ISLAM DAN PLURALISME AGAMA
A. Pendahuluan
Pluralisme agama telah
menjadi salah satu wacana kontemporer yang sering dibicarakan akhir-akhir abad
20, khususnya di Indonesia.
Wacana ini sebenarnya ingin menjembatani hubungan antaragama yang seringkali
terjadi disharmonis dengan mengatasnamakan agama, diantaranya kekerasan sesama
umat beragama, maupun kekerasan antarumat beragama.
Islam adalah agama
universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan
mengakui adanya pluralisme agama. Pluralisme agama menurut Islam adalah sebuah
aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin
dilawan atau diingkari. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat
menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui
hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran
masing-masing dengan penuh kesungguhan.
Indonesia
merupakan salah satu negara multi etnis, ras, suku, bahasa, budaya dan agama.
Agama-agama dan berbagai aliran tumbuh subur oleh karena itu pemahaman tentang
pluralisme agama dalam suatu masyarakat yang demikian majemuk sanagat dubuthkan
demi untuk terciptanya stabilitas ketertiban dan kenyamanan umat dalam
menjalankan ajaran agamanya masing-masing serta untuk mewujudkan kerukunan
antarumat sekaligus menghindari terjadinya konflik sosial yang bernuansa
syara’.
Dialog dan komonikasi
antarumat beragama merupakan suatu kebutuhan yang harus dilaksanakan oleh
segenap elemen umat beragama, guna untuk menghilangkan kecurigaan, suudzhan
dan untuk menjalin hubungan yang harmonis anatarsesama umat beragama. Agama Islam
sangat terbuka dan selalu membuka diri untuk berdialog dengan sesama umat
beragama sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah pada periode Madinah,
dialog yang dibangun Nabi Muhammad dengan penduduk Madinah kemudian melahirkan
suatu perjanjian yang sangat terkenal yaitu “Piagam Madinah”.
B. Konsep Dasar Pluralisem Agama
Kata “pluralisme agama”
berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama” dalam bahasa Arab
diterjemahkan dengan “al-ta’ddudiyah” dan dalam bahsa Inggris “religius
pluralism”. Dalam bahasa Belanda, merupakan gabungan dari kata plural
dan isme. Kata “plural” diartikan dengan menunjukkan lebih
dari satu. Sedangkan isme diartikan dengan sesuatu yang berhubungan
dengan paham atau aliran. Dalam bahasa Inggris disebut pluralism yang
berasal dari kata “plural” yang berarti lebih dari satu atau banyak. Dalam Kamus The
Contemporary Engglish-Indonesia Dictionary, kata “plural”
diartikan dengan lebih dari satu/jamak dan berkenaan dengan keaneka ragaman. Jadi
pluralisme, adalah paham atau sikap terhadap keadaan majemuk, baik dalam
konteks sosial, budaya, politik, maupun agama. Sedangkan kata “agama” dalam
agama Islam diistilahkan dengan “din” secara bahasa berarti tunduk,
patuh, taat, jalan. Pluralisme agama adalah kondisi hidup
bersama antarpenganut agama yang berbeda-beda dalam satu komonitas dengan tetap
mempertahankan cirri-ciri spesifik ajaran masing-masing agama.
Dengan demikian yang
dimaksud “pluralisme agama” adalah terdapat lebih dari satu agama (samawi dan ardhi)
yang mempunyai eksistensi hidup berdampingan, saling bekerja sama dan saling
berinteraksi antara penganut satu agama dengn penganut agama lainnya, atau
dalam pengertian yang lain, setiap penganut agama dituntut bukan saja mengakui
keberadan dan menghormati hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam keragaman.
Dalam prepektif sosiologi agama, secara terminology, pluralisme agama dipahami
sebagai suatu sikap mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan sebagai yang
bernilai positif dan merupakan ketentuan dan rahmat Tuhan kepada manusia.
Pengakuan terhadap
kemajemukan agama tersebut adalah menerima dan meyakini bahwa agama yang kita
peluk adalah jalan keselamatan yang paling benar, tetapi bagi penganut agama
lain sesuai dengan keyakinan mereka agama mereka pulalah yang paling benar.
Dari kesadaran inlah akan lahir sikap toleran, inklusif, saling menghormati dan
menghargai, serta memberi kesempatan kepada orang lain untuk beribadah sesuai
dengan keyakinan masing-masing. Hal ini sesuai dengan sila pertama Pncasila
“Ketuhanan yang Maha Esa”, dan UUD’45 pasal 29 ayat (2) yang menjamin kebebasan
beragama dan beribadah sesuai menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Pasal 29 ayat (2) UUD’ 45, di samping jaminan kebebasan beragama, keputusan
yang fundamental ini juga merupakaan jaminan tidak ada diskriminasi agama di
Indonesia. Mukti Ali, secara filosofis mengistilahkan dengan agree
in disagreement (setujua dalam perbedaan).
Setiap agama tidak
terpisah dari yang lainnya dalam kemanusiaan. Keterpisahan mereka dalam
kemanusiaan bertentangan dengan prinsip pluralisme yang merupakan watak dasar
masyarakat manusia yang tidak bisa dihindari. Dilihat dari segi etnis, bahasa,
agama, budaya, dan sebagainya, Indonesia
termasuk satu negara yang paling majemuk di dunia. Indonesia juga merupakan salah satu
Negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini disadari oleh para founding
father kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan
semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Munculnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan pluralisme ini
yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dalam mengahadapi penjajah
Belanda, yang kemudian dikenal sebagai cikal-bakal munculnya wawasan kebangsaan
Indonesia. Pluralisme ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan
kemerdekaan, sebgaimana dapat dilihat, antar alin dalam siding BPUPKI. Betapa
para pendiri republik ini sangat mengahrgai pluralisme, baik dalam konteks
sosial maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Pancasila, yang
terdapat dalam Piagam Jakarta, pun dipahami dalam konteks mengahargai
kemajemukan dan pluralisme.
Untuk mendukung konsep
pluralisme tersebut, diperlukan adanya toleransi antarsesama umat beragama.
Meskipun hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adanya
kemajemukan sosial, namun dalam kenyataannya, permasalahan toleransi masih
sering muncul dalam suatu masyarakat, termasuk di Eropa Barat Amerika dan negara-negara
lain.
Ada dua macam penafsiran tentang konsep
toleransi, yakni penafsiran negatif dan penafsiran positif. Yang pertama
menyatakan bahwa toleransi itu hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan
tidak menyakiti orang/kelompok lain. Yang kedua menyatakan bahwa toleransi itu
membutuhkan lebih dari sekedar itu. Ia membutuhkan adanya bantuan dan dukungan
terhadap keberadaan orang/kelompok lain. Artinya toleransi itu tidak cukup
hanya dalam pemhaman saja, tapi harus diaflikasikan dengan tindakan dan perbuatan
dalam kehidupan nyata. Kita hidup dalam pluralisme agama, suka tidak suka
relitas pluralistik memang menjadi wahana dan wacana bagi kehidupan beragama
kita. Di dalam agama Islam konsep dasar
pluralisme sudah ada sejak dari awal agama itu di syari’atkan Oleh Allah swt.
dipermukaan Bumi ini yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. Maka oleh karena
itu apabila umat Islam ingnin memhami makna pluralisme sesuai dengan konsep
Islam, maka jawabannya yang paling tepat adalah kembali kepada al-qur’an.
C. Pandangan Isalam Terhadap
Pluralisme Agama
Islam adalah agama
universal yang menjunjung tinggi aspek-aspek kemanusiaan, persamaan hak dan
mengakui adanya pluralisme agama. Pluralisme agama menurut Islam adalah sebuah
aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin
dilawan atau diingkari. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat
menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui
hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran
masing-masing dengan penuh kesungguhan.
Sesungguhnya, fenomena
agama dan beragama telah ada bersamaan dengan keberadaan manusia dan akan terus
berlanjut sampai akhir kehidupan manusia. Untuk melihat sikap dan ajaran Islam
tentang puluralisme, kita harus menelaahnya dari Muhammad saw. dan Islam dalam
kehidupan umat manusia. Sejarah mencatat bahwa Muhammad saw.
diutus oleh Allah sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir dengan membawa risalah
Islamiyah, dengan misi universal rahmatallila’alamin sebagaimana
tertuang dalam Firman Allah “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad)
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (QS. Al-Anbiya’:
21/107). Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad menjadi pnutup semua ajaran
langit (agama samawi) untuk umat manusia, Islam tidak mempersoalkan
lagi mengenai asal ras, etnis, suku, agama dan bangsa. Semua manusia dan
makhluk Allah akan mendapatkan prinsip-prinsip rahmat secara universal.Al-qur’an
telah mencapai puncaknya dalam berbicara soal pluralisme ketika menegaskan
sikap penerimaan al-qur’an terhadap agama-agama selain Islam untuk hidup
bersama dan berdampingan. Yahudi, Kristen dan agama-agama lainnya baik agama samawi
maupun agama ardhi eksistensinya diakui oleh agama Islam. Ini adalah
suatu sikap pengakuan yang tidak terdapat di dalam agama lain.
Agama Islam adalah
agama damai yang sangat mengahargai, toleran dan membuka diri terhadap pluralisme
agama. Isyarat-isyarat tentang pluralisme agama sanagat banyak ditemukan di
dalam al-qur’an antara lain Firman Allah “Untukmu agamamu dan untukku
agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 109/6). Pluarlisme agama adalah merupakan
perwujudan dari kehenddak Allah swt. Allah tidak menginginkan hanya ada satu
agama walaupun sebenarnya Allah punya kemampuan untuk hal itu bila Ia
kehendaki. “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat
yang satu.” (QS. Hud: 11/118). Dalam al-qur’an berulang-ulang Allah
manyatakan bahwa perbedaan di antara umat manusia, baik dalam warna kulit,
bentuk rupa, kekayaan, ras, budaya dan bahasa adalah wajar, Allah bahkan
melukiskan pluralisme ideologi dan agama sebagai rahmat. Allah menganugrahkan
nikmat akal kepada manusia, kemudian dengan akal tersebut Allah memberikan
kebebasan kepada manusia untuk memilih agama yang ia yakini kebenarannya tanpa
ada paksaan dan intervensi dari Allah. Sebagaimana Firmannya “Tidak ada
paksaan dalam agama”. (QS. Al Baqarah: 2/256). Manusia adalah makhluk yang
punya kebebasan untuk memilih dan inilah salah satu keistimewaan manusia dari
makhluk lainnya, namun tentunya kebebasa itu adalah kebabsan yang harus
dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah swt. Pluralisme agama mengajak
keterlibatan aktif dengan orang yang berbeda agama (the religious other)
tidak sekedar toleransi, tetapi jauh dari itu memahami akan substansi ajaran agama
orang lain. Pluralisme agama dapat berfungsi sebagai paradigma yang efektif
bagi pluralisme sosial demokratis di mana kelompok-kelompok manusia dengan
latar belakang yang berbeda bersedia membangun sebuah komonitas global.
Nurkhalis Madjid, mengatakan bahwa salah satu persyaratan terwujudnya
masyarakat modern yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang
mengharagai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkan
sebagai suatu keniscayaan.
Al-qur’an melihat
kemajemukan agama sebagai misteri ilahi yang harus diterima untuk memungkinkan
hubungan antarkelompok dalam wilayah publik. Namun, Al-quran mengakui ekspresi
keberagamaan manusia yang berbeda memiliki nilai spiritual interinsik atau
nilai perennial. Menurut Gamal al-Banna, Al-qur’an sangat
aspiratif terhadap akal. Betapa banyak ayat yang menyampaikan pentingnya
penggunaan akal. Hingga tidak sedikit ayat yang dimulai dari redaksi rasional
seperti alam tara (apakah kamu tidak
melihat); alam ta’lam (apakah kamu tidak mengetahui) dan dikahiri
dengan redaksi yang sama (rasional); seperti afala tatafakkarûn
(apakah kalian tidak berpikir); afala ta’qilûn (apakah kalian tidak
menggunakan akal) dan lain sebagainya.Islam meletakkan prinsip menerima
eksistensi agama lain dan memberikan kebebasan kepada pemeluk agama lain untuk
menjalankan ajaran agamanya tanpa batasan. Dengan adanya kebebasan inilah,
Yahudi, Kristen mendapatkan kebesannya secara sempurna.
D. Al-qur’an dan Pluralitas
Keagamaan
Kitab suci al-qur’an
diturunkan dalam konteks kesejarahan dan stuasi keagamaan yang pluralistik
(plural-religius). Setidaknya terdapat empat bentuk keyakinan agama yang
berkembang dalam masyarakat Arab tempat Muhammad saw. menjalankan misi
profetkinya sebelum kehadiran Islam, yaitu Yudaisme (Yahudi); Kristen,
Zoroastrianisme dan agama Makkah sendiri. Tiga di antaranya yang sangat
berpengaruh dan senantiasa disinggung oleh al-qur’an dalam berbagai levelnya
adalah Yahudi, Kristen dan agama Makkah.
Kedatangan al-qur’an
ditengah-tengah pluralitas agama tidak serta-merta mendeskriditkan agama-agama
yang berkembang pada saat itu, tapi al-quran sangat bersifat asfiratif,
akomodatif, mengakui dan membenarkan agama-agama yang datang sebelum al-qur’an
diturunkan. Bahkan lebih jauh dari itu al-qur’an juga mengakui akan keutamaan
umat-umat terdahulu sebagaimana terdapat dalam ayat. “Whai Bani Israil!
Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu, dan Aku telah melebihkan
kamu dari semua umat yang lain di ala mini (pada masa itu)”. (QS.
Al-Baqarah: 2/47). Dalam ayat ini, tergambar suatu sikap pengakuan al-qur’an
akan keunggulan dan keutamaan umat-umat terdahulu sebelum umat Islam.
Al-qur’an sebagai sumber
normatif bagi satu teologi inklusif-pluralis. Bagi kaum muslimin, tidak ada
teks lain yang mempunyai posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain
al-qur’an. Maka, al-qur’an merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep
pluralisme agama dalam al-qur’an.
E. Pengakuan Al-Qur’an Terhadap
Pluralisme Agama
Pengakuan terhadap
plurlisme atau keragaman agama dalam al-qur’an, ditemukan dalam banyak
terminolgi yang merujuk kepada komonitas agama yang berbeda seperti ahl
al-kitab, utu al-Kitab, utu nashiban min al-Kitab,
ataytum al-Kitab, al-ladzina Hadu, al-nashara, al-Shabi’in, al-majusi dan
yang lainnya. Al-qur’an disamping membenarkan, mengakui keberadaan, eksistensi
agama-agama lain, juga memberikan kebeasan untuk menjalankan ajaran agamanya
masing-masing. Ini adalah sebuah konsep yang secara sosiologis dan kultural
menghargai keragaman, tetapi sekaligus secara teologis mempersatukan keragaman
tersebut dalam satu umat yang memiliki kitab suci Ilahi.Karena memang pada dasarnya tiga agama samawi
yaitu Yahudi, Kristen dan Islam adalah bersudara, kakak adek, masih terikat
hubungan kekeluargaan yaitu sama-sama berasal dari nabi Ibrahim as.
Pengakuan al-qur’an
terhadap pluralisme dipertegas lagi dalam khutbah perpisahan Nabi Muhammad.
Sebagimana dikutip oleh Fazlur Rahman, ketika Nabi menyatakan bahwa, “Kamu
semua adalah keturunan Adam, tidak ada kelebihan orang Arab terhadap orang
lain, tidak pula orang selain Arab terhadap orang Arab, tidak pula manusia yang
berkulit putih terhadap orang yang berkulit hitam, dan tidak pula orang yang
hitam terhadap yang putih kecuali karena kebajikannya.” Khutbah ini menggambarkan tentang
persamaan derajat umat manusia dihadapan Tuhan, tidak ada perbedaan orang Arab
dan non Arab, yang membedakan hanya tingkat ketakawaan. Sebagaimana Firman
Allah “ Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah
adalah yang paling takwa”. (QS. Al-Hujurat: 49/13).
Pengakual al-qur’an
terhadap ah al-Kitab antara lain:
199. Dan Sesungguhnya diantara ahli Kitab ada
orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan
yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan
mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat
perhitungan-Nya. (QS. Ali Imaran : 3/199).
Menurut riwayat Jabir Ibn
Abd Allah, Anas, Ibn Abbas, Qatadah da al-Hasan, teks surat Ali Imran ayat 199
di atas, turun berkenaan dengan kematian raja Najasyi dari Habsah. Pada saat
kematian raja Najasyi, Nabi menyuruh kepada sahabatnya untuk melaksanakan
shalat jenazah. Para sahabat saling
membicarakan kenapa Rasul menyuruh untuk melaksanakan shalat bagi seorang raja
kafir (ateis). Maka turunlah ayat di atas untuk menegaskan spritualitas
sebagian ahli Kitab.
Al-qur’an juga secara
eksplisit mengakaui jaminan keselamatan bagi komonitas agama-agama yang
termasuk Ahl al-Kitab (Yahudi, Nasrani, Shabi’in); sebagaimana dalam
pernyataannya.
62. Sesungguhnya orang-orang mukmin,
orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[56], siapa saja
diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[57], hari Kemudian dan beramal
saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(Al-Baqarah:
2/62).
[56] Shabiin ialah orang-orang yang
mengikuti syari''at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah
bintang atau dewa-dewa.[57] orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi,
Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad
saw. percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka
mendapat pahala dari Allah.[58] ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan
oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.
Sayyid Husseyn Fadhlullah
dalam tafsirnya menjelaskan: Makna ayat ini sangat jelas. Ayat ini menegaskan
bahwa keselamatan pada hari akhir akan dicapai oleh semua kelompok agama ini
yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan
akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memnuhi kaidah iman kepada Allah, hari
akhir, dan amal shaleh. Ayat-ayat itu memang sangat jelas itu mendukung
pluralisme. Ayat-ayat itu tidak menjelaskan semua kelompok agama benar, atau
semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan semua golongan agama
akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh.
Sikap pengakuan al-qur’an
terhadap adanya jaminan keselamatan bagi agama lain diluar Islam sangat
kontaras denga prinsip ajaran agama Katolik, seumur-umur gereja Katolik belum
pernah mengakui keselamatan yang ada di luar gereja Katolik. Keselamatan hanya
ada dalam agama Katolik. Kritik dan protes yang dilancarkan gerakan keagamaan
Protestan yang dimotori oleh Martin Luther selama 400 tahun lamanya tidak
banyak merobah hegemoni kebenaran tunggal yang dimiliki agama ini. Baru pada
tahun 1965 dalam konsili Vatikan II, gereja Katolik mulai mengubah cara pandang
keagamaannya. Mereka mulai membuka diri mau mengakui adanya pluralitas keselamatan di luar
gereja Katolik.Demikian juga halnya yang terjadi pada
agama Protestan yang menurut sejarah kelahirannya merupakan gerakan protes dan
pembaharuan terhadap gereja Katolik, mulai terasa kepayahan untuk menyatukan
langkah gereja-gereja kecil dalam sekte-sekte yang independen dilingkungan
iternal agama Protestan. Penganut sekte-sekte dalam agama Protestan tidak
selamanya dapat akur antara satu dengan yang lainnya.
Sungguh menarik untuk
mencermati dan memahami pengakuan al-qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang
berfungsi sebagai petunjuk (hudan) dan obat penetram (syifa li
mafi al-shudhur) terhadap pluralitas agama, jika ayat-ayat al-qur’an
dipahami secara utuh, ilmiah-kritis-hermeneutis, terbuka, dan tidak memahaminya
secara ideiologis-politis, tertutup, al-qur’an sangat radikal dan liberal dalam
mengahadapi pluralitas agama.
Secara
normatif-doktrinal, al-qur’an dengan tegas menyangkal dan menolak sikap
eksklusif dan tuntutan truth claim (klaim kebenaran) secara sepihak
yang berlebihan, seperti biasa melekat pada diri penganut agama-agama, termasuk
para penganut agama Islam. Munculnya klaim kebenaran sepihak itu pada
gilirannya akan membawa kepada konflik dan pertentangan yang menurut
Abdurrahman Wahid, merupakan akibat dari proses pendangkalan agama, dan ketidak
mampuan penganut agama dalam memahami serta menghayati nilai dan ajaran agama
yang hakiki. Al-qur’an berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang
saleh di dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti
pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman di dalam Islam. Ibnu
‘Arabi salah seorang Sufi kenamaan mengatakan, bahwa setiap agama
wahyu adalah sebuah jalan menuju Allah, dan jalan-jalan tersebut berbeda-beda.
Karena penyingkapan diri harus berbeda-beda, semata-mata anugrah Tuhan yang
juga berbeda. Jalan bisa saja berbeda-beda tetapi
tujuan harus tetap sama, yaitu sama-sama menuju kepada satu titik yang sama
yakni Allah swt.
F. Pluralisme Agama Keniscayaan
Sejarah
Agama dan beragama lebih
dahulu dari usia sejarah itu sendiri sebab sejarah belum ditulis sedikitpun
kecuali setelah manusia mengenal peradaban. Pluralisme atau kebeinekaan agama
merupakan suatu kenyataan aksiomatis (yang tidak bias dibantah) dan merupakan
keniscayaan sejarah (historical necessary) yang bersifat universal.Prespektif
sosio-historis, pluralisme keagamaan merupakan realitas emperis yang tercipta
diluar otoritas manusia, kesadaran akan realitas tersebut dan kesediaan
menerima keragaman sebagai suatu hal yang tidak mungkin dipisahkan dari
kehidupan umat manusia. Dalam bahasa agama, pluralisme atau
kebinekaan merupakan sunnatullah (kepastian hukum Tuhan) yang bersifat
abadi (perennial); argumen historis yang menunjukkan keniscayaan
sejarah akan pluralisme agama ini, dikemukakan oleh Ismail Raji al-Faruqi bahwa
kebinekaan atau pluralisme agama tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat
perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi umat yang menerimanya. Ismail Raji
al-Faruqi menjelaskan bahwa asal dari agama itu satu karena bersumber pada yang
satu (Tuhan). Sebagaimana firman-Nya “Maka hadapkanlah wajahmu kepada
(Allah) dengan lurus (tetaplah) atau fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama
yang benar, akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.
Al-Rum: 30/30). Tetapi kemudian, sejalan dengan tingkat perkembangan sejarah,
peradaban, lokasi, dan kebutuhan umat yang menerimanya, din al-fitrah
tersebut berkembang menjadi suatu agama historis atau tradisi agama yang
spesifik dan beraneka plural.
Bila kita merujuk
kepada sejarah agama, kita menemukan bahwa tiga agama besar, yaitu Yahudi,
Kristen dan Islam lahir dari satu bapak (Ibrahim). Ini yang membuat kita
mengerti akan sabda Rasulullah tentang para nabi bahwa mereka dalah “keluarga
besar (abna ‘allat)”. Ayah mereka satu dan ibu mereka banyak. Secara
historis-geografis mereka terikat oleh satu tempat dan waktu yang tidak
berjauhan, sampai setiap agama itu menyebar ke seluruh benua. Seharusnya,
hubungan antara gama yang satu dengan agama yang lainnya adalah hubungan
persaudaraan. Sayang, pada kenyataannya setiap agama justru mempersempit gerak
agama lain. Masing-masing menciptakan suasana ketegangan, jika tidak ingin
dikatakan suasana permusuhan. Hubungan paling buruk terjadi antara Kristen, di satu
sisi, dengan Yahudi dan Islam, disisi lain. Dan hubungan paling ringan adalah
hubungan antara Islam, di satu sisi, dengan Kristen dan Yahudi di sisi lain.
Yang demikian itu terjadi karena Islam, sebagai agama terakhir, harus
menentukan sikapnya terhadap agama-agama yang datang mendahuluinya. Sesungguhnya
Islam, Yahudi dan Kristen adalah agama-agama yang saling berhubungan, yang
perbedaan-perbedaan di antara ketiganya sangatlah kecil. Kemahaesaan Allah meniscayakan akan
pluralitas selain Dia, artinya hanya Allah saja yang Esa (tunggal) sedangkan
selain Dia, adalah plural. Menolak pluralisme berarti pada dasarnya menolak
kemajemukan, sedangkan menolak kemajemukan sama saja dengan mengingkari sunnatullah,
dan itu tidak mungkin.
G. Upaya Memelihara Pluralisme
Agama
Pada dasarnya pluralisme
tidak membutuhkan suatu sistem yang baku
untuk memeliharanya, yang dibutuhkan adalah pemhaman masyarakat beragama
tentang pluralisme itu sendiri. Namun walaupun demikian ada beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk menjaga keberlangsungan pluralisme, antara lain:
1. Adanya Kesadaran Islam yang Sehat
Pluralisme dalam
masyarakat Islam memiliki karakter yang berbeda dari pluralisme yang terdapat
dalam masyarakat lain. Ciri khas dalam Islam meniscayakan adanya perbedaan baik
itu perbedaan ras, suku, etnis, sosial, budaya dan agama. Dan pluralisme tidak
dimaksudkan sebagai penghapusan kepribadian Islami. Kesadaran Islam yang cerdas
merupakan faktor yang menjamin pluralisme dan menjaganya dari penyimpangan dan
kesalahan. Kesadaran Islam yang cerdas tidak pernah menutup diri dari berbagai
kecenderungan yang positif obyektif. Bahkan kecenderungan itu bisa jadi akan
menambah keistimewaan agama Islam itu sendiri.
Kesadaran Islam yang
sehat akan mampu melihat dengan jernih sisi kebnaran yang terdapa dalam agama
lain karena semua agama punya nilai-nilai kebenaran yang bersifat univerasl, tidak
panatisme agama secara berlebihan dan selalu membuka diri dengan orang lain
walupun berbada agama dan keyakinan. Bila sikap seperti ini dimiliki oleh
setiap muslim, maka pluralisme agama dapat berkembang denga baik yang pada
akhirnya akan tercipta kerukunan dan toleransi umat beragama yang baik dan
harmonis ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Pemahaman konsep amar
ma’ruf nahi mungkar yang benar, akan mampu menjadi perangkat
lunak yang akan menjamin terwujudnya pluralisme. Karena amar ma’ruf nahi
mungkar memberikan peluang bagi tumbuhnya kebebasan berpikir dan mendorong
terwujudnya kondisi demokratis. Jika amar ma’ruf nahi mungkar tidak
lagi berjalan dalam masyarakat sebagaiman mestinya, maka akan sangat mungkin
tumbuhnya kemungkaran yang tidak terhitung, tanpa ada seorang pun yang berani
melakukan kritik dan reformasi sosial. Kondisi seperti ini akan melahirkan
sikap anti pluralisme.
Sayangnya, kadang kala
karena kesalahpahaman akan konsep amar ma’ruf nahi mungkar, yang
terjadi justru amar ma’ruf nahi mungkar menjadi perangkat yang melawan
pluralisme bahkan cederung membenarkan tindakan-tindakan anrkis. Ini terjadi
ketika konsep amar ma’ruf nahi mungkar berda ditangan orang-orang yang
berpandangan totaliter yang memiliki jargon “satu kata” hanya mereka yang benar
sedangkan orang lain salah, inilah senjata mereka dalam memberangus orang laing
yang memiliki pandangan yang berbeda. Seperti kasus yang terjadi akhir-akhir
ini di tanah air yang hangat dibicarakan diberbgai media baik cetak maupun
elektronik, yaitu bentrok fisik yang terjadi antar ormas-ormas Islam dengan
aliran Ahmadiyah baik di Bogor,
Suka Bumi dan daerah-daerah lainnya. Seharusnya bila semua pihak bisa berlapang
dada, saling memahami dan menahan diri itu tidak semestinya terjadi. Menurut
analisa penulis kasus ini, merupakan salah bentuk penyelwengan makna amar
ma’ruf nahi mungkar itu sendiri. Agama Islam tidak pernah mengajarkan
kekerasan kepada umatnya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.
Islam mengajarkan dengan hikmah (arif dan bijaksana); uswatun
hasanah (contoh tauladan yang baik) mau’idzah
hasanah (pengajaran yang baik) dan menasehati dengan cara lemah lembut
dengan penuh kesabaran dalam mengajak orang lain kepada jalan
kebenaran, bukan dengan cara-cara kekerasan dan menghakimi. Agama seharusnya
dapat menjadi pendorong bagi umat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian
dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia di bumi ini.Agama dengan
ajaran yang suci dan mulia tidak layak dijadikan tameng untuk mengeksekusi
penganut agama lain yang tidak seagama dalam pergaulan sosial, apa lagi bila
agama dijadikan unsur pembenaran untuk terjadinya konflik sosial antarseasama
umat beragama, melakukan perbuatan anarkis, hal yang demikian adalah merupakan
suatu penistaan terhadap agama, apapun agamanya dan siapa pun yang melakukan
itu tidak dapat dibenarkan.
3. Dialog Antarumat Beragama
Salah satu faktor utama
penyebab terjadinya konflik keagamaan adalah adanya paradigma keberagamaan masyarakat yang masih
eksklusif (tertutup). Pemahaman keberagamaan ini tidak bisa dipandang sebelah
mata karena pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap
pemeluk agama lainnya. Pribadi yang tertutup dan menutup ruang dialog dengan
pemeluk agama lainnya. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya
saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran keagamaan lainnya adalah
salah dan bahkan dianggap sesat.Paradigma keberagamaan seperti ini
(eksklusif) akan membahayakan stabilitas keamanan dan ketentraman pemeluk agama
bagi masyarakat yang multi agama.
Membangun persaudraan
antarumat beragama adalah kebutuhan yang mendesak untuk diperjuangkan sepanjang
zaman. Persaudaraan antarsesama umat beragama itu hanya dapat dibangun melalui
dialog yang serius yang diadasarkan pada ajaran-ajaran normatif masing-masing
dan komonikasi yang intens, dengan dialog dan komonikasi tersebut akan
terbangun rasa persudaraan yang sejati. Dengan terwujudnya rasa persaudaran yang
sejati antarsesama umat, maka akan sirnalah segala sakwa sangka di antara
mereka.
Alwi Sihab mengatakan,
dialog antarumat beragama mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan
umat agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup. Dialog tersebut
dimaksudkan untuk saling mengenal, saling pengertian, dan saling menimba
pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dengan dialog akan memperkaya
wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat
dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat, yaitu toleransi dan
pluralisme.Agama Islam sejak semula telah
menganjurkan dialog dengan umat lain, terutama dengan umat Kristen dan Yahudi
yang di dalam al-qur’an disebut dengan ungkapan ahl al-Kitab (yang
memiliki kitab suci). Penggunaan kata ahl al-Kitab untuk panggilan
umat Kristen dan Yahudi, mengindikasikan adanya kedekatan hubungan kekeluargaan
antara umat Islam, Kristen dan Yahudi.Kedekatan ketiga agama samawi
yang sampai saat ini masih dianut oleh umat manusia itu semakin tampak jika
dilihat dari genologi ketiga utusan (Musa, Isa dan Muhammad) yang bertemua pada
Ibrahim sebagai bapak agama tauhid. Ketiaga agama ini, sering juga disebut
dengan istilah agama-agama semitik atau agama Ibrahim.
PENUTUP
Konsep pluralisme agama
sejak awal sudah ada dalam agama Islam, ia merupakan bagian prinsip dasar dari
agama Islam itu sendiri. Agama Islam, sebagai agama yang mengemban misi rahmatanlilalamin
memandang pluralisme atau keragaman dalam beragama merupakan rahmat dari Allah
swt, yang harus diterima oleh semua umat manusia, karena pluralisme adalah
bagian dari otoritas Allah (sunnatullah) yang tidak dapat dibantah
oleh manusia. Secara historis, pluralisme agama adalah keniscayaan sejarah yang
tidak dapat dipungkiri, hal ini tergambar dalam sejarah tiga agama besar yaitu
Yahudi, Kristen dan Islam yang bersumber dari satu bapak tetapi banyak ibu.
Al-qur’an dalam
berbagai kesempatan banyak berbicara tentang pluralisme, bahkan al-qur’an
berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di dalam kaum-kaum
tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti pengakuannya terhadap
adanya manusia-manusia yang beriman di dalam Islam. Sikap pengakuan al-qur’an
terhadap pluralisme telah mencapai puncaknya dalam berbicara soal pluralisme
ketika menegaskan sikap penerimaan al-qur’an terhadap agama-agama selain Islam
untuk hidup bersama dan berdampingan. Yahudi, Kristen dan agama-agama lainnya
baik agama samawi maupun agama ardhi eksistensinya diakui
oleh agama Islam. Ini adalah suatu sikap pengakuan yang tidak terdapat di dalam
agama lain.
Pluralisme agama dapat
terjaga dan terpelihara dengan baik, apabila pemahaman agama yang cerdas dimiliki
oleh setiap pemeluk agama. Antar umat beragama perlu membnagun dialog dan
komonikasi yang intens guna untuk menjalin hubungan persaudaran yang baik
sesama umat beragama. Dengan dialog akan memperkaya wawasan kedua belah pihak
dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup
rukun dalam suatu masyarakat, yaitu toleransi dan pluralisme. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi
Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia,
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Azyumardi
Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Kerukunan Antarumat, Jakarta: Kompas, 2002.
Amir
Mahmud (Ed); Isalam dan Realitas Sosial Di Mata Intelektual Muslim Indonesia, Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005.
A.
Mukti Ali, Agama dan Pembangunan Indonesia,
Jilid V: Biro Hukum dan Humas Depag: Jakarta,
1999.
Alef
Theria Wasim dkk (Ed); Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Peraktik &
Pendidikan, Yogyakarta: Oasis Publisher,
2005
Abd.
A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta:
Kompas, 2002.
Alwi
Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999.
Aloys Budi Purnomo, Membangun
Teologi Inklusif-Pluralistik, Jakarta:
Kompas, 2003.
Abdulaziz Sachedina, Beda Tapi
Setara Pandangan Islam tentang Non-Islam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Anis Malik Toha, Tren Pluralisme
Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta:
Prespektif, 2005.
Bahtiar Effendy (Ed); Agama dan
Radikalisme di Indonesia, Jakarta:
Nuqtah, 2007.
Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme
Dalam Al-Qur’an, Jakarta:
Menara, 2006.
Hendra
Riyadi, Melampaui Pluralisme Etika Al-qur’an tentang Keragaman Agama, Jakarta: PT. Wahana
Semesta Inetrmedia, 2007.
Jalaluddin
Rakhmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2006.
J.
Riberu, Tonggak Sejarah Pedoman Arab: Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Dokpen MAWI,
1983
Jauhar
Azizy (Tesis 2007); Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an: Telaah Terhadap
Tafsir Departemen Agama, (Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2007.
Muhamad
Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin
Kebersamaan, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2003.
Murad
W. Hofmann, Menengok Kembali Islam Kita, Bandung: Pustaka hidayah, 2002.
Muhammadiyah,
Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP, Tafsir Tematik Al-Qur’an
Tentang Hubungan Sosial Anatarumat Beragama, Yogyakarta:
Pustaka SM, 2002.
M.
Amin Abdullah, Alqur’an dan Pluralisme dalam Khazanah: Jurnal Ilmu
Agama Islam, Volume 1, Nomor 6, Juli-Desember, 2004.
Muhammad Abid Al-Jabiri, al-Aql
al-Siyasi al-Arabi, Beirut:
al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991.
M.
Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Kebangsaan, Yogyakarta:
Pilar Media, 2007.
M.
Yudhi R. Haryono, Bahasa Politik Al-Qur’an Mencurigai Makna Tersembunyi di
Balik Teks, Bekasi: Gugus Press, 2002.
Nurkhalis
Madjid, Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, Jakarta: Kompas, 2001.
Nurkhalis
Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, Jakarta: Paramadina, 1999
Nurkhalis
Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003.
Suarahman
Hidayat, Islam Pluralisme dan Perdamaian, Jakarta: Fikr, 1998.
Said
Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta: PT. Ciptuta Press, 2005
Said
Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani Dalam Sistem
Pendidikan Islam, Jakarta:
Ciputat Press, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar