bahwa agama selama ini diklaim pemeluknya sebagai pembawa misi perdamaian dunia.

3.Akar Kekerasan dan Konflik atas Nama Agama

Untuk menjelaskan lebih jauh mengapa agama demikian garang dan kejam, tidak dapat serta merta agama dituduh sebagai biang masalah. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas bergantung pada bagaimana orang memahami hakikat agama itu sendiri. Agama, dalam kaitan ini, harus dipahami dalam konteks relasinya dengan kehidupan riil manusia. Naif jika agama diposisikan bebas dari segenap kenyataan hidup.

Agama, dalam konteks di atas merupakan kekuatan penting bagi kehidupan manusia. Karena itulah agama justru harus ditempatkan secara proporsional dalam konteksnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa "agama bukan pulau dalam dirinya" (no religion is an island).[6] Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa sekarang agama harus dipahami dan ditafsirkan dalam konteks pluralisme global. Kenyataan plural dunia ini hendaknya dijadikan titik tolak dalam memahami posisi agama dewasa ini.

Adanya berbagai bencana dan tragedi kemanusiaan yang melibatkan agama, seperti dikemukakan di atas, tidak lain adalah akibat terjadinya pembusukan dan pengorupsian agama. Setidaknya, terdapat beberapa tanda proses pembusukan dan pengorupsian agama.[7] Sedangkan di sisi lain munculnya radikalisme (agama) ditandai oleh beberapa kecenderungan umum.[8]

Penjelasan tentang sumber dan faktor penyebab timbulnya kekerasan dan radikalisme agama tersebut di atas sedikit banyak pembenarannya akan segera tampak ke permukaan tatkala terjadi konflik atas nama agama dan aksi terorisme di mana-mana. Secara empirik, radikalisme agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya yang paling konkret, yakni kekerasan atau konflik. Di Bosnia misalnya, kaum Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Begitu juga di Tanah Air terjadi konflik antaragama di Poso dan di Ambon. Kesemuanya ini memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering kali menjadi pendorong terjadi konflik dan ancaman bagi masa depan perdamaian.[9]

Keterangan tersebut di atas juga memiliki signifikansi strategis, di tengah menguatnya sentimen keagamaan berlebihan yang acapkali tak menguntungkan banyak pihak. Di samping itu uraian tersebut menyumbangkan betapa urgennya wacana keberagamaan yang patut diperhitungkan. Hal ini juga memberikan perspektif umat beragama yang banyak bergumul dengan soal-soal hubungan antaragama. Analisis tersebut dapat menyumbangkan analisis kritik terhadap akar sinisme terhadap agama sekaligus mengajak penganut agama beragama secara kritis tanpa kehilangan semangat spiritualnya. Untuk konteks keindonesiaan yang sedang concerned terhadap isu-isu kemanusiaan, mengajak umat beragama di Indonesia bersama-sama mengubah visi keberagamaan dari visi keberagamaan yang sempit dan normatif menjadi inklusif historis dan humanis.[10]

Berkembangnya radikalisme agama di Indonesia, sebenarnya bukan hanya satu kenyataan sosio-historis dalam negara majemuk, juga dapat menjadi ancaman bagi masa depan bangsa yang mendambakan keamanan dan kedamaian. Tindakan radikalisme ini dilakukan bertujuan sebagai membela agama tetapi justru telah mengabaikan nilai-nilai agama sebagai pembawa damai dan kemanusiaan. Orang-orang radikal kurang begitu menyadari bahwa memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam agama tidak dapat dibenarkan kalau menggunakan media kekerasan.

Semua orang menyambut baik ketika pengadilan Denpasar, Bali, menvonis mereka hukuman seumur hidup dan hukuman mati atas tindakan yang telah melenyapkan ratusan nyawa. Akan tetapi apakah itu efektif. Sebagian orang masih meragukan efektivitas hukuman itu untuk mengatasi aksi kekerasan atau terorisme. Cara itu masih menyisakan sejumlah persoalan karena penyelesaian hukum tidak menyentuh masalah terorisme itu secara komprehensif. Hukuman hanyalah sebuah shock therapy. Oleh karena itu, terorisme sesungguhnya terkait dengan beberapa masalah mendasar agama.[11]

4.Visi Religiositas dalam Masyarakat Multikultural

Dengan dinamika kehidupan yang terus berkembang, dan semakin kompleksnya persoalan kehidupan masyarakat sekarang ini, fokus sekarang lebih memerlukan perwujudan rasa kemanusiaan dengan pengembangan wawasan multicultural serta dengan pendekatan yang bersifat Humanis Cultural. Dalam kaitan pengembangan wawasan multikultural pada segenap unsur dan lapisan masyarakat hasilnya kelak diharapkan terwujud masyarakat yang mempunyai kesadaran tidak saja mengakui perpedaan, tetapi mampu hidup saling menghargai, menghormati secara tulus, komunikatif dan terbuka, tidak saling curiga, memberi tempat terhadap keragaman keyakinan, tradisi, adat maupun budaya, dan yang paling utama adalah berkembang kerjasama sosial dan tolong menolong secara tulus sebagai perwujudan rasa kemanusiaan yang dalam dari ajaran agama masing-masing.[12]

Masyarakat Indonesaia dikenal sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society). Hal tersebut dapat dilihat pada kenyataan sosial di seluruh wilayah Indonesia. Semboyan Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda namun satu jua) menggambarkan bahwa sejak awal bangsa Indonesia memang ditakdirkan sebagai bangsa yang majemuk. Kemajemukan Indonesia ditandai oleh berbagai perbedaan, meliputi perbedaan horizontal seperti kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama. Sedangkan perbedaan yang bersikap vertikal menyangkut perbedaan-perbedaan lapisan atas dan bawah yang dalam kondisi saat ini sangat tajam, baik di bidang sosial, ekonomi, politik maupun budaya.[13]

Kemajemukan Indonesia seperti di atas, dipicu oleh kesenjangan sosial dan ekonomi yang tajam dan belum tumbuhnya budaya multikultural yang lebih memungkinkan masyarakat Indonesia membangun kerja sama dan kemitraan secara tulus. Fenomena yang terjadi adalah bentuk kerjasama semu dan bersifat dipaksakan. Seandainya kerjasama antar kelompok dapat berkembang secara tulus, hal ini dapat menjaga keharmonisan hubungan antara umat beragama yang sering dihadapkan pada problema kemajemukan.

Karena itulah, bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktikkan oleh sebagian umat beragama seharusnya tidak sampai menghadirkan ancaman bagi masa depan bangsa. Pluralisme tetap menjadi komitmen bangsa ini untuk membangun bangsa yang modern, yang di dalamnya terdapat banyak agama dan etnis secara damai. Pluralisme adalah simbol bagi susksesnya kehidupan masyarakat majemuk. Karena itu, agama yang dimiliki oleh masing-masing umat tetap terjaga sebagai sosok keyakinan yang tidak melampaui batas. Sebab, bagaimanapun agama sangat diperlukan untuk mengisi kehampaan spiritual umat, tetapi segala bentuk ekspresinya tidak boleh menghadirkan ancaman bagi masa depan dunia yang damai. Kalau kaum radikalis agama mengekspresikan keyakinannya dalam bentuk kekerasan, ini merupakan ancaman besar bagi pluralisme.[14]

Banyak hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa peledakan bom atau terorisme di beberapa tempat di Indonesia. Berbagai peristiwa itu dapat digunakan untuk memperluas kembali gerakan umat beragama yang moderat, inklusif, dan pluralis di tengah-tengah masyarakat beragama.[15]

Dengan demikian, secara wacana dan praksis gerakan, sikap umat agama agar tidak sampai pada kesadaran dan gerakan radikal, perlu dilakukan langkah-langkah pembokaran (dekonstruksi) kesadaran eksklusif, militan, dan radikal adalah langkah awal untuk menjamin masa depan pluralisme. Pada gilirannya, pembangunan kembali (rekonstruksi) kesadaran agama yang toleran, inklusif, dan pluralis adalah langkah terakhir untuk menyampaikan pesan perdamaian agama-agama di tengah-tengah masyarakat multikultural. Inilah kondisi yang segenap bangsa Indonesia inginkan dalam menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik di tengah-tengah ancaman terorisme dan kekerasan.[16]

5.Posisi Fiqh dalam Konstruksi Pemikiran Islam

Dalam sejarahnya yang panjang, fiqh menduduki peranan kunci sebagai parameter untuk menentukkan keberislaman. Begitu banyak aspek kehidupan, terutama tradisi kultural yang dihancurkan karena secara formalistik bertentangan dengan otoritas fiqh yang kokoh dan telah menghadirkan dirinya sebagai disiplin keilmuan yang mapan sejak abad kedua sampai ketiga hijriyah. Hal itu bisa dipahami karena fiqh merupakan komponen terpenting fondasi keislaman, bahkan menurut Muhammad Abed al-Jabiri peradaban Islam adalah peradaban fiqh (hadarah fiqh) karena begitu kuatnya fiqh mempengaruhi cara hidup kaum muslim. Berbeda halnya dengan masyarakat Yunani yang begitu gandrung dengan filsafat (hadarah falsafah) dan Barat yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi (hadarah ‘ilm wa tiqniyah).[17]

Dalam masyarakat Muslim, fiqh dipahami bukan hanya sebatas aturan formal yang mengatur interaksi antar manusia, tetapi memiliki pengertian yang lebih luas menyakut aturan perihal liturgi, etika, estetika dan soal ketatanegaraan. Fiqh merupakan totalitas aturan yang diterapkan dalam segenap aspek kehidupan, karenanya kedudukannya menjadi demikian memusat sehingga turut menentukan pandangan hidup dan tingkah laku masyarakat Muslim.[18] Elemen-elemen lain semisal tasawuf dan tauhid menjadi penentu pada tingkat lebih lanjut yang hanya akan mempunyai arti jika telah memperoleh legitimasi dari fiqh.[19]

Pada awal kemunculannya, fiqh dibentuk dalam locus budaya Arab di mana interaksi antara penafsir dan ‘pesan ketuhanan’ yang menjadi nilai esensialnya tidak lagi universal tetapi menjelma dalam wujudnya yang partikular. Nilai-nilai kearaban dengan pelbagai anasirnya turut menentukan bentuk fiqh yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi kanon ortodoksi yang pakem dan baku.[20] Ketika kekuasaan Islam mulai meluas dan keluar dari batas-batas kultural Semenanjung Arabia, muncullah problem otoritas dalam penafsirannya. Fiqh belum mampu melepaskan diri dari lokalitas kemuncullannya, yakni situasi sosial-kultural masyarakat Arab yang menjadi latar kehadirannya pertama kali. Partikularitas kearaban ini tampil dominan ketika bersinggungan dengan lokalitas yang lain. Oleh karena itu, dalam perjumpaan dua kebudayaan sering kali tidak tercermin adanya suatu dialog yang seimbang, karena yang pertama lebih menempatkan diri sebagai kebudayaan agung sehingga dapat menafikan keanekaragaman interpretasi dalam wilayah kultural dan pengalaman sejarah yang berbeda di luar tanah Arab.[21]

Dimensi partikular fiqh ini amat berguna sebagai salah satu piranti untuk memahami universalitas nilai-nilai yang dibawanya. Tanpa pengetahuan yang memadai mengenai wahana kultural dan sosial ketika pertama kali dikembangkan, fiqh akan kehilangan konteks historisnya. Namun ketika menyebar dan berkembang dalam kebudayaan-kebudayaan lain, fiqh akhirnya harus dibaca dengan optik setempat. Identitas-identitas kultural seperti sistem nilai, adat-istiadat dan pandangan mereka tentang alam kosmos adalah elemen pokok yang mendasari seluruh penafsiran mereka terhadap fiqh, yang sudah tentu berlainan dengan rumusan awal. Jika sinkretisme dipahami sebagai bentuk baru yang merupakan perpaduan antara dua paham yang berbeda, fiqh selayaknya harus mengalami proses sinkretisasi.[22]

Lokalitas dan fiqh adalah dua domain yang berbeda. Masing-masing memiliki independensi tertentu meski bukanlah suatu polarisasi yang absolut. Keduanya memiliki titik tumpang tindih. Fiqh tidak akan berarti apa-apa tanpa hadirnya instrumen budaya, sedangkan perkembangan budaya belum akan memiliki arah yang jelas tanpa adanya suatu nilai yang mengaturnya.[23] Karakteristik seperti itu menjadikan fiqh dapat berubah sesuai dengan pemahaman sosial dan kultural suatu masyarakat. Fiqh membuka harapan bagi semua kelompok sosial, baik budaya, agama etnik, kelas dan gender yang hidup dalam wilayah masing-masing untuk meneguhkan identitas dirinya tanpa harus berseberangan dengan ajaran keislaman.[24]

Persoalan ini sejak awal telah diakomodasi dalam teknik perumusan hukum melalui qa’idah fiqhiyah (kaidah fiqh) yang berbunyi, al-‘adah muhakkamah.[25] Kaidah tersebut menjelaskan bahwa tradisi, nilai dan kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat dapat (harus) menjadi dasar hukum. Ini disebabkan karena Al-Quran seringkali hanya menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi sendi hukum sehingga aplikasinya membutuhkan instrumen sosial dan kultural yang nyata. Di samping karena pertimbangan kebutuhan serta persoalan masing-masing komunitas yang berbeda-beda sehingga membutuhkan aturan-aturan yang juga berlainan.[26] Secara tegas Al-Quran juga menyatakan:“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja)…[27] Demikian pula dalam ayat yang lain, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang paling mulia di antara kamu ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetaui lagi Maha Mengenal.[28]

Dua ayat ini menunjukkan secara eksplisit bahwa fenomena keberagaman merupakan sunnatullah yang perlu dikelola dan diarahkan kepada cita-cita yang lebih jauh untuk pemenuhan ketinggian hasrat kemanusiaan. Apa yang kini disebut fiqh sebetulnya adalah dialektika antara wahyu dan partikularitas kesejarahan manusia. Karena itu, pembicaraan tentang fiqh harus didahului oleh pemahaman mengenai nilai-nilai universal yang harus tetap dipertahankan, serta bagian yang partikular karena itu harus selalu sesuai dengan ukuran ruang dan waktu, atau dalam usul fiqh disebut qat'i dan zanni.[29]

Dalam pengertian klasik, qat'i adalah nash yang dikemukakan dalam teks bahasa tegas (sarih), sedangkan zanni merupakan ajaran yang diungkapkan dalam bahasa teks yang tidak tegas, ambigu dan bisa dimaknai lebih dari satu pegertian. Namun, seperti ditegaskan Masdar F. Mas’udi, konsep semacam itu telah membikin fiqh kehilangan watak dinamisnya. Masdar menawarkan pembaharuan pemahaman konsep qat'i dan zanni.[30] Menurutnya qat'i adalah ajaran yang fundamental dan absolut, seperti misalnya nilai-nilai tentang kebebasan dan pertanggung jawaban individu, kesetaraan manusia dihadapan Allah tanpa memandang perwujudan lahiriyahnya, keadilan, kejujuran dan welas asih. Pada prinsipnya seluruh nilai-nilai yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan adalah qat'i dan universal. Sedangkan zanni adalah hukum-hukum yang merupakan implementasi dari prinsip universal tersebut. Ajaran zanni tidak mengandung kebenaran dalam dirinya, sebab itu relatif dan terikat dengan hukum ruang dan waktu. Rumusan inilah yang partikular dan historis.[31]

Fiqh merupakan hasil dari proses penafsiran prinsip-prinsip universal di atas ke dalam ketentuan partikular melalui kerangka operasional tertentu yang biasa disebut ushul fiqh. Misalnya contoh tentang prinsip keadilan di mana setiap manusia berhak dijamin hak asasinya. Sementara itu dalam kehidupan sosial tidak semua orang mampu memenuhi hak-haknya karena sebagian yang kuat cenderung untuk menguasai dan menindas, sedangkan bagian yang lain rentan terhadap penguasaan pihak pertama. Fenomena ini mengandaikan munculnya pihak ketiga yang memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mendistribusikan secara adil hak-hak tadi. Pihak inilah yang kemudian dikonsepkan oleh Islam sebagai imarah, atau dalam pengertian umum disebut pemerintahan. Perihal mutlaknya penegakan keadilan dan perlunya kekuasaan pemerintahan sebagai instrumen yang menjalankan merupakan ketentuan qat'i. akan halnya dengan pengertian keadilan yang kemudian diwujudkan dalam aturan hukum serta bentuk kenegaraaan yang menopangnya adalah wilayah dzanni yang bisa berbeda-beda sesuai dengan tradisi masing-masing masyarakat.[32]

6.Fiqh dan Pengalaman Multikulturalisme Keindonesiaan

Fiqh sebagai elemen paling penting dari Islam, sebagai unsur paling problematik ketika bersinggungan dengan nilai-nilai lokalitas, pluralitas dan multikulturalitas, memiliki dinamika kesejahteraan yang cukup panjang. Jika ditilik dari latar belakang historisnya, Islam mula-mula datang ke Nusantara bukan dalam bentuk doktrin-doktrin syara’ melainkan sebagai suatu sikap hidup yang dicirikan dengan penyerahan diri total kepada Allah serta welas asih pada sesama. Orientasi sufistik ini lambat laun mengalami tranformasi yang signifikan ketika terjadi perubahan sosial dan politik di dunia Islam pada abad ke- 19, yang mengubah wajah Islam Nusantara menjadi Islam dengan nalar kesyariatan yang begitu kuat. Salah satu fenomena yang dapat dilihat dari munculnya gerakan Neo-Sufisme, yakni suatu bentuk tasawuf yang memadukan nilai kesufian dan kesyariatan.[33]

Munculnya fiqh sebagai parameter keberislaman ini tak urung melahirkan berbagai peristiwa keras yang mencerminkan pertarungan antara kelompok pendukung fiqh serta di pihak lain kelompok Islam lokal yang menginginkan berlanjutnya nilai-nilai budaya setempat. Kelompok ortodoks tersebut tidak memberikan ruang keragaman dalam menginterpretasikan agama (fiqh), sehingga Islam tidak lagi mengakomodasi tradisi dan kebutuhan masyarakat. Islam menjadi suatu yang berada di luar sejarah. Otentifikasi ajaran yang dilakukan oleh kelompok Islam syara’ pada akhirnya melahirkan polarisasi. Islam syara’ menganggap praktik beragama yang dilakukan selama ini telah bercampur dengan kepercayaan lokal sehingga perlu diluruskan kembali dengan ajaran syariat.[34]

Dalam hal ini, pengalaman masyarakat Minangkabau menjadi contoh kasus yang sempurna. Antara Adat Minangkabau dan Islam memang telah terjadi persentuhan yang cukup panjang, yang diwarnai benturan dan konflik. Ketegangan itu dimulai sekitar abad ke- 19 M dengan kedatangan tiga orang haji yang pulang membawa paham baru. Mereka adalah Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang. Bersama dengan ulama’ Minangkabau reformis lainnya, di antaranya yang paling terkenal adalah Tuanku Nan Renceh, mereka melakukan gerakan pembaharuan Islam. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai kaum Paderi. Sasaran pembaharuan mereka adalah kaum penghulu adat yang dianggap masih banyak melakukan kegiatan dan praktik budaya yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tentu saja gerakan ini mendapat tantangan keras dari kaum adat, terlebih ketika Haji Miskin memberi peringatan kepada masyarakat Pandai Singkek, Kabupaten Tanah Datar agar tidak menyabung ayam lagi. Peringatan ini tidak dipedulikan sehingga Haji Miskin membakar balai yang menjadi simbol kekuasaan kaum adat. Kaum adat sangat marah, dan dimulailah konflik terbuka yang dikenal dengan Perang Paderi.[35]

Setelah melewati masa yang panjang, perang akhirnya dimenangkan kaum Paderi. Berangkat dari keprihatinan karena sama-sama menderita kerugian, dua belah pihak kemudian mencari jalan penyelesaian yang diadakan di bukit Marapalam. Dalam momen inilah lahir konsensus bersama yang dikenal dengan “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” (Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah), atau juga disebut “Sumpah Sati Bukit Marapalam”. Kesepakatan ini merupakan bukti kemenangan ulama atas kaum adat. Melalui ungkapannya jelas terlihat supremasi Islam syara’ dalam tradisi kebudayaan Melayu Minang, karena sebelumnya adagium yang dikenal masyarakat Minang adalah “Adat bersendi alur dan patut, alam takambang jadikan guru” (Adat bersendikan kepatutan, alam yang terhampar jadikanlah guru).[36]

Kompromi yang dilakukan oleh kaum adat tersebut membawa implikasi bahwa semua pengertian dan pemahaman tentang adat itu harus senantiasa didasarkan pada ajaran Islam. Walaupun terlihat juga dalam beberapa kasus Islam, mau tidak mau mengalami proses akulturasi. Akan tetapi jelas bahwa kini komunitas adat Minangkabau tidak lagi solid dan kuat seperti dulu dalam menghadapi intervensi pihak luar, setelah elemen serta pranata adatnya dihancurkan.[37]

Jika pada kasus Minangkabau dua pihak akhirnya dipersatukan oleh misi melawan kolonialisme, lain halnya dengan fenomena Islam Wetu Telu di Lombok. Islam syara’ dalam hal ini memiliki kepentingan yang sama dengan negara dalam melakukan normalisasi dan penyeragaman atas kehidupan agama dan budaya Wetu Telu. Islam Wetu Telu adalah tipologi Islam lokal yang banyak dianut oleh masyarakat Sasak asli di Lombok. Islam jenis ini adalah Islam yang dimanifestasikan dalam bentuk kepercayaan dan tradisi setempat, seperti pemujaan terhadap roh dan kepercayaan animistik lainnya. Mereka lebih mengutamakan upacara keagamaan dari pada melaksanakan ibadah formal yang terumuskan dalam ajaran Islam sebagaimana umumnya. Bahkan praktik keagamaan mereka berbeda dengan Islam ortodoks, seperti hampir semua ibadah Islam menjadi tiga. Akibatnya dalam kehidupan keagamaan di Lombok ada semacam penegasan bahwa Wetu Telu menganut Islam yang belum sempurna, dan karenanya diperlawankan dengan Islam Waktu Lima, suatu bentuk Islam mayoritas yang lebih ortodoks. Islam Waktu Lima sengaja diciptakan oleh otoritas keagamaan di Lombok untuk menandingi, dan lebih-lebih menginvasi keberadaan Islam Wetu Telu[38].

Penafsiran secara lain terhadap Islam ini, didasarkan pada kosmologi dan kepercayaan lokal masyarakat Wetu Telu sendiri. Wetu berasal dari kata metu yang berarti keluar sedangkan telu bermakna tiga. Mereka mempercayai kemunculan makhluk hidup berawal dari tiga proses, yaitu menganak (melahirkan) seperti manusia dan mamalia, menteluk (bertelur) seperti burung, serta meniuk (berbiji) seperti tumbuh-tumbuhan. Konsep wetu telu merepresentasikan kemahakuasaan Tuhan yang mengijinkan siklus kehidupan bermula dari tiga proses reproduksi tersebut.[39]

Pandangan kosmos di atas akhirnya turut menentukan cara pembacaan terhadap Islam sehingga melahirkan corak keberagamaan berbeda, dan ironisnya lantas dianggap sebagai keyakinan menyimpang yang tak punya rujukan meyakinkan pada sumber-sumber ajaran resmi. Terhadap sistem kekuasaan dan pengetahuan di luar komunitas adat itu yang menilai dan menghakimi berbagai praktik adat. Dengan kata lain label ‘belum sempurna’ adalah hasil representasi dari otoritas Islam syara’ yang dalam konteks ini berkolaborasi dengan negara untuk melakukan upaya Islamisasi. Negara dalam hal ini berkepentingan melancarkan modernisasi berbagai aspek kehidupan yang dianggap masih ‘terbelakang’, dan di sisi lain mempertahankan beberapa elemen adatnya sebagai komunitas turisme.[40] Usaha purifikasi, ambiguitas kebijakan pemerintah dan sederet tekanan lainnya menjadikan Islam Wetu Telu sebagai komunitas marjinal di Lombok. Saat ini keberadaannya tercatat hanya di beberapa desa di Lombok Barat. Itupun dalam skala yang tidak seberapa banyak[41].

Fakta yang dialami Islam Wetu Telu hanyalah eksemplar dari fenomena komunitas kultural lainnya di Indonesia. Ini dapat dibaca sebagai kegagalan Islam syara’ dalam membangun dialog dan asimilasi budaya yang tepat. Apalagi di negara yang dirajut dengan beragam etnisitas dan tradisi. Karena itu, klaim dan upaya untuk membatasi nilai-nilai syariat hanya pada satu bentuk saja merupakan pilihan naïf. Lokalitas budaya Arab memang tidak bisa diabaikan begitu saja, akan tetapi syariat mau tidak mau harus diletakkan pada konteks ketika ia ditafsirkan dan dihayati oleh komunitas penerimanya. Nilai-nilai syariat adalah nilai universal, namun artikulasinya dalam kehidupan konkret bisa jadi beragam sesuai kebutuhan dan bentuk penafsiran masyarakatnya.[42]

Fakta ketegangan di atas pada gilirannya bertambah rumit dengan masuknya kolonialisme Barat. Islam (fiqh) mau tidak mau masuk dalam medan pertarungan kekuasaan. Pemerintah kolonial memanfaatkannya sebagai sarana pengawasan dan stabilisasi masyarakat untuk menjaga dominasi kekuasaannya di Indonesia. Islam yang diperkenalkan dan didukung kolonialisme adalah Islam yang diatur, diadministrasi dan mudah dikontrol. Sementara Islam yang liar, bebas dan susah diatur seperti kelompok-kelompok kultural dan mistik digeser ke pinggir dan dicap kriminal. Pendekatan terhadap Islam ini memungkinkan Belanda menempatkan Islam pertama-tama sebagai objek kajian, dan akhirnya sebagai media pengawasan seperti dipraktikkan dengan sangat baiknya oleh seorang sarjana Belanda, Snouck Hurgronje. Ia berhasil konstruksi tentang Islam serta menjadikan praktik-praktik adat dan keagamaan tradisional sebagai objek pengawasan polisi dan kejaksaan. Dalam kacamata pemerintah, agama harus tampil sebagai pengawas yang akhirnya menentukan mana cara beragama yang asli dan benar serta mana yang khurafat. Karena yang menyimpang dari ‘garis resmi’ ini dapat melahirkan teologi pembaharuan serta resistensi terhadap kekuasaan kolonial di Indonesia.[43]

Ketika Indonesia merdeka, strategi politik dan kebijakan terhadap agama semacam ini pada gilirannya diadopsi, direproduksi, dan direposisi ulang oleh rezim-rezim yang berkuasa. Baik Orde Lama maupun Orde Baru mempraktikkan sejenis otoritas terhadap agama. Pada masa Orde Lama, untuk menangkal paham agama dan kepercayaan yang dianggap liar oleh pemerintah pada tahun 1958, Kejaksaan Agung membentuk Gerakan Agama dan Masyarakat. Pada 1960, lembaga ini ditingkatkan lagi menjadi Biro PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) dengan tugas pengawasan sampai tingkat provinsi dan kabupaten. Dengan cara yang lebih represif Orde Baru kemudian melanjutkan praktik ini, kebijakkan yang berorientasi menertibkan komunitas-komunitas kultural serta ‘mengamankan’ agama-agama resmi yang diakui negara dari tindakan penyimpangan dan penistaan, yang pada hakikatnya juga mengamankan stabilitas kekuasaan negara. Wacana kemurniaan jelas akan dipergunakan oleh kalangan agamawan dan negara untuk mengendalikan sejauh mana praktik-praktik agama yang dijalankan oleh individu ataupun kelompok tidak menyimpang dari pokok ajaran-ajaran resmi, seperti selama ini dituduhkan pada kelompok sinkretik. Inilah momen dimana agama dan negara saling bertukar tempat dan memperalat satu sama lain[44].

Sebab itu, Jane Monnig Atkinson menunjukkan dengan gamblang bagaimana Islam dan umumnya agama-agama resmi lainnya sesungguhnya merupakan bagian dari lanskap pembangunanisme Orde Baru, yang di dalamnya mengurai makna tentang kemajuan yang bertolak belakang dengan citra agama pagan, tradisionalis, primitif.[45] Namun demikian, Islam dengan dimensi fiqhnya yang sangat protektif, terutama sejak abad-abad terakhir, tidak mampu sepenuhnya menggusur pemaknaan-pemaknaan lokal terhadapnya. Selalu ada ruang bagi negosiasi dan kontestasi atas konstruksi dominan tentang agama (fiqh) sehingga tidak jarang melahirkan pertarungan di wilayah budaya ataupun politik.[46]

Beberapa kasus di atas memberikan argumentasi yang cukup akan pentingnya sinergi antara fiqh dan teori multikulturalisme yang terbutkti lebih apresiatif terhadap heterogenitas budaya. Apalagi kini seiring dengan munculnya era keterbukaan, kembali marak terdengar usulan penegakkan syariat Islam yang kemudian disusul dengan aksi kekerasan yang demonstratif. Meskipun gerakan ini tidak cukup meraih simpati publik, namun ini menyiratkan bahwa implementasi fiqh di negeri ini masih menyisahkan suatu persoalan serius.[47]

7.Proyek ke Arah Multikulturalisme berfiqh

Lalu bagaimanakah paradigma serta pola implementasi Fiqh Multikultural? Fiqh Multikultural berangkat dari pemahaman yang berbeda dan menyeluruh mengenai universalisme dan kosmopolitanisme Islam. Jika selama ini gerakan otentifikasi syariah merujuk pada formulasi fiqh sebagaimana pertama kali diwahyukan di tanah Hijaz, sebagai rumusan ideal yang musti diterapkan dalam locus sosial dan budaya yang berbeda, maka Fiqh Multikultural menganggap bahwa hal ini mulai dengan pendasaran yang salah mengenai universalisme fiqh (Islam). Universalisme fiqh adalah prinsip-prinsip dasar yang sangat mengagungkan unsur-unsur utama kemanusiaan, yang dalam ilmu ushul fiqh dikategorikan ke dalam lima hal mendasar (al-kulliyatul khamsah).[48] Universalitas fiqh inilah yang kemudian mewujud dalam suatu medium budaya Arab yang partikular sehingga terikat dalam ruang dan waktu.[49]

Pada gilirannya, dalam rentang kesejarahan yang panjang, fiqh telah menyerap berbagai manifestasi kultural dan wawasan kepercayaan sehingga menghasilkan kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad, suatu hal yang menunjukkan watak kosmopolit dari ajaran Islam. Universalitas ajarannya bersinggungan dengan unsur-unsur lokalitas yang membentang di seluruh penjuru dunia Islam, mulai dari Arab, tempat pertama kali ia dibentuk, hingga ke pelosok dunia lainnya seperti Indonesia. Kosmopolitanisme fiqh (Islam) ini membuktikan keterbukaan serta kearifannya dalam mengakomodasi nilai dan kepercayaan lokal, yang kemudian dipersempit oleh sikap dogmatis umat Islam sendiri.[50]

Dengan kata lain, fiqh sesungguhnya dibentuk oleh dialektika terus menerus antara dimensi universalitas dan partikularitas. Hal ini didukung oleh suatu fakta lain yang cukup mengejutkan, bahwa fiqh banyak mewarisi secara kreatif tradisi dan kepercayaan Arab Pra Islam. Ibadah haji, mengagungkan ka’bah, menyucikan bulan Ramadhan, hukuman bagi pelaku zina, pencuri dan peminum khamar, hukum qisas dan diyat, tradisi sura, poligami, dan lain-lain adalah tradisi masyarakat Arab yang telah diadopsi oleh hukum Islam. Bahkan ibadah shalat, dengan bacaan-bacaan ayat suci menyertai rukuk dan sujud, merupakan sisa-sisa pemujaan yang dilakukan orang-orang Kristen Syiria.[51] Ini berarti bahwa hukum Islam yang kini telah hadir dalam bentuk yang mapan dan kokoh selalu merupakan racikan antara wahyu dan tradisi.[52]

Penjelasan tersebut tidak bermakna bahwa Fiqh Multikultural dimaksudkan untuk menciptakan bentuk-bentuk ritual dan aturan yang sama sekali lain dari yang sudah ada, akan tetapi mencoba menampilkan watak dinamis dari hukum. Fiqh layaknya tumbuh sebagai organisme yang hidup, mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal, harapan dan problem yang dihadapinya, di dalam merumuskan hukum agama tanpa harus mengubah inti dasar ajarannya karena itu, Fiqh Multikultural memiliki dua fungsi sekaligus. Di satu sisi ia melestarikan segi positif dari tradisi dan kepercayaan kultural serta peradaban Islam yang telah merentang selama berabad-abad. Di sisi lain ia mengubah unsur-unsur destruktif dari keduanya dan kemudian mengarahkannya pada cita-cita pemenuhan harkat kemanusiaan.[53]

Pola seperti ini telah terlihat di masa-masa awal Islam. Nabi tidak begitu saja menebas keyakinan serta sisa-sisa kebudayaan yang sebelumnya jauh mengakar, tetapi mempertahankan dan mendialogkannya dengan wahyu. Maka bisa dimengerti intensi dasar wahyu, yang akhirnya memunculkan aturan-aturan legalistic, di mekkah maupun Madinah memperlihatkan diferensitas yang nyata. Ayat-ayat Mekkah menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, seperti kebebasan dan demokrasi tanpa membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan lain-lain. Sedangkan ayat-ayat Madinah merupakan kompromi praktis dengan Islam di sana sehingga cenderung diskriminatif. Untuk itu, Abdullahi Ahmed An-Na’im merekomendasikan suatu titik tolak radikal dalam teori naskh. Syariat Islam yang dikembangkan oleh Muslim selama ini didasarkan hanya pada wahyu dan pengalaman historis masyarakat Islam di Madinah pada abad ke- 7. menurutnya hal itu tidak memungkinkan perubahan yang signifikan dalam syariah. Prinsip naskh klasik yang membatalkan pesan Mekkah dan mengangkat pesan Madinah, seharusnya dibalik dengan menekankan pesan Mekkah sebagai basis pembaruan syariah. An-Na’im berkeyakinan bahwa hal itu akan membawa perubahan mendasar bagi suatu upaya pembaharuan yang formatif dan menyeluruh.[54]

Dengan begitu, evolusi syariah dari waktu ke waktu sejalan dengan tatanan sosial dan kebudayaan masyarakatnya adalah truisme yang tak bisa disangkal. Frase ini sebenarnya telah menyertai kajian keislaman di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Hanya saja perdebatan yang berkembang, seperti wacana kontekstualisasi misalnya, masih diorientasikan pada persoalan bagaimana fiqh menyesuaikan diri dengan unsur-unsur kebudayaan lokal sehingga lambat laun diharapkan untuk berubah sesuai dengan fiqh ‘resmi’. Yang terjadi kemudian, kebudayaan lokal tersebut tetap dalam posisi sebagai ‘yang lain’, sub-ordinat, marjinal, ketika berhadapan dengan fiqh ‘resmi’.[55]

Sejumlah karya masih memperlihatkan kerangka yang sama, misalnya penulisnya menggunakan perspektif sinkretisme dalam menilai hubungan antara Islam dan lokalitas. Untuk tujuan ini, Clifford Geertz, melalui Religion of Java (1976) dapat diambil sebagai sample. Pembagian Islam di jawa ke dalam tiga varian, santri, priyayi, abangan, di mana dua yang terakhir dianggap merupakan bentuk penyimpangan, menunjukkan bahwa Geertz melihat kejawaan semata-mata sebagai unsur luar yang membuat Islam mengalami transpormasi bentuk.[56]

Ungkapan ‘Islam Sinkretis’ yang telah akrab digunakan untuk menggambarkan genre Islam lokal sebenarnya juga mengandung asumsi tersembunyi. Unsur utama disitu adalah Islam, sementara lokalitas adalah unsur luar yang menyebabkan unsur utama tersebut mengalama distorsi. Pertama-tama perhatian diberikan pada Islam sebagai “tradisi agung” yang mempunyai elemen-elemen kanonik yang bersifat universal, baru kemudian tradisi lokal yang terbatas ruang lingkupnya.[57]

Fiqh Multikultural mencoba menerobos asumsi tadi dengan menawarkan hubungan baru antara subjek-objek, antara universalitas dan partikularitas. Lokalitas diposisikan sebagai subjek yang berbicara, menyiasati, menyesuaikan, dan memaknai fiqh sesuai dengan kepentingan serta kebutuhannya. Lokalitas adalah elemen dasar yang membentuk cara baca masyarakat Indonesia, dengan kulturnya yang begitu rumit dan kaya, terhadap fiqh. Karena itu, persoalan Fiqh Multikultural bukan hanya melestarikan kultur asli dengan mengupayakan bagaimana pakaian, pagelaran, seni, masjid, dan lain-lain mencerminkan citra lokal. Akan tetapi ia adalah proses timbal balik yang sejajar, produktif dan kreatif, yang kemudian terejawantahkan dalam prilaku serta sikap hidup sehari-hari.[58]

Pada tataran yang lebih jauh, Fiqh Multikultural diletakkan sebagai siasat perlawanan terhadap hegemoni kebudayaan yang selama ini direpresentasikan oleh negara dan kelompok-kelompok dominan. Agama dalam dinamika sosial dan berbangsa di Indonesia lebih banyak tampil dalam suatu bentuk yang telah distabilkan oleh negara serta lembaga-lembaga keagamaan. Maka muncullah wacana beragama yang murni dan modern, dimana makna kemurniaan dan kemodernan itu sendiri dikonstruksikan dalam ukuran-ukuran lazim. Tentu saja, langkah berikutnya adalah marjinalisasi terhadap sesuatu yang dianggap tidak murni dan modern. Fiqh Multikultural lahir dari etos menjadikan fiqh tidak melulu sebagai sistem yurisprudensi, namun sebagai medium tempat masyarakat mencipta dan menghayati kebudayaannya. Bersamaan dengan itu, melakukan resistensi terhadap hegemoni makna-makna agama.[59]

Pilihan seperti ini tentunya menghawatirkan sebagian pihak yang menginginkan diterapkannya syariat Islam, atau minimal diadopsi, sebagai hukum nasional. Mereka meyakini syariat sebagai solusi alternatif bagi pemecahan berbagai persoalan kontemporer yang terjadi. Berbagai wacana dan gerakan yang muncul tersebut didasari oleh sikap etatisme dalam melihat hubungan antara syariat dan negara. Padahal belakangan, beberapa studi menunjukkan bahwa penerapan syariat secara formal menimbulkan masalah baru seperti otoritarianisme, hilangnya kebebasan, ketidakadilan, diskriminasi perempuan, serta kecurigaan akan tendensi politik yang berlebihan dari umat Islam.[60] Wacana tersebut telah menyita energi dan perhatian umat Islam sehingga mengabaikannya dari masalah-masalah yang lebih prinsipil. Bahkan justru menciptakan konflik yang berlarut-larut tidak saja di tubuh umat Islam, melainkan juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[61]

Jika ditilik secara historis, fiqh di Indonesia, tanpa harus diformalisasikan, dalam institusi maupun undang-undang tertentu, telah menjadi semacam platform sosial yang mendasari tindakan serta keyakinan masyarakat. Penerapan fiqh tidak menunggu campur tangan lembaga resmi, melainkan diwujudkan dalam suatu artikulasi kultural dan sosial yang berjalan wajar. Justru ketika muncul tuntutan formalisasi fiqh, ada kekhawatiran di kalangan elemen masyarakat lainnya akan kuatnya ambisi politik umat Islam. Ini tentu saja membawa resiko fragmentasi di tubuh masyarakat, yang jika dibiarkan berlarut-larut akan berujung pada hancurnya ikatan sosial yang sebelumnya terbangun. Sedangkan di sisi lain juga mendorong tumbuhnya skripturalisme dalam memahami agama. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa tendensi ke arah formalisasi dengan segala variasinya tersebut adalah gejala anakronisme dalam sejarah umat Islam.[62]

8.Gerak Ganda Fiqh Multikultural

Fiqh Multikultural mempunyai dua gerak sekaligus, yaitu gerak mengubah dan gerak melestarikan. Mengubah artinya ia diarahkan untuk mengevaluasi sejumlah elemen destruktif dalam tradisi. Feodalisme, patriarkhi, serta sikap hidup yang fatalistik misalnya, masih akrab dijumpai dalam kultur etnik di Indonesia. Kecenderungan yang bukan saja menyalahi nilai dasar syariat, tetapi bertentangan dengan etika global saat ini. Ironisnya, masyarakat etnik memperlakukannya sebagai unsur-unsur nativistik yang perlu dijaga, sehingga tradisinya menjadi beban kultural yang membuatnya sulit berkembang.[63]

Pada titik ini, jika tidak dipahami secara tepat, Fiqh Multikultural bisa jadi memberikan semacam pembenaran bagi eksklusivisme seperti di atas. Sikap yang akhirnya menumbuhkan isolasi diri kolektif serta etnosentrisme yang mengganggu hubungan saling menghargai antar komunitas di dalam masyarakat multietnis dan kultural. Fiqh Multikultural sebaliknya justru menjadi energi eveluatif masyarakat dalam mengartikulasikan kembali tradisi serta nilai-nilai yang mereka anut. Proses ini mengandaikan keterbukaan dalam menerima unsur-unsur luar, karena hanya dengan itu suatu tradisi bisa mengalami tranpormasi yang kreatif sambil tetap menjaga vitalitas nilai-nilainya. Kekhasan suatu tradisi tidak lantas mematikan daya reflektif penganutnya dengan menegasikan eksistensi kelompok lain, akan tetap menumbuhkan kesadaran untuk terus belajar dan mengambil sesuatu yang positif di luar dirinya.[64]

Sedangkan gerak melestarikan bukan hanya diproyeksikan sebatas membangkitkan kultur asli dan memperlakukannya seperti barang-barang di mesium. Namun, sebagai satu cara menyiasati kontinuitas budaya dalam konteks yang terus berubah, dalam hal ini tradisi menghadapi dua problem sekaligus. Pertama, ia dihadapkan pada usaha puritanisasi yang sejak dua abad terakhir semakin intensif, yang kedua ancaman modernitas. Berbeda dengan yang pertama, modernitas tidak berusaha menyingkirkan tradisi dari kehidupan kekinian, dalam mengangkat dan menghadirkannya. Namun tradisi yang dihadirkan itu sudah mengalami seleksi, ada yang dibuang dan ada yang diangkat, tergantung pada relasi kuasa dan kepentingan modernitas yang bermain di sekitarnya.[65]

Karenanya, proyek pelestarian kembali tradisi tidak lain upaya membangun, menghadirkan dan mereifikasi demi kepentingan modernitas sendiri. Tradisi dalam pengertian ini bukan lagi seperangkat acuan nilai sosial dan kultural melainkan sebagai komoditas yang laris diperjualbelikan dalam industri kapitalisme. Modernitas pada hakikatnya mengabaikan tradisi. Ia menggerus maknanya, membekukan gerak dinamisnya dan mengubahnya menjadi rangkaian asesori yang unik. Fiqh Multikultural adalah usaha menumbuhkan spirit tradisi dan menjadikannya medium perlawanan terhadap konversi kultural tersebut. Konversi yang dihidupkan industri kapital dan dijaga keutuhannya oleh negara serta lembaga-lembaga keagamaan.[66]

Jika demikian, maka Fiqh Multikultural bukan semata-mata membela tradisi, tetapi bagaimana keyakinan dan aturan-aturan masyarakat itu tetap bertumpu pada keadilan. Wahid menyebutnya sebagai hal-hal yang mengagungkan martabat kemanusiaan, yang kemudian disimpulkan dalam lima prinsip dasar (al-kulliyyat al-khamsah) lima prinsip yang mendasari pembacaan dan manipestasi fiqh dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun mengenai prinsip-prinsip manakah yang lebih diprioritaskan diantara lima prinsip tersebut, tergantung dari kebutuhan serta problematika yang berjalan dalam satu komunitas. Ada kalanya hifzhud din lebih didahulukan dari pada yang lainnya, demikian pula sebaliknya. Ini bisa saja berbeda-beda sejalan dengan situasi yang dihadapi masing-masing komunitas. Dalam hal ini, menurut Asy-Syatibi tujuan dibentuknya syariat pertama-tama dimaksudkan untuk menegakkan maslahat dan mencegahnya timbulnya kerusakan dan ketidakadilan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid) semua aturan hukum selayaknya diorientasikan untuk mewujudkan tujuan dasar tersebut.[67]

Dari beberapa catatan di atas, jelaslah pengembangan fiqh ke depan diarahkan pada upaya menjadikannya etika bersama. Suatu etika yang mampu menciptakan pandangan hidup yang baru, yang lebih bisa menjamin kebutuhan akan pengembangan dan perubahan. Dalam hal ini, reinvensi menjadi sesuatu yang amat penting. Bagaimanapun “teks fiqh” harus diciptakan serta direposisi kembali ketika bertemu dengan konteks kebudayaan dan sosial yang berbeda-beda. Tidak sekedar memberikan cap Islam kepada sejumlah anasir lokal, melainkan memberikan ruang penafsiran[68] berdasarkan kemungkinan epistemis yang disediakan oleh tradisi itu sendiri.[69]

Hal ini mensyaratkan tumbuhnya etos baru, yang tidak sekedar repetisi dari kajian sebelumnya. Selama ini, studi tentang fiqh dikuasai oleh kecenderungan untuk semata-mata melihat fiqh dari karya-karya tertulis yang representatif. Terlihatlah tekanan yang berlebihan, perhatian yang hanya bertumpu pada tulisan, kebudayaan elit, dan budaya resmi. Sementara aspek-aspek lainnya, seperti bagaimana teks tersebut dihayati seorang muslim, tulisan-tulisan yang karena tekanan sosial dan politik terpinggirkan, serta kehidupan yang tidak tertulis pada kebudayaan yang tidak mempunyai tradisi penulisan semuanya luput dari perhatian. Suatu pembaharuan fiqh hanya bisa dilakukan dengan memberikan “cetak biru” pada dinamika kehidupan umat muslim sendiri, beserta seluruh keyakinan.

Kajian Fiqh dan Multikulturalisme Sebagai Alternatif.

Ilmu apapun yang disusun dikonsep, ditulis secara sistematis kemudian dikomunikasikan baik lewat lisan maupun tulisan mesti mempunyai paradigma kefilsafatan (keilmuan). Asumsi dasar seorang ilmuan berikut metode (process and procedur) yang diikuti, pendekatan (approach) berikut kerangka teori (the way to think) yang digunakan, peran akal, tolak ukur validitas keilmuan, prinsip-prinsip dasar, hubungan subjek dan objek merupakan beberapa hal pokok yang terkait dengan struktur fundamental yang melekat pada bangunan sebuah bangunan keilmuan, tanpa terkecuali masalah keilmuan kajian fiqh dan multikulturalisme. Dengan demikian tidak ada sebuah ilmupun – lebih-lebih yang telah tersistimatiskan sedemikian rupa – yang tidak memiliki stuktur fundamental yang dapat mengarahkan dan menggerakkan kerangka kerja teoritik maupun praksis keilmuan serta membimbing arah penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Stuktur fundamental yang mendasari, melatarbelakangi dan mendorong kegiatan praksis keilmuan adalah yang dimaksud dengan filsafat ilmu.

Dalam membahas wilayah kerja filsafat ilmu (keilmuan) ini, Harold I. Brown menulis sebagai berikut:

"Most scientific research consists, in this view of a continuing attempt to interprete nature in terms of a presupposed theoretical framework. This framework plays a fundamental role in determining what problems must be solved and what are to count as solutions to these problems; the most important events in the history of science are revolutions which change the framework. Rather than observations providing the independent data against which we test our theories, fundamental theories play a crucial role in determining what is observed, and the significance of observational data is changed when a scientific revolution takes pace. Perhaps the most important theme of the new philosophy of science is its empashis on continuing research, rather than accepted result, as the core of science. A result, analisys of the logical structure of completed theories is of much less interest than attemping to understand the rational basis of scientific discovery and theory change."[70]

Terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:

"Sebahagian besar penelitian keilmuan merupakan usaha yang terus-menerus untuk menafsirkan dan memahami seluk beluk alam (juga sosial, kemanusiaan, keagamaan, keislaman) lewat kerangka kerja teoritik yang disusun terlebih dahulu oleh para ilmuan/ peneliti: Kerangka kerja teoritik memainkan peran yang sangat besar dalam menetukan permasalahan (problem) apakah yang harus dipecahkan dan hal-hal apa sajakah yang dapat dianggap sebgai pemecahan terhadap permasalahan tersebut; Sebahagian besar peristiwa-peristiwa penting yang tercata dalam sejarah ilmu pengetahuan (history of science) selalu merupakan temuan-temuan radikal (revolution) yang mampu merubah kerangka kerja teoritik keilmuan yang disusun oleh para ilmuan sebelumnya. Bukannya penelitian dan pengamatan (observation) yang menyuguhkan data lepas dan dengan data tersebut kita uji teori-teori yang kita miliki, tetapi teori-teori fundamentallah yang lebih memerankan peran yang sangat berarti didalam menentukan arti data yang sedang diteliti. Lebih-lebih lagi, dalam kenyatan di lapangan, arti penting data yang terkumpulkan di lapangan akan segera berubah maknanya ketika revolusi ilmu pengetahuan terjadi. Boleh jadi, tema-tema yang paling penting dalam filsafat ilmu yang baru adalah penekanannya pada penelitian yang berkesinambungan dan bukannya pada hasil-hasil yang telah diterima sebagai inti pokok kegiatan ilmu pengetahuan. Sebagai hasilnya, analisis terhadap struktur logika dari teori-teori yang telah mapan dan sempurna tidak lagi begitu menarik dibandingkan usaha untuk memahami basis rasionalitas dari penemuan ilmiah dan penemuan teori".

Dalam sudut pandang filsafat ilmu, kerangka teori atau kerangka konseptual ternyata sangat pokok dan memiliki kedudukan yang vital dalam wilayah kerja keilmuan, karena basis rasionalitas keilmuan memang ada di dalamnya. Tidak hanya itu, arah dan kedalaman analisis akademik juga dapat dilacak dan dipantau dari kerangka teori yang digunakan. Untuk itu, adalah tugas para pemerhati, praktisi dan pengajar studi fiqh dan multikulturalisme untuk menjawab, mencermati dan merumuskan ulang kerangka berpikir filsafat ilmu untuk wilayah fiqh dan multikulturalisme Studies. Jika fiqh dan multikulturalisme Studies adalah bangunan keilmuan biasa, karena ia disusun dan dirumuskan oleh cerdik pandai pada era terdahulu dengan tantangan kemanusiaan yang dihadapi saat itu seperti layaknya bangunan ilmu-ilmu yang lain, tidak ada alasan lain yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menghindarkan diri dari pertemuan, dialog, perbincangan dan pergumulannya dengan tela'ah filsafat ilmu.[71]

Pemikiran fiqh preskriptif ini bertujuan menggali norma-norma Islam dalam tataran das sollen, yaitu norma-norma yang dipandang ideal untuk dapat mengatur tingkah laku manusia dan menata kehidupan bermasyarakat yang baik. Dalam pandangan yang tidak tepat dari banyak orang Muslim, dengan fiqh biasanya hanya dimaksudkan kumpulan peraturan konkret berupa halal, haram, makruh, mubah, atau sunnah saja. Bila disebut fiqh yang terbayang oleh mereka hanyalah kategori-kategori tersebut. Pengertian seperti ini jelas tidak tepat. Selain terdiri atas kategori penilaian seperti halal atau haram, fiqh juga terdiri atas kategori-kategori relasional. Lebih penting lagi adalah bahwa Islam sesungguhnya terdiri atas norma-norma berjenjang ( bertingkat/berlapis).

Di zaman lampau pelapisan itu terdiri atas dua tingkat norma: peraturan konkret ( al-ahkam al-far’iyyah ), dan asas-asas umum (al-usul al-kuliyyah). Asas-asas umum itu dalam pandangan para ulama Islam klasik mencakup kategori yang luas sehinggan meliputi pula nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah) Islam. Oleh karena itu, untuk praktisnya norma-norma tersebut dapat dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu (1) peraturan konkret, (2) asas-asas umum, dan (3) nilai-nilai dasar.

Di dalam Alquran secara harfiyah dan secara implisit banyak ditemukan nilai-nilai dasar fiqh yang menjadi nilai-nilai dasar norma Islam juga. Misalnya tauhid, keadilan, persamaan, kebebasan, tasamuh, taawun, dan sebagainya. Dari nilai-nilai dasar ini diturunkan asas-asas umum Islam dan dari asas-asas umum diturunkan peraturan konkret. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa suatu peraturan norma konkret berlandaskan kepada atau dipayungi oleh asas umum dan asas umum dipayungi oleh nilai dasar. Dari nilai dasar kebebasan misalnya diturunkan suatu asas hukum dalam hukum perikatan, yaitu asas kebebasan berkontrak ( mabda hurriyah al-ta’aqud) dan dari asas ini diturunkan peraturan konkret berupa, misalnya, kontrak berjangka komoditi adalah mubah hukumnya. Oleh karena itu, idealnya studi fiqh untuk merespons persoalan multikulturalisme di Indonesia juga diarahkan kepada penggalian asas-asas dengan mempertimbangkan pendekatan pertingkatan norma sehingga lebih mudah merespons berbagai perkembangan masyarakat dari sudut hukum Islam, termasuk dalam merespon persoalan multikulturalisme.

Accommodative

Pemenuhan hak-hak individu, komunal;

· Kontekstualitas: tailor made approach;

· Bottom-up approach berdasarkan consensus melalui ‘a fair and free communicative action.’

Liberal

HAM:

Pemenuhan hak-hak individu berdasarkan Universal Declaration of Human Rights;

One-fits-for-all approach;

Top-down approach didukung oleh formal regulasi & liberal laws.

Ide dasar Multikulturalisme:

Pengakuan

dan

akomodasi

Nilai-nilai Dasar Kemanusiaan

Text Box: Liberal opproachText Box: Accomodative opproach

Liberalisme:

Individualisme, debat, dan sekulerisme

Masyarakat

“Barat”:

Islamic Values:

Komunalisme, konsensus, dan relijius

Masyarakat Islam/Muslim

Text Box: Alternatif metode penyelesaian multikulturalismeText Box: Alternatif metode penyelesaian multikulturalisme  identitasSTUDI FIQH DALAM BINGKAI MULTIKULTURALISME SBG MODEL ALTERNATIF ( Dwi Ardhanariswari Sundrijo, dalam Jurnal Politik Internasional Global, vol. 9 No. 2 Desember 2007-Mei 2008, hlm.170.)


Studi multikulturalisme menimbulkan suatu kebutuhan bersegera (urgent needs) bagi masyarakat Islam/Muslim (termasuk di Indonesia) untuk memiliki sebuah mekanisme penanganan yang tepat bagi permasalahan sosial yang mungkin timbul akibat multikulturalisme ini. Salah satu alernatifnya adalah kebijakan multikulturalisme yang wacananya mulai berkembang sejak awal 1970-an. Pada dasarnya yang ditawarkan oleh pendekatan multikulturasnisme, yaitu pengakuan terhadap keberagaman budaya dan penerapannya dalam berbagai aspek kehidupan. Hanya saja, banyaknya literatur Barat yang membahas pemikiran ini, telah memberikan bobot pengaruh liberalisme yang terlalu berlebihan pada ide-ide multikulturalisme, sehingga seolah-olah pemikiran ini identik dengan liberal multikulturalisme padahal sesungguhnya tidak harus demikian. Operasionalisasi dari underlying idea dari multtikulturalisme dapat saja (dan memang seharusnya) bersifat kontekstual.

Jika pemikiran ini diterapkan di negara Barat yang masyarakatnya meyakini nilai-nilai liberalisme, ide dasar multikulturalisme dapat diterjemahkan dalam bentuk liberal multikulturalisme seperti yang selama ini diterapkan di Kanada dan Australia serta beberapa negara Barat lainnya; dan bila pemikiran ini ingin diterapkan di masyarakat Islam/Muslim seperti Indonesia, kerangka acuannya adalah Islamic Values dan local wisdom. Sehingga seperti yang ditawarkan dalam tulisan ini, model yang tepat adalah bersifat accommodative.[72] Akan berbeda pula operasionalisasinya di kawasan lain yang meyakini nilai-nilai yang berbeda. Bagan tersebut menggambarkan alur logika yang dikembangkan dalam tulisan ini. Sebagai sebuah wacana yang baru, masih banyak yang dapat lebih lanjut dikaji dari ini. Antara lain misalnya dari landasan filosofi, bagaimana critical theory (yang menjadi landasan ide accommondative multiculturalism) dapat berjalan seiring dengan liberalisme (yang mendasari perkembangan multiculturalism). Dan tentu saja dari tinjauan praktis, harus dianalisa secara lebih mendalam bagaimanakah kemungkinan penerapan wacana ini dalam keseharian.



[1]Komaruddin Hidayat, “ Peran Sosial Agama”, dalam Kompas (opini), Rabu, 18 Juni 2000, p. 65. dan Yusdani, “ Revitalisasi Peran Publik Agama”, dalam Jawa Pos (opini), 15 Juli 2005. Komaruddin Hidayat, “Kegagalan Peran Sosial Agama”, dalam Zainuddin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa, Konstruksi tentang Realitas Agama dan Demokratisasi (Yogyakarta: Galang Press, 2000), hlm xxv

[2] Komaruddin Hidayat, “ Peran …” , p. 65. Komaruddin Hidayat, “Kegagalan Peran Sosial Agama”, dalam Zainuddin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa, Konstruksi tentang Realitas Agama dan Demokratisasi (Yogyakarta: Galang Press, 2000), hlm.xxvi

[3]Ibid.

[4]Wacana tentang formalisasi syariat Islam dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan topik kontekstual bagi dunia politik Indonesia. Setidaknya ada tiga kondisi yang membuat wacana seputar formalisasi syariah kini menjadi sangat kontekstual. Pertama, adanya upaya sebagian partai politik, khususnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) dalam Sidang Tahunan MPR Agustus 2002 untuk mengamandemen pasal 29 UUD 1945 dengan memasukkan "tujuh kata" ("dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya") dalam Piagam Jakarta agar formalisasi syariah mempunyai landasan konstitusional yang jelas di Indonesia.Kedua, adanya formalisasi beberapa elemen syraiah Islam oleh birokrat pada sebagian daerah di Indonesia, seperti propinsi Nanggroe Aceh Darus Salam (NAD), juga di Kabupaten Cianjur dan Tasikmalaya di Jawa Barat. Patut dicatat pula adanya upaya-upaya untuk memformalisasikan syariah Islam di tempat lain seperti di Sulawesi Selatan. Ketiga, adanya seruan dan kampanye untuk mengajak masyarakat untuk memformalisasikan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan, seperti yang dilakukan beberapa kelompok dan gerakan Islam, misalnya Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam, dan Majelis Mujahidin Indonesia, Muhammad Shiddiq Al-Jawi, "Formalisasi Syariah Suatu Keharusan",Pengantar Penyunting Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Shalih al-Wakil, Formalisasi Syariah Islam dalam Kehidupan Bernegara Suatu Studi Analisis, terjemahan al-Fakhr ar-Razi dari judul asli At-Tasyri' wa Sann al-Qawanin fi ad-Daulah al-Islamiyah: Dirasah Tahliliyah ( Yogyakarta: Media Pustaka Ilmu,2002),p.v-vi.

[5]Sindhunata dalam Charles Kimball. 2003. Kala Agama Jadi Bencana Pengantar Dr. Sindhunata terjemahan Nurhadi dari When Religion Becomes Evil. Bandung: Mizan. hlm.13-21.

[6]Ibid, hlm.27.

[7]1. Klaim kebenaran. Adanya klaim ini pada gilirannya mendegradasi pemahaman umat beragama terhadap ke-Segala-Maha-an Tuhan. Biasanya hal ini disebabkan pemeluk agama meyakini bahwa kitab suci mereka memang mengajarkan kebenaran monolitik (tunggal). Penafsiran kitab suci, dengan demikian berperan penting dalam mewarnai sikap umat beragama.2. Ketaatan buta terhadap pemimpin agama. Munculnya gerakan-gerakan keagamaan radikal, seperti People Temple pimpinan Jim Jones di Guyana, atau Aum Shinrikyo di bawah pimpinan David Koresh di Texas, tak elak dari ketaatan buta ini. Darinya lahir keberagamaan yang membabi buta dan fanatisme berlebihan. 3. Upaya-upaya membangun zaman ideal. Dalam hal ini dijelaskan bahwa jika visi agama tentang zaman ideal itu diwujudkan dan para pemeluknya meyakininya sebagai kehendak Tuhan sendiri, maka agama sebenarnya telah terkorup, dan karenanya jahat. Di Afghanistan, dapat disaksikan bagaimana rezim Taliban berbuat kekejaman terhadap warganya sendiri dengan dalih ketaatan terhadap syariat Islam.4.Tujuan menghalalkan segala cara. Tanda ini biasanya terjadi pada komponen-komponen agama, baik berkaitan identitas maupun institusi agama. Ambisi menunjukkan identitas agama Kristen, misalnya, telah mengakibatkan pembantaian orang Yahudi pada masa Nazi. 5. Perang Suci. Puncak dari keempat tanda ini adalah merebaknya ide perang suci (holy war atau jihad). Di sepanjang sejarah, ide inilah yang melandasi terjadinya kekerasan dan konflik agama. Ini juga yang tampak pada peristiwa terjadinya pengeboman gedung WTC di Amerika, bom Bali dan aksi-aksi terorisme lainnya, juga berada dalam kerangka menegakkan perintah suci Tuhan yang dianggap pelakunya sebagai jalan suci. Charles Kimball.2003. Kala Agama Jadi Bencana Pengantar Dr. Sindhunata terjemahan Nurhadi dari When Religion Becomes Evil.( Bandung: Mizan, 2003).hlm. 84-263

[8]Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak. Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan, Adrian Renaldi, "Radikalisme Agama Ancaman bagi Pemilu 2004?" From http://www.sinarharapan.co.id/berita/0402/10/opi02.html,accessed, 4 Agustus 2009.

[9]Menurut sosiolog Jerman, Max Weber, struktur dan tindakan suatu kelompok sosial berasal dari komitmennya pada sistem kepercayaan tertentu, yang juga menjadi asal tujuan, standar perilaku dan legitimasi kekuasaan. Meski teori ini sampai kini masih menimbulkan pro-kontra, namun tak dapat dibantah bahwa agama merupakan salah satu faktor yang sedikit banyaknya memiliki andil dalam pembentuk hal ini, di samping faktor-faktor lain seperti politik dan ekonomi. Salah satu hal yang merupakan manifestasi dari fungsi ini adalah bahwa agama bisa terefleksi menjadi faktor integratif bagi pemeluknya, dan sekaligus faktor disintegratif antarpemeluk agama yang berbeda terutama jika agama ini dipahami secara absolut dan eksklusif. Kasus konflik sosial di Ambon yang kemudian meluas menjadi kasus Maluku merupakan contoh konkret bagi fungsi potensial agama ini. Memang kasus Maluku ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, termasuk faktor ekonomi dan politik. Namun jelas, bahwa agama menjadi satu faktor yang cukup dominan juga. Kenyataan ini mendorong kita untuk melihat bagaimana umat beragama memposisikan dan menginterpretasikan ajaran agama mereka masing-masing, terutama dalam konteks kehidupan masyarakat bangsa yang plural ini, baca Masykuri Abdillah, "Agama dalam Pluralitas Masyarakat Bangsa" dalam Harian Kompas (opini) Jumat 25 Februari 2000.

[10]Pandangan senada pernah dikemukakan masing-masing dalam Cita dan Fakta Toleransi Islam (Arasy, 2003) karya Khaled Abou El Fadl dan The Heart of Islam karya Seyyed Hosein Nasr (Mizan 2003). Karya Nasr ini mencoba menghadirkan visi universal dan keterbukaan Islam baik secara normatif maupun historis. Nasr, dengan visi Islam tradisionalnya, menampik kekerasan atas nama agama. Baginya, pluralisme agama bukan untuk diperkeruh dengan berbagai konflik tetapi justru ditempatkan pada upaya pencapaian spiritualitas universal agama-agama. Jika buku El Fadl dan Seyyed Hosein Nasr berbicara dalam konteks agama Islam, Kimball dengan karyanya tersebut memberikan perspektif seorang Kristiani yang banyak bergumul dengan soal-soal hubungan antaragama.

[11]Antara lain, pertama, adanya wawasan keagamaan yang keliru. Kedua, penyalahgunaan simbol agama. Ketiga, lingkungan yang tidak kondusif yang terkait dengan kemakmuran dan keadilan. Keempat, faktor eksternal yaitu adanya perlakuan tidak adil yang dilakukan satu kelompok atau negara terhadap sebuah komunitas. Akibatnya, komunitas yang merasa diperlakukan tidak adil bereaksi. Oleh karena itu, terorisme hanya dapat dicegah secara fundamental kalau keempat pokok masalah tersebut disentuh. Hasyim Muzadi, dalam Kompas tanggal 2/9/03.

[12] Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002, sumber:http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps.htm accessed 4 Agustus 2009.

[13]Ibid. Dalam soal kemajemukan agama misalnya, Biro Pusat Statistik (BPS) menurut sensus tahun 1990 mencatat agama yang dianut penduduk Indonesia sebagai berikut: Penganut Islam 156.318.610 (87,21%), Kristen Protestan 10.820.769 (6,04%), Katholik 6.411.794 (3,58%), Hindu 3.287.309 (1,83%), Budha 1.840.693 (1,02%), dan lainnya 568.608 (0,32%). Belum terhitung jumlah sekte dan aliran, Lembaga dan organisasi-organisasi keagamaan yang mencapai puluhan bahkan ratusan.

[14]Adrian Renaldi, "Radikalisme Agama Ancaman bagi Pemilu 2004?" From http://www.sinarharapan.co.id/berita/0402/10/opi02.html,accessed, 4 Agustus 2009..

[15]Ibid. Gerakan inklusif didasarkan pada dua hal, yaitu pertama, secara diskursif, gerakan inklusif umat diyakini sebagai penopang bagi terciptanya harmonisasi sosial masyarakat di era multikultural. Karena bagaimanapun, multikulturalisme adalah suatu kenyataan historis di dalam masyarakat yang harus disikapi secara baik. Di sinilah eksklusivitas beragama yang diyakini secara total sebagai kebenaran agama (religious truth) dapat menjadi batu sandungan ideologis untuk menyampaikan pesan perdamaian. Itu sebabnya, pendidikan pluralis tetap menjadi prioritas utama dalam menjembatani doktrin eksklusif yang selama ini diyakini umat.
Kedua, secara praksis, praktik kehidupan beragama yang masih mendikotomikan klaim kebenaran dan keselamatan di dalam masing-masing umat agama mesti dikikis habis agar tidak terjadi sikap saling menyalahkan antara satu agama dengan agama lainnya. Bukankah, problem pluralisme kerap kali disebabkan oleh fanatisme kebenaran agama yang menimbulkan sikap-sikap radikal. Karena itulah, upaya-upaya konkret untuk membangun toleransi antarumat beragama mesti terus dilakukan sebagai bagian dari proses sosial yang berkelanjutan.

[16]Ibid.

[17] Muhammad Abed al-Jabiri, Takwininul ‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al’Arabiyah, 1989), hlm. 97.

[18] Fiqh didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan mengenai berbagai hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia dan diperoleh dari sumber-sumber yang otoritif. Diterjemahkan dalam istilah Indonesia menjadi “hukum Islam” dan tidak jarang disebut dengan “syari’ah”. Lihat Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 35.

[19] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 112.

[20] Uraian mengenai keterkaitan antar teks, penafsir dan situasi sosio-kultural yang melatarinya daalam memahami pesan-pesan Tuhan terdapat dalam Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadin, 1996).

[21] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 112.

[22] Ibid., hlm. 112.113.

[23] Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001), hlm. 117.

[24] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 113.

[25] Fathurarahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 77.

[26] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 113.

[27](QS. Al-Maidah (5):48).

[28] (QS. Al-Hujurat (49):13)

[29] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas ., hlm. 113-114.

[30] Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan; Dialog Fiqh Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 27-42.

[31] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 114.

[32] Ibid., hlm. 114-115.

[33]Keterangan yang sangat baik mengenai hal ini terdapat dalam Alwi Shihab, Islam Sufistik (Bandung: Mizan, 2001).

[34] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 115.

[35] Ibid., hlm. 115-116.

[36] Edy Utama, “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (Konstuksi tentang Islam dan Adat), terlampir dalam Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam (Jakarta: Desantara, 2002), hlm. 124-129.

[37] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 116.

[38] Ibid,. hlm.116-117.

[39] Sebutan Wetu Telu menurut Erni Budiwanti, di kalangan penduduk mayoritas Lombok diubah menjadi Waktu Telu (waktu tiga) yang dikaitkan dengan reduksi ibadah formal menjadi tiga. Waktu Telu adalah bentuk stigmatisasi yang diberikan untuk menandai komonitas yang mempraktikan sinkretisme serta larangan agama lainnya, seperti minum-minuman keras. Erni sendiri cenderung negatif dalam memberikan penilaian terhadap komunitas ini. Baginya Wetu Telu tidak lain dari agama tradisional yang berciri parokial dan lebih mementingkan hal-hal duniawi. Selanjutnya baca Erni Budiwanti, Islam Sasak (Yogyakarta LKiS, 2000), hlm. 33.

[40] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 117.

[41] Berbeda dengan Erni, Heru Prasetya melihat komunitas ini dari perspektif relasi kuasa yang lebih luas yang selalu ditandai dengan ketegangan antara ajaran-ajaran agama resmi dan agama lokal. Heru Prasetya, Masyarakat Adat Wet Semokan: di tengah ketegangan ujaran dan ajaran, dalam Hikmat Budiman (ed), Hak Minoritas (Dilema Multikulturalisme di Indonesia), (Jakarta: Yayasan TIFA, 2005), hlm. 107-168.

[42] Abdul Mu’im DZ, “Mempertahankan Keragaman Budaya, “ dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 14, 2003, hlm. 7.

[43] Ahmad Baso, Islam Pasca Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 214-256.

[44] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 118-119.

[45]Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas dalam Perspektif Multikulturalisme”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Islam Nusantara, Edisis No. 26 Tahun 2008, hlm.119 dan M. Nurkhoiron, Agama dan Kebudayaan; Menjelejahi Isu Minoritas dan Multikulturalisme di Indonesia, dalam Hikmat Budiman (ed), Hak Minoritas (Dilema Multikulturalisme di Indonesia ), (Jakarta: Yayasan TIFA, 2005), hlm. 44.

[46] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 119.

[47] Ibid.

[48] Lima prinsip itu adalah memelihara agama (Hifzhud din), memelihara jiwa (hifzhun nafs), memelihara akal (hifzhul ‘aql), memelihara keturunan (hifzhun nasl) dan memelihara harta (hifzhul mal). Menurut Abu Zahra ke lima dasar itu telah menjadi salah satu dalil pengambilan dan penetapan hukum yang dikenal dengan Maslahat Mursalah. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 423.

[49] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm.120.

[50] Ibid.

[51] Zainul Milal Bizawie, “Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam” , Jurnal Tashwirul Afkar, edisi 14, 2003, hlm. 41.

[52] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 120.

[53] Ibid., hlm. 121.

[54] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syariah (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 111-130.

[55] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 121-122.

[56] Tesis Geertz ini ditolak oleh seorang pakar studi Islam yang lain bernama Mark R. Wodward. Bagi Wodward tidak ada bentuk sinkretisme dalam Islam jawa. Islam jawa setara dengan Islam yang berkembang di belahan dunia lainnya. Konplik yang selama ini muncul bukanlah konflik antara Islam dan kejawaan, melainkan persaingan internal antara Islam normatif dan Islam kultural. Lihat Mark R. Wodward, Islam jawa (Yogyakarta: LKiS, 1999).

[57] Ulil Abshar Abdallah, “Serat Centhini”, Sinkretisme Islam dan dunia orang jawa”, Kompas, 04 Agustus 2000.

[58] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 122.

[59] Ibid., hlm. 122-123.

[60] Di antaranya penelitian yang dilakukan Taufik Adnan Amal dan Samsul Rizal Panggabean terhadap sejumlah daerah dan organisasi radikal di Indonesia, serta beberapa negara Muslim seperti Mesir, Sudan, Nigeria, Pakistan, Afghanistan dan Malaysia. Isu penerapan syariat Islam di beberapa daerah tersebut cenderung simplistic dan tidak didasarkan pada analisis yang serius terhadap masalah kontemporer yang dihadapi masyarakat Muslim. Mereka didorong oleh semangat: “Gunakan syariat dan semuanya akan beres”. Taufik Adnan Amal dan Samsul Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam (Jakarta: Alvabet, 2004).

[61] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 123-124.

[62] Ibid., hlm. 124.

[63] Ibid.

[64] Ibid., hlm. 124-125.

[65] Mengenai hal ini baca Ahmad Baso, “Tradisi Sebagai Invensi, “ Kompas, 06 September 2002, hlm. 27.

[66] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 125.

[67] Imam Asy-Syatibi dikenal sebagai bapak Maqashidusy Syariah. Di tangannya, Maqashidusy Syariah menjadi teori perumusan hukum yang utuh dan sistematis. Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushulisy Syariah (Beirut: Darr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), juz II.

[68] Ide Penafsiran ini agak mirip dengan konsep Bassam Tibi, seorang cendekiawan Syiria yang sekarang tinggal di Jerman, tentang “Cultural Accomadition”. Hanya saja Tibi memaksudkannya tela’ah hubungan antara Islam dan modernisme yang datang dari barat. Lihat Ulil Abshar Abdalla, “Kegelisahan Kyai Desa di Kota Metropolitan Jakarta, “Majalah Basis, No. 03-04, Tahun ke- 49, 2000), hlm. 24.

[69] Zuhri Humaidi, “Fiqh dan Lokalitas., hlm. 126.

[70] Harold 1. Brown, Perception, Theory and Commitment: The New Philosophy of Science, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1977), h. 9-11. Untuk wilayah humanities dan Social Science lihat Steve Fuller, Social Epistemology, (Bloomingtoon and Indianapolis, Indiana University Press, 1988).

[71] M. Amin Abdullah, "Preliminary Remarks on the Philosophy of Islamic Religious Science" al-Jami'ah, No. 61, TH. 1998, hlm. 1-26; juga "Kajian ilmu Kalam di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era Melenium Ketiga" al-Jami'ah, No. 65/ VI/ 2001. hlm. 78-101.

[72]Dwi Ardhanariswari Sundrijo, “Accomondative Multiculturalism: Alternatif Pendekatan terhadap Masalah Keragaman Budaya di Asia Tenggara”, dalam Jurnal Politik Internasional Global, vol. 9 No. 2 Desember 2007-Mei 2008, hlm 166-167.

Tidak ada komentar: