Kamis, 03 Maret 2011


          Fiqh Kesetaraan Gender di Indonesia
Pendahuluan
Gagasan awal otonomi daerah (Otoda) adalah membangun demokrasi dengan ciri utama pastisipasi seluruh masyaraklat, termasuk di dalamnya perempuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat yang selama ini terabaikan. Otoda merupakan suatu kebijan yang memberikan kewenangan kepada daerah dalam batas-batas tertentu agar leluasa mengatur wilayahnya menjadi lebih mandiri dan lebih berkembang sehingga masyarakatnya menjadi lebih sejahtera.[1]
Namun, setelah tujuh tahun pelaksanaan Otoda, yang terjadi alih-alih mensejahterakan, malahan membuat masyarakat, khususnya kaum perempuan, terpimggirkan dan jauh dari ukuran sejahtera. Sejak Otoda digulirkan sampai akhir 2006 tercatat 56 produk kebijakan peraturan daerah dalam berbagai bentuk: Peraturan Daerah (Perda), qanun, surat edaran, dan keputusan kepala daerah. Produk kebijakan daerah tersebut secara tegas berorientasi pada ajaran moral Islam sehingga pantas dinamakan Perda Syari’at Islam.[2]
Sebagian perda tersebut secara stuktural dan spesifik mengatur kaum perempuan. Sayangnya, pengaturan terhadap perempuan bukan dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan, melainkan lebih dimaksudkan sebagai pengucilan dan pembatasan. Perda-Perda tersebut meneguhkan subordinasi perempuan; membatasi hak kebebasan perempuan; membatasi ruang gerak dan mobilitas perempuan; serta membatasi waktu beraktivitas perempuan pada malam hari. Secara eksplisit perda-perda itu mengekang hak dan kebebasan asasi manusia perempuan; menempatkan perempuan hanya sebagai obyek hukum dan bahkan lebih rendah lagi sebagai obyek seksual. Perda-perda yang mengandung pembatasan terhadap kedaulatan perempuan dan juga berpotensi melahirkan prilaku kekerasan terhadap perempuan[3] harus digugat dan direvisi karena menyalahi prinsip-prinsip dasar negara Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 1945.[4]
Selain itu, produk kebijakan tersebut jelas mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik. Bahkan, lebih parah lagi Perda-perda tersebut menyimpang dari esensi ajaran Islam yang menempatkan manusia, perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai makhluk terhormat dan bermartabat, serta memiliki hak dan kebebasan dasar yang harus dihormati. Pembatasan dan pengekangan terhadap perempuan berarti menegasikan keutuhan kemanusiaan perempuan dan Tuhan pasti tersinggung melihat perempuan, makhluk ciptaan-Nya dimarjinalkan.[5]
Salah Kaprah Memahami Otonomi Daerah
Mengapa harus memilih Otoda? Otoda dipilih karena merupakan salah satu media yang meyakinkan untuk membangun demokrasi. Sampai sekarang, demokrasi masih dinilai sebagai suatu sistem pemerintahan terbaik karena sistem tersebut paling mampu merefleksikan sifat-sifat good governance (Taylor: 1999). Konsep Otoda pada hakekatnya merupakan bagian dari proses demokratisasi yang mengutamakan tranparansi dan partisipasi aktif dari seluruh warga masyarakat. Tentu saja yang dimasud dengan masyarakat di sini selalu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Otoda yang terwujud melalui UU no 32 Tahun 2004 adalah konsekuensi logis dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi.[6]
Otoda harus dipahami sebagai sebuah proses membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan  berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan. Dalam perumusan setiap kebijakan publik harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu, siapa yang diuntungkan, apa resiko yang harus ditanggung, dan siapa yang harus bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal.[7]
Otoda berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan lokal di daerah, membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengmbangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif. Otoda akan berhasil manakala terpenuhi minimal dua syarat. Pertama, implementasi Otoda sungguh-sungguh diikuti dengan pembenahan borikrasi pemerintah sehingga mendekatkan pelayanan pemerinah terhadap rakyat. Kedua, apabila Otoda dapat mewujudkan desentralisasi pengelolaan keuangan yang dioreintasikan sepenuhnya kepada kebutuhan masyarakat di daerah.[8]
Akan tetapi, yang terwujud bukanlah otonomi masyarakat daerah secara keseluruhan, melainkan otonomi dari aspek pemerintah daerah saja. Artinya, pemerintah daerah berusaha semaksimal mungkin mengambil alih semua kewenangan pemerintah pusat dengan membuat berbagai kebijakan yang pada dasarnya sama dengan watak kebijakan pemerintah pusat yang sentralistik, otoriter, dan tidak melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Akibatnya, seperti yang tampak sekarang dua elemen penting dalam proses Otoda, yaitu transparansi dan partisipasi warga tidak muncul sama sekali. Hasil yang terwujud kemudian adalah pemerintah daerah yang otoriter, tidak transparan, dan tidak demokratis.[9]
Ketidaksiapan Berdemokrasi
Berbicara tentang demokrasi dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, maka faktor kultur politik merupakan elemen yang sangat signipikan. Pertanyaan yang muncul, apakah kultur politik Islam kondusif bagi penegakan sistem demokrasi. Ternyata ada dua varian jawaban: pertama, memandang kultur politik Islam merupakan kendala besar bagi upaya penegakan demokrasi. Kedua, melihat kultur politik Islam bukan hambatan yang signifikan bagi penegakan demokrasi.[10]
Dalam konteks ini, sebuah hasil penelitian mengungkapakan bahwa kultut politik Islam atau oreintasi terhadap nilai-nilai Islam dapat dilihat dari dua perspektif, yakni oreintasi nilai-nilai politik simbolik Islam dan oreintasi atas politik Islam sebagai tuntutan legal spesifik. Menarik dicatat bahwa sejumlah penelitian mengungkapakan mayoritas umat Islam mendukung nilai-nilai pilitik Islam, tetapi sebaliknya kurang setuju terhadap tuntutan legal spesifik atau tuntutan formalisasi politik Islam. (laporan PPIN: 2001).[11]
Lebih lanjut penelitian itu mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat muslim Indonesia (58%) menyatakan dukungan mereka terhadapa pembentukan pemerintahan Islam, yakni pemerintahan yang didasarkan atas Al-Qur’an dan Sunnah di bawah kepemimpinan ulama. Bahwa sebagian besar (61%) masyarakat Islam setuju kalau negara mewajibkan pelaksanaan syari’at Islam. Akan tetapi, ketika pengertian syari’at Islam dielaborasi dalam pengertian yang lebih konkret dan lebih operasional timbul sejumlah interpretasi dan penafsiran yang sangat beragam, dan sering kali satu sama lain saling berbeda, bahkan tidak jarang saling berkontradiksi.[12]
Suatu fakta yang tidak dapat dibantah bahwa mayoritas umat Islam menghormati Al-Qur’an, Sunnah, dan syari’at Islam, tetapi ketika ketiga kata kunci tersebut mulai dijelaskan dalam konsep-konsep yang operasional muncul pandangan dan sikap yang beragam. Salah satu idikator yang dapat dikemukakan di sini adalah bahwa ternyata dukungan positif terhadap ide penegakan syari’at Islam seperti yang diperjuangkan organisasi-organisasi Islam sepeti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad, dan Darul Islam tidak menggembirakan. Demikian pula hanya sedikit yang mendukung gagasan bahwa pemilu hanya dimaksudkan untuk memilih calon-calon pemimpin yang ahli dalam agama Islam. Lebih kecil lagi dukungan terhadap gagasan bahwa pemilu hanya untuk memilih partai Islam. Dukungan yang sama kecilnya dikemukakan terhadap gagasan perlunya penegakan hukum rajam bagi pezina, hukum potong tangan bagi pencuri, penghapusan bunga bank, dan perlunya pengawasan polisi terhadap pelaksanaan shalat wajib dan puasa Ramadhan. Juga menarik dicatat bahwa hanya segolongan kecil yang mendukung ide perlunya muhrim bagi perempuan bila bepergian jauh atau larangan bagi perempuan berkhalwat atau berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.[13]
Penelitian lain dalam bentuk jajak pendapat dilakukan oleh Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Makassar (2001) tentang Agenda Permasalahan dan Persiapan Pemberlakuan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan memperlihatkan temuan yang signipikan. Temuan itu antara lain menjelaskan bahwa agenda paling mendesak untuk ditangani berkaitan dengan rencana pemberlakuan syari’at Islam di Sulsel adalah persoalan pemahaman masyarakat tentang syari’at Islam. Karena itu program utama yang harus dijalankan menurut responden adalah upaya sosialisasi pemahaman syari’at Islam. Temuan ini jelas menunjukkan bahwa pemahaman mayoritas umat Islam sendiri masih kabur terhadap konsep syari’at Islam atau paling tidak mereka perlu penjelasan yang lebih rinci tentang apa yang dikehendaki dengan syari’at Islam.[14]
Lebih menarik lagi bahwa ternyata tidak sampai setengah dari responden yang beragama Islam setuju terdapap rencana pemberlakuan syari’at Islam di kawasan itu. Selebihnya memperlihatkan sikap ragu-ragu, tidak setuju dan tidak menjawab. Sementara responden yang non-Muslim  seluruhnya menyatakan sikap tidak setuju atas rencana tersebut. Karena itu, hasil survey merekomendasikan agar aspirasi tentang rencana pemberlakuan syariat Islam di Sulawesi Selatan ditanggapi dan dipahami secara hati-hati. Hal itu dimaksudkan agar rencana tersebut tidak mengganggu tatanan sosial serta keutuhan berbangsa dan bernegara.[15]
“Memperebutkan” Perempuan dalam Kebijakan Publik
Sebuah pertanyaan kritis muncul. Mengapa perempuan selalu menjadi kelompok yang diperebutkan? Dalam berbagai diskursus, perempuan selalu menjadi isu yang diperebutkan (contested). Lihat saja misalnya dalam diskursus sekularisme dan revivalisme. Sekularisme hadir dengan mengusung ide pokok, yakni melepaskan diri dari ajaran agama, dan salah satu ajaran agama yang dimaksudkan itu adalah ajaran yang memandang perempuan sebagai makhluk setengah laki-laki sehingga hak waris perempuan hanya setengah hak laki-laki; jumlah kambing untuk akikah anak perempuan setengah dari jumlah kambing untuk anak laki-laki; persaksian dua perempuan dinilai setara dengan persaksian satu laki-laki dan seterusnya. Dengan melepaskan diri dari ajaran agama, sekularisme menawarkan hak yang sama begi semua orang, hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan atau dikenal dengan istilah emansipasi perempuan.[16]
Sebaliknya, revivalisme yang lahir sebagai respons terhadap sekularisme  mengajak kembali kepada ajaran agama. Akan tetapi, dalam konteks perempuan yang diklaim sebagai kembali kepada ajaran agama adalah kembali merumahkan perempuan; kembali ke ajaran domestifikasi perempuan; kembali meneguhkan subordinasi perempuan.[17]
Ada apa dengan perempuan dan mengapa diperebutkan? Para pemerhati perempuan sepakat menyimpulkan bahwa perempuan diperebutkan tidak lain karena tubuhnya merupakan perwujudan dari berbagai simbol: simbol kehidupan, simbol kekuasaan, simbol kebenaran, simbol moralitas, dan simbol kemurnian ajaran agama. Perempuan menjadi rebutan, baik oleh kalangan sekularis terlebih lagi kalangan revivalis. Sebab, menaklukan perempuan dapat dimaknai sebagai menguasai kehidupan, mengontrol kekuasaan, membela kebenaran, menjaga moralitas, dan mengembalikan kemurnian ajaran agama.[18]
Pemaknaan terakhir itulah, yakni pemurnian ajaran agama menjadi alasan utama kelompok revivalisme Islam membatasi kebebasan dasar perempuan dan memasung hak-hak asasi mereka sebagai manusia. Gagasan kembali ke Islam yang diperjuangkan kelompok revivalis selalu bermakna kembali kepada Islam tekstaualis, yakni ajaran Islam yang bertumpu semata-mata pada teks dan mengabaikan konteks historisnya; kembali kepada karakter ideologis yang statis, ahistoris, sangat eksklusif, dan bias gender. Tentu saja, gagasan demikian sangat berseberangan dengan visi otentik Islam yang cirinya adalah dinamis, kritis, rasional, inklusif, mengapresiasi keniscayaan pluralitas (kemajemukan) serta mengakomodasikan perubahan dan pembaharuan demi kesejahteraan, keadilan, dan kemaslahatan manusia.[19]
Menarik dicatat di sini bahwa peneguhan subordinasi perempuan selalu terjadi dalam bidang hukum. Perempuan dan hukum memang selalu tidak bersahabat seperti terlihat dalam sejumlah perda syari’at. Sejumlah penelitian mengenai perempuan dan hukum di Indonesia[20]  menyimpulkan betapa marginalnya posisi perempuan. Indikasi ini membuktikan secara nyata bahwa ketimpangan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan di Indonesia masih sangat kuat. Ketimpangan gender jelas merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integrative dengan menganalisis berbagai faktor yang turut serta melanggengkannya, termasuk di dalamya faktor hukum yang kerap kali mendapatkan pembenaran agama.[21]
Analisis terhadap kasus-kasus hukum mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam bidang hukum[22] dijumpai pada tiga aspek hukum sekaligus, yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law) dan struktur hukum (structure of law). Pada aspek struktur, ketimpangan gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender di lingkungan penegak hukum, terutama di kalangan polisi, jaksa dan hakim. Lalu, pada aspek budaya hukumnya juga masih sangat dipengaruhi nilai-nilai patriarki yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interpretasi agama. Tidak heran jika selanjutnya agama dituduh sebagi salah satu unsur yang melanggengkan budaya patriarki dan mengekalkan ketimpangan relasi gender dalam bidang hukum.[23]
Hal itu kemudian diperparah oleh keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana yang terlihat dalam berbagai peraturan daerah yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Materi hukum dalam sejumlah peraturan daerah sarat dengan muatan nilai-nilai patriarki yang bias gender. Di antara peraturan-peraturan daerah yang meminggirkan perempuan dan tidak menghargai keberagaman budaya dan kebebasan beragama masyarakat sebagai berikut.[24] Surat Edaran Bupati Pamekasan, Jawa Timur Nomor 450 Tahun 2002 tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah; Surat Edaran Bupati Maros, Sulsel tertanggal 21 Oktober 2002 tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah; Perda Sinjai yang dibuat berdasarkan kesepakatan DPRD, masyarakat, dan Pemda Sinjai mewajibkan jilbab bagi karyawan pemerintah; Perda Gowa, Sulsel yang dibuat berdasarkan adat dan kesepakatan masyarakat tentang wajibnya jilbab bagi karyawan pemerintah. Peraturan serupa ditemukan juga di daerah Cianjur, Indramayu, Pasaman Barat. Di daerah yang disebutkan terakhir mewajibkan para pelajar perempuan mengenakan baju kurung dan jilbab. Perda serupa ditemukan pula dalam bentuk surat edaran Bupati Tasikmalaya, No. 451/SE/04/Sos/2001; Perda Solok, Sumbar Tahun 2000; Instruksi Walikota Padang, Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret berisi perintah wajib jilbab dan busana islami bagi orang Islam dan anjuran memakainya untuk non-Islam.[25]
Selain membatasi kebebasan perempuan dalam berbusana, sejumlah Perda membatasi perempuan beraktivitas di ruang publik pada malam hari. Di antaranya, Perda Kabupaten Gowa No.7 Tahun 2003 tentang larangan perempuan berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya, hususnya pada selang waktu pukul 24.00; dan Perda Tanggerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran yang salah satu pasalnya membenarkan penangkapan perempuan di tempat umum karena diduga melacur.[26]
Dijumpai pula sejumlah Perda yang sepintas isinya tidak mendiskreditkan perempuan, namun dalam implementasinya menjadikan perempuan sebagai sasaran utama, seperti Qonun Provinsi Aceh nomor 14 tahun 2002 tentang Larangan Berkhalwat; Perda Kota Bandar Lampung nomor 15 tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila; Perda Kabupaten Lahat, nomor 3 tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Pelacuran dan Tuna Susila; Perda Kota Mataram tentang pencegahan Maksiat, nomor 12 tahun 2003; Perda Kotamadya Kupang, nomor 39 tahun 1999 tentang Penertiban Tempat Pelacuran.[27]
Mengapa Perda-Perda tersebut menyasar perempuan dalam implementasinya di lapangan? Sebab, masyarakat masih kuat memandang perempuan sebagai penyangga moral sehingga penegakkan moralitas di masyarakat harus dimulai dari perempuan. Pandangan ini menyalahi ajaran Islam yang menekankan kepada manusia laki-laki dan perempuan untuk sungguh-sungguh menjadi bermoral.[28] Bukankah tujuan dari keberagaman seseorang itu adalah membangun moralitas yang dalam istilah Islam disebut akhlak karimah?[29]
Selain itu, budaya hukum di masyarakat masih memandang perempuan sebagai obyek yang harus diatur, dikekang dan dibatasi geraknya di ruang publik. Kata pelacur dan prostitusi di masyarakat selalu diarahkan kepada perempuan, muncullah istilah WTS (Wanita Tuna Susila) bukan PTS (Pria Tuna Susila), padahal perempuan dan laki-laki pelacur kedua-duanya sama-sama tuna susila, dan sama-sama berdosa di hadapan Tuhan.[30]
Realitas sosiologis di masyarakat membuktikan bahwa upaya-upaya untuk mengeliminasi prostitusi dan perbuatan maksiat lainnya selalu mendiskriminasikan perempuan. Seolah-olah perempuanlah penyebab utamanya muncul perbuatan maksiat tersebut. Padahal sejumlah penelitian tentang prostitusi mengungkapkan ada sejumlah elemen di masyarakat yang diuntungkan oleh praktek prostitusi. Mereka itu adalah para calo, germo, petugas keamanan, pedagang makanan dan minuman, supir-supir taksi, bahkan Pemerintah Daerah yang menarik retribusi atau pajak dari tempat-tempat lokalisasi prostitusi. Dan, jangan lupa tentunya para pengguna atau pelanggan yang notabene adalah laki-laki. Karena itu, semua upaya penghapusan prostitusi harus memangkas semua elemen yang mengambil keuntungan dari praktik prostitusi, bukan hanya melakukan razia terhadap perempuan yang terlibat prostitusi. Ini tidak adil dan tidak fair.[31]
Dapat disimpulkan bahwa Perda-perda diskriminatif tersebut menyalahi semangat keadilan dan kemanusiaan sebagaimana dinyatakan dalam pancasila; menyalahi prinsip persamaan warga Negara di depan hukum seperti terpatri dalam UUD 1945 hasil amandemen ke- 4, dan sejumlah UU sebagaimana disebutkan pada awal tulisan ini. Patut juga dinyatakan disini bahwa Perda tersebut bertentangan dengan UU no 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan, khususnya pasal 3 yang mewajibkan seluruh perundang-undangan harus mengacu kepada ketentuan dasar dalam konstitusi negara. Sementara itu UU noomr 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah juga mensyaratkan agar materi Perda memenuhi 10 asas, di antaranya asas kebangsaan, kenusantaraan, kebhinekaan, asas kepastian hukum, kesamaan dalam hukum, dan asas keadilan.[32]
Perda-perda tersebut selalu menempatkan perempuan sebagai obyek, bukan subyek hukum. Akibatnya, perempuan kehilangan haknya menikmati tujuan perundang-undangan dan menjadi kelompok yang dirugikan dan dipinggirkan atas nama otonomi daerah. Kerinduan perempuan untuk menikmati kehidupan yang lebih adil dan sejahtera di masa Otoda ini menjadi pupus seiring bermuncullannya sejumlah Perda yang dibuat dengan alasan meningkatkan moralitas bangsa Indonesia.[33]
Masalahnya, pengertian moralitas dalam Perda-perda tersebut juga sudah mengalami degradasi makna. Moralitas hanya dipahami dalam pengertian sempit, yaitu berkaitan dengan soal kesusilaan. Bahkan, sampai direduksi hanya yang berkaitan dengan soal tubuh perempuan. Seharusnya, ketika memperjuangkan perbaikan moral bangsa, maka orientasinya harus lebih mengarah kepada upaya-upaya berikut: pemberantasan korupsi yang merugikan kepentingan banyak orang dan telah menimbulkan ketidak adilan dan kebobrokkan serius di masyarakat; pemberantasan buta hurup, pemberantasan penyakit menular, pemberatasan narkoba dan HIV/AIDS, serta semua bentuk pornografi, pemberantasan trafficking (perdagangan) anak dan perempuan dan penghapusan semua prilaku yang tidak manusiawi. Apakah pemerintah bisa disebut bermoral jika membiarkan kejahatan tersebut mencekap masyarakat?[34]
Perlu ditegaskan di sini, bahwa tidak semua produk kebijak Otoda bermasalah bagi perempuan, melainkan ditemukan pula sejumlah Perda yang memihak kepentingan perempuan. Di antaranya, Perda yang disahkan Pemerintah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Perlindungan bagi Anak dan Perempuan Korban Kekerasan. Isi Perda antara lain mewajibkan pemerintah daerah melakukan upaya-upaya preventif bagi timbulnya prilaku kekerasan dan menyediakan layanan terpadu bagi korban kekerasan. Perda lain yang senada adalah Peraturan Desa Sido Urip, Kecamatan Kota Argamakmur, Bengkulu Utara, Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perlindungan Hukum bagi Korban Kekerasan. Perda lainnya adalah Perda Kabupaten Sumbawa Nomor 11 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Asal Sumbawa. Perda ini menyatakan kewajiban pemerintah memberikan perlindungan terhadap buruh migran di daerahnya dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan serta menolak semua bentuk komoditisasi terhadap tenaga kerja yang mayoritas perempuan.[35]
Menyimak Perda-perda yang isinya memiliki empati kemanusiaan terhadap perempuan secara khusus dan masyarakat secara umum, sudah sepatutnya pemerintah daerah yang menggagas dan menghasilkan kebijakan tersebut mendapatkan apresiasi, bahkan kalau perlu mendapatkan kehormatan sebagai pemerintahan daerah yang berhasil melaksanakan Otoda dengan sukses. Dari perspektif ajaran Islam, justru Perda-perda semacam inilah yang pantas disebut Perda Syari’at Islam karena isinya sangat mengedepankan pembelaan terhadap kelompok rentan dan tertindas yang dalam istilah Islam disebut kelompok mustadl’afin. Oleh karena itu, tingkat moralitas dan keimanan seorang Islam, laki-laki dan perempuan justru harus diukur dari seberapa besar ia memiliki empati kemanusiaan dan keberpihakkan terhadap kelompok mustadl’afin tersebut. Bukan diukur dari panjang jilbabnya, panjang jenggotnya, atau banyaknya ritual yang dipersembahkan.[36]
Di masa depan pemerintah daerah yang ingin mendapatkan pujian dari masyarakatnya sebagai pemerintah yang menegakkan syariat Islam jangan lagi melahirkan Perda-perda yang tidak relevan bagi upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan warga, seperti Perda tentang kewajiban berjilbab, larangan keluar malam, larangan berkhalwat, dan sejenisnya. Sebaliknya, Pemda hendaknya lebih kreatif dan inovatif melahirkan Perda-perda Syari’at Islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan mendorong terciptanya keadilan dan kesejahteraan warga, seperti Perda tentang perlindungan anak-anak dari semua bentuk ekspoitasi dan penelantaran, Perda tentang perlindungan kelompok rentan seperti lansia, penyandang cacat, pengungsi, buruh kasar, dan pekerja migran.[37]
Juga tidak kalah pentingnya merumuskan Perda-perda yang akan membantu peningkatan pendapatan daerah, mengeliminasi pengangguran dan kemiskinan, seperti Perda perlindungan investor, Perda untuk eksplorasi laut secara aman, dan Perda pengembangan agro bisnis dan industri kecil. Perda semacam itulah yang dibutuhkan masyarakat di daerah menuju terwujudnya masyarakat madani yang ditandai dengan keadilan dan kesejahteraan.[38]
Mengapa Menolak Formalisasi Syari’at Islam?
            Sebagai seorang perempuan Muslim, penulis yakin dan percaya sepenuhnya bahwa apa yang disyari’atkan Allah sebagai pencipta kepada manusia pasti merupakan tuntunan yang luhur dan ideal sesuai dengan kebutuhan manusia. Persoalannya, apa yang disyari’atkan Allah itu selalu bersipat umum sehinga perlu dielaborasi dalam aturan yang bersipat operasional dan spesifik sesuai kebutuhan dan kondisi manusia atau masyarakat yang akan menggunakannya. Dengan ungkapan lain, tuntunan agama dalam bentuk nash-nash Al-Quran dan Hadits Nabi masih perlu diterjemahkan dan ditafsirkan ke dalam bahasa masyarakat penggunanya.[39]
            Di sinilah problematikanya. Disadari atau tidak, setiap terjemahan dan tafsiran  terhadap nash-nash Al-Quran dan Hadits Nabi selalu rentan mengalami bias kepentingan: teologis, politis, ekonomis, sosiologis, dan mungkin juga geografis. Hal itu wajar saja karena para mufassir adalah anak zamannya. Mereka sulit melepaskan diri sepenuhnya dari pengaruh situasi dan kondisi sosio-kultural, historis dan politis yang terjadi disekitarnya. Kelahiran berbagai mazhab fiqih, mazhab tasawuf, mazhab teologi, mazhab filsafat dan berbagai aliran politik dalam Islam menjelaskan hal itu dengan sempurna.[40]
            Untuk mereduksi kemungkinan bias dalam penafsiran tersebut, ulama ushul fiqih telah menyusun berbagai kaidah fiqih atau metode istinbath berdasarkan pemahaman terhadap prinsip umum yang terkandung dalam nash Al-Quran, khususnya yang berkaitan dengan muamalah, seperti kaidah Al-ashlu fi al-asyya’I al-ibahah (hukum asal dari segala sesuatu adalah kebolehan). Artinya, sepanjang tidak ditemukan dalil yang melarang atau mengharamkan, maka sesuatu itu hukumnya mubah atau boleh.[41] Selain merumuskan kaidah istinbat, sebagian ulama merumuskan tujuan pokok syari’at (maqashid as-syari’ah) di antaranya adalah keadilan dan kemaslahatan manusia. Setiap bentuk istinbat hukum harus mengakomodasikan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bagi manusia. Sebab, hukum dibangun untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan, sama sekali bukan ditujukan bagi kepentingan Allah. Allah Swt tidak memerlukan apapun dari manusia karena Dia adalah Zat yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna. Kaidah-kaidah istinbat tersebut dirumuskan dalam rangka mewujudkan nilai-nilai al-Quran sebagai petunjuk abadi dalam segala aspek hidup dan kehidupan manusia.[42]
            Selain itu dalam ilmu ushul fiqh terhadap pembahasan tentang qath’i dan zhanni. Qath’i sering dimaknai sebagai nash-nash yang pasti jelas dan tegas maknanya dalam mengemukakan hukum suatu persoalan. Sebaliknya, Zhanni adalah nash-nash yang masih membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Para ulama sepakat bahwa persoalan yang belum ditegaskan ketentuan hukumnya dalam nash atau nash yang mengaturnya bersipat zhanni maka hukumnya dapat berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Selanjutnya, dalam persoalan-persoalan yang telah ditegaskan hukumnya oleh nash yang bersipat qath’I maka umumnya ulama tidak membolehkan perubahan penafsiran untuk disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan kondisi.[43]
            Akan tetapi, masalahnya menjadi rumit karena para ulama tidak sepakat terhadap nash-nash mana yang dikategorikan sebagai qath’I dan zhanni. Akibatnya muncul perbedaan ulama dalam menentukkan nash qath’I dan zhanni. Suatu nash dinilai qath’I oleh ulama tertentu, ternyata dinilai zhanni oleh ulama lainnya, demikian sebaliknya. Hal ini terjadi karena penentuan qath'i dan zhanni terhadap sebuah nash merupakan ijtihad ulama, tidak ada jaminan benar secara absolut.[44]
            Menarik dicatat bahwa perbedaan ulama dalam menentukan qath'i dan zhanni sebuah nash sudah terjadi sejak masa awal Islam. Adalah Umar ibn Khatthab menunjukkan keberaniannya berijtihad yang hasilnya seringkali menyalahi pendapat yang populer. Berbeda dengan kebanyakan ulama, Umar ibn Khatthab berani mengubah ketentuan hukum dari suatu nash (termasuk yang dinilai qath'i sekalipun), jika kondisi atau kemaslahatan masyarakat menghendakinya. Pandangan ini yang unik ini terlihat, antara lain dalam kasus-kasus pelaksanaan hukuman potong tangan, pembagian harta rampasan perang, dan penentuan talak tiga dalam perceraian.[45]
            Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa formalisasi syari’at Islam menghendaki ijtihad dalam rangka istinbat hukum. Masalahnya siapa yang akan melakukan ijtihad? Atas dasar apa dan berdasarkan legitimasi apa? Kemudian, dalam aspek apa saja formalisasi syariat tersebut akan diimplementasikan? Apakah juga termasuk dalam pelaksanaan hukum jinayat, seperti pelaksanaan hukum cambuk, rajam, dan qishas? Terakhir, apakah dalam perumusan dan pengambilan keputusan publik itu juga melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, termasuk kaum perempuan? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa sangat bervariasi, tergantung siapa yang menjawab dan untuk kepentingan apa. Oleh karena itu, menjadi sangat problematik jika membakukan syari’at Islam ke dalam hukum positif.[46]
            Kekhawatiran masyarakat, tak terkecuali kalangan Muslim sendiri terhadap upaya-upaya pemberlakuan syariat bukan tanpa alasan. Sebab, data-data historis sejarah Islam menunjukkan bahwa isu syariat Islam seringkali hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh sebagian elit demi mengejar ambisi pribadi atau golongan. Oleh karena itu, ketika Kemal Attaturk tampil sebagai penguasa di wilayah Turki, program prioritasnya institusi khalifah. Alasannya sederhana saja bahwa selama ini institusi itu kerapkali digunakan untuk menjustifikasikan kepentingan politik dari kelompok penguasa dengan dalih agama.[47]
            Dalam kondisi seperti itu, agama tidak lagi ditempatkan sebagai sistem penjaga moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, lewat para pemeluknya. Akan tetapi, agama telah digeser dan dipaksa memainkan perannya secara berlebihan dalam urusan negara. Agama kemudian dijadikan legitimasi oleh penguasa untuk mengabsahkan kebijakan-kebijakan yang seringkali malah bertentangan dengan nilai agama. Dalam berpolitik, bendera agama acapkali dikibarkan oleh partai-partai politik untuk sekadar menguras suara pemilih sebanyak-banyaknya. Tentu saja kondisi seperti ini bertentangan dengan idealitas agama karena tidak sesuai dengan nilai dasar yang diperjuangkan agama itu sendiri, yakni mewujudkan masyarakat yang bermoral dalam arti seluas-luasnya.[48]
            Karena itu, perjuangan untuk implementasi syariat Islam di Indonesia hendaknya dilakukan dengan mewaspadai gejala-gejala yang dikhawatirkan tadi. Akan lebih baik bila perjuangan untuk didahului dengan upaya sungguh-sungguh menata kehidupan sosial dan politik umat Islam melalui program-program pemberdayaan yang manfaatnya segera dirasakan secara kongkret, seperti pemenuhan kebutuhan vital masyarakat berupa air bersih dan listrik, dan penyediaan fasilitas publik berupa rumah sakit, angkutan umum, dan taman-taman rekreasi. Demikian juga pendidikan gratis dan peningkatan pendapatan ekonomi bagi keluarga yang tidak mampu sehingga pada gilirannya nanti masyarakat terbebaskan dari musuh-musuh agama yang paling menakutkan dan paling menyesatkan, yaitu ketidak adilan, kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan dan ketertindasan.[49]
Perlunya Membangun Kebijakan Publik yang Ramah Perempuan
            Pada hakekatnya tidak semua yang terdapat dalam ajaran Islam itu bersifat mutlak dan kekal. Ajaran Islam dapat dikategorikan ke dalam dua bagian: ajaran dasar dan ajaran non dasar. Ajaran dasar mengambil bentuk nash-nash al-Quran dan Sunnah Mutawatir, sedangkan ajaran non dasar tampil dalam bentuk penafsiran dan penjelasan tentang perincian dan pelaksanaan ajaran dasar itu. Dengan ungkapan lain, ajaran dasar adalah wahyu Tuhan yang terwujud dalam teks-teks suci al-Quran dan Sunnah Mutawatir yang bersifat absolut benar, kekal, benar, tak berubah dan tak boleh diubah. Sebaliknya, yang kedua adalah hasil ijtihad para ulama terhadap teks-teks suci tersebut atau merupakan rekayasa cerdas pemikiran manusia dan karena itu bersipat relative, nisbi, serta boleh diubah sesuai tuntutan dinamika manusia dan perkembangan zaman.[50]
            Ayat-ayat al-Quran dapat pula dikelompokan ke dalam dua kategori. Pertama ayat yang disebut qath'i ad-dalalah, yakni ayat yang maknanya hanya satu, tidak mungkin diberi makna lain, jelas dan absolut. Ayat semacam ini hanya diambil arti harfiah atau arti tersuratnya. Kedua, ayat yang disebut zhanni ad-dalalah, yaitu ayat yang artinya boleh lebih dari satu. Sebab, disamping memiliki arti tersurat juga memiliki arti tersirat. Menarik dicatat bahwa ayat yang qath'i ad-dalalah sangat sedikit jumlahnya dalam al-Quran, yang banyak justru ayat zhanni ad-dalalah. Menghadapi kenyataan itu, Nabi dalam salah satu haditsnya menghibau dengan sangat agar umat Islam bersungguh-sungguh melakukan ijtihad.[51] Agar dapat memahami pesan moral al-Quran dan mengimplementasikannya dalam kehidupan keseharian mereka.[52]
            Pada prinsipnya, semua penafsiran, mazhab-mazhab, dan aliran-aliran itu adalah hasil ijtihad atau pemikiran manusia. Dan karena semua ijtihad dan pemikiran itu bukan wahyu yang bersifat absolut, melainkan bersifat relatif, maka semua bentuk ijtihad atau pemikiran itu bisa berubah dan boleh berubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia dan tuntutan kemajuan zaman. Sejak zaman klasik Islam, para ulama besar sudah terbiasa menerima keragaman penafsiran dan hasil ijtihad dengan sikap demokratis, penuh pengertian, dan lapang dada, bahkan para imam mujtahid, yakni para pendiri mazhab yang terkemuka, seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal tak segan-segan menghimbau para murid dan pengikutnya untuk tidak bersikap panatik dan taqlid buta apalagi mengklaim bahwa pendapat merekalah yang mutlak benar. Sebaliknya, para imam mazhab itu secara tertulis meminta kepada para penganut mazhabnya untuk tetap bersikap terbuka menerima kritik dan jika perlu mengubah pendapat mereka dengan pendapat yang lebih kuat argumentasinya. Itulah sikap tasamuh (toleransi) yang banyak diajarkan para ulama pendiri mazhab.[53]
            Akan tetapi sangat disayangkan, sikap demokratis dan terbuka dalam beragama sebagaimana dicontohkan Rasululllah Saw, dilestarikan para sahabat dan generasi ulama berikutnya, seperti para imam mazhab tadi, tidak banyak dipraktikkan oleh umat Islam, termasuk di Indonesia. Bahkan, sebagian besar umat Islam cenderung menganggap hasil ijtihad berupa penafsiran atau pemikiran ulama itu bersifat final abadi dan mutlak, sehingga tidak bisa diubah. Akibatnya, masing-masing kelompok mengklaim penafsiran dan pendapat mereka sebagai paling benar sedangkan penafsiran lainnya salah dan tidak benar. Tidak jarang suatu kelompok mengkafirkan kelompok yang lain yang tidak sepaham dengan mereka. Kecenderungan seperti itu membawa kepada kaburnya pengertian umat Islam terhadap esensi ajaran agama mereka, sehingga tidak bisa lagi membedakan antara ajaran dasar yang bersifat absolut dan tak dapat diubah dan ajaran yang bukan dasar yang pasti bersifat relatif dan dapat diubah. Kerancuan pemahaman tersebut sangat tampak dalam ajaran tentang relasi perempuan dan laki-laki dalam Islam. [54]
            Perlu ditegaskan disini bahwa esensi Islam terbaca dalam ajaran tentang tauhid atau paham kemahaesaan Allah mengajarkan : tiada Tuhan selain Allah dan hanya Allah-lah pencipta alam semesta. Seluruh manusia, bahkan seluruh makhluk berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah Swt. Prinsip tauhid mengajarkan bahwa semua manusia adalah makhluk ciptaan Allah dan karena itu, semua manusia sama kedudukkanya di hadapan Allah, yaitu sama-sama sebagai ciptaan atau makhluk. Kalau semua manusia itu sama, sudah tentu perempuan dan laki-lakipun sama. Satu-satunya perbedaan yang memungkinkan seorang manusia lebih tinggi atau lebih rendah derajatnya dari manusia lainnya adalah nilai pengabdian dan ketaqwaannya kepada Allah Swt (Q.S. al-Hujurat (49):13) ayat ini menegaskan bahwa satu-satunya kriteria yang boleh dipakai untuk membedakan seorang manusia dari lainnya adalah kualitas taqwa, bukan warna kulit, jenis ras, suku, bangsa, agama, apalagi jenis kelamin. Ringkasnya, ajaran tauhid membawa ajaran persamaan antarmanusia (al-musawamah).[55]
            Ada banyak ayat dalam al-Quran, antara lain suat al-Hujurat (49) : 13, an-Nisa’ (4) : 1, al-A’raf (7) 189, az-Zumar (39) : 6, Fatir (35) :11, dan al-Mukmin (40) :67 yang menegaskan bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di dalamnya perempuan dan laki-laki. Karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas satu golongan, satu suku, satu bangsa atau satu ras terhadap yang lainnya.[56]
            Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antar sesama manusia, termasuk persamaan antara manusia dan laki-laki. Dalam sejumlah hadits Nabi pun dinyatakan bahwa sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-laki (lihat, antara lain hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, dan at-Turmudzi). Dengan demikian, pada hakikatnya manusia itu adalah sama dan sederajat, mereka bersaudara dan satu keluarga. Penjelasan tersebut melahirkan kesimpulan bahwa al-Quran menegaskan kesederajatan perempuan dan laki-laki. [57]
            Akan tetapi, mengapa masih sering timbul bahwa ajaran Islam merupakan landasan imperioritas perempuan? Hal itu, menurut hemat penulis, timbul dari interpretasi terhadap ayat-ayat dan hadits yang secara tekstual memang mengarah kepada pemahaman seperti itu. Ayat-ayat yang dimaksud, antara lain: 1) an-Nisa (4) : 1 yang berbicara soal penciptaan, 2) an-Nisa (4) : 34 yang menegaskan kepemimpinan laki-laki atas perempuan,  dan 3) Ali Imran (3) : 236 yang menerangkan ketinggian derajat laki-laki atas perempuan. Adapun dari hadits, umpamanya hadits Abu Hurairah, riwayat at-Turmudzi menjelaskan soal penciptaan perempuan dari tulang yang bengkok (dlila’in a’waj), atau hadits Abu Bakrah riwayat Bukhari, an-Nasa’I dan Ahmad yang mengatakan: “Tidak akan beruntung suatu kaum jika mengangkat perempuan sebagai pemimpin”.[58]
            Sejumlah ulama telah menafsirkan ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut dengan penafsiran yang bias gender dan bias nilai-nilai patrilkhal. Hal itu karena mereka berpijak pada teks harfiahnya yang sepintas memang tampak mendukung penafsiran demikian. Ditambah lagi pengaruh latar belakang sosio-historis dan sosio-politis para penafsir yang umumnya didominasi budaya patriarkhi. Pada masyarakat dimana unsure budaya patriarkhi sangat dominant, penafsiran seperti itu bukan hal yang janggal dan karenanya tidak dipersoalkan. Akan tetapi, pada masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai demokrasi atau sedang mengalami proses demokratisasi dengan upaya-upaya penegakkan hak-hak asasi manusia, penafsiran tersebut dirasakan sangat tidak kondusif lagi. Karena itu, diperlukan reinterpretasi ajaran agama agar sesuai dengan tuntutan dinamika masyarakat.[59]
            Ajaran Islam, baik yang bersumber dari al-Quran maupun dari hadits Nabi Saw jika dikaji secara mendalam semua memberikan penekanan kepada upaya peningkatan derajat, harkat, dan martabat perempuan. Secara histories hal itu dilatarbelakangi oleh situasi masyarakat Arab pada waktu Islam lahir. Tradisi Arab ketika itu memandang perempuan tak ubahnya sebagai komoditas, posisinya sama dengan harta kekayaan, perempuan tidak punya hak sama sekali, termasuk pada tubuh mereka sendiri. Perempuan tidak dihargai sedikitpun. Perempuan hanya dijadikan pemuas nafsu laki-laki. Perlu dicatat bahwa pada masa itu posisi kaum perempuan yang demikian hinanya dalam masyarakat Arab, ternyata tidak lebih buruk kondisinya daripada perempuan di Eropa. Malahan, pada masa itu para pemimpin gereja di Eropa masih mempertanyakan apakah perempuan itu punya ruh atau tidak.[60]
            Fakta sejarah menunjukkan Islam memberikan koreksi total terhadap tradisi masyarakat Arab, terutama tradisi berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan. Islam melakukan transpormasi sosial dari sistem masyarakat yang tidak menghargai perempuan kepada sistem yang amat menjunjung harkat dan martabat perempuan; dari tradisi masyarakat yang mengesahkan adanya hegemoni bagi kaum laki-laki kepada tradisi yang menyamakan kedudukan perempuan dan laki-laki.[61]
            Kesamaan antara perempuan dan laki-laki itu, terutama dapat dilihat dari tiga dimensi. Pertama, dari segi hakikat kemanusiaannya. Dilihat dari hakikatnya sebagai manusia, Islam memberikan kepada perempuan sejumlah hak untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, dan hak-hak lain yang berkenaan dengan urusan publik. Kedua, dari segi pelaksanaan ajaran Islam, Islam mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat pahala atas amal shaleh yang diperbuatnya. Sebaliknya kedunyapun akan mendapatkan siksaan atas dosa yang diperbuat. Tidak satupun amalan dalam Islam yang memberikan keistimewaan kepada salah satunya. Ketiga, dari segi hak-hak dalam keluarga, Islam memberikan hak mendapatkan nafaqah hak waris kepada perempuan meskipun jumlahnya tidak sebanyak yang diberikan kepada laki-laki. Selain waris, perempuan dinyatakan bisa menjadi saksi, menerima mahar dan diakikahkan ketika lahir. Sebelumnya hak-hak tersebut tidak dikenal dalam tradisi Arab. Islam juga memberikan hak kepada perempuan untuk mengajukan tuntutan cerai bilamana ia menghendaki demikian. Hak inipun sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi Arab pada masa itu. Bahkan, poligami yang sebelumnya sudah menjadi tradisi yang kuat, ternyata oleh Islam hanya boleh dilakukan kalau pihak istri merasa dirinya diperlakukan adil.[62]
            Fakta historis sejarah Islam secara jelas memaparkan realitas kehidupan perempuan di masa Nabi. Di masa itu perempuan diizinkan berkiprah dan beraktivitas tanpa batas di sektor publik, seperti Khadijah bin Khuwailid (istri Nabi) dan Qailah Umm Bani Ahmar. Keduanya dikenal sebagai perempuan pengusaha yang sukses. Umm Salim binti Malhan bekerja sebagai penata rias. Zainab binti Jahsyi (istri Nabi) bekerja sebagai penyamak kulit dan hasilnya disedekahkan kepada faqir miskin. Asy-Syifa’ adalah perempuan pertama yang diserahin tugas oleh khalifah Umar ibn al-Khattab sebagai manajer yang mengelola pasar Madinah. Bahkan, ada seorang perempuan bernama Raitah (istri sahabat Nabi) bekerja demi menghidupi suami dan anaknya. Perempuan-perempuan lainnya seperti Umm Salamah (istri Nabi), Shafiyyah, Laila al-Gaffariyah, dan Umm Sinam tercatat sebagai aktivis dan relawan kemanusiaan di medan perang menolong prajurit yang cedera dalam peperangan. Partisipasi aktif kaum perempuan dalam perempuan justru banyak diungkapkan dalam kitab-kitab hadits klasik, seperti kitab Shahih Bukhari.[63]
            Tidak ada data yang menjelaskan bahwa Rasul melarang perempuan berkiprah di ruang publik, melarang perempuan keluar di malam hari. Kalaupun ada anjuran perempuan keluar bersama muhrimnya dalam berbagai teks hadits, hendaknya itu dipahami dalam konteks perlindungan dan ketidak amanan dan ketidak selamatan yang sipatnya sangat kondisional. Di masa sekarang dimana unsur keamanan dan keselamatan sudah demikian terjamin sebagai akibat dari kemajuan sains dan teknologi, maka perlindungan muhrim tidak signifikan lagi.[64]
            Akan tetapi, ajaran Islam yang demikian ideal dan luhur itu dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah kekuasaan Islam meluas ke berbagai wilayah yang penduduknya masih kental menganut budaya patriarkhi, mengalami perubahan sangat drastis. Ajaran Islam yang sangat mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, prinsip-prinsip egalitarian, inklusif, dan nilai-nilai demokrasi serta ramah terhadap perempuan ternyata tidak lagi dipraktikkan sebagaimana mestinya.[65]
            Akibatnya, kaum perempuan di berbagai wilayah Islam kembali diperlakukan seperti pada masa Jahiliyah. Perempuan kembali terkekang di dalam rumah dan dituntut mengerjakan tugas-tugas tradisional mereka selaku perempuan. Mereka hanya boleh keluar jika ada izin suami atau kerabat lelakinya, itupun untuk keperluan darurat. Perempuan sudah tidak lagi memiliki kebebasan bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan, mereka tidak bisa lagi memilih model busana (walaupun tetap sopan, tidak merangsang), melainkan harus mengenakan hijab, semacam pakaian yang menutup seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan. Tentu saja kondisi demikian tidak kondusif bagi perempuan untuk berkiprah dan beraktivitas di masyarakat secara leluasa sebagaimana pernah terjadi di masa Rasul. [66] Kondisi seperti inilah yang masih berlangsung sampai sekarang termasuk di kalangan umat Islam Indonesia.[67]
            Kembali ke persoalan Otoda, setidaknya ada tiga masalah mendasar yang dihadapi kaum perempuan berkenaan dengan pelaksanaan Otoda. Pertama, masih rendahnya pengetahuan keadagaan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan peran dan fungsi perempuan. Kedua, masih banyaknya penafsiran dan pemahaman keagamaan yang bias gender dan bias nilai-nilai patriartkhi yang dianut masyarakat sebagai akibat dari pemahaman teks-teks suci yang sangat harfiah dan mengabaikian aspek konstektualnya, serta pengamalan agama yang menekankan pada tataran formalitas belaka, bukan pada subtansinya. Ketiga, masih rendahnya tingkat partisipasi kaum perempuan dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.[68]
            Sebagai solusi, ditawarkan pemikiran atau rekomendasi sebagai berikut. Pertama, perlu sekali melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui pendidikan, baik di level formal maupun non formal, terutama pendidikan dalam keluarga. Pendidikan yang dapat mengubah budaya patriarkhi menjadi budaya yang menghargai kesetaraan, perbedaan, dan kemajemukkan; mengubah budaya kekerasan menjadi budaya damai penuh toleransi. Upaya ini diharapkan dapat membantu lahirnya iklim demokrasi yang memungkinkan partisipasi perempuan secara luas dalam berbagai perumusan kebijakan publik. [69]
            Kedua, melakukan upaya-upaya sistematis, merepisi semua perundang-undangan, khususnya Perda yang diskriminatif dan tidak ramah terhadap perempuan melalui Judicial Review kepada mahkamah agung dan Executive Review kepada Departemen Dalam Negeri, dan selanjutnya mengusulkan Perda-perda yang memihak perempuan, seperti Perda Provinsi Jawa Timur nomor 9 tahun 2005 tentang Perlindungan Anak dan Perempuan Korban Kekerasan. Sejatinya, Perda semacam inilah yang sangat pantas disebut Perda syari’at Islam mengingat Islam adalah agama yang paling gigih menyuarakan pemihakan dan perlindungan kepada semua kelompok tertindas yang dalam al-Quran disebut kelompok mustadl’afin. Perda seperti inilah yang dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat. [70]
            Ketiga, menggalakkan upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama dalam rangka mengeliminasi secara gradual semua pemahaman keagamaan yang tidak kondusif bagi kehidupan demokrasi dan bangunan masyarakat madani, seperti kewajiban berjilbab, larangan keluar malam, larangan bepergian tanpa muhrim dan sebagainya yang tidak memiliki dasar argumentiologis yang kuat dalam al-Quran dan Sunnah Rasul. Reinterpretasi ajaran agama ini pada akhirnya diharapkan mewujudkan ajaran Islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, ajaran yang ramah terhadap perempuan, ajaran yang rahmatan lil ‘alamin atau sungguh-sungguh mendatangkan kesejukkan, kedamaian, kemaslahatan bagi alam semesta.[71]


[1]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan dalam Perda Syari’at”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Perda Syari’at Islam Menuai Makna, Edisi No. 20 Tahun 2006.
[2]Meskipun tidak ada Peraturan Daerah (Perda) yang secara eksplisit menyebut dirinya sebagai Perda Syari’at, namun isinya secara eksplisit bernuansa syari’at Islam. Istilah Perda Syari’at digunakan secara luas terhadap sejumlah perda yang isinyaa mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan ketentuan ajaran tertentu,yakni ajaran Islam. Sayangnya acuan Islam yang dipakai di sini terbatas pada hal-hal yang bersifat legal-formal dan sangat simbolik, misalnya pemakain jilbab dan busana muslimah, belum sampai ke tingkat substansial, seperti peraturan yang mengatur perlindungan bagi kelompok rentan di masyarakat, seperti anak-anak terlantar, perempuan yang mengalami eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan, kelompok penyandang cacat, kelompok lansia, pengangguran, buruh kasar dan seterusnya.
[3]Perda kota Tangerang Nomor 8 tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran dalam implementasinya telah menimbulkan kriminalisasi terhadap perempuan yang bekerja di malam hari. Perlakuan ini menyalahi asas praduga tak bersalah dalam hukum. Bahwa korban pertama dari perda diskriminatif ini adalah seorang perempuan bernama Lia yang hidup di tengah kemiskinan dan harus bejuang mencari nafkah di malam hari bukanlah suatu kebetulan, melainkan merupakan konsekuensi logis dari budaya hukum yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki sehingga memposisikan perempuan sebagai obyek hukum dan pola ini akan terus berulang dan berulang di tempat lain.
[4]Amandemen ke- 4 UUD 1945, pasal-pasal 28c, 28d, 28h, dan 28i menyebutkan secara jelas hak-hak setiap warga negara, termasuk perempuan untuk mengembangkan diri sebagai manusia bermartabat, hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah dan hak untuk bebas dari semua bentuk perlakuan diskriminatif.
[5] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 22.
[6]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 22-23.
[7]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 23.
[8] Laode Ida, Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Government (Jakarta: PSPK, 2002). Lihat pula Laode Ida, Otonomi Daerah dalam Interaksi Kritis Stakeholders (Jakarta: PSPK, 2002).
[9] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 23.
[10] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 24.
[11] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.24
[12] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.24
[13] Informasi lebih jauh mengenai hasil penelitian ini lihat laporan penelitian PPIM yang diadakan pada 16 provinsi di Indonesia.
[14] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 25.
[15]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.25
[16] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 25-26.
[17] Ibid., Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan hlm 26.
[18]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid. hlm.26
[19] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.26
[20] Lihat hasil penelitian Tapi Omas Ihromi tetang Perempuan dan Hukum Nasional (1997); Siti Musdah Mulia tentang Posisi Perempuan dalam UUP dan Kompilasi Hukum Islam (2001); dan Sulistyowati Iriato tentang Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum (2003).
[21] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 26-27.
[22] Uraian mengenai bentuk-bentuk ketimpangan gender di Indonesia dapat dilihat dalam Fakta, Data dan Informasi Kesenjangan Gender di Indonesia (Jakarta: Kantor Mentri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2001), hlm. 71-93.
[23] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 27.
[24] Kasus-kasus ketimpangan gender dalam bidang hukum di Indonesia dipaparkan secara rinci dalam Nursyahbani Katjasumkana dan Mumtahanan, Kasus-kasus Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan (Jakarta: LBH APIK, 2002).
[25] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 28.
[26] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid. hlm.28
[27] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.28
[28] Nama-nama Perda yang meminggirkan perempuan dapat dilihat secara jelas dalam lampiran tulisan ini.
[29] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 29.
[30]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.29
[31] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid. hlm.29
[32]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.29
[33]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 29-30.
[34]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 30.
[35]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 30-31.
[36]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 31.
[37]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.31
[38]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid. hlm.31
[39]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 31-32.
[40]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 32.
[41] QS. an-Nur (24): 30-31 dan al-Mukminun (23): 1-7.
[42] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 32.
[43]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan, Ibid., hlm. 33.
[44] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.33
[45] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.33
[46] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.33
[47]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 33-34.
[48]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 34.
[49]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.34
[50] Ibid., hlm. 34-35.
[51] Kaidah ini disusun berdasarkan pemahaman terhadap terhadap ayat-ayat berikut: al-Baqarah (2) : 29, al-Jasiyah (45) : 13, dan al-A’raf (7) : 32.
[52] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 35.
[53]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.35
[54] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 35-36.
[55]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 36
[56]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.36
[57]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.36
[58] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 36-37
[59] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 37.
[60]Haditsnya berbunyi: “Siapa yang berijtihad dan ijtihadnya benar akan mendapatkan dua pahala sedangkan jika ijtihadnya salah dia tetap mendapatkan satu pahala.” Hadits inilah yang memberikan inspirasi dan motivasi kuat bagi para ulama di masa awal Islam melakukan ijtihad sehingga melahirkan berbagai macam mazhab (aliran pemikiran) dalam tafsir, fiqih, tasawuf, filsafat dan teologi.
[61]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 38.
[62] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.38
[63] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 38-39.
[64] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 39.
[65]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid. hlm.39
[66] Husein Haikal, Hayatu Muhammad (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1993), Cet. Ke- 19, hlm. 280.
[67] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 39.
[68] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid., hlm. 39-40
[69]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid. hlm. 40
[70]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid.hlm.40
[71]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan Ibid. hlm.40

Tidak ada komentar: